Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025

Podcast JP

No One Left Behind: Perempuan Marginal Menjelang Pemilu 2024 bersama Bivitri Susanti

5/10/2023

0 Comments

 
Picture
     Halo, Sahabat. Kembali lagi bersama kami di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang memperbincangkan feminisme dan kesetaraan. Bersama saya, Retno Daru Dewi. Sahabat, apa kabar, nih? Sudah lama ya kayaknya nih kita nggak bersua di kanal podcast Jurnal Perempuan. Untuk edisi kali ini JP bekerja sama dengan Yayasan TIFA dalam menghadirkan podcast yang seru. Bahasan kita di podcast ini sejalan loh dengan Jurnal Perempuan terbaru edisi 115 yang akan terbit yaitu soal partisipasi politik perempuan muda. Nah, di seri podcast pertama ini, kita akan membahas soal perempuan marjinal dalam Pemilu 2024. Sebenarnya apa saja sih, Sahabat, yang sudah diupayakan atau disediakan pemerintah untuk memeratakan akses kepada mereka?

     Daru: "Untuk membahasnya, kita sudah mengundang Mbak Bivitri Susanti, nih, Sahabat.Halo, Mbak Bivitri. Apa kabar?"
​
     Bivitri: "Halo. Kabar baik. Makasih."


     Daru: "Nah, Sahabat pasti sudah banyak dong yang familier dengan Mbak Bivitri. Yuk, kita kenalan lebih lanjut. Silakan, Mbak Bivitri."

     Bivitri: "Nama saya Bivitri Susanti. Saya sehari-harinya mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dan banyak aktivitas lainnya, dan tentu saja salah satunya, saya adalah Sahabat Jurnal Perempuan."

     Daru: "Oke. Ini Mbak Bivitri juga salah satu Sahabat Jurnal Perempuan yang sudah setia mendampingi dan mendukung perjalanan Jurnal Perempuan. Nah, Mbak, seperti yang kita tahu nih, dalam upaya transformatif pada kelompok marjinal dan disabilitas masyarakat kita, kan perlu ya, kita memberikan mereka empowerment, kekuatan, seperti itu, agar mereka dapat mandiri dan menjalani hidup seperti warga negara lainnya, yang secara sosial mungkin lebih beruntung, lebih berprivilese. Nah, kita mengenalnya dengan prinsip “no one left behind”. Dalam Pemilu 2024 yang sudah di depan mata, menurut Mbak Bivitri, kerentanan apa saja sih Mbak yang menghambat transformasi tersebut? Serta, dalam hal apa saja sih prinsip no one left behind ini perlu ditegakkan dan ditegaskan kembali?"

     Bivitri: "Ya, jadi, ini bahasan yang penting sekali. Karena… dan sangat relevan, karena baru saja, beberapa minggu yang lalu itu, Komnas HAM juga mengaitkan hal ini, soal kelompok rentan dengan pemilu, dan dikatakan sebenarnya dari segi angkanya ya, ada 17 kelompok rentan, mulai dari disabilitas, sampai pekerja migran, pekerja rumah tangga, masyarakat adat, LGBTIQ, pasien rumah sakit, dan seterusnya. Banyak ya, kalau dalam konteks pemilu. Hambatannya banyak sekali. Yang pertama, pasti dari segi pendataan pemilih dulu nih, misalnya. Pendataan pemiih itu pasti basisnya adalah dokumen kependudukan. Nah, padahal yang tadi kita sebut kelompok rentan itu banyak sekali salah satu masalahnya justru mereka tidak punya dokumen kependudukan. Yang saya maksud itu KTP, begitu ya, konkretnya. KTP itu kan tidak semua orang punya karena aksesnya, akses ke birokrasi, dan yang kedua juga karena identitasnya itu diragukan dalam tanda kutip, baik dari aspek misalnya agamanya—sekarang sudah lumayan, masih bisa diakui ya.

     Tapi juga misalnya, kalau dalam KTP kita itu kan agak unik ya. Selain—agama itu agak jarang kalau di negara lain—tapi juga ada jenis kelamin. Nah jenis kelamin itu juga biasanya pencatat, petugas adminduk—administrasi kependudukan, itu hanya mengenal laki-laki, perempuan, dan dengan itu maka sudah ada diskusi cukup lama tuh, karena banyak ternyata kawan-kawan kita yang ekspresi gendernya berbeda. Itu seringkali tidak mau dicatatkan oleh petugas. Karena petugas juga kan punya bias di kepalanya. Jadi, mereka bahkan kadang-kadang cenderung mem-bully ya gitu. “Kamu nih apa sih sebenarnya?” gitu. Sehingga, ada keengganan juga dari kawan-kawan kita untuk mendapatkan KTP, berpikir bahwa, “Ya sudahlah, nggak masalah nggak ada KTP”. Padahal dalam konteks pemilu, itu jadi salah satu—atau bukan salah satu, bahkan yang paling utama untuk mengidentifikasi bahwa seseorang memilih atau tidak—itu baru data. Belum lagi nanti aksesnya, misalnya orang dengan disabilitas. Bagaimana orang disabilitas netra misalnya, bisa memilih.

     Nanti kita bisa diskusikan lagi bagaimana. Tapi itu hal-hal yang kita temukan, akses—yang kedua—dan yang ketiga juga kemungkinan ketidaknyamanan. Misalnya kawan-kawan transpuan atau siapa pun yang dianggap penampilannya berbeda, mau datang ke keramaian begitu, waktu memilih ya, bayangkan Hari H nanti bulan Februari, itu ada juga kecenderungan ada pelecehan-pelecehan yang mungkin mereka dapatkan. Verbal maupun nonverbal. Itu juga membuat mereka enggan. Padahal keterwakilan semua kelompok apalagi kelompok rentan itu sangat diperlukan."

     Daru: "Oke. Ini menarik banget loh Mbak. Bahwa yang tadi, salah satu yang Mbak Bivitri sebutkan itu adalah pasien rumah sakit. Itu kan artinya sebenarnya semua orang bisa ya, tiba-tiba masuk ke dalam kelompok marjinal. Makanya penting banget nih Sahabat, kita semua untuk mendorong transformasi ini agar negara memberikan perhatian lebih baik lagi untuk kelompok yang marjinal ini. Nah, kemudian tadi Mbak Bivitri pas banget membahas tentang KTP. Di edisi ke 110 Jurnal Perempuan, itu kami membahas Mbak, tentang bagaimana kelompok transgender itu, yang nggak punya KTP dan akibatnya, untuk edisi itu ya, yang kami bahas adalah–dalam area COVID 19 itu, Mereka jadinya tidak dapat bansos karena tidak punya KTP tadi kan. Nah itu satu hal. Ini yang tadi disinggung oleh Mbak Bivitri adalah mengenai bagaimana partisipasi mereka dalam berpolitik, gitu ya.Nah, kemudian langkah apa nih Mbak seharusnya yang dilakukan untuk mencegah ketidaksetaraan kelompok transpuan, khususnya ya, yang tidak punya KTP. Atau juga kelompok-kelompok lainnya yang tidak punya KTP, agar dapat ikut serta dalam Pemilu 2024?"

     "Bivitri: Memang pemihakkan terhadap kelompok rentan seperti transpuan itu harus secara aktif dilakukan. Jadi kita sebenarnya tidak bisa lagi hanya menghimbau dan mendiskusikan, kita mesti menuntut terutama petugas adminduk ya. Barangkali kita bisa lewat Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan, secara proaktif mendekati kelompok-kelompok ini. Dan juga dengan cara, tentu saja yang ramah dan nyaman untuk semua orang. Itu yang paling penting. Jadi, jangan juga nanti didatangi seperti digrebek gitu misalnya ya. Kita tidak menginginkan itu. Benar-benar didatangi secara baik, dengan tujuan semata-mata untuk mendokumentasikan mereka. Dan KTP ini memang penting sekali. Bukan hanya pemilu loh. Sebenarnya banyak—tadi bansos ya, sudah disebutkan. Tapi juga banyak sekali akses lainnya, bahkan termasuk kalau kita ke bank, ya kan? Mau dapat kredit, bahkan nggak usah daapt kredit deh, mau bikin rekening bank aja kita pasti butuh KTP. Jadi memang ini satu instrumen dalam pengenalan hak. Dan ini sebenarnya hak semua orang. Itu yang harus dipegang. Banyak sekali kawan-kawan kita yang masih merasa, “Udahlah, nggak apa-apa lah, pokoknya saya survive untuk besok.”Padahal ini adalah hak yang kemudian, karena ini soal administrasi kependudukan, nanti turunannya bisa banyak sekali. Jadi itu ya.

     "Jadi saya kira dari pihak pencatat, petugas-petugas pencatat, itu memang harus bikin program khusus. Kalau perlu nanti kita dampingi, maskudnya supaya pendekatannya juga benar. Kita dampingi untuk mendata secara khusus kelompok-kelompok transpuan maupun kelompok-kelompok lainnya yang selama ini tidak dianggap “eksis” dalam tanda kutip, oleh petugas-petugas kependudukan."

     Daru: "Ya, benar banget tuh, Mbak. Jadi, di edisi 110 kami itu juga ada, salah satu kantor pencatatan kependudukan yang akhirnya di Jabodetabek ya, yang akhirnya bisa menerima. Tapi kan pasti nggak cukup ya Mbak. Kalau cuma satu, di Jabodetabek pula. Bagaimana dengan yang di wilayah-wilayah yang lain? Dan juga salah satu aktivis transpuan nih, Sahabat, ya, yang seperti tadi sudah disebutkan oleh Mbak Bivitri, kalau misalnya mau bikin akun bank aja susah, makanya menurut aktivis transpuan, teman-teman transpuan tuh kerjanya cuma bisa ngamen, yang istilahnya uangnya tuh tidak harus melalui transaksi perbankan, karena mereka nggak punya akun bank itu, karena nggak punya KTP, gitu kan. Oke, nih. Mbak Bivitri, salah satu kelompok masyarakat lain yang juga masih sangat marjinal dalam pemilu 2024 adalah masyarakat adat. Ada beberapa kelompok yang daerahnya sulit banget dijangkau fasilitas kepemiluan. Ada pula adat seperti Noken di wilayah Papua Tengah, Papua Pegunungan, yang membuat masyarakat adatnya tuh menyerahkan atau mewakilkan pilihan politiknya pada pimpinan adat. Padahal kan sayang banget itu ya. Itu berapa banyak suara, begitu kan? Dengan keistimewaan adat seperti ini nih Mbak, apakah instrumen kebijakan publik yang sudah ada sudah memfasilitasi hak mereka belum sih? Terutama karena kita tidak bisa menolak ya, sistem adat seperti ini masih belum memberikan keadilan gender misalnya, bagi anggota komunitas perempuan di dalamnya. Gimana tuh Mbak kalau menurut Mbak Bivitri?"

     Bivitri: "Itu juga masih sangat menjadi masalah. Karena kita juga harus memahami bahwa tidak semua hal yang berbau adat itu selalu arif, apalagi dalam konteks gender. Jadi, kita harus punya—kita buka dulu pikiran kita bahwa dalam masyarakat-masyarakat tradisional, justru banyak sekali yang patriarkis kecenderungannya. Jadi yang jadi kepala suku, yang jadi barangkali dukunnya dan sebagainya, itu memang biasanya laki-laki. Dan karena kita juga, kalau diwakilkan satu orang, sebenarnya jelas ada reduksi jadinya. Yang akan diwakili sebenarnya hanya satu orang itu saja, seakan-akan mengatasnamakan banyak orang lain. Nah, jadi tidak hanya sistem Noken sih, di banyak tempat lainnya juga banyak kelompok-kelompok perempuan, ini dalam konteks masyarakat adat, itu sangat tidak terwakili, apalagi kita juga paham bahwa pastia da semacam pemuka adat itu, biasanya juga didekati oleh para caleg dan tim-tim kampanyenya. Jadi, sudah ada transaksi juga. Jadi, kalau dibilang apakah dia betul-betul mewakili, apakah dia riset dulu, kan idealnya kan begitu ya, dalam sebuah sistem pemilu. Dijalankan dengan baik. Dia riset dulu siapa yang terbaik, apa visinya, atau katakanlah program-programnya. Itu akan mendorong, misalnya, RUU Masyarakat Adat dan seterusnya, saya kira itu sangat-sangat jarang terjadi. Yang sangat sering terjadi adalah politik yang transaksional lagi, apalagi dianggapnya satu orang mewakili banyak orang lainnya. Atau kalaupun tidak sistem Noken, bisa saja terjadi kepala adatnya itu tidak mewakili, tapi dia akan memaksakan, “Udahlah kalian pilih si X saja” misalnya begitu. Nah, ini yang saya kira akan sangat mereduksi soal keterwakilan tadi."

     Daru: "Kok jadi terdengar kayak rezim sebelumnya ya, Mbak? Yang kayak, kalau punya pekerjaan tertentu, partainya yang ini dipilihnya. Seperti itu."

     Bivitri: "Iya, nyatanya, memang sekarang ini banyak sekali yang balik lagi sebenarnya ya, sayang sekali kita harus bilang begitu. Tapi, barangkali yang kita lihat di media sosial itu yang indah-indah. Tapi kalau kita turun ke lapangan, ngobrol dengan kelompok-kelompok yang jarang sekali ada di media sosial apalagi di televisi nasional, kita akan ketemu lagi tuh masalah-masalah yang serupa."

     Daru: "Nah, Sahabat, jadi kita sebenarnya belum seprogresif yang kita sangka ya. Seperti ini. Bahwa ternyata sistem-sistem paksaan yang tidak demokratis bisa dikatakan tidak adil juga kemungkinan masih terjadi nih Sahabat. Nah, Mbak Bivitri, tadi hambatan-hambatan sudah kita bahas, kemudian Mbak Bivitri juga sudah menyebutkan beberapa solusi seperti pendampingan, agar pendekatannya tepat, dan yang lain-lain. Kalau dari kebijakan nih Mbak, ada nggak sih yang harus—sebenarnya bisa kita perbaiki untuk mengatasi hal ini."

     Bivitri: "Ya, saya baru baca sebenarnya beberapa hari yang lalu misalnya, Komnas HAM itu bikin studi untuk memastikan kelompok rentan tadi yang 17 itu sudah diidentifikasi, itu bisa tetap mendapat hak pilihnya. Nah, ini sangat baik ya, kita patut apresiasi. Saya sendiri belum baca studinya, tapi saya yakin nantinya akan mulai ada rekomendasi kebijakan soal bagaimana mengatasi soal ini. Nah, cuma, kita juga paham Komnas HAM itu seringkali posisinya tidak kuat. Jadi kita harus dorong rame-rame. Mumpung ada studinya. Dari segi kebijakan, menurut saya kita mesti cek misalnya KPU tidak hanya di pusat, tapi bahkan terutama di daerah-daerah, itu misalnya apakah mereka sudah memikirkan soal akses yang sama. Untuk semua kelompok rentan. Termasuk tadi tuh, misalnya yang di rumah sakit, TPS rumah sakit itu nanti seperti apa bentuknya? Dan apakah betul-betul menjamin pemilu yang luber—langsung umum bebas rahasia, jujur dan adil. Luberjurdil itu betul-betul harus dilaksanakan.

     "Kemudian, misalnya ada aturan mainnya sebenarnya untuk disabilitas netra, mereka boleh memilih sendiri pendampingnya, karena masih harus dibacakan, dicobloskan gitu ya. Pasti harus membantu, dan itu mereka boleh memilih sendiri. Nah, hal-hal seperti itu yang harus nanti kita pastikan di lapangan betul-betul akan terjadi. Tapi saya kira yang masih agak menantang itu soal tekanan-tekanan yang mungkin timbul di keramaian untuk—misalnya tadi ya, transpuan, atau orang-orang yang dianggap berbeda oleh orang banyak, nah itu sangat rentan sebenarnya untuk bullying dan lain sebagainya yang, mereka enggan untuk datang ke TPS."

     Daru: "Padahal sayang banget ya, Mbak. Suara mereka kan sebenarnya bisa menentukan ke depannya negara kita akan seperti apa."

     Bivitri: "Betul. Jadi kebijakannya itu yang… saya masih belum lihat soal itu ya. Karena di beberapa yang, ada satu riset dari Komnas HAMtadi, misalnya di Medan, itu rentan sekali orang transpuan yang datang untuk dilecehkan rame-rame. Jadi mereka, “Ah, saya nggak mau datang aja deh.” Nah, berarti kan perlu ada kebijakan, gimana cara menciptakan TPS juga sebagai ruang aman, untuk semua orang."

     Daru: "Jadi nggak cukup sosialisasi aja ya Mbak ya."

     Bivitri: "Oh, sangat tidak cukup."

     Daru: "Oke, seperti itu nih Sahabat, kondisinya. Jadi sekali lagi, kita semua harus mendukung transformasi ini, agar semua masyarakat dari mana pun latar belakangnya, gendernya, bisa berpartisipasi di politik 2024. Terkait pembahasan kita nih Mbak, apa saja sih upaya yang bisa kita lakukan untuk mengintegrasikan keistimewaan kelompok-kelompok marjinal tadi, yang sudah kita diskusikan, tanpa mengekslusikan kondisi mereka, terutama perempuan nih Mbak. Karena, suara perempuan juga kan sebenarnya sangat penting ya dalam politik 2024. Sudah banyak sekali dibahas bahwa ketika kita bicara politik, oke perempuan ada nih angkanya, apalagi kalau kita ngomong pengarusutamaan gender, 30% ada, tapi suaranya mungkin belum didengar, kebutuhannya juga mungkin belum dijadikan aspirasi oleh wakil-wakil kita yang nanti akan menjadi wakil rakyat, seperti itu misalnya. Nah, jadi upaya-upaya apa nih, Mbak, yang bisa kita upayakan untuk mereka, utamanya untuk perempuan?"

     Bivitri: "Ya, ini bisa kita tariknya jauh sampai ke reformasi partai politik, nih. Karena memang, adanya kuantitas tadi ya, belum sampai 30%, sekarang kan 20 koma sekian persen. Itu saja kan karena terpaksa sebenarnya. Dan ini pun keterpaksaannya udah diturunkan lagi oleh KPU. Kalau ada kawan-kawan yang belum dengar, ada peraturan KPU, sekarang lagi kami bawa ke Mahkamah Agung, untuk diuji, yang nantinya akan membulatkan ke bawah, kalau ada hitung-hitungan soal asil akhir nanti. Nah, ketika disimulasikan oleh kawan-kawan di Perludem, itu akan merugikan perempuan. Jadi, itu kami sudah ajukan ke Mahkamah Agung untuk diuji. Tapi itu tadi ya. Ini baru soal angka. Karena mereka sesungguhnya dipaksa, dipaksa oleh KPU, karena memang harus memasukkan daftar dan seterusnya, di kepengurusan parpol juga harus perempuan, tapi mereka sendiri sebenarnya belum punya program betul-betul mendorong ada keterwakilan yang sifatnya substantif. Semuanya masih sekadar memenuhi syarat, itu satu, dan saya sebenarnya pernah diundang ya, beberapa kali, ke program pemberdayaan perempuannya partai, itu paradigmanya sebenarnya menurut saya keliru. Jadi, saya datang dengan kritik dulu, karena yang mereka gunakan, soal isu-isu gender, itu bukan untuk membuka kesadaran soal diskusi soal gender, kesetaraan dalam berpolitik dan apa dampaknya pada kebijakan, tapi lebih banyak soal bagaimana perempuan ini mesti diposisikan. Kan kita juga bisa lihat tuh, kalau di partai-partai politik, kebanyakan perempuan itu dibuatkan sayapnya sendiri. Jadi, dia nggak diintegrasikan, dia bukan pengurus inti, tapi dibuatkan, “Perempuan Partai X”. Nah, ini kan sebenarnya seakan-akan keren, kalau ditaro di kertas, tapi dia tidak menumbuhkan keterwakilan substantif tadi. Dan pengarusutamaan itu akhirnya bukan cuma buat perempuanya, laki-lakinya masih sama aja. Nah ini. Jadi saya kira, persoalannya di situ.

     "Kalau kita angkat terus, soal perempuan dalam politik, pasti yang akan dikutip adalah, “Wah, kita punya presiden perempuan loh. Kita punya ketua DPR perempuan.” Melupakan faktor bahwa mereka juga bukan perempuan biasa. Sudah banyak sekali privilesenya, sehingga tentu saja bahkan mereka dalam posisi itu tidak bisa dilihat dalam konteks keterwakilan perempuannya itu sendiri. Nah, jadi di partai itu, karena masih mengejar kuantitas, supaya diloloskan oleh KPU, daftar calonnya, maka akhirnya perem
puan yang masuk daftar itu juga perempuan yang punya privilese tadi. Atau punya hubungan keluarga.

     "Anaknya si ini, istrinya si ini, dan seterusnya, yang juga tidak punya pemahaman yang cukup soal gender, soal bagaimana kebijakan yang punya keberpihakan terhadap perempuan. Nah, itu yang jadi masalah, sebenarnya, dan harus kita bongkar."

     Daru: "Iya, benar banget Mbak. Aku waktu itu pernah ikut diskusi yang perempuan partai-perempuan partai gitu kan ya, Mbak. Sudut pandang isu gendernya nggak kuat. Dan aku juga pernah baca, bahwa kita harus kritis, bahwa sebenarnya perempuan partai A, perempuan partai B, ini jangan-jangan juga peminggiran agar mereka juga tidak tanda kutip mengganggu keputusan yang dilakukan oleh anggota partai lain yang laki-laki. Nah ini kan patut disayangkan ya."

     Bivitri: "Mereka seperti ditaro dalam akuarium."

     Daru: "Betul."

     Bivitri: "Jadi, ya, mereka nggak ikut campur, sebenarnya."

     Daru: "Kasarnya seperti itu ya Mbak ya. Jadi seolah-olah, “Ini kita spesialkan kok. Perempuan yang cewek-cewek ngumpul sendiri. Bikin program ini itu.” Tapi ya, ujung-ujungnya jadi tidak, apa namanya, menambah kualitas mungkin, dari si pengambil keputusan dan kebijakan. Seperti itu ya Mbak. Sangat disayangkan. Nah, Sahabat, jadi seperti yang tadi sudah disinggung oleh Mbak Bivitri, ada kalanya kita punya pemimpin-pemimpin perempuan, tapi sudut pandang feminismenya tidak ada. Jadi empatinya tidak ada, kemudian untuk kelompok marjinalnya juga belum tentu bisa diwakilkan oleh mereka. Gitu, Mbak ya."

     Bivitri: "Ya, jadi kita lihat aja RUU PPRT yah, itu sudah lama sekali dan kita punya ketua DPR juga perempuan. Tapi yang saya dengar dari kawan-kawan, justru partai itulah yang cenderung menolak dan menghalangi undang-undang ini segera dibahas."

     Daru: "Oke, iya, makanya kalau kita bicara politik kepentingan, ya, nggak semua punya sudut pandang isu gender yang baik, ya, Mbak, ya. Apalagi kalau tadi contoh-contoh yang sudah disebutkan Mbak Bivitri, ini privilesenya kuat banget, jadi justru perempuan-perempuan yang benar-benar dekat dengan isu, berjuang dari bawah naik ke atas nih sulit banget ya, untuk bisa mendapatkan posisi dan menyuarakan, mengadvokasikan isu-isu yang dialami oleh kelompok marjinal."

     Bivitri: "Betul. Jadi saya bayangkan begini. Seandainya partai politik kita sehat, dalam arti mereka punya demokrasi internal yang baik, saya yakin sekali perempuan itu akan bisa maju sendiri. Karena sekarang ini kita harus bayangkan, partai politik itu bahkan kalau dia nggak punya koneksi tertentu, jaringan tertentu, dekat dengan elit partai, dia nggak akan bisa maju. Bayangkan, nambahnya untuk perempuan, itu tantangannya pasti dobel, mungkin tripel. Untuk yang laki-laki saja begitu. Jadi, akar masalahnya sebenarnya di partai politik yang memang cenderung elitis. Jadi, dengan begitu, perempuan, yang saya duga, karena perempuan ketika masuk ke dunia politik, dia sudah cukup kuat kemampuan retorika dan sebagainya. Saya yakin sebenarnya mereka akan mampu untuk mencapai posisi yang baik di partai politik. Tapi karena partai politiknya sendiri belum demokratis, akhirnya persaingan yang sehat itu juga nggak didapat. Jadi betul-betul harus bermain jaringan, bermain lobby, dan akhirnya itu tadi, akhirnya dibuatkan sayap khusus perempuan, yang tidak menyelesaikan masalah sebenarnya."

     Daru: "Ini berarti, ini sebenarnya membuka mata aku banget nih Mbak, perihal jaringan tadi ya, makanya kayaknya kok, ini sudah mengakar banget sampai ke hal yang mungkin paling kecil. Kalau kita lihat spanduk-spanduk partai yang, orang-orangnya kita nggak tahu siapa sih, tapi mereka pasti selalu nempelin foto-foto tokoh-tokoh partai, ketua partainya kah, padahal mereka belum tentu kenal banget kan. Tapi ternyata itu upaya mereka untuk memperkuat jejaring tadi ya Mbak ya. Agar mereka bisa kuat, kemudian ya naik ke atas."

     Bivitri: "Iya, jadi banyak sekali sebenarnya orang di partai politik yang kapasitasnya minim sekali. Tapi cara mereka untuk naik untuk dipilih adalah nebeng ke elit yang sudah terkenal. Yang terjadi tuh seperti itu. Seperti parasit-parasit, begitu ya. Jadi, situasinya umum, tapi dampaknya ke perempuan jauh lebih sulit. Karena kan seperti biasa dalam situasi sosial mana pun, kalau untuk laki-laki satu, untuk perempuan harus kali dua atau bahkan kali tiga tantangannya. Jadi, akhirnya kena dampak juga. Dan ketika gendernya tidak dibuat sebagai pengarusutamaan di partai, yang laki-laki pun akhirnya buta sama sekali soal yang harusnya dia dorong. Atau paling tidak, yang sering saya kritik juga tuh, politik itu jadi seperti boys’ club. Karena mereka jokesnya saja—saya sendiri bukan orang parpol ya—tapi kan sering karena advokasi. Sering tidak nyaman karena jokesnya itu saja sangat seksis. Jadi, jangankan ketawa-ketawa rame-rame. Di Whatsapp Group saja saya itu sudah terkenal suka marah-marah, karena kesannya kecil sekali, tapi akibatnya, banyak perempuan yang, “Udahlah, saya nggak usah rapat deh. Ah, nanti juga paling cuma hahaha hihihi, nggak produktif, mendingan saya di rumah.” Misalnya begitu ya. Nah, akhirnya situasi berpolitik yang tidak membuat nyaman ini bikin banyak perempuan juga enggan untuk memasukinya. Nah, akibatnya ya, itu tadi. Ruang politik semakin dikuasai oleh laki-laki yang bahkan tidak punya perspektif gender sama sekali dan akhirnya tidak bisa keluar tuh, kebijakan-kebijakan yang kita ingingkan, seperti Undang-Undang PPRT."

     Daru: "Malah kedengarnya Mbak, kayak, jadi kayak pelanggengan rape culture mereka tuh ada ya? Candaan-candaan seksis, yang begitu."

     Bivitri: "Oh, ya, sangat. Bahkan ada liputan majalah TEMPO misalnya beberapa bulan lalu tuh saya sempat baca, bagaimana kalau dikatakan rape culture itu betul, karena tidak hanya candaan dan lain sebagainya ya, bahkan kan tentu saja ada relasi kuasa. Di gedung DPR itu ada relasi kuasa. Jadi, staf-staf yang perempuan, kemudian juga kadang-kadang membawa perempuan masuk, gitu ya, ke dalam gedung DPR, yang saya dengar, bahkan banyak sekali sebenarnya kekerasan seksual yang terjadi di situ. Tapi, karena gedung itu begitu penuh dengan relasi kuasa dan juga imun. Jangan lupa mereka itu juga punya aturan main sendiri. Kalau anggota DPR itu melanggar hukum, harus izin dulu untuk bisa disidik oleh polisi. Harus izin dari presiden. Kalau DPR RI. Nah, jadi, akibatnya, mereka cenderung imun. Jadi, cukup banyak, ada beberapa laporan, sebagian dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan, tapi kan Mahkamah Kehormatan Dewan itu anggotanya anggota dewan sendiri. Jadi, ada mulai dari KDRT, poligami, itu cukup banyak terjadi di kalangan mereka, tapi ya itu tadi, untuk masuk ke ranah hukum, sangat sulit, karena mereka punya imunitas. Tapi untuk ke ranah etik, Mahkamah Kehormatan Dewan juga seringkali mentok, karena itu jeruk makan jeruk. Jadi biasanya ya, dilindungi saja. Itu ada laporannya kok. Ada investigasinya di majalah TEMPO."

     Daru: "Miris sekali ya Mbak yah. Gimana mau maju?"

     Bivitri: "Ya, jadi, kuantitas itu first step aja, tapi memang kita harus dorong. Jadi, kalau bisa memang kita dorong sampai maksimum bahkan lebih dari 30%, dan kemudian memang harus kita mainstream-kan nih pemikiran, dan kita luruskan yang salah-salah soal pemahaman soal gender ini, termasuk nantinya mengubah cara kerja di DPR sendiri juga DPRD supaya politik itu lebih ramah perempuan. Itu tuh yang saya kira jadi hambatan yang mungkin kita cenderung tidak melihat, jarang kita sasar, tapi dunia politik yang boys’ club itu juga bikin perempuan banyak yang enggan untuk masuk ke dunia politik."
​

     Daru: "Ini mengingatkanku —kemarin aku sempat wawancara salah satu aktivis politik daerah, salah satu daerah di Jawa, gitu ya. Si perempuan muda ini, aktivis perempuan muda, punya ibu yang juga ingin berpolitik. Tapi tidak diberikan kesempatan oleh pemerintah daerah setempat karena dianggap, “perempuan di rumah aja nggak sih? Kok mau jadi ketua kepengurusan partai di daerah?” Seperti itu."

     Bivitri: "Tipikal, ya."

     Daru: "Makanya. Sahabat, jadi seperti yang sudah disampaikan nih ya, bahwa ternyata ketika kita bicara politik, masih banyak kekurangan karena tidak ada, seperti yang tadi sudah disebutkan Mbak Bivitri, demokrasi internal di dalam tubuh partai itu sendiri ya. Jadi bagaimana bisa maju sedangkan, kalau demokrasi internalnya baik maka perempuan akan maju sendiri dalam partai itu tanpa harus dipisah-pisahkan, tanpa harus didiskriminasi. Sehingga, kita harus pantau terus nih teman-teman, sahabat semua. Dan juga harus kita kawal agar di kemudian hari tidak hanya menjadi boys’ club saja ya partai-partai ini. Dan agar wakil-wakil rakyat di kemudian hari terutama menjelang pesta demokrasi kita di tahun 2024 bisa mewakili semua masyarakat terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Wah, terima kasih banyak nih, Mbak Bivitri, diskusinya. Kayaknya sih nggak cukup yah kalau kita ngomongin pentingnya memajukan situasi politik di Indonesia. Nah untuk penutup Mbak, harapan Mbak Bivitri apa saja sih terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 yang inklusif, yang berkeadilan gender, terutama bagi perempuan muda yang akan memilih pemimpinnya. Karena siapa tahu banyak di luar sana atau mungkin sahabat-sahabat Jurnal Perempuan juga yang pemilu pertamanya tahun 2024 nih, Mbak."

     Bivitri: "Banyak pasti."

     Daru: "Iya. Dan juga, harapannya apa sih pada pemerintah yang seharusnya sudah menjamin pelaksanaan pemilu?
Bivitri: Iya, tadi ya. Tiga hal, itu yang harus diperhatikan. Pertama soal identifikasi, maksudnya data pemilih. Itu memang harus dimaksimalkan sekali sampai secara proaktif tidak hanya KPU tapi juga Dukcapil, itu mendekati kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Mulai dari masyarakat adat sampai transpuan dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok disabilitas saya kira sudah lumayan membaik, ya. Saya tidak bilang sudah sempurna, tetapi membaik. Tapi, kelompok marjinal lainnya seperti transpuan dan masyarakat adat ini, masih sangat kurang, kalau dalam pengamatan saya. Kemudian yang kedua, aksesnya. Soal memfasilitasi pemilih, semuanya, untuk bisa memilih, termasuk untuk pendampingan, kalau dirasa perlu, dan terutama untuk bikin ruang yang—untuk membuat TPS itu ruang aman bagi semua. Nah, tapi yang ketiga, nih, dari tadi kita belum bahas sebenarnya, informasi yang cukup."

     Daru: "Ah, betul."

     Bivitri: "Jadi, para pemilih muda, pemilih perempuan muda, juga harus punya informasi yang cukup. Siapa yang nantinya bisa mereka pilih untuk bisa mewakili isu-isu yang mereka perhatikan. Nah, ini saya kira juga masih jadi kritik, karena ternyata tidak semua informasi akan dibuka oleh KPU di awal-awal ini. Nah, jadi artinya kan kelompok-kelompok masyarakat sipil itu banyak sekali yang biasanya ikut menyebarluaskan informasi seperti ini, tapi juga kita dorong kawan-kawan kita, perempuan muda yang pertama kali memilih, supaya jangan sampai memilihnya tanpa informasi yang cukup, begitu. Nah ini yang saya kira, tiga kebijakan di wilayah ini, yang harus kita dorong betul."

     Daru: "Oke. Wah, terima kasih, Mbak Bivitri. Jadi begitu ya, Sahabat. Terutama untuk sahabat-sahabat yang pemilu pertamanya pemilu 2024, jangan lupa dicari tahu, riset-riset, siapa saja sih yang bisa mengadvokasi kepentingan dan juga harapan-harapan Sahabat di  luar sana. Luar biasa banget yah insight dari Mbak Bivitri hari ini. Makasih banyak, Mbak Bivitri, sudah bersedia mengisi podcast Jurnal Perempuan dan TIFA. Mudah-mudahan substansi yang kita bahas hari ini sampai ya, ke telinga para pengampu kebijakan. Sehingga ada sedikit perkembangan, perbaikan, kalau bisa sih yang banyak, ya, transformasinya menjadi lebih baik lagi."

     Bivitri: "Harus dong. Masa kita gini-gini aja?"

     Daru: "Iya! Betul. Sehingga pelaksanaan pemilu 2024 yang akan datang benar-benar efektif untuk memajukan negara kita. Terima kasih juga untuk Sahabat Jurnal Perempuan sekalian yang sudah menyimak. Nantikan episode podcast Jurnal Perempuan selanjutnya, ya. Dan, jangan lupa, jika Sahabat punya masukan mengenai tema dan narasumber podcast, bisa banget loh kasih tahu kita. Silakan tulis di kolom komentar atau direct message ke Jurnal Perempuan. Sampai jumpa lagi di podcast berikutnya. Bye bye, sampai jumpa Mbak Bivitri."

     Bivitri: "Sampai jumpa."

     Daru: "Podcast ini merupakan kolaborasi antara Jurnal Perempuan dan Yayasan TIFA. Salam Pencerahan dan Kesetaraan."
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025