Latar belakang kemunculan Feminisme Postmodern tidak dapat terlepas dari pemikir seperti Jacques Derrida dan Jacques Lacan. Hasil pemikiran tersebut dikembangkan oleh kelompok feminis dengan gaya yang mendukung pada kesetaraan perempuan. Muncul tokoh feminis seperti Hélène Cixous, Luce Irigaray dan Julia Kristeva. Feminisme Postmodern hadir sebagai kelompok kontemporer. Tujuan dari kelompok Feminisme Postmodern berusaha menolak gagasan phallogosentris, kondisi yang berkaitan dengan ide dan perilaku yang dikuasi oleh laki-laki. Gagasan phallogosentris muncul karena terkait dengan phallus sebagai simbol kekuatan. Cara kerja pemikiran kalangan Postmodern berusaha melampaui konsep eksistensialis Simone de Beauvoir tentang liyan. Bagi mereka, liyan merupakan kondisi yang lebih dari sekadar pada inferioritas dan ketertindasan, melainkan ada pada cara berada, berfikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas, dan perbedaan (Arivia, 153). Sejak awal, pemikiran kelompok postmodern juga berusaha melawan stereotip sistem sosial tentang perbedaan seksual. Perbedaan tersebut merupakan hasil manipulasi masyarakat. Manipulasi tersebut menghasilkan dominasi atas kelompok yang satu kepada lainnya melalui sistem sejarah dan kultur (Humm, 193). Secara khusus, Hélène Cixous sebagai salah satu pemikir Postmodern, fokus melakukan perlawanan dominasi melalui bahasa (tulisan) yang berkembang di masyarakat. Cixous tidak dapat menerima konsepsi bahwa tulisan dan pemikiran maskulin dianggap lebih berkuasa. Karena, posisi itu cenderung membawa laki-laki pada kondisi yang lebih menguntungkan dari pada perempuan. Tulisan yang berpusat pada maskulinitas membawa dampak pada negasi aktivitas laki-laki, yang cenderung mengenyampingkan perempuan, atau dalam konsep eksistensialis, perempuan menjadi “Liyan”. Konsep ini juga diambil Cixous untuk menggambarkan posisi perempuan dengan bahasa yang selama ini dikuasai laki-laki. Akibatnya, perempuan menjadi sosok yang terpinggirkan karena bukan menjadi bagian utama. Melalui karyanya, Cixous berharap agar setiap perempuan memiliki keberanian fundamental untuk membebaskan diri dari konstruksi maskulinitas. Keberanian tersebut dapat diwujudkan melalui tulisan maupun teks. Cixous berkeyakinan bahwa dengan kemampuan perempuan, mereka dapat berpindah posisi dari “yang tidak dapat dipikirkan dan tidak terpikirkan, menjadi sosok yang ada dan dianggap keberadaannya (Tong, 292). Hal itu dapat terlihat dari upaya yang dilakukan oleh para penyanyi perempuan seperti Beyonce, Lady Gaga hingga Meghan Trainor. Penyanyi perempuan tersebut masing-masing memiliki gaya, aksi pangggung hingga lirik lagu yang diciptakan dari hasil pemikiran dan pengalamannya. Melalui karyanya, mereka ingin memperlihatkan bahwa perempuan merupakan sosok yang ada. Mereka juga memberikan pandangan kebebasan kepada perempuan agar tidak terbelenggu pada konstruksi sosial yang maskulin. Cixous menganggap bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki ada pada sisi perbedaan seksualitas dan linguistik (Humm, 195). Perempuan selalu diasosiasikan dengan kelompok “liyan” atau hal yang bersifat negatif dalam setiap hierarki hubungan berdasarkan konstruksi dari masyarakat. Oleh sebab itu, kemampuan penyanyi perempuan dalam menarasikan kondisi dan perbedaan istimewa yang dimiliki perempuan, mampu untuk mengubah simbol bahasa yang bersifat maskulin. Seperti halnya Cixous dalam karyanya berjudul The Laugh of the Medusa, karakter Beyone, Gaga dan Meghan berikut ini menggambarkan sisi erotis, dinamis hingga images baru tentang perempuan yang diwujudkan dalam karya seni lagu (lirik). Lady Gaga dengan penampilan yang nyentrik dan selalu kontras dengan norma yang selama ini ada. Ia berusaha hadir dengan menggambarkan sisi feminin sesuai dengan konsepnya. Gaga ingin mendobrak konstruksi sosial yang selama ini dianggap sebagai tatanan kaku oleh masyarkat. Padahal seperti penjelasan sebelumnya, konstruksi itu ada karena konsep maskulinitas untuk mendominasi perempuan sebagai sosok terpinggirkan. Karya Lady Gaga sebagai sosok perempuan yang berani membela setiap orientasi seksual tertulis dalam lagu berjudul I Was Born This Way. Berikut merupakan petikan lirik karya Lady Gaga:
Lirik ditulis oleh Lady Gaga bersama rekannya ingin merespons konstruksi sosial heteronormativitas. Ia juga mengajak perempuan untuk berani dan menghargai diri sendiri, bukan menjadi sosok yang tergantung dengan laki-laki. Dengan upaya yang dilakukan Gaga, keyakinan Cixous tentang perubahan perempuan dari yang tidak dapat dipikirkan dan tidak terpikirkan dapat menjadi sosok yang ada dan dianggap keberadaannya. Sebab, ada keberanian mendobrak kondisi baku masyarakat. Tidak berbeda dengan karya Lady Gaga, lirik lagu milik Beyonce juga sangat tepat menyasar konsep perempuan sebagai sosok diri yang independen. Ia juga menggambarkan bahwa perempuan merupakan sosok yang cerdas dan memiliki kemampuan lebih dibanding laki-laki. Pemikiran itu dituangkannya dalam lirik berjudul Girls Run The World berikut ini:
Lirik lagu yang ditulis dan dinyanyikan oleh Beyonce menggambarkan betapa perempuan memiliki kehebatan dalam pengasuhan dan urusan bisnis sekaligus. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Cixous mendorong perempuan dengan kekuatannya tidak lagi menjadi sosok “Liyan” baik secara pola pikir, cara berbcara, keberadaan dan lainnya. Selain Gaga dan Beyonce, penyanyi perempuan muda bernama Meghan Trainor muncul dengan konsep perempuan yang tampil dan menerima kondisi dirinya. Secara fisik, Meghan penyanyi bertubuh gemuk. Namun, kondisi tubuh tersebut justru dimanfaatkan oleh Meghan untuk mengajak perempuan agar tidak minder. Ia menunjukkan kepada perempuan bahwa fisik ideal merupakan konstruksi sosial yang hanya ingin memenuhi kepuasan laki-laki atau masyarakat sekitarnya. Melalui lagu berjudul All About The Bass, Meghan menunjukkan kepada perempuan untuk lepas dari bentukan sosial tentang fisik dan mengajak setiap perempuan untuk tidak khawatir dengan ukuran dan bentuk tubuh yang dimiliki. Ajakan pembebasan itu jelas terlihat dari petikan lirik Meghan berikut ini
Penampilan panggung hingga lirik lagu kontemporer yang diciptakan para penyanyi tersebut menandakan keberanian perempuan untuk memunculkan isu keterpinggiran, keliyanan, hingga eksploitasi laki-laki atas perempuan. Mereka menunjukkan semangat gerakan kelompok Postmodern terutama Cixous yang ingin melakukan perlawanan dominasi melalui bahasa (tulisan). Mereka mendedikasikan lagu tersebut untuk setiap perempuan agar terinspirasi untuk menjadikan perempuan setara dengan laki-laki. Musik juga menggambarkan penampilan perempuan untuk menunjukkan suara (voice) dan lirik lagu berdasarkan perspektif keberpihakan pada perempuan. Gaga, Beyonce, dan Meghan menunjukan bahwa mereka mampu memproduksi suara perempuan untuk mendobrak pandangan konstruksi gender yang tradisional (Shaw, 303). Meski demikian, upaya ketiganya untuk menyusupkan pemikiran-pemikirannya bukan hal yang mudah. Banyak kritik dan kecaman yang muncul kepada mereka. Contohnya konser Lady Gaga yang harus batal terselenggara di Indonesia. Beberapa Organisasi Masyarakat Islam menolak dan memaksa Lady Gaga agar tidak datang ke Indonesia. Mereka beragumen bahwa Lady Gaga dianggap sebagai sosok perusak moral karena penampilan dan lirik yang berani melawan pakem norma di masyarakat selama ini. Meski demikian, tetap seja bahwa kreativitas mereka melalui tulisan sudah menunjukkan upaya pendobrakan yang diharapkan Cixous. Menurut pandangan Cixous, lirik lagu yang dinyanyikan oleh Beyonce dan lainnya bukan hanya sekedar sebuah gaya tulisan, melainkan kemungkinan untuk perubahan (Tong, 293). Melalui lirik lagu, banyak perempuan yang terbuka pemikirannya. Mempertanyakan lagi konsep cantik, tubuh yang ideal, ketidakmampuan diri hingga soal orientasi seksual. Hal itu sangat memungkinkan munculnya perubahan dalam perempuan. Bahasa yang diwujudkan dalam lirik lagu tersebut bukan hanya mengandung sesuatu, melainkan membawa sesuatu, tidak menghambat melainkan membuka kemungkinan (Tong, 294). Ada banyak pesan yang dibawa oleh penulis dan penyanyi tersebut, bahkan ada kesempatan bagi perempuan untuk memimpin dunia Barat (dan seluruh dunia) untuk mendobrak konsep dikotomi laki-laki. Konsep dikotomi yang mengakibatkan cara berfikir dominan dan submisif bagi yang lain (perempuan). Ada catatan lain yang ingin disampaikan dalam pemikiran Cixous, bahwa melalui hasrat (bukan nalar) adalah alat untuk membebaskan diri dari konsep pemikiran tradisional yang bersifat membatas (Tong, 294). Agaknya, penyanyi-penyanyi tersebut bukan hanya didorong atas passion, hasrat, melainkan juga rasionalitas tinggi dalam menciptakan sebuah karya. Rasionalitas sebagai konsep yang selama ini dilekatkan pada laki-laki, nyatanya juga terdapat dalam diri perempuan. Sehingga, tulisan (lirik lagu) tersebut muncul atas hasrat, dorongan dan nalar untuk membuka pikiran perempuan di seluruh dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa musik-seni tergolong sebagai industri dengan pangsa pasar masing-masing. Musik dari Barat kebanyakan dinikmati oleh kalangan menengah. Sementara kalangan bawah kurang menjadi penikmat aliran musik pop Barat (terutama di Indonesia). Namun, dengan penggemar mereka yang sebagian besar perempuan dari kalangan muda, lagu ini juga cukup efektif untuk mendorong perempuan di Indonesia. Sebab disadari atau tidak, perempuan di negara seperti Indonesia justru menjadi sosok submisive sebagai korban ganda. Pertama perempuan di Indonesia menjadi “liyan” dari laki-laki. Kedua, perempuan dikonstruk untuk cantik dan bertubuh ideal dengan mengikuti konsep media. Gambaran media tentang kecantikan perempuan melalui sosok berkulit putih, langsing, hidung mancung, dan tinggi. Notabene merupakan gambaran dari perempuan kelas putih dari Barat. Namun, terlepas dari semua permainan dan kepentingan industri ataupun kapitalis, jika upaya melalui pembebasan melalui karya tulisan tidak diangkat dan dihargai, maka perempuan tetap menjadi sosok teropresi. Upaya-upaya untuk memunculkan kesadaran dan dekonstruksi konsep dominan yang diciptakan laki-laki dapat ditempuh melalui berbagai cara. Berdasarkan perspektif feminisme Postmodern dapat dilakukan melaluui bahasa dan tulisan. Salah satu strategi yang cepat melalui seni (lagu, lirik). Kesan dan pesan yang kuat dalam sebuah tulisan lirik dapat menjadi inspirasi bagi perempuan untuk menyadari kondisinya yang sebenarnya. Lebih dari itu, perempuan juga harus mampu untuk melawan kodrat yang selama ini dikonsturuksi oleh logika phallus (laki-laki). Membakar semangat perempuan melalui lirik lagu merupakan cara cerdas untuk melakukan pendekatan kepada perempuan. Oleh sebab itu, melalui lirik lagu, mereka berusaha membangunkan, membuka, dan menyadarkan perempuan untuk dapat sadar dan bergerak. Daftar Pustaka: Arivia, Gadis. 2003. Filsafat berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Humm, Maggie (ed). 1992. Feminisms A Reader. London: Harvester Wheatsheaf. Susan, Shaw and Janet Lee. 2001. Women’s Voices, Feminist Visions (classic and Contemporary Readings). California: Mayfield Publishing Company. Tong, Rosmarie Putnam. 1988. Feminist Thought a more comprehensive introduction (sec.dition). Colorado: Westview Press (terjemahan Aquarini Priatna Prabasmoro). http://www.metrolyrics.com/girls-who-run-the-world-lyrics-beyonce-knowles.html, diakses pada 6 November 2016, 18.47 WIB. http://www/metrolyrics.com/all-about-that-bass-lyrics-meghan trainor.html, diakses pada 6 November, 18.45 WIB.
MR,KAMAL
30/3/2017 10:11:42 am
rati
3/4/2017 09:22:29 pm
Sekian lama saya bermain togel baru kali ini saya Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |