Dua tahun lalu saya mencoba hal baru dengan bergabung pada klub olahraga setingkat Universitas. Saya bergabung di Unit Selam Universitas Gadjah Mada, melakukan kegiatan penyelaman yang termasuk dalam olahraga paling ekstrem. Olahraga ekstrem dapat dipahami dengan kegiatan yang bisa memacu adrenalin, olahraga ini biasanya fokus pada menaklukkan rasa takut diri sendiri dan menghadapi tantangan alam. Olahraga ekstrem juga memerlukan pendidikan dan keterampilan khusus, bahkan beberapa diantaranya perlu lisensi. Dua tahun bergabung di klub selam membuat saya betah dengan kehidupan organisasi dan kegiatan lapangan bersama banyak teman laki-laki. Bila ditanya mengapa laki-laki? Karena jumlah anggota perempuan dalam klub selam saya lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Saya tidak begitu bermasalah dengan banyaknya laki-laki dalam berkegiatan di organisasi. Namun setiap penerimaan anggota baru, klub selam sedikit kesulitan mendapatkan calon anggota perempuan. Hal semacam ini tidak terjadi hanya pada klub selam, namun juga klub olahraga ekstrem lainnya, misalnya klub pecinta alam setingkat universitas. Dari obrolan dengan ketua klub pecinta alam MAPAGAMA (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada), dari jumlah keseluruhan anggota selama tiga tahun terakhir 2011-2013 yaitu 59 orang, hanya terdapat 11 perempuan. Berawal dari situ, saya kemudian mencari tahu mengapa perempuan, khususnya di universitas saya enggan untuk bergabung di klub olahraga ekstrem. Saya memulai obrolan santai dengan teman yang tidak bergabung pada klub olahraga ekstrem. Salah satu teman laki-laki saya mengatakan sudah biasa bagi laki-laki melakukan olahraga ekstrem, karena kondisi fisiknya bisa dibilang lebih kuat dari perempuan. Menurutnya juga, mayoritas perempuan memang tidak lebih kuat secara fisik dari laki-laki, namun karena ingin menyalurkan hobi, sebagian dari mereka tetap memilih bergabung dengan klub olahraga ekstrem. Anggapan sebagian orang mengenai pembedaan laki-laki dan perempuan perihal kekuatan fisik juga dibenarkan oleh berbagai penelitian ilmiah yang sering saya dengar. Saya teringat pada sebuah diskusi kecil dalam mata kuliah kritik budaya yang saya ambil beberapa waktu lalu. Dalam grup kecil kami berdiskusi mengenai perempuan yang jarang atau tidak dilibatkan dalam “menulis” sejarah. Seorang teman berpendapat, penelitian mengenai perempuan yang mengedepankan emosi ketimbang logika, akan membuat sebuah pengetahuan tidak objektif. Saya mulai merasa tidak nyaman dengan pembenaran yang didasarkan atas penelitian-penelitian ilmiah dengan memojokkan perempuan. Terkadang saya juga mempertanyakan, mungkin saja penelitian itu sengaja dilakukan untuk membuat kita semua terus berpikir bahwa perempuan tidak lebih kuat dari laki-laki, lemah, sehingga tidak layak bekerja berat atau melakukan olahraga ekstrem. Sebagai perempuan, kami hanya pantas dan anggun ketika kami di dapur. Berbeda lagi dengan teman perempuan saya yang juga memilih untuk tidak bergabung dengan klub olahraga ekstrem. Dia mengungkapkan dua alasan yang membuat jumlah perempuan lebih sedikit ketimbang laki-laki dalam klub olahraga ekstrem. Yang pertama yaitu sulitnya izin dari orangtua, serta olahraga ekstrem yang dianggap sebagai kebutuhan laki-laki. Dalam anggapan di masyarakat misalnya, laki-laki dianggap lebih menarik bila mempunyai fisik yang kuat. Namun perempuan tidak diberi stigma seperti itu. Perempuan akan dianggap lebih menarik justru bila mereka tidak melakukan kegiatan atau olahraga yang tidak berhubungan dengan adrenalin, seperti memasak dan menyanyi. Dari obrolan dengan teman yang tidak melakukan olahraga ekstrem dapat saya simpulkan bahwa, anggapan mengenai keterbatasan fisik perempuan menjadi alasan utama minimnya keterlibatan perempuan dalam olahraga ekstrem. Lalu saya mencoba membuktikan kebenaran anggapan tersebut dengan meminta pendapat teman di klub olahraga ekstrem yang juga sering berkegiatan dengan perempuan. Semuanya membenarkan mengenai sedikitnya jumlah perempuan ketimbang laki-laki di klub olahraga ekstrem. Namun sewaktu saya ajukan pernyataan mengenai kekuatan fisik perempuan yang tidak lebih kuat dari laki-laki membatasi perempuan dalam olahraga ekstrem, mereka menolak anggapan tersebut. Berasal dari pengalaman, selama berkegiatan dengan perempuan mereka tidak banyak menemui kesulitan. Sebagian besar latihan yang diterapkan untuk anggota laki-laki dan perempuan juga sama. Ukuran kekuatan atau ketahanan fisik itu didasarkan pada kedisiplinan seseorang berlatih. Banyak juga perempuan yang berprestasi dalam keterlibatannya di olahraga ekstrem. Misalnya, Aryati Larasati yang mendapatkan peringkat ketiga dalam kejuaran olahraga kayak se-Asia Tenggara. Dalam hal ini, teman dari MAPAGAMA UGM bisa berbangga diri karena membuktikan pada kita semua bahwa seorang perempuan bisa melawan stigma atas fisik yang lemah dan tidak lebih kuat dari laki-laki. Saya juga tidak perlu mempertimbangkan berbagai penelitian ilmiah untuk berani mengatakan “Sebagai perempuan, kondisi fisik tidak membatasi saya untuk melakukan olahraga ekstrem!”
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |