(Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Indonesia)
nadyazurakarima@gmail.com

Cinta adalah alasan paling besar bagi perempuan tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Angka putus sekolah perempuan karena menikah usia 7-12 tahun sebesar 27,78 persen (Data Statistik Pendidikan, cbs, 2006). Belum lagi anak-anak perempuan yang terpaksa putus sekolah karena hamil di usia sekolah. Lembaga pendidikan menganggap anak perempuan ini sudah rusak dan tidak layak bersekolah karena hamil sebelum waktu ideal. Beberapa perempuan yang lulus pendidikan hingga SMA tergerus lagi untuk mencari kerja saja dan kemudian menikah oleh rekan kerjanya yang lebih tua. Ataupun yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi hingga ke tingkat semester atas seperti saya ini, digoda lagi oleh bujukan cinta dengan iming-iming menikah. Sehingga hanya tersisa 2% perempuan yang berhasil menerima gelar doktor di seluruh dunia.
Melalui esai ini saya mengimbau bagi perempuan muda untuk tidak buru-buru menikah atas nama cinta. Pertama karena tubuh dan rahim yang belum siap. Pada umumnya perempuan sudah mengalami menstruasi sejak usia 14 tahun kurang atau lebih. Tetapi belum tentu rahim sudah siap untuk dibuahi. Kematangan rahim berada di usia 20-35 tahun. Jika melahirkan dibawah usia yang dianjurkan, perempuan akan rentan mengalami kecemasan saat hamil, kesehatan menurun atau kelahiran bayi prematur.
Kedua, jika perempuan memilih menikah dan membina rumah tangga di usia muda dan meninggalkan sekolah, perempuan akan memiliki ketergantungan finansial yang tinggi kepada kepala rumah tangga yang sesuai undang-undang perkawinan negara adalah suami atau laki-laki. Ketergantungan finansial membuat perempuan lebih mudah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan akan sulit lepas dari sang suami dan menganggap adegan demi adegan kekerasan sebagai bumbu rumah tangga.
Lalu, menikah di usia muda akan melenyapkan kesempatan-kesempatan mencoba hal-hal baru. Karena ketika menikah berarti kita berkomitmen terhadap pasangan hidup kita dan pastinya dilanjutkan membina keluarga. Sering identitas perempuan melebur dan kesempatan mencoba hal-hal baru akan berganti menjadi mengurus anak dan suami. Perempuan tidak memilih kesempatan untuk mendaki Himalaya, belajar diving, makan masakan Afrika, keliling dunia dan lain-lain. Kehidupan permpuan akan terpusat dalam urusan keluarga dan itu saja.
Terakhir, perempuan yang orientasinya sudah terlanjur terpusat pada anak dan keluarga akan melewatkan kontribusinya untuk membangun bangsa dengan cara lain selain berreproduksi. Seringkali hamil dan melahirkan menjadi alasan bagi perempuan berkontribusi dan berkarya dengan menjadi mesin penghasil anak. Padahal ada banyak cara mengabdi pada negara kita selain beranak. Kita bisa menulis, membuat film, mengajar ke daerah pedalaman, menjadi aktivis politik, menyebarkan dan mewujudkan ide-ide dalam membangun sumber daya manusia yang adil dan beradab, mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tantangan terbesar bagi perempuan dari godaan nikah adalah lingkungan yang menganggap hidup adalah arena balapan. Mereka saling kejar-mengejar siapa yang lulus duluan, nikah duluan, hamil duluan, anaknya lulus duluan, dan seterusnya. Terkadang, kita larut dalam balapan tanpa menikmati esensi hidup.