Kekerasan seksual terhadap perempuan semakin hari bagaikan momok menakutkan bagi perempuan di Indonesia, bahkan membawa berbagai permasalahan yang serius bagi korban. Pernahkah kita melihat munculnya stigma negatif terhadap perempuan yang hamil diluar nikah? Masyarakat seolah-olah tanpa rasa bersalah menjatuhkan putusan dan asumsi bahwa perempuan tersebut pasti perempuan “nakal” atau perempuan yang sudah tidak suci atau bahkan perempuan yang kotor dan hina. Kasus semacam ini sangat familier di telinga kita, bahkan sudah merebak di seluruh lapisan stratifikasi sosial masyarakat. Lantas bagaimana perasaan kaum perempuan yang mendapatkan label yang tidak mereka inginkan? Nama baik mereka akan luntur kemudian mereka akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan yang paling menyedihkan adalah label “anak haram” yang akan disematkan pada sang bayi yang dilahirkan. Apakah masyarakat juga memberi label pada laki laki yang membuat seorang perempuan ternoda dengan cap laki laki kotor atau laki laki penaruh bibit haram? Tidak, bukan? Masyarakat cenderung diam, mereka mungkin tidak terlalu peduli tentang siapa bapak dari bayi itu. Yang mereka pedulikan adalah ibu dari bayi itu merupakan perempuan yang tidak baik. Apakah sedangkal itu mereka kemudian menyimpulkan bahwa semua perempuan yang hamil diluar nikah merupakan perempuan yang tidak baik? Bagaimana dengan korban kejahatan seksual, apakah itu adil? Jika masyarakat memberi gelar mereka sebagai “perempuan nakal”, sesungguhnya perempuan itu sendiri tidak menginginkan kejadian itu menimpa dirinya. Namun masyarakat seolah-olah bisu dan tuli jika dihadapkan pada kasus semacam ini. Mereka yang mendapatkan label sebagai “perempuan nakal” sebenarnya muak dengan stigma tersebut. Kehadiran mereka pun ditolak oleh keluarga mereka sendiri. Keluarga mereka merasa bahwa calon ibu dari bayi yang dikandung merupakan aib bagi keluarga. Bahkan untuk menutupi aib tersebut perempuan korban kadang harus disingkirkan untuk sementara waktu di suatu tempat. Sementara mereka sebenarnya adalah korban dari tindak kekerasan seksual. Mereka merupakan manusia yang didiskriminasi oleh sebagian masyarakat di lingkungan kita. Mereka diasingkan di suatu tempat, mungkin di tempat tinggal kerabat mereka, agar keluarganya tidak merasa malu. Bukankah itu sama saja memenjarakan mereka ? Perlakuan itu mirip sekali dengan perlakuan terhadap para tahanan. Para perempuan tersebut sesungguhnya manusia bebas. Namun kebebasan mereka direnggut oleh sebuah otoritas bernama”masyarakat”. Mereka seperti tahanan dari pasukan Nazi jerman yang harus ditempatkan di sebuah kamp konsentrasi. Gambaran seperti ini mengingatkan kita pada sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri ini. Yakni ketika perempuan-perempuan anggota organisasi bernama Gerwani dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka dipandang sebagai aib bagi keluarga, bahkan label pembangkang negara tersemat pada diri mereka dan terus dilekatkan sampai kepada keturunan mereka. Dalam hal ini terdapat persamaan, anak-anak anggota Gerwani mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Keturunan kader gerwani pada masa Orde Baru tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil dan menduduki jabatan strategis. Sama halnya dengan anak yang dilahirkan oleh perempuan korban kekerasan seksual, ia akan mendapatkan sanksi sosial berupa label “anak haram”. Lantas bagaimana jika anak yang dilahirkan itu bertanya kepada ibunya, kenapa ia disebut anak haram? Semoga saja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan memiliki anak dapat menjelaskan dengan baik kepada anaknya, sehingga si anak tetap memiliki rasa percaya diri untuk bergaul dengan masyarakat pada umumnya. Dalam kasus ini bukankah terjadi semacam eutanasia terhadap seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan kemudian hamil. Seolah-olah eksistensinya sebagai individu yang merdeka ditengah-tengah masyarakat kemudian menjadi terbelenggu dan terjajah karena stigma negatif yang ditanamkan masyarakat terhadap perempuan yang hamil sebelum menikah. Ini bentuk eutanasia yang halus dan tersamarkan sehingga seolah-olah luput dari pengamatan kita. Permasalahan seperti ini sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan permasalahan seperti ini dapat menjadi penghambat bagi korban. Jika mereka masih di usia sekolah, institusi pendidikan formal tidak akan menerima jika salah satu dari murid mereka hamil diluar nikah, sehingga mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Bukankah mendapatkan pendidikan yang layak merupakan hak setiap manusia? Begitu menakutkankah mereka hingga harus dikeluarkan dari sekolah? Mereka bukan monster atau teroris. Mereka adalah korban. Sungguh berat beban psikologis yang harus ditanggung oleh individu seperti mereka.
Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |