Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024

Podcast JP

Tak Kenal Maka Tak Sadar: Layanan HKSR yang Diperlukan bersama Nanda Dwinta Sari

13/6/2023

0 Comments

 
Picture
     Halo, Sahabat! Kembali lagi bersama kami di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang memperbincangkan feminisme dan kesetaraan. Bersama saya, Retno Daru Dewi. Hari ini kita akan membahas tema yang nggak kalah seru dengan dua tema sebelumnya, Sahabat. Masih berkisar di pelayanan HKSR bagi perempuan Indonesia nih, yaitu pemberian layanan HKSR secara komprehensif. Teman-teman mungkin sudah tahu ya, bahwa layanan HKSR itu sangat penting untuk dapat diakses. Sayangnya HKSR, nih, justru menjadi salah satu topik yang tabu banget untuk dibahas secara terbuka.

Daru:
     "Kuatnya mitos, kurangnya informasi kesehatan, hingga sulitnya fasilitas kesehatan, memperparah hal ini. Untuk mengetahui situasinya lebih lanjut, mari kita mengobrol dengan seseorang yang sudah berpengalaman di perjuangan HKSR. Kita sudah kedatangan Mbak Nanda Dwinta Sari, Direktur dari Yayasan Kesehatan Perempuan atau YKP. Halo, Mbak Nanda!"

Nanda:
     " Halo, Mbak Daru."

Daru:
     "Nah, YKP ini merupakan salah satu pelopor organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang kesehatan seksual dan reproduksi perempuan lho, Sahabat. Nah, makin penasaran 'kan sama Mbak Nanda? Yuk, mari kita kenalan dengannya. Halo, Mbak Nanda silakan."

Nanda:
     "Halo Mbak Daru, salam kenal teman-teman semua, nih. Saya Nanda, saya kebetulan saat ini menjabat sebagai Direktur di Yayasan Kesehatan Perempuan."

Daru:
     "Oke, baik Mbak Nanda karena isunya juga sedang seru-serunya dibahas di mana-mana kita langsung masuk aja nih ke pertanyaan pertama. Kita ingin tahu mengenai pengalaman Mbak Nanda sebagai pemberi layanan yang sudah lama bekerja di bidang ini. Sebagai seorang pemberi layanan, gimana sih Mbak Nanda melihat kondisi pelayanan HKSR di masa kini? Terutama bagi perempuan di daerah perdesaan. Sering kali kan kita menemukan bahwa ketersediaan pelayanan medis di desa itu tuh nggak sebaik dan sekomprehensif di kota. Pelayanan medis secara umum aja udah beda banget gitu, apalagi pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih kompleks. Nah, sebenarnya bagaimana sih Mbak situasi di lapangan? Apakah layanan HKSR yang mereka terima sudah sesuai dengan standar medis?"

Nanda:
     "Oke, sebelumnya saya menggarisbawahi dulu ya, soal saya pemberi pelayanan. Kebetulan saya itu bukan pemberi layanan dalam konteks medis ya, artinya sebagai tenaga kesehatan itu. Tapi saya bersama YKP ini setidaknya kita memang bergerak di isu HKSR. Dan bagaimana kita juga memberikan informasi atau pengetahuan kepada komunitas serta melakukan advokasi. Tetapi konteks pelayanan medis itu tidak ya, itu bukan ranah kami, itu pasti ada apa khususnya pada tenaga kesehatan. Dan saya juga, latar belakang saya bukan di pemberi pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan. Jadi seperti semacam mungkin pemerhati kesehatan reproduksi ya. Nah, merespons pertanyaan Mbak Daru tadi, bagaimana konteks layanan HKSR ditingkat desa ya. Idealnya memang secara—maupun kebijakan atau program yang ada, idealnya itu layanan kesehatan reproduksi khususnya itu sudah diatur."

     "Dan banyak sekali program pemerintah itu mengacu pada pemenuhan layanan kesehatan dan reproduksi, baik ditingkat—mulai tingkat desa hingga tingkat provinsi atau di skala nasional ya. Nah, memang artinya secara kebijakan dia sudah diatur tapi tantangannya kan pada implementasinya nih. Itu yang kita terus kawal ya, artinya tingkat kebijakan tidak diikuti dengan pemahaman pengetahuan di masyarakat. Itu juga menjadi PR, menjadi gap, sehingga kita penting untuk—artinya mengawal pelaksanaan pelayanan ini gitu ya. Meskipun diatur sudah ada standar layanan minimal kesehatan reproduksi. Kemudian ada bentuk pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak khusus gitu, ya. Kemudian pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja. Itu program-program dan bentuk pelayanan yang sudah ada diatur, tapi tantangannya tadi: implementasinya."

     "Jadi saya nggak bisa menyamaratakan semua desa. Ada desa yang secara baik ya, itu karena ada peran banyak pihak, mulai dari pimpinannya, masyarakatnya, memahami betul kebutuhan akan kesehatan reproduksi, yaitu maka pelaksanaannya menjadi lebih baik. Karena ada ruang-ruang partisipasi masyarakat terlibat di sana. Jadi kita nggak bisa juga artinya terlalu apa ya, terlalu melihat satu sisi saja gini kelemahannya ada di mana. Meskipun secara pemberi layanan itu, khususnya kesehatan reproduksi, banyak PR di sana. Karena artinya orang hanya melihat dari aspek kuratif atau pengobatan saja, sedangkan kita mendorong untuk ada aspek preventifnya. Sehingga masyarakat, dia tidak hanya sekadar diobati. Tapi juga mampu mencegah terjadinya risiko-risiko kesehatan reproduksi, dan punya peran penting terlibat di sana untuk mengupayakan apa yang menjadi kebutuhan komunitas mansyarakat setempat. Itu sih kalau secara pandangan ya. Jadi, nggak bisa satu sisi kita hanya mengukur dari aspek bentuk layanan, tapi juga idealnya kita mengikuti ada perubahan perilaku di sana. Dan bagaimana perubahan perilaku ini merespons pada pemenuhan kesehatan reproduksi, kualitas kesehatan reproduksi bagi masyarakat sekitarnya. Nah, ini yang mungkin masih minim terjadi di desa, ya. Karena akses-akses dan ruang-ruang pelibatan partisipasi dan upaya preventif itu yang masih minim belum dibuka."

Daru:
     "Oke, jadi kalau bisa disimpulkan jadi memang tantangan di implementasi itu, ya, Mbak Nanda ya yang sekarang menjadi permasalahan. Dan memang penting banget tadi Mbak Nanda juga sudah menyinggung—penting untuk mengawal apapun layanan yang mungkin juga difokuskan oleh pemerintah diberikan ke desa. Dan kita nggak bisa fokus bahwa di semua desa itu sama. Ternyata di desa yang pelayanan HKSR-nya baik, peranan banyak orang di situ juga penting ya Mbak ya."

Nanda:
     "Penting sekali."

Daru:
     "Jadi kayaknya kesadaran masyarakat luas juga itu menjadi salah satu yang harus diutamakan dalam menyetarakan pelayanan HKSR di mana-mana."

Nanda:
     "Betul, karena ada juga ya tantangannya misalnya, oh pelayanannya ada, tetapi yang mengakses minim. Ada. Itu karena kita menemukan bahwa pengetahuan di masyarakat tadi rendah, tetapi prinsipnya kita memastikan pertama soal kualitas ya. Bagaimana kualitas layanan kespro ini diberikan, dia harus bermartabat dan berorientasi pada pemenuhan siapapun ya—manusia lah, berorientasi pada pasien. Kemudian dia tidak mendapatkan diskriminasi, itu yang penting ketika siapapun mengakses layanan tersebut ya di tingkat manapun, dia harus bebas dari diskriminasi, termasuk kepada siklus hidup ya. Kalau kita memahami kespro, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, sampai lansia, dia harus terbebas dari diskriminasi ketika mengakses itu masih jadi PR. Kemudian saya sudah bicara akses ya, kemudian dia harus inklusi tadi ya. Nah, itulah setidaknya prinsip idealnya yang harus ada dalam pelayanan kespro."

Daru:
     "Itu berarti ada sudut pandang yang tabu juga kan ya, Mbak ya, yang patriarki, sehingga mereka juga mungkin—bukannya nggak mau apa namanya mengakses fasilitas yang ada—tapi adanya keseganan dan keengganan karena masyarakat yang masih diskriminatif itu tadi, ya. Baik terima kasih banyak, Mbak Nanda, atas sharing pertanyaan pertamanya. Memang ya kita tuh harus memahami bagaimana perbedaan latar urban, desa, juga bisa memengaruhi akses begitu ya. Misalnya dengan pemahaman interseksionalitas, makanya kita bisa paham masalah berlapis apa nih yang ada di masyarakat, salah satunya sudut pandang yang patriarki membuat HKSR seolah-olah sesuatu yang tabu. Padahal tadi Mbak Nanda tadi  juga sudah menyinggung, ini hak lho, ini adalah proses kehidupan yang wajar-wajar saja begitu kan."

     "Selanjutnya kita juga ingin mendengar perspektif Mbak Nanda terkait dengan bentuk layanan yang paling urgent untuk diberikan sekarang, Mbak. Kalau menurut Mbak Nanda, layanan apa sih yang paling diperlukan oleh perempuan Indonesia di pedesaan sejauh ini—yang mungkin masih belum tersalurkan dengan efektif?"

Nanda:
     "Ya, kalau layanan yang urgent ya karena saya dalam hal ini mengawal di isu kesehatan reproduksi dan seksualitas, tentu saja pemenuhan layanan kesehatan reproduksi ini di segala tingkatan usia menjadi urgent ya. Meskipun secara program pemerintah dia mengelompokkan pada kesehatan ibu dan anak, tetapi idealnya dia harus bisa diakses semua tingkatan usia, semua gender, semua tingkat kebutuhan yang lebih inklusi, dia idealnya harus bisa diakses. Nah, bagaimana layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif ini yang menjadi sesuatu yang urgent ya. Dia tidak hanya merespons soal, oh—bicara kesehatan reproduksi, dia tidak hanya merespon soal kehamilan, persalinan, hanya di situ saja fokusnya. Tetapi layanan kesehatan reproduksi itu dia juga penting untuk melihat remaja ya, kalau tadi bicara interseksionalitas itu artinya remaja itu juga butuh layanan kesehatan reproduksi gitu ya. Dan tanpa diskriminasi. Tadi kan saya bilangnya. Itu yang jadi tantangan."

     Kemudian bagaimana layanan kesehatan yang reproduksi layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif ini bisa tersedia. Nah, itu yang paling penting. Kita menyebut kata komprehensif ini mulai dari upaya preventif, sampai upaya apa promotifnya gitu ya, dan pelaksanaan kuratifnya atau pengobatannya itu menjadi penting. Dan melihat kebutuhan. Artinya, nggak bisa disamakan bahwa ini hanya perihal tadi ya tiga—dua aspek hanya persalinan dan kehamilan—di sana dia ada persoalan isu sosial sebenarnya, sedikit masuk ya, ketika bicara kesehatan reproduksi. Dia ada ngomong, "Oh dampak dari terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan karena perkawinan anak"."
​
Daru:
     "Hmm, KTD ya, Mbak?"

Nanda:
     "KTD. Bagaimana layanan bagi korban kekerasan seksual? Itu masuk ke dalam aspek pelayanan kespro yang komprehensif idealnya. Itu yang masih jadi PR, sedangkan kasus kekerasan seksual itu sangat tinggi kan di Indonesia. Tetapi hak korban secara kesehatan untuk mendapatkan layanan kespro yang komprehensif, itu nggak semua tempat—apalagi kita bicara desa atau daerah—masih menjadi tantangan. Apalagi kita bicara ketika korban perkosaan kemudian hamil dan tidak ingin melanjutkan kehamilannya, layanan kesehatan apa yang bisa kita berikan? Itu kan masih menjadi tantangan pro dan kontra."

     "Bicara aborsi, artinya, itu juga masih pro dan kontra. Banyak kelompok yang melihat—kalau kami melihat ya aborsi isu kesehatan. Dia harus bagian dari dalam layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif, tapi kan banyak yang memahami aborsi ini hal yang berbeda lagi, ya. Nah itu masih, tadi ya, menjadi PR, bagaimana layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif, yang ramah—kalau remaja, bisa ramah remaja—yang bisa tidak diskriminatif tadi ya, bagi semua kalangan atau kelompok, bisa diakses. Itu sih yang paling penting, termasuk artinya bagaimana sih perempuan ini juga mampu menentukan untuk dirinya, apa yang dibutuhkan untuk dirinya, dia bisa mampu membuat keputusan kesehatan itu. Itu juga sebenarnya upaya yang paling penting yang di dalam penyelenggaraan kesehatan reproduksi."

Daru:
     "Oke,  jadi nih kata kuncinya adalah layanan yang komprehensif ya Mbak, ya. Tadi juga Mbak Nanda sudah menyinggung kalau kita bicara HKSR ini kita nggak ngomongin kehamilan dan melahirkan aja. Remaja misalnya itu juga salah satu kelompok dari orang-orang yang membutuhkan wawasan akan HKSR dan juga pelayanan fasilitas ini. Ini juga tadi Mbak Nanda sudah menyinggung aborsi. Ini dari kemarin diskusi kami di Jurnal Perempuan juga mengenai aborsi tidak aman dan ini menjadi salah satu masalah yang patut untuk disorot juga begitu ya. Tadi cukup harus digarisbawahi itu, Mbak Nanda bilang aborsi ini sebenarnya adalah isu kesehatan, bukan hal yang lain yang selama ini mungkin masyarakat mikirnya ini aborsi pasti hasil seks bebas, pergaulan yang tidak baik, seperti itu ya. Padahal sudah disinggung juga tadi oleh Mbak Nanda, Sahabat, bahwa banyak lho Kehamilan Tidak Direncanakan itu akibat kekerasan seksual yang tinggi, begitu ya."

     "Di Indonesia masih belum bisa kita tangani dengan menyeluruh. Nah, Mbak Nanda kita bergerak kebahasaan yang mungkin lebih ruwet didiskusikan di masyarakat, yaitu mengenai kontrasepsi laki-laki. Ini kan jarang banget dibahas ya, Mbak ya. Sepertinya di media sosial pun gerakan kontrasepsi bagi laki-laki nggak seramai itu. Ada anggapan bahwa kontrasepsi itu urusan perempuan, kalau KB ya dilakukan ke tubuh perempuan, bukan ke laki-laki. Ini juga nampaknya sudah menjadi anggapan orang awam gitu ya Mbak ya. Kalau menurut Mbak Nanda sendiri bagaimana? Sebenarnya kontrasepsi itu tanggung jawab siapa sih? Kemudian apakah ada info dari Mbak Nanda yang bisa diberikan ke Sahabat—Sahabat Jurnal Perempuan—kontrasepsi laki-laki itu di Indonesia ketersediaannya seperti apa, seefektif apa, dan hambatannya apa aja ya?"

Nanda:
     "Oke, artinya bicara kontrasepsi itu kan terkait dengan pengaturan kehamilannya. Memang di kita mungkin mengetahui ya, maksudnya, metode atau alat kontrasepsi ini kan lebih banyak beragam yang diberikan pada perempuan ya daripada laki-laki jenisnya. Sehingga mungkin dianggapan dan masyarakat pada umumnya itu bahwa, "Oh ini menjadi urusan perempuan saja". Padahal soal pengaturan kehamilan ini kan adalah pengaturan dua orang ya. Artinya perempuan itu hamil kan tidak bisa tidak ada campur tangan sperma laki-laki. Sehingga dua hal ini, baik perempuan dan laki-laki, harusnya mengetahui secara lengkap ya, ketika ada kebutuhan untuk mengatur kehamilannya kedua pasangan ini."

     "Nah, ini yang harus segera apa ya kita memang harus giat ya mensosialisasikan. Bahwa ini tidak hanya sekadar menjadi kebutuhan perempuan ini, kebutuhan bersama. Iya, betul kehamilan itu ada di perempuan, tapi kehamilan itu tadi, tidak bisa terjadi tanpa ada peran laki-laki. Nah, sehingga penting untuk ada komunikasi. Yang kedua juga kita harus mengetahui bahwa hak kita bersama, baik laki-laki dan perempuan, untuk mencari informasi atau mendapatkan informasi terkait dengan kontrasepsi. Sehingga tidak ada mitos atau kesalahpahaman terkait kontrasepsi yang beredar. Itu kita berhak, kita boleh tanya kepada petugas kesehatan ketika kita ingin melakukan pengaturan kehamilan. Pengaturan kehamilan ini kan penting untuk kesehatan bersama, tidak hanya perempuan. Artinya ada kesiapan, bagaimana mengatur kesehatan dua pasangan, kedua orang berpasangan ini itu menjadi komunikasi itu menjadi penting. Mencari informasi pengetahuan yang benar, berkonsultasi, itu menjadi hal yang penting. Sehingga, baik perempuan dan laki-laki, tidak merasa ini menjadi peran salah satu saja. Tetapi harus dipastikan, ketika berkomunikasi misalnya, yang memilih memakai kontrasepsi adalah perempuan misalnya, itu juga harus ada dukungan dari pasangan gitu kan artinya. Ya, keputusan itu memang di perempuan, tapi dukungan seperti pasangan juga sangat diperlukan. Sehingga dia bisa menjalankan penggunaan alat kontrasepsinya itu dengan aman, nyaman, sehat gitu. Itu menjadi hal yang penting dalam pemenuhan kesehatan juga, begitu juga ketika laki-laki yang memutuskan menggunakan alat kontrasepsi. Itu kan ada kesepakatan idealnya."

     "Tapi yang penting adalah siapapun atau bagaimanapun, dia berhak ya ingin menggunakan alat kontrasepsi yang sesuai kebutuhannya, dengan pengetahuannya. Dia tahu bahwa alat kontrasepsi itu mungkin ada efek sampingnya berapa tubuh ya, nggak bisa disamakan. Itu yang penting harus diketahui dulu. Kemudian konteks Indonesia, ketersediaan alat kontrasepsi untuk laki-laki tentu saja ada, tersedia, dan gampang kan metodenya. Artinya bisa menggunakan kondom, kemudian vasektomi, itu juga bukan operasi yang—tindakan yang harus, operasi yang rumit gitu. Dia hanya tindakan sekian menit ya yang bisa dilakukan dan lebih aman, tidak ada efek sampingnya, minim artinya rendah efek samping itu. Sangat mudah sebenarnya jika laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi. Tapi tadi kembali ya, artinya mungkin dikarenakan ragam kontrasepsi ini lebih banyak perempuan, sehingga orang beranggapan, "Oh ya ini urusan perempuan lah yang menggunakan". Padahal pengaturan kehamilan itu kan urusan bersama."

Daru:
     "Iya, udah gitu kan orang bilang, "Kan yang hamil perempuan! Perempuan dong yang dijaga badannya" gitu ya, Mbak ya."

Nanda:
     "Iya, itu mungkin salah satu mitos yang ada ya. Karena tadi, betul kontrasepsi memberikan efek samping. Tetapi itu bisa dikonsultasikan, yang artinya sesuai dengan kondisi tubuh kita, kemudian sesuai dengan kebiasaan atau kondisi kesehatan kita, itu kita bisa memilih jenis kontrasepsi yang cocok dengan kita. Nah itu. Sehingga jangan takut atau cuma dengar, "Ah kalau ini kok dia enggak cocok ya, IUD". Belum tentu kita juga nggak cocok itu ya. Jadi lebih baik kita bertanya dan mengkonsultasikan kebutuhan kita terkait dengan alat kontrasepsi."
​
Daru:
     "Kalau  kembali ke kontrasepsi laki-laki nih, Mbak Nanda, hambatannya apa saja sih sehingga masih banyak perempuan nih, yang menggunakan kontrasepsi?"

Nanda:
     "Ya, itu tadi ya, berarti mungkin dilihat secara pendidikan ya. Masyarakat pada umumnya mungkin memahami ini perihal—hanya perlu diketahui oleh perempuan saja. Laki-laki itu tidak perlu tahu. Nah, hambatan pemahaman semacam ini tuh yang menjadi hambatan gitu ya, artinya urusan kontrasepsi, urusan kesehatan reproduksi, ini menjadi urusan laki-laki. Itu sudah hambatan paling banyak gitu ya, alasan karena itu. Makanya penggunaan—kalau bicara alat kontrasepsi laki-laki—memang masih rendah ya untuk laki-laki sendiri. Karena kaitannya mungkin dengan merasa menjadi tidak perkasa misalnya, atau tidak berguna lagi, menjadi laki-laki. Nah, itu kan sebenarnya mitos ya yang yang banyak beredar. Sekarang bagaimana laki-laki itu juga punya andil ya, peran laki-laki dalam kesehatan reproduksi itu juga menjadi penting sekali. Sehingga pemahaman-pemahaman semacam ini tidak terjadi ya, dan mereka punya perspektif atau paradigma yang baik bahwa, ya ini urusan saya juga ini, masalah kesehatan diri saya juga."

Daru:
     "Oke, baik. Terima kasih Mbak Nanda. Jadi, Sahabat, tadi sudah menyimak ya bahwa kalau misalnya kita bicara kontrasepsi yang harus diingat bahwa kehamilan itu bukan hanya urusan perempuan, itu juga urusan laki-laki. Nggak mungkin perempuan hamil tanpa ada andil dari sperma laki-laki seperti itu. Kalaupun salah satu yang memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi, misalnya perempuan, ya tentu pasangannya harus mendukung dan juga sebaliknya ya. Laki-laki kalau menggunakan kontrasepsi. Pemikiran-pemikiran yang seperti disebutkan Mbak Nanda tadi tuh ngerasa, "Aduh, kok kaya udah nggak berguna, nggak bisa punya anak, dan lain-lain" itu harus dibuang jauh-jauh dan pasangannya juga harus mendukung."

     "Oke, nah, aku mau kembali ke topik aborsi nih, Mbak, ini ramai dibicarakan di mana-mana dan kemarin kebetulan kan ada pengajuan juga ya, Mbak ya, bahwa menghentikan kehamilan, yang tadinya 12 minggu ya atau 6 minggu, ya jadi 14 minggu, seperti itu kan. Jadi masih diperjuangkan. Lagi-lagi kalau membahas isu aborsi, ada yang menganggap ini sesuatu yang kayak buang anak begitulah kasarnya, seperti itu. Padahal kan tadi juga sudah disinggung oleh Mbak Nanda, aborsi ini adalah isu kesehatan begitu. Terutama anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, perkosaan, yang KTD, kemudian tidak bisa melanjutkan sekolah misalnya seperti itu. Nah, kalau begitu Mbak, idealnya pelayanan aborsi seperti apa sih yang harus tersedia di setiap negara? Kemudian siapa saja sih yang berhak mendapatkan fasilitas aborsi aman tersebut?"

Nanda:
     "Mungkin kita bicara dulu ya pemahaman dengan aborsi ini kan kaitannya adalah dengan perempuan yang hamil. Nah, kita harus memahami, tidak semua kehamilan itu berhasil ya atau baik-baik saja bahasa mudahnya. Tapi ada juga kehamilan itu ada persoalan di sana. Sehingga perempuan bisa mengalami keguguran ya. Sehingga membutuhkan layanan aborsi. Kita harus paham dulu. Bukan yang aborsi tuh hanya dipahami, "Oh ini karena alasan suka sama suka". Tapi setiap kehamilan, dia punya risiko di sana. Sehingga mengapa aborsi ini masuk ke dalam layanan kesehatan reproduksi tadi, karena dia bagian di negara-negara, bagian dari layanan Maternal Health atau layanan kesehatan ibu lah ya. Karena tadi perempuan bisa mengalami keguguran. Nah, konteks bicara lainnya adalah kalau di Indonesia aborsi ini kan dilarang dengan pengecualian, ini yang kita di dalam undang-undang. Artinya aborsi itu dilarang, kecuali satu karena indikasi darurat medis, adanya mengancam nyawa ibu, nyawa janin ya. Kemudian alasan yang kedua adalah karena korban kekerasan seksual. Kita bicara aborsi di dua konteks itu."

     "Sehingga, ini layanan yang kita dorong harus ada. Kalau kita bicara idealnya dia aborsi bagian dari kesehatan ya, idealnya siapa saja berhak mendapatkan layanan ini. Tapi karena sekarang kita tunduk pada peraturan kebijakan yang ada di Indonesia, ya inilah yang idealnya harusnya ada saat ini. Meskipun ini belum ada gitu ya, karena dua alasan ini. Dua alasan ini banyak kajiannya, artinya perempuan—kita harus melihat juga konteks kesehatan mengancam itu kan tidak hanya fisik, tapi mental ya."

     "Nah maka kenapa untuk korban kekerasan seksual, kesehatan mentalnya ini menjadi terancam, karena saya sudah trauma diperkosa, kemudian dia harus menanggung kehamilan yang tidak dia diinginkan yang menyebabkan dia trauma dan kesakitan. Yang artinya sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Udah diperkosa, terus menanggung kehamilan. Sehingga dia kita itu dia berhak untuk mendapatkan layanan aborsi ini. Ini dulu yang kita pahami. Saya nggak bicara—tapi sayangnya ya sayangnya, pemahaman ini kan dikembangkan keliru ya di masyarakat. Bahwa, ya kan, oh—saya pernah ada dalam satu dialog itu, disampaikan oleh dokter ya—dokter kandungan—di sampaikan bahwa, "Itu kan perempuan yang menikmati!". Jadi kita akan bertanya bahwa apakah kita nggak punya rasa yang atau keberpihakan, empati, atas apa yang dialami oleh perempuan itu? Kalau kita memang berprinsip dalam sistem kesehatan kita adalah berorientasi pada pasien. Dalam hal ini kita bicara perempuan. Ini harus dijadikan salah satu alasan atau alasan yang paling penting, bahwa kesehatan mental itu menjadi penting juga untuk apa ya untuk didapat—mendapatkan penanganan yang tepat."

     "Meskipun ini sudah dikunci kecil dengan dua pengecualian, tetapi ini memberikan—kita merasa ini sangat memberikan sebuah perlindungan, sebuah pemenuhan hak juga bagi perempuan gitu lho. Nah, ini yang harus kita pahami. Artinya saat ini kami berfokus ya layanan ini harus ada karena dua alasan ini dulu. Bahwa nanti kita bicara preventif, kita bicara mengedukasi, mencegah, yang kemudian bagaimana banyak upaya dari jaringan atau teman-teman mengatasi angka kekerasan seksual. Itu kan penting, juga nggak bisa dilepaskan begitu saja. Tapi kalau bicara layanan, setidaknya—itu mengapa kami konsisten mengawal isu aborsi atau pemenuhan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif ini, termasuk aborsi di sana. Kalau bicara karena dia bagian kesehatan, idealnya kita mau semua orang bisa mengakses itu. Alasan indikasi medis pun juga dia bisa—harusnya tetap bisa mendapatkan layanan. Itu kadang nggak diperdebatkan ya, yang jadi tantangan kan sekarang karena kekerasan seksualnya. Nah, itu yang supaya kita ini ya—saya mau rasa ini menjadi ruang untuk menyadarkan bahwa aborsi itu yang dipahami saat ini itu harus dicek betul bahwa aborsi—kita memahami tadi kehamilan punya risiko, kesehatan mental itu bagian dari kesehatan reproduksi, kesehatan kita, yang harus juga dapat di apa dapat ditangani dengan baik. Maka layanan aborsi yang aman, sesuai dengan ketentuan ya, apakah WHO gitu... itu menjadi penting untuk tersedia dulu. Sehingga—dan tanpa diskriminasi ya—sehingga perempuan dengan dua alasan itu bisa mengakses layanan tersebut. Khususnya, saya menggarisbawahi, khusus korban kekerasan seksual. "

Daru:
     "Oke, baik. Terima kasih Mbak Nanda. Jadi sekali lagi, Sahabat, semua kehamilan itu  punya risiko. Sehingga layanan aborsi itu sebaiknya disediakan. Utamanya tadi Mbak Nanda menggarisbawahi, ada dua kondisi yang diperbolehkan di Indonesia. Pertama, apabila kehamilan mengancam nyawa ibu dan bayi. Kemudian juga korban kekerasan seksual ya, karena tadi Mbak Nanda juga menyinggung soal kesehatan mental. Udah pasti sih ya Mbak, korban perkosaan pasti secara mental beban, apalagi harus menanggung KTD, jadi kalau diberikan layanan aborsi itu kan sudah pasti paling tidak dia bisa recover dengan lebih baik, tanpa ada beban sembilan bulan mengandung, kemudian bayinya bagaimana,  seperti itu kan. Tadi mengejutkan ya, ada dokter—yang setau saya kan dokter disumpah untuk melayani semua orang tanpa ada diskriminasi—tetapi kok bisa ngomong gitu ya ke pelaku—ke korban kekeraan seksual. Oke…"

Nanda:
     "Mungkin saya sedikit ya, artinya kesalahpahaman saat ini kan adalah pemahaman aborsi ini sebagai bentuk pembunuhan. Itu kan yang yang jadi masalah ininya ya, masalah terbesarnya. Artinya itu yang harus kita luruskan artinya, kepada teman-teman bahwa aborsi ini harus aman. Dia diberikan oleh petugas yang berwenang dan dia ditempat yang memang aman ya secara ini. Misalnya sudah sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku itu sih yang, yang penting, yang artinya menggeser pemahaman bahwa, kan mengetahui hanya soal—oh, ini berita-berita soal aborsi itu kan cepet ya direspons di media. Nah ini yang harus kita luruskan gitu, bahwa, ya kalau sudah dari gambar saja, misalnya gambarnya bayi itu—kalau bayi ya udah pembunuhan gitu lho. Dan kemudian juga untuk korban kekerasan dalam pelaksanaannya tahapan aborsi itu kan kita ada konseling. Tidak semua kehamilan itu juga ingin diaborsi ya. Artinya dalam konseling itu memberikan pengetahuan, informasi, sehingga si perempuan atau korban bisa memutuskan, apakah dia melanjutkan atau ingin mengakhiri kehamilannya? Nah kita nggak bisa bilang, "Oh korban kekerasan seksual semuanya ingin mengaborsi", bukan begitu ya. Yang kita dorong layanannya ada dulu nih, nanti keputusan itu adalah di korban, sesuai dengan kebutuhannya, sesuai hasil konselingnya, apa yang dia inginkan. Jadi kita berpihak pada keputusan si perempuan. Itu sih yang harus digarisbawahi ya, jadi nggak semua—ada beberapa dampingan gitu yang dia tetap ingin melanjutkan. Ya itu kan menjadi hak si perempuan. Jadi orientasi kita adalah pada keputusan si perempuan. "
​
Daru:
     "Oke, ini ada satu pelayanan yang menyangkut aborsi juga ya, yaitu Asuhan Pasca Keguguran atau APK. Ini prosedur yang penting bagi perempuan yang baru mengalami keguguran. Tapi, tampaknya banyak yang belum aware juga nih, Mbak, sama APK ini. Nah, Mbak Nanda bisa sharing, apa sih si APK ini?"

Nanda:
     "Kalau tadi disampaikan APK tuh penanganan setelah keguguran ya, di mana penanganan itu memerlukan aspek-aspek lainnya, tidak hanya seputar persoalan medis saja. Tetapi dia juga membutuhkan aspek dukungan, lingkungan terdekat, terus apa pihak-pihak terkait lainnya ya. Kemudian penanganan secara sosial, mental, dan peran-peran dia kembali di masyarakat atau di keluarganya juga bisa dikuatkan. Artinya penguatan-penguatan untuk perempuan ini. Nah ini yang kadang luput ya, artinya ketika perempuan mengalami keguguran ya, sudah itu dianggap ya udah risiko Anda sebagai perempuan hamil dan mengalami keguguran. Selebihnya kita nggak memastikan perempuan ini kesiapannya untuk kembali menjalankan perannya ya pasca keguguran ini. Apakah dia akan sebagai ibu, atau sebagai apa orang tua, atau sebagai perempuan dewasa, itu yang memerlukan perhatian dan dukungan lingkungan sekitar ya. Untuk bisa menciptakan itu juga, Nah, peran-peran banyak pihak. Tadi ya, apa memastikan dia pas setelah kegugurannya ini, dia tetap mengalami, mendapatkan hak-haknya, mendapatkan penanganan kesehatan gitu ya, baik fisik, mental, dan juga secara sosial, ekonomi, dia juga bisa lebih punya peran yang dikuatkan lagi. Dan dukungan sih, sebenarnya itu juga yang jadi penting."

     "Nah, bagaimana menciptakan ini, itu kan konteks solusi lokal ya di masing-masing wilayah mungkin berbeda-beda. Tapi inisiatif-inisiatif ini kan yang ingin diangkat menjadi sebuah, sebuah bagaimana kita mampu menciptakan sebuah lingkungan yang mendukung ketika ada di dekat kita perempuan yang mengalami keguguran. Saat ini kan programnya, misalnya ya, di satu wilayah perempuan hamil, itu kan diberi tanda. Tapi di wilayah—kita bicara lingkungan RT—ketika diberi tanda itu kan artinya warga sekitar mengetahui ini ada perempuan hamil di wilayah saya. Kemudian di—kalau secara program pemerintah—dilihat kegawatdaruratannya. Kegawatdaruratan itu kesiapan darah, ambulans sebagai transportasi untuk mengakses layanan, dan dukungan lain di dalam keluarga. Tapi masyarakat sekitar bisa mengupayakan tadi itu, bagaimana ketersediaan darah, atau bank darah, ketersediaan ambulans. Nah, begitu juga dengan ketika dia mengalami pasca keguguran."

     "Kita juga harus bisa mengambil peran yang baik ya, yang partisipatif untuk mendukung perempuan ketika mengalami keguguran. Jadi dia akan lebih siap, lebih berdaya ya, dan lebih mampu untuk menjalankan peran-perannya. Kalau saya memahami APK seperti itu, jadi dia tidak hanya persoalan medis belaka, tapi juga ada dukungan yang baik ya dalam proses tadi kehamilan. Tadi kan kalau ngomong kehamilan belum tentu dia baik-baik saja nih. Ketika tidak baik-baik saja, kita juga harus—sebagai masyarakat terdekat itu—kita juga harus mengambil peranan penting. Kalau program pemerintah misalnya terlambat ya terlambat membuat keputusan, terlambat ke tempat layanan, dan terlambat lainnya, itukan yang upaya dicegah. Nah itu juga bagian dari APK. Bagaimana keluarga tidak terlambat membuat keputusan."

     "Jadi—tapi kan keluarga sekitar atau pasangan yang ngomong suami, harus tahu juga dong pengetahuan kesehatan reproduksi. Karena selama ini terjadi ketika istrinya hamil, dia nggak tahu, dia nanya ibunya. Ibunya nggak tahu, tanya lagi neneknya. Udah keburu meninggoy kalau kata anak-anak zaman sekarang. Si perempuannya udah keburu meninggal, karena keputusan itu terlambat diambil kan. Itu yang—sebenarnya itu idealnya bagian dari APK ini supaya itu tidak terjadi. Itu sih situasi yang terjadi hari ini, sehingga mengapa penting pengetahuan pendidikan kesehatan reproduksi ini segera diberikan di tingkatan usia ya tingkatkan usia ya."

Daru:
     "Dan dari apa yang sudah dipaparkan Mbak Nanda juga APK bisa menjadi sumber pasanagan untuk bertanya begitu ya daripada bertanya ke ibunya, neneknya. Itukan generasi sebelumnya lebih tidak progresif lagi penanganannya gitu kan. Akhirnya pasangannya keburu sakit, bahkan kemudian meninggal, seperti itu. Jadi kalau bisa aku simpulkan dari yang dipaparkan Mbak Nanda, terdengarnya seperti dukungan mental gitu ya, pemberdayaan perempuan agar dia tidak merasa sendirian ketika keguguran. Utamanya kan kalau kita bicara keguguran, kadang perempuan juga suka disalahin gitu, ya. "Kenapa bisa keguguran? Kamu makannya nggak bener! Kamu nggak bisa menjaga diri"."

Nanda:
     "Nggak bisa rawat."

Daru:
     "Iya betul, seperti itu. Wah. menarik sekali ya, seandainya APK ini bisa disosialisasikan dengan lebih luas lagi kan, perempuan tidak merasa sendiri dalam mengalami proses reproduksi. Terima kasih banyak Mbak Nanda. "

Nanda:
     "Sama-sama."
​
​
Daru:
     "Sekarang, karena tadi kita sudah bicara aborsi sampai merenggang nyawa dan lain-lain, kayaknya berat banget. Nah, aku pengen tau nih pengalaman Mbak Nanda nih selama bergelut di bidang ini, pasti ada ya pengalaman yang seolah-olah, "Wah harus cerita ini ke semua orang". Jadi mungkin ingin yang paling berkesan, dan mungkin Mbak Nanda nggak bisa lupa, dan mungkin hingga saat ini menjadi motivasi Mbak Nanda untuk tidak berhenti memberdayakan sesama, seperti itu. Ada nggak ya Mbak yang bisa di sharing nih ke Sahabat Jurnal Perempuan?"

Nanda:
     "Ini salah satu yang saya ingat ya, meskipun banyak hal-hal yang sangat berkesan ya. Tapi yang saya ingat itu, ketika kita berdialog, berdiskusi dengan kelompok dan komunitas itu, kadang saya pribadi merasa saya nggak sendiri gitu ya. Artinya kadang apa yang dialami ibu ini saya juga merasa saya mengalami, meskipun saya yang memfasilitasi diskusinya. Tetapi artinya dalam hal ini semakin menguatkan saya bahwa kita harus support satu dengan yang lainnya sebagai perempuan. Sehingga, saya merasa ini bukan isu yang sensitif atau isu yang nggak bisa didiskusikan gitu ya, ini isu yang kita alami kok sehari-hari. Yang perempuan juga alami sehari-hari. Sehingga ini menjadi penguat kita untuk terus menyuarakan ya, karena saya juga merasa saya nggak sendiri ini, persoalan yang harus kita sama-sama carikan masalahnya, dan bukan justru menyalahkan atau menyudutkan perempuan gitu ya. Ya itu tadi, karena saya mendengarkan cerita, apa yang dialami itu, dan saya merasa saya juga kadang mengalami hal yang sama ya, apalagi kebetulan saya juga perempuan."

     "Terkadang ada diskriminasi-diskriminasi yang saya alami, itu saya merasa ini menjadi pemicu untuk kita terus bersama, saling memberikan dukungan, terus menyuarakan apapun bentuknya ya. Nggak perlu yang terlalu sains atau bagaimana. Justru yang mudah, bisa dicerna perempuan lainnya di semua tingkatan, itu menjadi penting. Yang penting adalah kesadaran, sehingga dengan apa yang kita suarakan gitu ya, orang mendengar, tersadar, terus melakukan suatu perubahan. Setidaknya untuk dirinya. Itu sih yang saya rasa. Mengapa masih bertahan di sini ya, karena mewakili ya saya perempuan dan ini harus terus disuarakan bersama-sama. Meskipun dukungan atau tantangannya orang yang menolak juga banyak kan, tapi saya percaya pada generasi-generasi muda itu juga. Ketika kita bicara dengan teman-teman muda tuh yang mereka merasa ya ini kebutuhan dan ini sebuah pengetahuan. Dia nggak merasa tabu di sana."

     "Jadi kita juga semangat gitu ya merasakan bahwa mudah-mudahan ini di tangan-tangan anak muda berikutnya, akan berubah cara memandang isu kesehatan reproduksi. Sudah mau mulai mengkomunikasikan. Atau nanti ketika berkeluarga dia nggak merasa masalah untuk membicarakan dengan anggota keluarga lainnya. Itu yang—harapan cita-citanya ke depan dan tapi itu yang menginspirasi. Artinya saya sih nggak merasa sendiri karena banyak menemui teman-teman perempuan di luar sana."

Daru:
     "Oke baik, terima kasih Mbak Nanda, ini menyentuh sekali karena jujur sebagi aktivis, kadang aku juga mikir apa ya yang bisa membuat aku tidak berhenti memperjuangkan pemberdayaan perempuan? Gitu kan. Dan Mbak Nanda benar banget, jadinya kita nggak merasa sendiri gitu ya. Kaya Mbak Nanda di sini hadir di bidang kesehatan reproduksi, aku mungkin di akademiknya, seperti itu. Wah, mantap banget nih Sahabat. Sekali lagi terima kasih banget Mbak Nanda..."

Nanda:
     "Sama-sama."

Daru:
     "...sudah hadir dengan kami Jurnal Perempuan di sini. Jadi jangan lupa ya, Sahabat, kita harus selalu mendukung dan terus menyuarakan dengan harapan mudah-mudahan fasilitas HKSR di luar sana bisa tersedia, membaik dengan setara dan merata. Oke, Sahabat, terima kasih sudah menyimak perbincangan kita hari ini. Banyak banget ya pembelajaran, informasi, dan insight yang kita dapat. Kita harus lebih semangat seperti yang tadi sudah disampaikan oleh Mbak Nanda, tidak boleh berhenti menyuarakan dalam menjadi agen-agen penyebar edukasi kesehatan seksual dan reproduksi kepada teman, keluarga, dan saudara-saudara yang kita sekiranya memiliki keterbatasan. Seperti biasa kami akan senang sekali kalau Sahabat membisikan ide atau usul kepada kami mengenai topik-topik podcast berikutnya. Bisa lewat kolom komentar atau direct message ke media sosial kami ya. Terbuka lho untuk publik. Sampai jumpa pada podcast selanjutnya! Bye-bye!"

Nanda:
     "
Sampai jumpa!"

Daru:
     "Podcast ini merupakan kolaborasi Jurnal Perempuan dan Yayasan IPAS Indonesia, Salam kesetaraan dan pencerahan."
​
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024