Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024

Podcast JP

Podcast HPI II bersama Dini Widiastuti

7/4/2023

0 Comments

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Halo, Sahabat dan Kaum Muda! Kita bertemu lagi di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang membahas tentang feminisme dan kesetaraan gender. Bersama saya, Retno Daru Dewi. Melalui podcast ini, Jurnal Perempuan dan Yayasan Plan International Indonesia bekerja sama dengan Australian Volunteers Program untuk menghadirkan konten-konten seru untuk merayakan Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day! Meskipun sudah lewat ya, tapi semangat IWD tetap harus kita kobarkan ya Sahabat dan Kaum Muda.

Daru:
"Hari ini kita mau bahas apa sih? Masih mirip-mirip nih dengan podcast sebelumnya, yaitu mengenai perempuan muda dan politik. Hari ini, kita akan membahas tema IWD kemarin, yaitu Embrace Equity. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia jadi merangkul keragaman ya. Bagus banget tuh pesannya. Salah satu tempat di mana kita bisa melihat keragaman ya di ruang digital. Keragaman opini, pilihan, dan macam-macam lainnya. Tapi kali ini kita bahas politik dulu ya, Sahabat dan Kaum Muda. Bagaimana sih ruang digital dapat menjadi “playground” perempuan muda yang ingin berpartisipasi dalam politik? Aman nggak ya ruang digital itu? Nah, Sahabat dan Kaum Muda, di studio kami sudah hadir Ibu Dini Widiastuti, yang akan menemani obrolan kita hari ini! Aku biasa manggilnya Mbak Dini, nih. Halo Mbak Dini, apa kabar Mbak?"
 
Dini:
"Baik, baik, Daru."
 
Daru:
"Oke, Mbak Dini adalah Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Sahabat dan Kaum Muda. Mbak Dini sudah puluhan tahun bekerja di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sebelum berkarier di Plan, Mbak Dini juga berpengalaman banget pada bidang riset dan advokasi masyarakat. Dari segi pendidikan, Mbak Dini menyelesaikan studi masternya di SOAS University of London, di bidang pembangunan ekonomi dan politik Asia Tenggara. Keren dan inspiratif banget ya? Yuk kita kenalan lebih lanjut. Mbak Dini boleh diceritakan dong posisi dan kerja-kerja, kesibukannya, saat ini."
 
Dini:
"Terima kasih, saya Dini Widiastuti, di posisi Executive Director dari Yayasan Plan International Indonesia atau kita sebut Plan Indonesia. Jadi, Plan Indonesia itu adalah organisasi hak anak, terutama memperjuangkan kesetaraan bagi anak perempuan. Kenapa nih anak perempuan dan perempuan muda ya, kita lihat sampai umur 29 ya, di-stretch. Karena memang masih banyak sekali kesempatan yang belum didapat oleh anak perempuan dan perempuan muda. Mereka masih, di dalam kenyataannya, di berbagai sektor itu masih banyak yang terpinggirkan. Terutama kalau kita bicara anak perempuan dan perempuan di desa-desa, di daerah-daerah terpencil ya, di pulau-pulau di Indonesia Timur, misalnya, di mana Plan bekerja. Kami bekerja di 8 provinsi nih, Mbak Daru, terutama di desa-desa. Nah, yang kita lakukan adalah melihat dari life cycle dari seorang anak perempuan. Dari dia kecil, dari bahkan bayi, sampai dia dewasa muda. Dan bagaimana kami berusaha, paling tidak, meminimalisir tantangan-tantangan yang dia hadapi. Apakah itu memastikan supaya mereka tercegah dari stunting. Kemudian juga memastikan mereka aman dari kekerasan ketika kecil sampai dewasa muda, memastikan mereka tetap bersekolah, kemudian juga sehat ya baik itu kesehatan fisik maupun mental, hingga mereka siap masuk ke dunia kerja atau mungkin menjadi wirausaha. Nah ini banyak banget tantangannya. Tentu yang kami kerjakan di Plan Indonesia ini kontribusinya ya kecil ya, tentu. Karena masalah yang dihadapi di Indonesia, terutama kalau kita bicara kesetaraan gender untuk anak perempuan dan perempuan muda itu banyak sekali. Jadi kompleks lah isunya. Paling tidak kita kontribusi lah sedikit untuk memperbaiki situasi anak dan anak perempuan muda di Indonesia."
 
Daru:
"Ah, baik. Kayanya walaupun kontribusinya dianggap kecil, penting sekali, Mbak Dini, untuk perempuan-perempuan di Indonesia."
 
Dini:
"Ya, kalau setiap tahun paling tidak kita punya target sampai 2027, di lima tahun ini, bisa paling tidak membawa perubahan untuk 3 juta anak perempuan dan perempuan muda."
 
Daru:
"Nah, Mbak Dini, kita udah nggak sabar banget nih ngobrol lebih jauh lagi. Pertama kita kita bahas dari yang ringan-ringan dulu. Sebagai Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Mbak Dini sudah akrab banget nih dengan advokasi anak perempuan dan perempuan muda. Berdasarkan riset State of the World’s Girl tahun 2022 juga ditemukan bahwa kebanyakan perempuan muda dan anak perempuan ini belajar mengenal politik dari... ruang digital! Nggak salah sih ya, soalnya ruang digital itu memudahkan pertukaran informasi. Selain itu, banyak juga yang menilai bahwa ruang digital dapat menjadi titik awal yang baik untuk memulai partisipasi politik perempuan muda. Nah bagaimana nih, Mbak Dini menanggapi fenomena tersebut?"
 
Dini:
"Ya, kalau bicara ruang digital, di internet, bukan hanya perempuan muda ya, bukan hanya anak muda. Tapi kita di Indonesia nih, bangsa Indonesia ini, udah sangat connect banget nih di ruang digital, di internet. Yang saya baca itu 9 jam rata-rata sehari. Saya nggak tahu Mbak Daru berapa, tapi saya mungkin kalau enggak 9 jam mungkin udah hampir dekat lah 9 jam. Dan paling tidak 3 jam di sosial media. Apalagi anak-anak muda. Apalagi kalau kita bicara pada masa pandemi gitu ya. Jadi memang itu adalah sebuah dunia yang paralel dengan dunia keseharian kita yang nyata, yang real. Di mana, terutama untuk anak muda, itu sudah menjadi keniscayaan mereka berselancar di dunia maya tersebut. Nah, jadi memang banyak kesempatan. Tapi seperti juga dunia yang real, ada hal-hal baik, ada juga hal-hal buruk yang menyebabkan peningkatan kerentanan atau juga memberikan ancaman yang lebih kepada anak muda, terutama yang perempuan muda. Nah ini kan kalau kita bicara anak muda, terutama remaja, ini juga dalam periode yang penuh kerentanan ya. Masih mencari jati diri, kemudian bisa mudah terpengaruh, dan sebagainya. Dan akan sulit sebenarnya untuk menjadi lebih menantang buat mereka menyortir informasi nih. Masalahnya sekarang ini bukan cuma, bukan lagi ada kekurangan informasi, tetapi sudah banjir informasi. Dan bagaimana menyortir informasi yang baik? Sehingga pengetahuan yang dipelajari itu yang baik. Ini kemudian yang menjadi tantangan. Jadi bukan kita bilang bahwa, "Jangan masuk ke ruang digital". By all means, ya justru harus, karena ini sudah keniscayaan buat mereka."

"Tapi bagaimana melindungi diri, bagaimana juga bisa memilah informasi. Dan kemudian ya saya pikir, yang ingin saya tambahkan juga--karena ini new power ya, ruang digital ini. Tapi, power comes with responsibility juga. Bagi semua aktor yang terlibat di dalamnya, termasuk juga mulai harus diterapkan kepada anak-anak muda. Karena apa yang kita taruh di ruang digital itu juga merupakan sesuatu, apa ya, manifestasi dari diri kita. Oleh karena itu, oke, ruang digital, digital literacy, tapi values itu juga harus duduk dulu. Ini sih tantangannya, sehingga bagaimana ruang digital itu kemudian bisa digunakan untuk belajar dan untuk sharing apa yang sudah dipelajari secara lebih responsibel ya. Nah, itu tantangan bersama mungkin. Belum tentu kita punya jawabannya nih, tapi mari berselancar dengan aman. Saya mau sharing dikit ya. Ada penelitiannya Plan, sebelum State of the World's Girls itu, memang ketika disurvei--termasuk anak-anak di Indonesia--sebagian besar, hampir 60% itu kayanya, pernah mengalami kekerasan di online ya, di dunia digital. Dan itu bahkan sampai anak yang paling muda itu 8 tahun. Jadi, anak-anak itu pernah mengalami, pernah tahu temannya mengalami kekerasan. Jadi, ini mungkin sesuatu pandemi yang nggak keliatan nih secara nyata bahwa itu menghantui anak-anak kita."
 
Daru:
"Oke, wah, tadi menarik banget ya, Sahabat dan Kaum Muda. Pertama tadi Mbak Dini akumulasi nih, 9 jam rata-rata penggunaan internet. Aku kayanya udah lebih ya daripada 9 jam. Apalagi kalau bicara media sosial. Sahabat dan Kaum Muda berapa jam nih, coba? Nah, kemudian Mbak Dini tadi juga sudah memaparkan plus dan minusnya ya ketika kita bicara ruang digital, tentu ada yang positif tapi jangan lupa bahwa power comes with responsibility. Kita harus rajin-rajin menyortir informasi menggunakan internet--ruang digital--untuk belajar. Karena tadi juga sudah disampaikan oleh Mbak Dini bahwa bahkan 60% kekerasan di ruang digital. Bahkan sampai anak umur 8 tahun juga pernah mengalaminya."

"Masih berkaitan dengan ruang digital, tempat di mana muda-mudi kita bertemu secara virtual untuk bertukar wawasan. Salah satu isunya nih Mbak, dari ruang digital adalah Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO. Terutama kekerasan seksual, banyak sekali terjadi di ruang digital. Sayangnya, anak perempuan dan perempuan muda ini menjadi kelompok yang paling rentan di ruang digital. Tahun 2021 lalu bahkan, SafeNET bahkan menyatakan, pandemi COVID-19 semakin meningkatkan angka KBGO. Kayanya tadi seperti persis ya yang sudah disampaikan oleh Mbak Dini."
 
"Nah, kita sebagai feminis yang anti kekerasan seksual pastinya khawatir ya. Apalagi, KBGO itu sangat efektif dalam menjadi senjata pembungkaman aspirasi politik perempuan muda di ruang digital. Nah, menurut Bu Dini, mengenai pembungkaman aspirasi tersebut, apakah ruang digital kini jadinya cukup aman sebagai wadah dari partisipasi politik perempuan? Lalu, di samping risiko KBGO, bagaimana sih peran internet bagi kelompok muda perdesaan, disabilitas, dan juga kelompok marginal lainnya? Ini semakin memberdayakan atau makin merentankan mereka?"
 
Dini:
"Jadi kalau bicara ruang digital dan kemudian tantangannya tadi ya sebagai pembungkam aspirasi baik itu politik maupun juga yang otherwise. Memang nyata, tapi ada hal-hal yang mungkin bisa kita lakukan bersama. Pertama, tentu mengajak teman-teman muda ini untuk lebih melek lagi ya digital. Baik itu peluang dan juga ancamannya. Jadi jangan cuma digunakan untuk hal-hal yang nggak produktif, atau malah terjebak dalam komunikasi-komunikasi yang tidak baik. Dan kemudian tadi sih saya bilang, bagaimana digunakannya. Karena ini sebenarnya kan resources ya. Resources yang bisa kita gunakan untuk menjadi baik atau sebaliknya. Nah, ini gimana tanggung jawab selain juga hak. Selain juga hak dan tanggung jawabnya ketika menggunakan ruang digital tersebut. Nah kalau tadi pertanyaannya bagaimana peran internet di kelompok muda perdesaan, Plan ini banyak kerja di desa-desa nih Mbak Daru. Kita kan juga kemarin digital campaign dan sebagainya ya. Karena kita duduk di Jakarta. Terus kita ke Lembata, terus kita ke daerah-daerah di NTT. Mereka bilang, "Kak, bisa nggak sih campaign-nya itu pakai mading?". Waduh, mading? Mading itu jaman saya sekolah, gitu ya. Kok balik lagi, gitu ya. Tapi, mungkin bukan cuma mading gitu, jadi uniknya itu kita di dalam dunia ini, sekarang ini kita nggak bisa cuma one way solution gitu, misalkan digital aja. Karena Indonesia ini sangat beragam ya. Gap-nya juga besar. Jadi mereka memang terkoneksi juga dengan ruang digital, tapi nggak as intense karena koneksinya nggak sebaik di Jakarta mungkin ya. Jadi memang harus selalu dua, dan selalu checking gitu ya ke temen-temen di desa. Lewat apa sih? Mungkin lewat radio komunitas sebenernya yang engaging dengan mereka gitu. Mungkin ada hal-hal yang lain. Mungkin juga lewat kesenian atau model-model komunikasi yang memang face to face. Nggak bisa kita gantikan semuanya dengan digital, karena jadi ada kebutuhan--saya pikir--ketika ruang digital ini makin intensif untuk kita juga berusaha memastikan ada interaksi-interaksi di ruang yang nyata, di real, gitu ya. Karena ruang-ruang nyata itu tidak bisa digantikan 100% dengan ruang digital. Interaksi manusianya, empati yang ditimbulkan, dan tanpa ada duduk pengalaman di ruang-ruang real itu maka akan sulit itu bisa dikembangkan atau direplikasikan di ruang digital."

"Jadi ruang digital memang bisa mengamplikasi ya. Pada saat yang sama, kita bisa connect dengan berbagai komunitas di berbagai negara, isu, opini, dan sebagainya. Tapi, kalau ibaratnya kita belum belajar yang kecil-kecil dan berinteraksi dengan manusia nyata gitu--real--itu ada sesuatu yang secara prinsip akan kehilangan. Jadi, interaksi dengan teman-teman atau adik-adik di desa ini menyadarkan sih, menyadarkan kami bahwa, "Oh iya ya, nggak bisa tuh semuanya diselesaikan dengan digital." Nggak bisa semuanya internet based, gitu."
 
Daru:
"Malah membuka mata ya?"
 
Dini:
"Malah membuka mata, gitu. Oh iya ya, berarti ketika kita menggunakan hanya satu pilihan ya, apapun yang satu pilihan menurut saya nggak baik ya. Mau itu kalau kita makannya hanya satu makanan atau partai politiknya cuma satu atau apapun cuma satu, nggak ada pilihan, itu kemudian mengeksklusi ya, meminggirkan kelompok-kelompok yang lain. Termasuk juga teman-teman yang di perdesaan atau juga teman-teman dengan disabilitas. Ini yang menjadi tantangan atau kemungkinan ketika kita terlalu sibuk dengan ruang digital, digitalisasi, semuanya gitu ya, satu solusi aja untuk mencapai semua bagian dari masyarakat, semua sektor. Padahal Indonesia ini sangat beragam. Nah itu. Mungkin tantangannya kemudian bagaimana kita di tempat-tempat yang bisa memainkan peran untuk menjadi translator? Untuk menjadi penghubung? Sehingga, teman-teman yang di desa, yang aksesnya belum bagus, yang gadget-nya nggak punya gitu ya. Kalau ngomong gadget nggak punya, mungkin di kota juga banyak. Kemudian juga dengan disabilitas. Itu bisa terkoneksi, baik langsung ataupun tidak langsung. Bagaimana ada translasi-translasi itu sih, sehingga tidak ada yang terpinggirkan. Karena kalau suara mereka nggak masuk, maka kita akan ya kaya di echo chamber aja, kita dengerin suara kita sendiri, kita dengerin opini atau apa dan sebagainya yang mau kita denger aja. Karena  memang kan sistemnya seperti itu ya. Algoritmanya ya kalau kita nggak jalan keluar, kita cuma connect ke internet, yang keluar yang mirip kaya kita aja."
 
Daru:
"Iya bener."
 
Dini:
"Gitu sih, bahaya banget sih kaya gitu."
 
Daru:
"Wah, terima kasih, Mbak Dini. Ini bener-bener mencerahkan ya. Jadi tadi Mbak Dini menyampaikan pesan bahwa kita harus melek digital, mengingat lagi dampak positif dan negatif penggunaan ruang digital. Nah, tapi tadi ada yang sangat menarik, bahwa ternyata ketika kita mau memberdayakan orang lain, terutama kelompok marginal, misalnya tadi Mbak Dini cerita tentang pengalaman Plan turun ke lapangan, ke NTT--bahwa ternyata nggak bisa ruang digital itu menjadi solusi satu-satunya. Karena di Indonesia beragam, masih ada gap, masih ada saudara-saudara kita di luar sana yang tidak seintens kita di kota besar dalam berinternet. Kalau itu tidak diperhatikan, kemudian kita memaksa hanya ada satu pilihan, ya kelompok-kelompok tersebut yang ada terekslusi, terpinggirkan, dan suaranya tidak didengarkan, tidak tersampaikan, seperti itu."

"Mbak Dini, kita mention lagi nih riset State of the World’s Girls tahun 2022. Dalam riset tersebut, peran perempuan dalam politik informal ternyata sangat besar nih. Yah, bagaimana tidak besar ya, karena perempuan kan kelompok pemilih terbesar pada Pemilu 2024 nanti, menurut data dari Komisi Pemilihan Umum. Atas hal ini juga, keterlibatan perempuan dalam politik idealnya juga diperhitungkan nih di luar kerangka politik formal, misalnya sebagai menjadi anggota partai politik atau sebagai aktivis politik. Peran perempuan dalam aktivitas politik lebih dominan dalam lingkup komunitas maupun keluarganya, yang basisnya adalah kerelawanan. Jadi, meskipun banyak sekali perempuan yang sudah aktif dalam politik, tapi mereka seakan tidak terlihat gitu Mbak keberadaannya. Menurut Mbak Dini gimana nih pandangannya soal fenomena tersebut?"
 
Dini:
"Kalau kita buka media aja ya, apakah di internet, yang online, ataupun--saya masih baca surat kabar!"
 
Daru:
"Sama, Mbak!"
 
Dini:
"Jadul nggak, sih?"
 
Daru:
"Aku masih baca tadi malem."
 
Dini:
"Enak ya."
 
Daru:
"Uhm-hm, sambil dipegang."
 
Dini:
"Kinetik tuh kayanya ya, dibuka lembarannya. Halaman pertama, nggak ada perempuannya. Halaman kedua, nggak ada perempuannya, gitu ya. Jadi di mana, gitu, di ruang publik, di media itu, nggak ada. Padahal tadi kan di belakang itu, terutama di informal, itu banyak. Bahkan sebenarnya juga di politik pun, sekarang sudah lebih banyak daripada zaman dulu banget gitu kan. Walaupun belum memenuhi kuota dan sebagainya. Tapi, tapi itu aja sudah nggak ada, itu aja sudah nggak ada. Representasi di medianya itu dikit sekali, bukan cuma di politik ya. Di ekonomi, di bisnis, di semua lini lah gitu, nggak keliatan. Kurang lah, kurang kelihatan banget perempuan gitu. Kalau ada nanti ya cuma artis anu, ani, apalah, gitu ya. Tapi, apa, aksi perubahan yang dilakukan perempuan itu tidak masuk ke media mainstream ya paling tidak. Itu role model yang kurang itu yang kemudian saya pikir, walaupun di State of the World's Girls itu mengatakan bahwa perempuan--apa namanya--girls dan young women itu tertarik sebenarnya ya dengan politik. Tapi banyak keragu-raguan, karena mereka nggak lihat figur yang cukup banyak, role model, dan ketika ada terus mereka jadi takut juga. Karena kok para pemimpin politik yang perempuan itu kemudian yang dikomentari tuh hal-hal yang terkait dengan tubuh mereka, pakaian mereka, bukan keputusan yang mereka ambil atau dampaknya. Nah, jadi itu udah ilfeel duluan kalau mau masuk ke yang politik formal. Itu sih salah satu yang kita tangkap dari State of the World's Girls itu ya."
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024