
“Tapi aku cuma mau berpakaian seperti yang aku mau. Aku sudah belajar sejarah turunnya jilbab dan ibu sendiri tahu bahwa memakai jilbab tidak boleh dipaksa, seperti orang beragama seharusnya dengan hati dan iman, bukan karena dipaksa,” begitu penjelasan saya kepada ibu saya. Saya memberi penjelasan dengan lemah lembut bukan yang pertama kali. Saya sudah mencoba ratusan kali, secara tertulis maupun lisan, juga dengan meminta bantuan ayah dan saudara-saudara saya untuk memberi pengertian kepada ibu bahwa jilbab bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Seperti orang-orang lain di luar sana, dia berpikir bahwa saya kurang gigih, saya menjelaskan dengan cara yang salah, atau saya memang durhaka karena tidak mau mengikuti kemauannya. Saya mendapat fasilitas indekos walau sebenarnya rumah saya dengan kampus hanya berjarak 25 km, karena itu setiap minggu saya harus pulang ke rumah, bertemu ibu dan memakai jilbab di setiap situasi atau saya tidak diizinkan pulang atau keluar rumah. Hingga saya duduk di bangku kuliah semester enam, saya benar-benar tidak tahan lagi. Saya mulai ketakutan bahwa dunia akan bersikap seperti ibu saya. Saya tidak bisa marah kepada ibu yang menyayangi saya. Maka saya limpahkan semua ini pada jilbab. Tapi semua orang masih menuduh saya yang salah. Saya ketakutan. Saya takut masyarakat akan bersikap seperti ibu saya, memaksakan jilbab kepada saya. Saya takut pada masyarakat. Saya benci setengah mati pada jilbab. Saya tidak sudi memakai jilbab sama sekali, sampai saya mulai menyalahkan agama dan sangat membenci Tuhan yang melahirkan saya dari rahim ibu yang terobsesi dengan anak yang berjilbab. Saya terkena depresi berat. Saya dibawa ke psikolog dan berlanjut konsultasi ke psikiater. Tapi ibu saya tidak mau tahu. Semua penyakit saya adalah kutukan. Setan terlalu banyak di tubuh saya yang membuat saya enggan memakai jilbab. “Perempuan memang bengkok, karena itu bisa hancur suatu negeri apabila dipimpin perempuan,” kata Ibu mencatut dari hadis Nabi yang sahih.
Monster itu adalah tubuh perempuan. Kulitnya, rambutnya, semua harus disembunyikan. Laki-laki dan perempuan, mereka ketakutan atas tubuh perempuan. Be-irahinya harus ditekan. Monster itu bisa menerkam imanmu, monster ini bisa mengalihkanmu dari surga yang kau rindukan, tapi kau buat hidupku tiap hari seperti di neraka. Setelah belajar feminisme sekarang saya mengerti bahwa yang salah bukan saya, ibu saya, atau agama yang saya anut. Saya benci kenapa saya harus menutup aurat untuk calon suami yang saya bahkan belum pernah temui, saya harus menjaga tubuh saya yang aib ini dengan dibungkus dan menyamakan tubuh saya laksana daging mentah yang dijual obralan. Kenapa saya harus merelakan kebebasan diri saya terhadap pria yang mungkin belum saya kenal? Apakah semua laki-laki harus gila dihormati seperti itu? Saya rasa tidak. Ayah saya selalu membiarkan saya untuk menjadi apa pun dan mengenakan pakaian apa saja asal sesuai norma, tapi ibu saya yang melakukan semua itu. Ibu saya begitu repot-repot. Dari situ saya memahami bahwa bukan laki-laki yang salah, tetapi ada suatu sistem yang membuat nilai laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dan agama, yang menjadi alasan ibu saya untuk memaksakan jilbab kepada saya, menggunakan sistem tersebut. Sistem itu yang menekan saya sehingga saya mengalami neurosis. Sistem itu memang menguntungkan laki-laki, tapi justru ibu saya, perempuan yang menerapkan, menjaga dan mewariskan sistem itu turun temurun.
Ibu saya menganggap saya, anak perempuannya, bukan bagian dari dirinya melainkan dirinya sendiri. Ibu saya seorang aktivis yang gigih memperjuangkan hak berjilbab di awal tahun 1990-an. Tapi ibu saya tidak memahami bahwa kini berjilbab dan tidak berjilbab adalah pilihan. Kini perempuan boleh memilih untuk berjilbab maupun tidak. Tapi ibu saya terlanjur tidak memisahkan dirinya dengan saya, ketika saya menolak jilbab, dia tidak bisa menerima dengan alasan apapun. Ibu saya berpikir bahwa saya harus cepat dinikahkan dengan seorang ustaz agar dia bisa membuat saya bertobat, mendapat hidayah dan mau mengenakan jilbab. Saya tahu saya tidak sendirian. Dan benar, saya menemukan beberapa teman yang mengalami kasus yang sama dengan saya, mengalami konflik ibu dan anak. Setiap ada kesempatan kami berusaha membahas ini di ruang publik dan kami jadikan diskusi. Konflik ibu dan anak tidak hanya terjadi pada saya dan teman saya, ini juga dapat terjadi pada anda atau teman dekat anda. Ada suatu sistem yang harus kita lawan bersama. Kami mau bergandengan tangan untuk bisa diperlakukan sebagai manusia. Manusia yang boleh memilih cara dirinya untuk berekspresi.