Melintaslah ke kawasan Sudirman dan Setia Budi pada pukul empat sampai lima sore, maka kalian akan menemukan perempuan berkaki besi menggunakan high heels dan rok pendek, dengan pakaian eksekutif mentereng berjalan kaki menuju stasiun, halte Trans Jakarta atau metromini, taksi dan berbagai kendaraan lainnya, untuk pulang ke rumah masing-masing. Tidak dipungkiri, semakin hari semakin deras arus perempuan memasuki ruang-ruang publik. Era reformasi memungkinkan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan sama seperti laki-laki. Untuk kelas menengahnya kita bisa melihat barisan perempuan kaki besi di perkantoran Jakarta, untuk kelas bawah kita bisa berjalan ke pinggir, mengalihkan pandangan kita ke kota-kota penunjang yang menjadi kawasan-kawasan pabrik seperti Bekasi, Cibinong, Tangerang untuk melihat buruh-buruh pabrik perempuan bubaran pabrik[1] dan akibatnya, angkot berjejer berbagi lahan dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, yang membuat macet lalu lintas di sekitar. Pengusaha ternyata lebih menyukai perempuan untuk dipekerjakan, karena perempuan dinilai lebih ulet, tekun, dan mudah diatur, disamping untuk menjunjung kesetaraan gender[2]. Alasan lainnya mempekerjakan perempuan adalah karena perempuan mau dibayar murah. Jika mempekerjakan laki-laki berarti mempekerjakan kepala rumah tangga yang menanggung beban seluruh keluarga, berbeda halnya mempekerjakan perempuan yang dianggap hanya menanggung dirinya sendiri. Ketika mereka cuti hamil dan menyusui atau jika mereka single yang kemudian menikah, maka beban dan tanggung jawab akan dilimpahkan ke suami dan mereka akan mengundurkan diri, jadi perusahaan dengan mudah melepas mereka dan merekrut yang lebih baru dan mau dibayar murah. Perlahan tapi pasti, dan jika sejarah berjalan linier, akan timbul pergeseran di ruang publik dan privat. Beban ganda yang selama ini dilimpahkan pada perempuan akan mulai bergeser dan akan muncul pergeseran peran antara perempuan dan laki-laki di ruang publik dan privat. Tentu saja hal ini harus diamati betul oleh pemerintah dalam membuat kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan perbankan harus memperhitungkan posisi perempuan sebagai kepala rumah tangga. Pembelian rumah melalui KPR atas nama perempuan dan pinjaman ke bank atas nama perempuan harus dimungkinkan karena kini lebih banyak perempuan bekerja. Persoalan upah dan kontrak kerja di kalangan pegawai dan buruh perempuan yang kebanyakan berstatus pekerja kontrak harus diawasi dengan ketat karena telah dimulai pengambilalihan peran pencari nafkah sehingga hak-hak perempuan pekerja harus diperhatikan betul. Laki-laki sendiri bagaimana? Akibat dari feminisasi buruh, laki-laki apabila ia terdesak dan tidak lagi mendapat kesempatan untuk bekerja, maka ia harus mengalah masuk ruang privat, berperan sebagai bapak rumah tangga. Harus mau bertukar peran. Karena apabila perempuan dibuat untuk menjadi superwomen, maka merujuk pada teori The Selfish Genes dari Dawkins, gen laki-laki tidak akan sintas karena dianggap lemah. Maka laki-laki, bisa saja punah. Acara televisi tentang masak-masak misalnya, dulu ada Rudi Chairuddin dan Bara Patiradjawane, sekarang Farah Quinn dan Marinka menjadi ikon masak memasak. Bukan, ini bukan gerakan feminisasi tapi justru efek dari feminisasi ruang publik. Penonton acara masak memasak tidak lagi para perempuan tetapi para pria sehingga televisi pun harus memberikan pengisi acara yang menarik bagi pemirsanya. Kemudian, jika laki-laki berada di ruang privat, akankah mereka rentan terhadap kekerasan? Mungkin hal ini dapat terjadi jika perempuannya yang justru bersikap patriarkis. Bila demikian yang terjadi, maka kita hanya bertukar peran akibat gerakan feminisme tetapi tidak mencabut patriarki dari tempatnya bernaung. Dengan kata lain perempuan berhasil memasuki ruang publik tapi justru perempuan melakukan pelecehan terhadap laki-laki karenanya. Dalam situasi demikian, sesungguhnya patriarki masih bersemayam dalam tubuh kita. Catatan Belakang: [1] Bubaran Pabrik adalah istilah yang dipakai penduduk setempat untuk menjelasakan kemacetan akibat jam pulang buruh. [2] Istilah menjunjung kesetaraan gender dengan konotasi negatif menjadi lazim digunakan para pengusaha untuk mengemukakan alasannya lebih menyukai merekrut perempuan sebagai pegawai dibandingkan laki-laki.
1 Comment
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |