m-mulia@indo.net.id
(Disampaikan dalam Diskusi dan Bedah Buku Perempuan dan Terorisme pada 14 Januari 2019 di Jakarta)

Keterlibatan perempuan dalam jaringan dan praktik terorisme tidak dipungkiri ikut berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Kasus Dian Yulia Novi adalah yang pertama terkuak. Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet yang dilakukan oleh calon suaminya saat itu. Kasus ini mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia seorang istri direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber).
Para teroris melibatkan istri-istri untuk ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Tidak hanya itu, fakta yang kemudian terkuak adalah kebutuhan biologis para pemimpin kelompok ini menuntut para istri untuk ikut bergerilya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan barang bukti berupa pil KB dalam pengejaran aparat.
Buku ini juga menjelaskan bahwa istri para teroris mengalami viktimisasi selama perjalanan hidupnya mulai dari proses penangkapan hingga sudah bebas dari jeruji besi. Mereka teralienasi dari keluarga, terkucilkan, rentan dan tidak mampu secara finansial karena tidak bisa mencari nafkah untuk keluarganya akibat pengucilan dan status mantan napi atau bahkan “janda teroris”. Keberpihakan dan perlindungan negara terhadap para istri pelaku kejahatan terorisme sendiri juga terkesan masih tarik ulur.
Buku ini menjadi jendela penting untuk memahami bahwa persoalan terorisme yang melibatkan perempuan melahirkan beragam persoalan sosial lainnya, seperti perkawinan anak, perkawinan sirri, poligami, pengabaian hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang kesemuanya itu berujung pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Tentu hal itu sangat mengganggu pencapaian target SDG’s pemerintah.
Mengapa para perempuan mau terlibat dalam gerakan terorisme? Pertama, rendahnya tingkat literasi menyebabkan mereka terbelenggu dalam pemahaman yang bias gender. Selain itu, tingkat pemahaman keislaman mereka juga sangat dangkal sehingga mudah menerima doktrin yang keliru terkait konsep ketaatan, jihad, kafir, thagut, khilafah, negara Islam dan seterusnya. Karena itu, upaya literasi kesadaran perempuan perlu digalakkan agar mereka tidak mudah terpengaruh doktrin ideologi patriarki dan interpretasi Islam radikal.
Kedua, interpretasi keagamaan yang eksklusif melahirkan sikap dan perilaku intoleran yang membuat mereka dipenuhi rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang yang berbeda. Diperlukan upaya counter penafsiran sehingga interpretasi agama yang sejuk, humanis dan toleran menjadi dominan di masyarakat. Upaya sosialisasi penafsiran yang inklusif ini perlu dilakukan sejak di Pendidikan Usia Dini (Paud). Sangat penting menolak semua bentuk perilaku intoleran sekecil apa pun. Jangan memandang sepele sikap dan perlakuan intoleran terhadap siapapun.
Ketiga, rasa teralienasi dan tersingkirkan dari kelompoknya membuat mereka tidak punya banyak pilihan dalam hidup, sehingga pilihan menjadi teroris merupakan satu-satunya pilihan. Tampaknya perlu mengembangkan budaya-budaya damai dan menghargai sesama, khususnya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Terakhir dan sangat penting, negara perlu mendorong agar interpretasi agama dan pandangan ideologi yang inklusif, demokratis dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan menjadi dominan di masyarakat.