Ahmad Riyadi (Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang bekerja sebagai asisten di KPI Pusat) [email protected] Atnike Nova Sigiro berkesempatan hadir dalam gelaran “Evaluasi Dengar Pendapat” yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Rabu (6/3). “Evaluasi Dengar Pendapat” adalah proses lembaga penyiaran untuk mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), baik bagi pemohon baru ataupun perpanjangan. Kapasitasnya sebagai Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, tentu Atnike cenderung membahas persoalan perempuan dalam layar kaca. Ia bahkan dengan tegas menanyakan, strategi apa yang akan dilakukan dalam upaya pengarusutamaan gender terhadap Lembaga Penyiaran. “Perlu ada strategi untuk pengarusutamaan gender dalam layar televisi”, ungkapnya sebagaimana dikutip di situs KPI. Representasi penulis terhadap pernyataan di atas, adalah berkaitan dengan perempuan di layar televisi. Pengarusutamaan gender yang dimaksud ialah soal bagaimana perempuan menjadi objek dari eksploitasi dalam media, termasuk televisi. Idealisasi Kecantikan Menyoal pengarusutamaan gender di media ini melambungkan ingatan penulis tentang idealisasi kecantikan dalam buku bertajuk Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati. Sebuah buku yang menguliti relasi kuasa kecantikan dalam hubungannya dengan transnasionalisme, rasialisme, warna kulit dan gender melalui emosi dalam pencitraan yang menggambarkan kecantikan. Pertanyaannya kemudian, mengapa kecantikan? Ayu dalam bukunya menjelaskan bahwa ideologi kecantikan digunakan sebagai lensa kritik untuk mencermati bagaimana putih (whiteness), saat dipandang, diartikulasikan, dan dibingkai dalam gagasan mengenai kecantikan perempuan mendapatkan maknanya. Jika demikian, maka kecantikan sebenarnya adalah penerimaan terhadap sesuatu yang dikontruksikan cantik. Sebuah kerja hegemoni itu berlangsung melalui kekuasaan-kekuasaan yang berada di belakangnya. Di Indonesia, cantik yang ideal berubah-rubah sesuai dengan rezim kekuasaan di tangan siapa. Saat jepang berkuasa, maka ideal kecantikan yang diberlakukan Belanda (Eropa) tetiba hilang, begitu juga seterusnya, hingga kecantikan itu ideal menurut kacamata kosmopolitan. Mundur ke belakang, di era kerajaan, kecantikan sudah mempunyai normanya sendiri. Dalam hal ini, seperti potret yang digambarkan Ayu, adalah penggambaran Sita dengan terang lalu Rahwana, makhluk jahat yang gelap. Epos-epos ini kemudian dikonstruksi sedemikian rupa menjadi norma kecantikan. Dalam fitur media, idealisasi kecantikan ini bisa dilihat dalam sejarah Indonesia. Majalah berbahasa Belanda seperti Bataviaasch Niusbland, de Locomtief dan Java Bode menampilkan perempuan China, Liem Titie Nio yang digambarkan dalam lanskap nasionalisme dan isu-isu politik lainnya, sebuah majalah yang pada mulanya membahas isu-isu rumah tangga belaka. Terbitan-terbitan kolonial ini mengafirmasi bukti kecantikan yang direpresentasikan oleh perempuan berkulit Kaukasia, sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan dominan. Juga lonjakan penggunaan sabun Lux sebagai produk ideal kecantikan yang kembali menegaskan ideal kecantikan itu adalah Kaukasia, disusul reproduksi film Amerika pada 90-an seperti tampilnya Irene, Deanna Durban dan semacamnya. Sebuah analisis yang menarik dan kritis tentang pesona kecantikan juga tergambar dalam buku karya Naomi Wolf dengan judulnya Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Beberapa catatan penting ini adalah bagaimana mitos kecantikan itu menghambat gerak perempuan dan bagaimana perempuan mendapatkan diskriminasi hanya sebab persoalan kecantikan. Ramah Perempuan Apa yang kemudian terjadi dalam ruang evaluasi itu, tidak bisa dianggap sebagai tanda-tanda malaikat turun dari langit untuk berpihak terhadap perempuan. Itu hanya sekadar masukan di tengah gegap gempita yang melanggengkan perempuan untuk melulu menjadi objek komersial dan kebudayaan yang patriarkal. Betapa tidak, kehadiran perempuan dalam layar kaca diantara kutukan dan harapan. Saat beberapa lalu, rimbun protes terhadap iklan perempuan berbalut pakaian mini yang menuai polemik dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi, kita dianjurkan pada tataran norma kepantasan yang sempit, tetapi di saat yang bersamaan objek yang dijadikan bintang adalah perempuan dengan ideal kecantikan yang digandrungi, misalnya standar kecantikan perempuan di Korea. Dari sini kita bisa menilai bahwa kecantikan idealnya adalah mereka yang datang dari Korea. Tetapi juga dikutuk karena tampilan baju mini. Potret ini hanya potongan-potongan belaka. Masih banyak ditemukan konten-konten di layar televisi, yang menghinda dan merendahkan tubuh perempuan hanya karena perbedaan fisik, baik dari bentuk tubuh atau warna kulit. Penghinaan ini nyata dan kasat hanya untuk meledakkan emosi-emosi gelak tawa, dan tentunya rate yang diharapkan oleh stasiun televisi. Menghadirkan televisi yang ramah perempuan tentu membutuhkan perjuangan yang tidak singkat. Ia tidak hanya melibatkan agen televisi, tetapi juga regulasi yang detil dan berperspektif emansipatif, memihak terhadap perempuan serta pengayaan literasi bagi masyarakat Indonesia, tentu saja tentang kesetaraan gender. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |