Olivia (bukan nama sebenarnya) yang dipanggil Oli, gadis kampung yang melahirkan anak lelaki pertamanya sekitar tiga minggu yang lalu. Saya mengetahui hal ini setelah diberitahu oleh ayah saya di kampung. Oli adalah seorang anak dari kampung pedalaman di Kalimantan Barat, yang kebetulan adalah satu kampung dengan saya. Oli saat ini baru berumur 15 tahun, umur yang masih belia, dia berhenti sekolah di bangku kelas VII SMP empat tahun lalu. Jadi, jika Oli masih bersekolah saat ini, ia sudah duduk di bangku kelas X SMA. Namun sayang, nasib baik tidak berpihak kepadanya. Jarak sekolah yang jauh dari kampung, membuatnya enggan untuk pergi ke sekolah, apalagi dengan menggunakan sepeda. Jarak sekolah SMP yang berada di kecamatan cukup jauh dari kampung, sekitar satu jam dengan menggunakan sepeda. Oli bukan anak orang berada. Orang tua Oli bekerja sebagai petani biasa. Ketika memutuskan untuk berhenti bersekolah Oli sempat meninggalkan kampung dan bekerja di Kota Pontianak sebagai penjaga mini market. Dia adalah seorang tamatan SD, mencari pekerjaan di kota sangat sulit. Setelah sekian lama ia bekerja, dengan pengaruh dan pergaulan kota yang tidak terkontrol, sepulangnya ia dari bekerja tahun lalu, membawanya ke dalam masalah besar, Oli hamil. Kehamilannya bahkan tidak diketahui oleh siapapun, setelah lima bulan baru ayah dan ibunya mengatahui. Oli hamil tanpa seorang suami, bahkan hingga saat ia melahirkan. Masyarakat di kampung pun tidak mengetahui perihal kehamilan Oli, lantaran ia sangat jarang keluar rumah. Setelah kandungannya berumur tujuh bulan lebih, petua-petua adat di kampung menjatuhkan hukuman adat karena Oli hamil diluar pernikahan, dan tanpa seorang suami. Oli bukanlah satu-satunya anak perempuan di kampung kami yang hamil tanpa suami. Sebelumnya terdapat kasus serupa yang terjadi pada anak yang bahkan lebih muda dari Oli. Cerita Oli merupakan satu diantara ribuan kisah anak Indonesia lainnya yang mungkin saja berada di pegunungan Marauke, hingga pesisir pantai Sabang. Pernikahan di usia dini, bahkan melahirkan di umur belia merupakan kisah yang tidak dapat di pungkiri dari kehidupan sebagian anak perempuan di Indonesia. Menurut Council of Foreign Relations, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak (Candraningrum, 2016). Tidak terhitung jumlah angkanya, anak-anak usia belia yang sudah dipinang, sudah hamil sebelum menikah, bahkan hamil tanpa ikatan pernikahan. Dan para pemangku kebijakan masih berdiam diri tanpa adanya kekhawatiran yang berarti. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Demikian posisi Oli, yang merupakan korban, serta-merta dijatuhkan hukuman adat di suku Dayak Mali. Hukum adat yang dibebankan kepada seorang anak belia umur belasan tahun, rasanya tidak bertuan. Bahkan dalam hukum pidana dan perdata pun, posisi seorang anak diperhitungkan. Ketika seorang perempuan yang diketahui hamil diluar nikah, maka ketua adat dan pemuka masyarakat suku Dayak Mali cepat mengambil tindakan hukum (Niko, 2016). Posisi anak perempuan yang hamil di luar pernikahan resmi, akan menjadi pergunjingan serta buah bibir masyarakat. Bukan saja di satu kampung, namun dalam lingkup satu desa. Karena seluruh kampung akan di undang dalam upacara adat, jadi secara otomatis satu desa mengetahui pasal kehamilan Oli. Puluhan, ratusan bahkan ribuan anak-anak perempuan di daerah pedesaan Kalimantan menghadapi ancaman menikah di usia muda. Mulai dari anak-anak perempuan yang berada di daerah perkotaan hingga anak-anak perempuan yang berada di daerah terpencil pedesaan. Permasalahan ini seolah-olah tidak ada solusinya. Disisi lain banyak lembaga yang memang menaruh perhatian khusus terhadap anak dan perempuan, seperti Komnas Perempuan, Komnas Anak, KPAI, bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Namun belum ada usaha yang serius dan berarti untuk memutus mata rantai habit (selesai sekolah, nikah!) di pedesaan yang seakan menjadi budaya lama. Tidak ada jalan lain untuk sekolahkan anak-anak perempuan pedesaan. Mereka putus sekolah, kemudian menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Disisi lain karena memang kondisi keluarga mereka yang tidak mampu (miskin), sehingga dengan menikah diharapkan dapat meringankan beban keluarga mereka. Decision maker juga dibutuhkan dalam menyelaraskan keinginan kita untuk menghentikan pernikahan anak di usia dini. Undang-undang perkawinan yang menyebutkan batas usia minimal anak perempuan 16 tahun untuk dapat menikah, bahkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih hanya sekedar formalitas saja. Toh, pada kenyataannya masih banyak praktik pernikahan dini yang terjadi pada anak perempuan di pedesaan, tanpa ada yang menggugat, bahkan dilanggengkan atas nama budaya dan adat. Masyarakat merasa tidak ada yang salah dengan adanya anak perempuan yang menikah di usia muda. Bukankah ini merupakan bentuk konstruksi budaya yang seharusnya tidak lazim? Sehingga harus dihentikan dengan pendekatan budaya (soft) pula. Disamping itu, sangat perlu penguatan akses dan informasi bagi lembaga terkait, misalnya lembaga Dharma Wanita atau PKK. Akses yang dimaksud adalah pemberian pemahaman oleh perempuan-perempuan yang memiliki pendidikan (tinggi) kepada mereka di pedesaan yang notabene banyak yang tidak tamat di bangku sekolah dasar. Namun, pada praktiknya hal ini tidak terjadi. Bahkan semacam terjadi sekat (strata) yang membedakan bahwa terdapat organisasi bagi ibu-ibu pejabat dan lain sebagainya. Sehingga penguatan akses pun non-sense terjadi pada perempuan bawah, yang mana anak-anak perempuan mereka sangat rentan mengalami putus sekolah, menikah usia dini sampai hamil di luar pernikahan resmi. Situasi ini pula yang melanggengkan kemiskinan yang mereka alami. Keterbatasan akses yang kemudian menimbulkan banyak komponen yang tidak terpenuhi. Misalkan saja hak atas pendidikan (the right to education) banyak wilayah-wilayah terpencil yang belum terpenuhinya akses terhadap sekolah, tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan formal dan nonformal yang memadai. Demikian pula akses kesehatan yang baik, tidak mengejutkan jika masih banyak kasus kematian ibu dan bayi di wilayah terpencil. Tidak terpenuhinya akses terhadap fasilitas Puskesmas atau rumah sakit, tenaga medis dan obat-obatan termasuk pelayanan kesehatan, ditambah lagi harga obat-obatan yang relatif mahal bagi ukuran masyarakat pedesaan. Anshor (2016) mengungkapkan bahwa isu lain yang penting terkait perkawinan anak adalah ketiadaan kesempatan pendidikan di sekolah bagi anak-anak yang sudah terlanjur menikah pada usia anak dan hamil. Dalam hal ini, negara merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewajiban dan wewenang sepenuhnya untuk menjamin terselenggaranya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat tanpa adanya diskriminatif. Eksistensi negara bukan dipandang dari anggota dewannya yang rajin berkunjung ke luar negeri, bukan negara yang menghisap rakyatnya (predatory state) atau sarang terjadinya praktik korupsi yang memiskinkan rakyat, namun lebih kepada negara eksis untuk kepentingan rakyatnya. Tentu kesejahteraan inilah cita-cita rakyat, untuk hidup dan menghidupi negara, dan menghilangkan ketidakadilan. Daftar Pustaka: Candraningrum, Dewi. 2016. “Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?”. Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 4-8. Niko, Nikodemus. 2016. “Anak Perempuan Miskin Rentan Dinikahkan: Studi Kasus Hukum Adat Dayak Mali Kalimantan Barat”. Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 83-95. Anshor, Maria Ulfah. 2016. Kerentanan Anak Perempuan dalam Pernikahan Anak". Jurnal Perempuan. Vol. 21, No. 1, Februari 2016. Hal. 116-129. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |