Pagi itu, kedatanganku di sekolah disambut berbeda oleh para guru. “Nah, begini dong. Kalau pakaiannya begini, baru seperti Ibu guru,” kata seorang guru sambil memerhatikan penampilanku dari jilbab hingga sepatu. Lalu diikuti dengan ucapan selamat dari beberapa guru lainnya. “Hehe…berarti sebelumnya saya tidak seperti Bu Guru, ya Bu?” candaku yang diikuti tawa para guru. Yah, sebelumnya, aku mengenakan baju batik atau kemeja yang dipadukan dengan celana kain untuk kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Namun, setelah beberapa siswa dan guru merasa aneh serta mempertanyakan tidak biasanya penampilanku di desa ini, maka jadilah pagi itu aku memakai setelan lengkap baju dinas berwarna cokelat. Semua berawal saat suatu hari kepala sekolah memanggilku ke ruangannya. “Bu Mila, apa Ibu tidak merasa aneh dengan penampilan Ibu?” Sambill tersenyum tipis namun juga dengan wajah sedikit aneh kujawab, “Aneh? Tidak Pak. Memangnya kenapa Pak?” “Di sini (Aceh) tidak ada Ibu guru yang memakai celana. Pasti pakai rok. Anak-anak saja pakai rok. Makanya mereka merasa penampilan Ibu Mila beda. Apa Ibu Mila tidak merasa aneh memakai celana sendiri?” lanjut kepala sekolah. Tanpa ingin memperpanjang masalah, aku pun mafhum dengan seruan itu. Sekolah memintaku memakai baju dinas dan menggunakan rok tentunya. Untuk konteks ini, berdiskusi apalagi berdebat panjang bukanlah solusi. Aku sedang menjalankan misi pengabdian lewat mengajar di daerah terpencil. Bermasalah sedikit, bisa menggagalkan misi besarku. Kutepuk dada, kutelan ludah, lalu sekuat tenaga menahan emosi di dalam diri. Aceh adalah salah satu daerah yang masih mengidentifikasi perempuan lewat formalitas pakaian. Karena daerah ini serambi mekah, religius, katanya. Sayangnya, yang mesti menanggung jargon religius itu adalah perempuan. Segala jejak langkah, perkataan, penampilan, dan seluruh yang melekat pada tubuh perempuan menjadi hal yang patut diadili bersama. Sejak dulu, menjadi pengadilan bersama. Zubaidah Djohar dalam kumpulan puisinya yang bertajuk Pulang Melawan Lupa (2012), dengan sangat baik menggambarkan keterkungkungan perempuan yang dipagari oleh pakaian muslim yang bernama rok. Berikut adalah salah satu kutipan puisi yang berjudul “Negeri Tujuh Ribu Rok”: Di negeri tujuh ribu rok, aku terhenti menebar pandang pada langitr yang tak lagi biru yang bercerita tentang tubuh-tubuh yang dipagari konon katanya, agar pandangan liar tidak menggerayangi agar kerusakan bumi tidak terjadi tapi tahukah engkau wahai pembuat pagar negeri? liar ada di kepala nan tinggi kerusakan bumi juga dari tanganmu yang tak berhati lalu kenapa tubuh-tubuh rentan itu yang kau sekap tiada henti? kau tertibkan demi pengakuan Islamnya negeri Di negeri tujuh ribu rok, aku terhenti Dan bertanya pada penguasa negeri syariat mana yang tengah kau ceritai? karena Sang Pencipta penuh kasih pada insane menyuruhmu berpikir tentang affala ta’qilun dengan hati dan melarangmu berbuat kerusakan di muka bumi ini Dengan menjadikan pakaian longgar semacam rok sebagai ukuran, maka perempuan yang menggunakan jilbab dengan baju dan celana, oleh sebagian masyarakat dipandang sebelah mata, lalu ramai-ramai dihakimi dengan berbagai ucapan yang membakar telinga. Segala dalil agama pun berkumandang. Berbagai istilah pun dibuat tren. Jika dulu, biasa disebut “berjilbab tapi telanjang”, sekarang berganti menjadi “jilboobs”. Semua sama, bermuara pada pengerdilan dan penghinaan pada perempuan. Hei.., come on! Rok atau pakaian muslim dalam bentuk dan dengan nama apapun bukanlah pagar yang menjadi ukuran pembatas—untuk sejarah dan kewajiban menggunakan jilbab atau hijab dapat diperdebatkan panjang tentunya. Bahwa ia sebagai identitas seseorang, iya. Namun bukan ukuran kadar keimanan atau kualitas seseorang. Yang menutup seluruh tubuh tak menjamin lebih baik dari mereka yang telanjang sekalipun. Bukan sebuah sebab-akibat. Mari jernihkan cara berpikir kita. Apakah perkataan dan perbuatan seseorang harus baik dulu baru boleh menutup diri dengan pakaian yang beridentitas muslim? Bagaimana jika ia belum merasa sanggup berjilbab, namun sanggup melakukan kebaikan bagi orang banyak? Haruskah ia menunda perbuatan baiknya hingga ia memakai jilbab? Mengapa kita tak berpikir bahwa mungkin saja ia telah berusaha berjilbab namun belum mampu melakukannya. Coba ingat, sepanjang hidup kita, sudah berapa banyak perempuan yang tak berjilbab atau berjilbab dengan pakaian ketat yang telah menolong kita? Ada berapa diantara mereka yang telah berjuang untuk kebaikan negeri kita? Barangkali lebih bermanfaat jika kita tidak memperdebatkan pakaiannya tetapi fokus pada sumbangsihnya untuk orang banyak. Bahkan Tuhan yang selalu dijual oleh mereka yang menghakimi pun tak pernah memaksakan firmannya kepada manusia. Tuhan sangat paham dengan segala ciptaan-Nya. Ia memberi ruang yang luas bagi hambanya dalam membaca, memecahkan dan menjalankan segala misteri alam semesta. Lalu mengapa kita yang hanya berpredikat hamba merasa paling benar dan berhak mengadili hamba lainnya? (*) Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |