Nadya Karima Melati (Peneliti Sejarah dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC)) [email protected] Judul : PUTIH: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional Penulis : L. Ayu Saraswati Penerbit : Marjin Kiri Edisi : Pertama, Juli 2017 Tebal : 254 halaman Siang itu dua pasang kaki milik saya dan Elena, teman perempuan kulit putih asal Amerika Serikat melangkahi lantai swalayan yang berkilat-kilat menuju rak yang berisi kumpulan pelembab kulit di sebuah pusat perbelanjaan elite di Jakarta. Begitu sampai di rak yang tertuju, Elena terheran-heran menyaksikan berbotol-botol cairan pelembab kulit wanita yang hampir semuanya menyajikan kata-kata yang seragam: putih, cerah dan cantik. Dia mengambil ponselnya, merekamnya dan mengunggahnya ke Instagram lalu dia bersaksi bahwa dia terkejut mengetahui bahwa perempuan Indonesia sangat terobsesi dengan kulit putih dan sulit sekali mencari produk pelembab wanita tanpa mengandung pemutih di dalamnya. Barangkali pengalaman Elena sebagai perempuan yang telah berkelana ke berbagai belahan tempat di dunia menjadi juga keresahan Luh Ayu Saraswati penulis buku Putih: Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional dengan obsesi perempuan Indonesia menjadi putih. Mengapa dan sejak kapan obsesi tersebut dimulai telah diulas oleh Ayu dengan apik melalui analisis yang ciamik dalam buku yang berjumlah lebih dari 250 halaman tersebut. Buku ini berasal dari penelitian berjudul Seeing Beauty Senceing Race in Transnational Indonesia di tahun 2013 dan mendapat ganjaran buku terbaik dalam Gloria Anzaldua Book Prize dari Women’s Studies Association. Penelitian ini kemudian diterjemahkan oleh Ninus D. Andarnuswari dan diterbitkan menjadi buku bacaan populer kritis oleh Marjin Kiri pada Juli tahun 2017. Buku ini berusaha menjelaskan bagaimana globalisasi dan perasaan emosi menjadi penting dalam konstruksi putih yang diidamkan perempuan Indonesia. Pendekatan sejarah menjadi penting dalam melihat bagaimana warna kulit cerah diidam-idamkan. Melalui periodisasi Ayu membagi pembahasan atas konstruksi kulit putih berdasakan tiga babak kekuasaan politik yang umum dipakai sejarawan untuk membagi periodisasi di Indonesia yakni masa Tradisional, Kolonial Belanda dan Jepang, serta memadatkan periode kekuasaan Republik Indonesia menjadi satu bab khusus di bawah Pemerintahan Revolusi, Orde Baru dan Reformasi. Namun yang menjadi inti dalam buku ini ialah ‘Putih’ yang dianalisis dalam konsep-konsep globalisasi, emotionscape dan media studies yang dijelaskan dalam dua bab seterusnya. Obsesi pada Kulit Putih dalam Kemelut Sejarah Buku ini dimulai dengan penjelasan mengapa putih sebagai warna yang dipilih dan bukan warna lainnya dan bagaimana perempuan sebagai manusia dan seks yang dibebankan kewajiban untuk menjadi ‘cantik’. Pendekatan khas feminis yang membahas emosi dipilih untuk menjelaskan fenomena obsesi warna terang pada kulit perempuan. Sebelumnya obsesi menjadi putih dianggap sebuah gejala transnasional yang melanda hampir seluruh perempuan di muka bumi ini, perempuan-perempuan ini terpisah oleh batas kekuasaan negara, rentang waktu ratusan tahun dan pengalaman yang berbeda-beda namun bermuara pada satu keinginan: menjadi putih. Ayu mencoba menjelaskan dengan ruang lebih kecil yakni negara Indonesia dan menelusuri karya Ramayana untuk melihat bagaimana warnaisasi telah mendahului dan mendasari rasisme. Persyaratan perempuan untuk berkulit terang dibuktikan dalam deksripsi kisah Ramayana yaitu perempuan dianggap cantik apabila terang serupa cahaya bulan dan pada masa itu tentunya emosi yang melandasi keinginan unutk menjadi putih dalam kisah Ramayana adalah cinta, menjadi perempuan yang dihasratkan untuk beranak pinak. Tesis ini membatalkan pendapat arus utama bahwa keinginan perempuan di seluruh dunia menjadi putih disebabkan karena kolonialisme Eropa. Kekuasaan negara dan pembentukan identitas bangsa juga berpengaruh pada konstruksi kecantikan perempuan. Sebagaimana perempuan selalu dijadikan simbol dari bangsa karena memiliki rahim yang berguna memproduksi warga negara. Kecantikan perempuan dan kewajiban memiliki warna kulit terang diintervensi dengan kedatangan kolonial dari ras kaukasia Eropa yang menjadi superior dalam hal kekuasaan dan kecantikan. Segregasi kelas dan politik apartheid turut memengaruhi konsep “cantik” selama masa kolonial Belanda. Di sinilah terjadi penggabungan antara warna kulit dan kelas. Melalui iklan dan kolom-kolom kecantikan pada awal abad ke-20 termasuk pada penjajahan Jepang, Ayu melihat apa dan bagaimana wacana ras dan kulit terang menjadi sebuah kesatuan yang diserap oleh penduduk kelas atas wilayah yang akan menjadi Indonesia dan menjadi sesuatu yang diidamkan. Proyek rasial obsesi menjadi putih pada masa ini tidak terbatas pada perempuan, terbukti ditemukannya model lelaki untuk krim pemutih. Emosionologi kolonial menjadi kunci untuk memahami karena perbedaan warna kulit di mulai yang kemudian menjadi aparatus afektif untuk menandai identitas. Warna kulit memberikan perasaan yang berbeda dalam interaksi antara kamu, kita dan mereka yang nantinya mengatur seluruh kehidupan mulai dari wilayah interaksi, pekerjaan dan jenis relasi sosial yang diperbolehkan. Putih kaukasia yang menjadi puncak idaman para lelaki dan perempuan di masa kolonial Belanda kemudian berubah menjadi putih Asia setelah beralihnya kekuasaan politik Belanda ke Jepang. Putih kaukasia tidak lagi menjadi superior namun sebaliknya putih Jepang yang muncul sebagai penanda zaman bahwa kali ini bangsa yang dianggap ‘saudara tua’ yang berkuasa dan dimunculkanlah perempuan Jepang dan Indonesia yang ‘kebarat-baratan’ sebagai perempuan ideal. Tak luput Ayu juga melacak bagaimana warnaisasi terang masa tradisional berubah menjadi warna putih yang terhubung pada ras pada masa kolonial dengan melacak bagaimana orang Jepang mendefinisikan warna terang kulitnya yang pada awalnya memang mengacu pada ras Barat. Terjadi penyatuan ketika warna kulit terang berintegrasi menjadi sebuah pemahaman tentang sebuah bangsa dari ras yang unggul. Pada awal abad ke-20, ketika tren pendirian negara-bangsa, di sini warna kulit dan rasisme dibentuk dan tiap intelektual negara mulai mengonstruksi identitas kolektif melalui ciri fisik termasuk warna kulit. Pada masa kolonialisme dan pendirian negara-bangsa ini pemerintah Jepang mengakhiri representasi dunia Barat sebagai yang superior, diciptakan pula warna putih baru yang lebih mengunggulkan identitas kebangsaan walau sesungguhnya hasrat untuk mengakui ras Barat sebagai yang lebih unggul tidak bisa sirna dengan praktik cat rambut pirang. Pembentukan identitas bangsa dan perasaan nasionalis memengaruhi penciptaan warna putih yang baru, yaitu putih Asia yang berbeda dengan putih kaukasia, bahwa Asia bisa menjadi putih (superior) tanpa harus menjadi kaukasia. Melalui pembentukan identitas negara-bangsa, ciri fisik sebagai pemersatu dan idealisasi muncul sebagai suatu yang politis dan publik karena mencerminkan identitas kebangsaan. Perempuan sebagai representasi sebuah bangsa lagi-lagi dibebani untuk menjadi yang ideal. Idealisasi warna kulit putih memulai lagi babak baru negara yakni globalisasi dan masuknya investasi asing. Kini, ketika manusia dan barang bebas melintasi batas-batas negara, putih kosmopolitan digunakan sebagai citra ideal yang wajib dimiliki perempuan dan perempuan Indo (campuran antara bangsa Indonesia dan kulit putih) dan dianggap yang superior karena mewakili ke-transnasional-an. Melalui majalah Cosmo terbitan Indonesia yang hanya dibaca oleh kelas menengah-atas, Ayu membedah bagaimana iklan pemutih kulit berusaha meyakinkan pembacanya untuk menginginkan putih yang mereka tampilkan. Iklan-iklan pemutih menampilkan gambar dengan narasi yang hampir seragam, perempuan Indo atau memang perempuan kulit putih yang menyajikan kecantikan yang berasal dari sebuah tempat di Perancis atau di tempat lain di luar Indonesia. Berharap pembaca membayangkan dan membangkitkan rasa bahagia telah menjadi perempuan yang melintasi batas negara. Buku ini menekankan juga mengapa perempuan Indo dipilih sebagai representasi perempuan Indonesia yang cantik danarna kulit putihnya menjadi yang ideal. Meminjam analisis Becoming White yang telah ditulis sebelumnya oleh Aquarini Prabasmoro, Indonesia menganggap diri mereka bukan bagian dari budaya warna kulit sebagai putih atau hitam dan iklan menampilkan perempuan-perempuan Indo sebab dia telah menjadi sosok yang putih dalam budaya yang bukan putih. Perempuan Indo yang mampu menjadi putih sekaligus bukan putih berfungsi sebagai kekuatan subversif (hal 131). Subversif yang bermaksud untuk menjadi putih yang bukan kaukasia dan global, menolak kendali atas ras kaukasia bahwa mereka bukanlah satu-satunya putih yang ada (hal 132). Kiasan spasial juga muncul terus menerus dalam iklan-iklan produk pemutih guna memunculkan afek harapan bahagia terhadap lokasi-lokasi yang dipilih baik wilayah negara Indonesia atau lainnya. Afek: Jual-Beli Emosi dalam Pasar Bebas Buku ini ini seperti buku-buku Marjin Kiri lainnya, terjemahannya baik sekali dan walaupun tema kecantikan dan kulit putih sudah terlalu banyak dalam diskursus feminisme di Indonesia, Luh Ayu Saraswati memberikan analisis yang lebih berbobot. Pendekatan afek yang dipilih karena emosi dipandang rendah dalam dunia akademis dan upaya justifikasi empiris dalam proses produksi pengetahuan mengenyampingkan pendekatan soal emosi ini. Berpikir melalui emosi dianggap feminin, dengan demikian direndahkan nilainya dibandingkan dengan berpikir melalui pikiran nasional (hal 220). Padahal, setiap sejarah yang ditulis tentunya menyertakan emosi guna melekatkan pembaca atapun guna kekuasaan lainnya. Pada Bab-bab selanjutnya membahas tentang mengapa perempuan melakukan ritual pemutihan kulit, Ayu menjelaskan bahwa ada pengaruh dari perasaan menjadi cantik dan bahagia yang disodorkan iklan pencerah kulit. Emotionscape menjadi kunci penting dalam memahami buku ini, emotionscape adalah penekanan tentang pentingnya emosi dalam proses-proses transnasionalisasi dan globalisasi. Emosi yang dilekatkan pada subjek/objek ini ikut berkelana bersama mereka dan menghadirkan ruang-ruang yang transnasional. Iklan-iklan yang menjadi medium Ayu untuk menelaah budaya putih memperlihatkan bagaimana emosi dipresentasikan dan disirkulasi dalam budaya visual dan untuk tujuan afektif tertentu (hal 222). Emosi yang dibawa dari visualisasi warna kulit yang dipilih Ayu adalah rasa malu. Bagaimana rasa malu itu mengontrol perempuan Indonesia dan mendefiniskan dirinya sebagai perempuan yang diinginkan atau tidak diinginkan. Melalui survei di Jakarta dan Balikpapan juga Ayu mengumpulkan responden tentang pengalaman berbagai perempuan untuk menjadi putih. Bahwa warna kulit putih adalah sebuah modal untuk meraih kapital ekonomi. Putih adalah sarana untuk meraih kapital ekonomi dan apabila kapital ekonomi telah dicapai, maka rutinitas pemutihan kulit dihentikan (hal 212). Putih kosmopolitan juga bermakna sebagai penanda, tubuh rasial yang ditandai dan warna putih yang diimpikan adalah sebuah kualitas virtual yang tampak nyata tetapi sesungguhnya tidak nyata. Kekurangan buku ini nampak dari keterbatasan ruang untuk menjabarkan begitu banyak hal membuat beberapa banyak hal menjadi butuh dibahas lebih lanjut. Upaya untuk menggunakan dokumen-dokumen sejarah untuk mengumpulkan bukti melihat konstruksi kecantikan dan dengan seperangkat teori terkini untuk menganalisis pantas diganjar apresiasi dengan penghargaan. Paradigma yang dipakai cukup kritis tapi tidak dengan temanya. Tema kecantikan Asia memang seksi untuk dikaji dan diperbicangkan karena Indonesia adalah yang eksotis itu sendiri. Apalagi kecantikan yang dimiliki perempuan kelas atas dan menengah karena mereka lah perempuan yang visible di mata global dan mampu menjadi seorang warga negara dunia ketika perempuan-perempuan dari kelas bawah menghadapi permasalahannya sendiri. Pendekatan sejarah tidak diiringi dengan perubahan epistemologi untuk mempertanyakan siapa itu perempuan atau bagaimana segregasi perempuan kelas atas dan menengah mampu menciptakan kultur yang berbeda dalam satu pandangan tentang obsesi kulit putih. Analisis bagaimana dampak perempuan apabila tidak mematuhi idealisasi kulit putih seperti kekerasan atau tindakan yang ditimbulkan akibat pembangunan emosi luput diceritakan. Walau begitu karena disajikan dengan bahasa dan tema yang populer, buku ini layak dibaca guna memperkaya teori-teori ilmu humaniora mutakhir. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |