Safina Maulida (Sarjana Filsafat Universitas Indonesia, Aktivis, Fashion Designer) [email protected] There is no greater tyranny than that which is perpetrated under the shield of the law and in the name of justice –Montesquieu Metakonservatisme hari ini (masih) pada posisi menolak kondisi setara dan nondiskriminatif, di saat kegentingan isu perempuan dan kelompok minoritas yang mengalami kenaikan. Hal ini membuat kita masih harus kembali ke pertanyaan dasar tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi Perempuan (HAP) –setahun lalu saya angkat topik ini dalam diskusi publik bersama Asfinawati dan Melanie Subono, setahun lalu saat RKUHP mencak. Pertanyaan dasar itu memang harus terus tumbuh. Namun hanya dalam dialog antar orang-orang berakal sehat. Lain dengan dialog dalam perencanaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)–yang meski dirumuskan kelompok terpelajar tetapi masih hadir dengan membawa kepandiran dalam bentuk baru. Secara jelas bahkan tanpa perlu pendedahan khusus, butir pasal RKUHP bermasalah dari asasnya yang tak berlandaskan HAM dan HAP, bahkan di saat humanisme mulai menjalar sampai ke etika lingkungan, from animate to the inanimate! Pasal-pasal yang sering kali didengar akan mencederai tatanan hukum berlandaskan HAP antara lain adalah pasal perluasan zina. Pasal 484 ayat (1) huruf (e), laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan bisa dipidanakan. Termasuk pada individu yang hidup bersama, namun tak terikat perkawinan yang sah. Hal tersebut adalah soal untuk mempidanakan tindakkan seks di luar nikah. Terlihat yang berlaku di sini hanya konservatisme moral seorang patriarch. Sebab, pemahaman seks di luar nikah–selain ini tentang kebebasan individu dalam sebuah konsensus antar orang dewasa– akan terlalu banyak intepretasi dari kelompok moralis yang menjadikannya rancu. Sebab kata “sah” kemudian dapat diperdebatkan kembali, sah versi siapa? Fakta yang paling bisa diargumentasikan adalah, begitu banyak masyarakat adat menikah tanpa legalitas dari negara. Keterburu-buruan dalam mengagas pasal tampak begitu pandir. Berlanjut di Pasal 495, negara dan alat hukumnya kembali ikut campur soal orientasi seksual yang menyoalkan hubungan sesama jenis kelamin. Pada RUKHP ini diusulkan untuk dikriminalisasi. Bila orientasi seksual yang sifatnya privat dibawa ke ruang publik, persekusi dimungkinkan. Kemudian pasal yang siap mempidanakan orang yang melakukan sosialisasi alat untuk mencegah kehamilan. Padahal, dunia secara global tengah menggalakkan pencegahan penularan HIV/AIDS. Pendidikan akan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang hingga kini belum diperjuangkan negara agar bisa menjadi kurikulum bagi pelajar di ranah pendidikan formal, semakin dibuat jauh. Orang-orang yang kemudian memandu untuk kampanye kesehatan reproduksi juga bisa dipidanakan. Sekian pasal-pasal itu bentuknya adalah delik umum, yang artinya bisa menjebak siapa saja tak terkecuali. RKUHP dengan butir-butir pasal bermasalah terus ditekan untuk disahkan, terjadi di saat proses Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, dan pemulihan belum disahkan. Hal ini cerminan besar atas perkembangan segala yang mundur. Termasuk Pasal 67 yang kemudian menjadi Pasal 73 dan Pasal 109, tentang pidana mati sebagai rumusan hukum pilihan untuk mengayomi masyarakat, di samping perhitungan perampasan kemerdekaan (pidana seumur hidup atau 20 tahun penjara). Pada mulanya, Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan direkognisi politik global melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM (The Universal Declaration of Human Rights, UDHR1948). DUHAM kemudian menjadi kiblat dalam menyoal hak dan standar martabat manusia. Setelah itu, pikiran progresif dari para aktivis dan akademisi mengakui bahwa DUHAM memiliki kekurangan, yaitu belum berperspektif gender. Kemudian disusul lebih apik dengan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women /CEDAW) tahun 1979, The Convention Against Torture/CAT tahun 1985, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women/DEVAW) tahun 1993, dan Pedoman Aksi Beijing (The Beijing Platform for Action) tahun 1995, yang memberikan fokus ulang untuk menyoal kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan, konfilk perang, anak, media, lingkungan. Di mana diharapkan dapat menjadi tolok ukur dan cara penagihan individu ke negara. Namun, dalam perjalanannya instrumen internasional tersebut--yang diharapkan menjadi basis dari kebijakan suatu negara agar dapat melindungi rakyatnya--sulit terjalin. Dependensi state-centric dari keberpihakan untuk pengadopsian konvensi dan draft universal lainnya tak cukup bila kultur berakal sehat tak ikut memaksa dan mendesak hal ini. Negara secara sadar perlu meratifikasinya dan melegitimasinya menjadi hukum agar dapat bekerja secara empiris. Tak kalah penting juga untuk dapat meratifikasi itu ke pikiran masing-masing, karena perubahan terjadi dimulai dari lingkup paling kecil namun paling politis: individu. Betapapun penyangkalan tentang nilai subtil dan asali soal hak, takan pernah bisa dan boleh ditunda. Deret masalah ini juga memaksa kita untuk tidak apatis dalam perkembangan politik karena sistem hukum di negara kita amat bergantung kepada tekanan politik mayoritas. Tetapi, yang kita lihat hari ini justru sudut pandang mayoritanisme yang bertesis utama male dominant. Dengan tak lupa bahwa lokus percakapan selalu didominasi mayoritas publik. Di mana publik, sejauh ini hanya menjadi lokus representasi laki-laki. Dalam negara demokrasi, hukum tidak hanya untuk hukum itu sendiri. Hukum berlangsung dengan adanya dialog yang mengikutsertakan lembaga konstitusional dan cabang-cabang pemerintahan, kedaulatan negara, dan masyarakatnya–rakyat Indonesia. Semua itu tentang bagaimana suara yang plural, membuat dirinya terdengar dalam forum terbuka. Seperti republik yang menjadikan percakapan sebagai unsur yang esensial dalam republikanisme berbasis kemanusiaan. Kini, percakapan itu dimatikan. Dalam Hak Asasi Presiden contohnya. Pasal 238 s.d 240, mengatakan untuk mempidanakan siapapun yang mencederai martabat Presiden dan Wakil Presiden. Martabat, adalah kata yang subtil berenergi hak yang murni dan bersih. Hari ini kata itu bermakna yang boleh diperdebatkan secara populis. Dengan adanya niat mengesahkan pasal itu, sama dengan mengiyakan adanya kemungkinan soal martabat yang bisa diartikulasi ulang menjadi hal yang dapat cedera dari perbuatan sekadar cemooh. Tentu ini tak sekadar asumsi tetapi prediksi logis dari sistem politik dangkal kita hari ini. Jadi, martabat seperti apa yang kita ucapkan dalam RKUHP? Pasal-pasal multitafsir seperti ini sampai kapan pun akan sama dengan pasal yang tak bisa ditafsir. Pasal karet baru ini akan berhadapan dengan free speech. Pemerintahan illiberal dalam demokrasi liberal adalah kepandiran optima forma. Sama dengan DPR menghindari kritik, yang keduanya punya konsekuensi negara bercirikan autocracy, anti demokrasi. Montesquieu, filsuf yang menyoal keadilan berpolitik dapat menajamkan argumen ini. Tentang bagaimana keadilan dan kontestasi hukum suatu negara tak bisa serta-merta instrumental, namun dengan membangunkan gairah etik untuk suatu kebaikan bersama yang substantif. Montesquieu saat itu sedang mengkritik monarki dan feodalisme dalam kerajaan. Tetapi relevan untuk mengembalikan energi dan mengkritik negeri ini. (JP) Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |