Witriyatul Jauhariyah (Mahasiswi Jurusan Islam dan Kajian Gender Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga) [email protected] Einer Wegener dan Gerda Wegener adalah sepasang seniman (pelukis) dan ilustrator terkenal di Kopenhagen Denmark. Karyanya memukau banyak orang sebab menyuguhkan lukisan yang membawa imajinasi ke dalam dunia nyata. Pernikahan mereka sangat bahagia sebab mereka saling mendukung dalam karier masing-masing. Kehidupan yang mereka jalani pada awalnya berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Hingga pada suatu hari Gerda melukis dengan tema “Portraits of Lili” (seorang penari balet yang ia beri nama Lili). Karya Gerda ini mendapat respons positif dari masyarakat Copenhagen pada tahun 1920-an. Ketika temannya yang berprofesi sebagai penari balet (Ulla Paulson/Amber Heard) tidak dapat berpose menjadi modelnya, Gerda meminta bantuan Einer untuk berperan sebagai Lili dan mengenakan baju balet lengkap dengan atribut serta makeup-nya untuk menyempurnakan lukisannya itu. Einer setuju dengan permintaan istrinya, ia mencoba menjadi seorang wanita penari balet hingga akhirnya ia merasa nyaman dengan menjadi seorang perempuan. Di situlah awal munculnya daya tarik Einer terhadap perempuan, ketika berperan sebagai Lili ia merasa menjadi diri yang sesungguhnya, ia menyadari sisi feminin dalam dirinya. Berpenampilan sebagai seorang perempuan menjadikan dirinya bebas dan merasa menikmati kehidupan yang ia impikan selama ini. Krisis identitas dalam diri Einer menghadirkan gejolak dalam pernikahan Gerda. Rasa haru tak terbendung ketika Gerda memberi kebebasan kepada Einer menikmati perannya sebagai seorang perempuan, walaupun dalam hati kecilnya ia kecewa dan ingin suaminya kembali menjadi Einer seorang pria sejati. Rasa cinta yang dimiliki Gerda mengalahkan egoismenya dan rela melepaskan Einer menjadi perempuan seutuhnya demi kebahagiaan pasangannya. Einer kemudian melakukan operasi pergantian kelamin tetapi operasi tersebut gagal karena infeksi menyerang tubuhnya, dia mati dengan bahagia karena berhasil bermetamorfosisis menjadi seorang perempuan seutuhnya. Operasi yang dilakukan Einer ini adalah operasi pergantian kelamin pertama yang dilakukan di dunia. Film ini diperankan oleh pemenang Academy Award Eddie Redmayne (Einer Wegener/Lili Elbe) dan Alicia Vikander (Gerda Wegener) dan disutradarai oleh Toom Hooper serta dirilis pada 27 September 2015. Film ini berangkat dari kisah nyata hasil adaptasi novel yang diambil dari buku harian yang ditulis Lili Elbe kemudian diterbitkan pada tahun 1933 dengan judul Man Into Woman. Novel ini menceritakan tentang perempuan transgender (Lili) dalam memperjuangkan identitas gendernya. Keberanian dan semangatnya menjadi inspirasi bagi para transgender dan komunitas pergerakan transgender di seluruh dunia sampai saat ini. Kasus yang terjadi pada Einer (Lili) merupakan salah satu bentuk dari ragam variasi seksualitas. Seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi (WHO,2002). Seksualitas menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk perilaku yang beraneka ragam. Seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual. Maka tidak ada istilah normal atau abnormal dalam perspektif seksualitas. Seksualitas berbeda dengan seks, ia merupakan sesuatu yang kompleks dan sensitif. Ruang lingkupnya lebih luas, meliputi perilaku, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan norma serta orientasi. Sifatnya yang sensitif karena menyangkut hal yang pribadi, sementara kompleksitasnya meliputi aspek kehidupan seperti keluarga, agama, pendidikan, gender, hukum dan lain-lain. Jika menggunakan kacamata Judith Butler (Teori Queer) dalam kasus Einer, maka hal ini lazim terjadi. Sebab menurut Butler baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair (fuid), tidak alamiah, dan berubah-ubah. Oleh karena itu, kasus transgender bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan atas tindakan performatif (Butler 1990, h. 96). Dalam teori performativitas, gender adalah drag (sebuah pertunjukan), dimana mereka mencoba mempertunjukkan agar terlihat seperti laki-laki atau perempuan (yang secara anatomis berbeda dengan dirinya). Pertunjukan itu mereka ulang-ulang, sederhananya jika seseorang ingin dikatakan sebagai laki-laki maka harus mempraktikkan ekspresi maskulin, jika tidak maka ia dikatakan bukan laki-laki. Padahal perilaku maskulin tidak selalu diasosiasikan dengan identitas laki-laki. Lebih jauh Butler berpendapat bahwa tidak ada identitas gender dibalik ekspresi gender, identitas gender terbentuk melalui pengulangan ekspresi gender sehingga hasilnya terlihat seperti asli (Butler seperti dikutip Hendri Yulius dalam Jurnal Perempuan 87 Vol. 20 N0. 4 Nov 2015, h. 130). Senada dengan Butler, Suryakusuma (seperti dikutip Hendri Yulius dalam Jurnal Perempuan 87 Vol. 20 N0. 4 Nov 2015, h. 123) dalam esainya “Konstruksi Sosial Seksualitas: Sebuah Pengantar Teoritis” memetakan studi seksualitas dalam dua pendekatan umum, yaitu esensialis dan non esensialis. Pendekatan esensialis melihat bahwa seksualitas manusia adalah sesuatu yang bersifat ahistoris, alamiah, tidak dapat berubah (externally unchanging), asosial, dan merupakan bawaan sejak lahir (given). Pendekatan ini banyak diadopsi oleh ilmu kedokteran, psikologi dan psikiatri. Maka tak heran jika transgender atau transeksual, diidentifikasi sebagai sebuah penyimpangan atau deviasi sosial dan penyakit. Sementara pendekatan non esensialis melihat bahwa subjek merupakan produk dari konstruksi sosial yang kompleks, karenanya ia tak dapat direduksi ke dalam satu kategori monolitik ilmiah. Pendapat ini dipengaruhi oleh aliran antropologi strukturalis, psikoanalisis dan marxisme, karenanya kasus yang terjadi pada transgender atau transeksual tidak dianggap sebagai penyimpangan. Mereka berkesimpulan bahwa seksualitas tidak terlepas dari konstruksi sosial. Untuk itu studi seksualitas adalah bagian dari ilmu sosial sekalipun masih merupakan sesuatu yang asing. Sementara Michael Foucault (filsuf yang mempunyai kontribusi besar dalam kajian seksualitas) berpendapat bahwa seksualitas merupakan produk wacana yang diciptakan oleh kuasa tertentu (power-knowledge relations), ia telah melepaskan seksualitas dari determinisme biologis. Apa yang dianggap normal dan abnormal saat ini merupakan produk dari praktif diskursif yang diciptakan oleh kekuasaan. Sebagai contohnya, konsep ketabuan dan abnormalitas selalu berubah-ubah. Artinya bisa jadi transgender dikeluarkan dari kategori gangguan jiwa. Baginya, setiap orang dilahirkan sebagai biseksual. Pendidikan seksual dan lingkungannya akan membentuk mereka menjadi heteroseksual, homoseksual atau biseksual. Maka dalam hal ini, yang disebut sebagai heteroseksual bukanlah manipulasi gen, akan tetapi akibat dari proses sejarah dan kebudayaan. Melihat kasus Einer Wegener (Lili Elbe) jika dianalisis menggunakan kacamata Foucault, maka Einer adalah korban dari produk wacana yang diciptakan oleh kuasa tertentu. Laki-laki diidentikkan dengan ekspresi maskulin sementara perempuan diidentikkan dengan ekspresi feminin. Di luar kategori itu maka dianggap sebagai suatu penyimpangan atau dalam bahasa psikologi adalah gangguan kejiwaan. Oleh kerana itu harus direhabilitasi agar kembali normal. Padahal menurut Butler, laki-laki tidak harus berekspresi maskulin, ia bebas berekspresi maskulin dan feminin sebab ekspresi gender adalah konstruksi sosial yang sifatnya relatif dan berubah-ubah. Bisa jadi seorang laki-laki menggunakan busana apapun sesuai dengan keinginannya tanpa mempertimbangkan jenis kelaminnya. Begitu pula dengan perilaku seksualnya, ia bebas memilih pasangannya apakah sesama jenis atau berbeda. Maka dalam kategori ini, tidak ada yang disebut sebagai homoseksual atau heteroseksual. Film ini bergenre biografi dikemas dalam kisah drama yang apik dan menarik, serta alurnya mudah dipahami. Film ini juga menyedot perhatian dunia sebab mengusung misi khusus yaitu isu gender dan menggunakan media untuk berbicara tentang hak asasi manusia. Di sisi lain pemeran utama dalam film ini menyajikan kompleksitas emosi yang menyiksa secara menawan, sehingga memberi sentuhan performa yang cantik dan sayang untuk dilewatkan. Selamat Menikmati Perbedaan! Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |