Rosawati (Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan KNPI PK Kesambi Kota Cirebon) [email protected] Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, berdasarkan Instruksi ini maka setiap institusi pemerintah harus mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat, baik pada tahap perncanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya. Kemudian, INPRES ini ditindak lanjuti dengan keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Daerah, yang selanjutnya direvisi dan diganti dengan Peraturan Dalam Negeri No 67 Tahun 2011. Dengan dikeluarkannya Permendagri ini maka tidak ada alasan lagi bagi setiap daerah untuk mengabaikan pengarustamaan gender dalam pembangunannya. Sebagai ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang dilandasi oleh Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing tahun 1995 merupakan suatu lompatan besar pemerintah terhadap upaya penghapusan yang menuju pada kesetaraan gender di segala kehidupan. Landasan Aksi Beijing menyebutkan bahwa isu kesenjangan gender yang dialami perempuan ditengarai terjadi pada 12 bidang kehidupan perempuan yaitu gender dan kemiskinan, pendidikan, kesehatan (terutama reproduksi), ekonomi dan ketenagakerjaan, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, hak asasi perempuan, proses pengambilan keputusan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, lingkungan hidup, media dan anak perempuan. Sejalan dengan itu pula semakin banyak kebijakan yang pro gender. Misalnya tentang UU Perkawinan menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selain itu, untuk mempercepat implementasi PUG dalam pembangunan daerah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh daerah dalam implementasi PUG selama ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, 1) Membuat dasar hukum yang kuat sebagai dasar pelaksanaan implementasi PUG di daerah, mengingat hingga saat ini belum semua daerah memiliki peraturan daerah tentang PUG dalam pembangunan di daerah. 2) Meningkatkan pemahaman dan komitmen pejabat di daerah mengenai PUG dan PPRG. 3) Membuat kelembagaan yang khusus menangani PUG sehingga implementasi PUG dapat berfungsi secara optimal. 4) Meningkatkan kapasitas SDM pelaksana PPRG di seluruh SKPD yang ada di daerah, mengingat PUG harus diimplementasikan di setiap sektor pembangunan di daerah. 5) Menyusun Data Terpilah dan mengintegrasikan penyusunan Data Terpilah dalam pendataan semua sektor pembangunan daerah, sehingga dapat dilakukan analisis gender secara memadai sebelum menyusun program dan kegiatan di seluruh sektor tersebut.[1] Data di atas sebagai dasar banyaknya program pengarusutamaan gender di daerah yang harus dibentuk. Diantaranya, program pemberdayaan perempuan yang banyak dimasukkan dalam program kerja organisasi seperti PEKKA, KNPI, ORMAS, dan LSM. Kemampuan perempuan sebagai sumber instrumen baru dalam pembangunan perlu meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan harus mendalami apa yang sebenarnya mereka hadapi, agar mereka dapat berperan aktif dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk secara maksimal berfungsi sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan di semua bidang dan dalam segenap tingkat kegiatan pembagunan. Demikian pula dalam kegiatan yang tergolong dalam kegiatan perumusan kebijakasanaan dan pengambilan keputusan. Berperan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki dalam pembangunan berarti perempuan harus dapat mengejar berbagai ketertinggalannya dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan, sehingga dapat memberikan jawaban atas permasalahan perempuan di Indonesia. Sayangnya program pemberdayaan perempuan belum menyentuh semua elemen perempuan di ranah domestik, ketergantungan terhadap tugasnya di keluarga membuat sebagian perempuan kurang bisa membagi waktu dan membuat skala prioritas yang adil. Sehingga yang terjadi justru hanya orang-orang itu saja yang berkecimpung di program pemberdayaan perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Dra. Lilis Sri Sulistiani, MM., Dosen Ilmu Administrasi Unsoed yang mengatakan bahwa program pemberdayaan perempuan kebanyakan hanya program turunan dan kurang berinovasi sesuai apa yang terjadi dan dihadapi perempuan di daerah, berbeda di daerah pasti berbeda pula masalah teknis yang dihadapi. Beberapa program tersebut salah satunya adalah pengembangan potensi ekonomi mikro, program yang berjalan tidak berkelanjutan dan tidak ada pengawasan yang masif dari pihak pemerintah dalam menyukseskan tujuannya. Tujuan pemberdayaan sendiri merupakan serangkaian proses yang bertujuan memandirikan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu pemerintah memberikan mekanisme pemberdayaan yang diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan hingga akar permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, program penanggulangan kemiskinan yang telah banyak masuk ke dalam program kerja tidak sepenuhnya dapat memberikan manfaat bahkan tidak diakses oleh masyarakat miskin, khususnya perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan menyebutkan sedikitnya pemanfaatan program pemberdayaan perempuan di tingkat kecamatan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kentalnya budaya patriarki dalam masyarakat, dimana kepala keluarga identik sebagai peran yang melekat pada laki-laki dan umumnya bantuan atau program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan ditujukan dengan unit kepala keluarga. Padahal kemiskinan tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta yang menyatakan bahwa tidak kurang dari 6 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan dan sebagian besar diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan.[2] Bila saja perempuan di sektor domestik dapat diberdayakan maka kesejahteraan bisa tercapai secara maksimal. Program pemberdayaan perempuan berkontribusi dalam menjawab persoalan yang dihadapi perempuan sektor domestik, yang lagi-lagi terjadi adalah aktor yang sama dalam pelaksanaan program pemberdayaan tersebut sehingga kurang banyak menyentuh kalangan perempuan yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi pada sektor domestik. Oleh karenanya perlu adanya peran yang besar yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sebagai aktor dalam program pemberdayaan perempuan tersebut agar dapat menyentuh seluruh perempuan di sektor domestik. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dan upaya meningkatkan partisipasi pada seluruh elemen masyarakat juga perlu dilakukan dengan memberikan kesempatan perempuan yang tidak tersentuh program dapat mengaksesnya. Seperti pelatihan usaha mikro atau pertemuan yang melibatkan perempuan dalam acara rapat warga, agar aparatur desa atau kelurahan mengetahui apa yang menjadi permasalahan yang dihadapi warganya khususnya perempuan. Dengan demikian akan terciptanya kontribusi perempuan yang berarti dan menghasilkan kebijakan yang responsif gender serta anggaran berbasis gender. Catatan Belakang: [1] http://www.komnasperempuan.or.id/2013/11/pengarusutamaan-gender-dalam-kebijakan-pembangunan. Diakses pada 12 april 2015 [2] www.pekka.or.id. 2008 profit program pemberdayaan perempuan kepala. Diakses pada 12 april 2015.
@irvan
25/4/2015 08:06:07 pm
Mantaaaaabb.. (Y) cukup menarik.. lanjutkan dan terus berkarya.. ;) Tunjukan, Perempuan bisa..!! Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |