Kita bisa memandang dari dua sisi yang berbeda untuk menyikapi batal tayangnya sinema Fifty Shades of Grey ke Indonesia atau yang biasa disingkat 50SOG. Satu, bersyukur karena 50SOG menampilkan tayangan yang para penulis dan penggemar sebut BDSM dan konten seksualitasnya memang cukup sulit untuk masyarakat kita yang masih menabukan seks. Kedua, sedih karena film ini cukup populer dan menjadi bagian dari globalisasi, kita sebal dengan sikap masyarakat yang menabukan seks dan memandang seksualitas dalam sinema tersebut sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Saya tidak akan banyak menyinggung tentang konten 50SOG di tulisan ini, saya hanya ingin berkomentar perihal ramainya jokes menyindir 50SOG di dunia maya berupa meme yang nyaris tidak bisa dihitung lagi melalui 9gag.com. Situs 9gag.com adalah situs jokes internasional yang berupa gambar atau meme. Jokes yang menyasar secara visual gambar dan tulisan, secara fungsi meme memang bersifat sebagai hiburan.
Uniknya, 50SOG sebagai fenomena ditentang oleh para laki-laki. Melalui meme-meme yang saya contohkan di pembuka tulisan ini, terlihat gender dan jenis kelamin pembuat meme. Fenomena meledek 50SOG oleh para laki-laki ini penah terjadi ketika Novel Twilight Saga karya Stephenie Meyer dibuat dalam versi layar lebar. Walau ketika kemunculan perdana Twilight tidak mendapat serangan berupa meme, para laki-laki menolak dengan tegas Twilight yang menurut mereka cerita dan tokohnya tidak masuk akal. Laki-laki tidak mengerti mengapa para perempuan menggandrungi cerita picisan tersebut dan kita perempuan tidak mau memahami mengapa para laki-laki membenci kedua film tersebut. Baik Christian Grey dan Edward Cullen tokoh utama laki-laki dalam kedua film tersebut dianggap membuat standar maskulin yang tidak realistis. Mana mungkin seorang pria bisa punya kekuatan berlari atau mengangkat barang seperti Superman dan menggunakan hal itu hanya untuk menolong wanita yang pada kedua sinema tersebut pasif, pendiam dan suka memberi kode-kodean. Grey seorang Milioner yang bertampang bak model pakaian dalam yang para pria menganggap tidak mungkin hal itu bisa dilakukan. Baik Grey dan Cullen mengunakan kekuatan uang ataupun fisik untuk membuat gadis pujaannya berada dalam genggamannya. Dan si gadis dibiarkan takluk dan menurut. Para pria tidak menyukai standarisasi seperti Grey ataupun Cullen, mereka tidak mau dipaksa untuk jadi serba bisa dan selalu tampan. Selain itu, jalan cerita kedua sinema tersebut punya tipe yang sama, a Cinderella stories, perempuan biasa saja yang mendapatkan pria kaya. Mereka, para pria lelah dituntut untuk menjadi super duper kaya dan bisa membeli perusahaan tempat si perempuan idaman bekerja, karena untuk mengurus dirinya saja mereka sudah pontang-panting. Para laki-laki sudah menolak untuk mengikuti standar yang dibuat media untuk dianggap menjadi tampan dan maskulin. Bagaimana dengan kita perempuan? Ketika ada sinema yang membuat si tokoh utama pasif dan berpendidikan rendah dengan wajah dan tubuh supermodel apa kita menolak mereka seperti yang dilakukan para pria? Tidak, kita justru terjebak dan menyukai si tokoh, kita mendambakan untuk menjadi si tokoh utama yang cukup dengan modal wajah cantik, tubuh langsing dan pasif bisa mendapatkan pria kaya raya hidup bahagia selama-lamanya. Kita mau saja dihipnotis media untuk mengikuti standar cantik berkulit putih seperti yang ditampilkan model iklan losion di televisi ataupun majalah. Kita tidak marah dan menuntut balik pria melalui meme menolak penggambaran seksi yang harus seperti Megan Fox dalam film Transformers. Kita malah terobsesi dan mengikuti standar imposible tubuh dan wajah Megan Fox dengan diet yang ketat tanpa olahraga dan baca buku. Padahal jika kita mengamati film kesukaan laki-laki, Transformers atau Iron Man, sosok perempuan idaman mereka adalah yang tangkas, aktif, berani dan cerdas seperti Pepper dan Mikaela. Para laki-laki memang melihat maskulinitas sebagai kewajiban tetapi mereka menolak standar-standar mustahil yang dibuat. Sedangkan perempuan, masih dipilihkan untuk menentukan kewajiban cantik yang tidak pernah selesai. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |