Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa

Podcast JP

Podcast HPI I bersama Yasmine A. Nuha

10/3/2023

0 Comments

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Halo, Sahabat dan Kaum Muda! Kembali lagi bersama Podcast Jurnal Perempuan, Podcast yang membahas feminisme dan isu kesetaraan gender. Bersama saya, Retno Daru Dewi. Sebelum masuk ke perbincangan, saya sampaikan info terlebih dulu nih. Podcast kali ini adalah podcast kolaborasi Yayasan Jurnal Perempuan bersama dengan Yayasan Plan Internation Indonesia dan Australian Volunteers Program dalam rangka Memperingati Hari Perempuan Internasional. Tentunya, kolaborasi ini membuat serial podcast kali ini menjadi lebih spesial, dong. Nah, tentu saja podcast yang spesial juga membahas hal spesial, dong. Salah satu peristiwa “spesial” yang sebentar lagi akan kita hadapi adalah pesta demokrasi. Yup, betul banget, Pemilu Serentak tahun 2024 sudah di depan mata! Untuk menyambut hal itu, di seri podcast ini kita akan membahas perempuan dan partisipasi politik.

Daru:
"Sahabat dan Kaum Muda, pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (DPB) Semester I 2022 dari Komisi Pemilihan Umum, mencatat terdapat 578.139 pemilih baru dari total 190.022.169 orang pemilih aktif di Indonesia. Banyak ya. Selain itu, pemilih di Pemilu 2024 akan didominasi oleh kaum muda. Namun, sudah sering kita dengar nih, bahwa anak muda itu lebih apatis soal politik. Berkaitan hal tersebut, survei State of the World Girls 2022 dari Plan International juga menggarisbawahi betapa sulitnya perempuan muda dan anak perempuan di Indonesia dalam berkontribusi dalam politik. Suara mereka, perempuan-perempuan muda tersebut, cenderung tenggelam, kalah dengan isu-isu populis yang tidak menyangkut kepentingan perempuan. Nah, untuk embahas hal itu, hari ini kita kedatangan tamu spesial, yaitu Yasmine A. Nuha. Halo, Yasmine!”
 
Yasmine:
“Halo Kak, halo Sahabat dan Kaum Muda. Saya Yasmine.”
 
Daru:
“Boleh memperkenalkan diri dulu nih, Yasmine.”
 
Yasmine:
“Oke, jadi saya Yasmine Anisa Nuha. Saya 24 tahun, kegiatan saat ini saya bekerja dan juga berkontribusi untuk GYIG-nya Plan International, atau Global Young Influencer Group-nya Plan Internasional, sejak 2022 sampai 2024. Nah GYIG ini sendiri adalah Badan Penggerak Kaum Muda Plan International yang terdiri dari beberapa pemuda pemudi dari berbagai negara yang bertugas untuk mengakselerasi dan mengimplementasi three campaign demands-nya Plan International, yaitu equal power, equal freedom online and in public, and equal representation. Melalui kolaborasi dan advokasi. Selain itu, saya juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial yang fokusnya memang di isu gender, children, dan women. Baik dalam level regional, nasional, Asia Tenggara, dan global. Saya mulai aktif dalam kegiatan sosial itu sejak 2019, dimana saya bersama rekan-rekan saya membangun Puanisme Bogor sebagai community organization di Bogor yang menyediakan ruang aman berbasis gender. Saya juga salah satu pendiri Women for GRB atau Women for Gender Responsive Budgeting. Ini adalah sebua program yang menaungi masyarakat desa, terutama perempuan desa, untuk meningkatkan kapasitas dalam berpolitik sehingga dapat berkontribusi dalam menentukan penganggaran desa yang berbasis gender. Nah program Women for GRB ini memang saat ini dilaksanakan baru di satu desa, di wilayah pasca konflik di Poso, Sulawesi Tengah.”
 
Daru:
“Oke, jadi bisa Sahabat dan Kaum Muda dengar tadi ya, Yasmine ini seorang aktivis perempuan, pendiri Puanisme Bogor (komunitas yang bergerak untuk menyediakan ruang aman bagi korban kekerasan berbasis gender) dan juga co-founder Women for GRB yang merupakan organisasi pemberdayaan perempuan yang saat ini banyak bekerja di daerah Poso, Sulawesi Tengah. Wah ini sih pasti pengetahuan soal politik dan perempuannya sudah tidak diragukan lagi ya. Kalau begitu, mari kita masuk ke pertanyaan langsung aja, nih. Jadi begini, Yasmine,  selama ini kan penggambaran politikus di media sangat erat dengan laki-laki ya. Bahkan kalau misalkan kita nonton sinetron di media, misalnya gitu kan, representasi yang membingkai perempuan muda sebagai anggota DPR atau Walikota itu pasti sangat sedikit. Kemudian direpresentasikan talent atau aktor-aktor yang dia-dia saja, yang sebenarnya merupakan representasi kehidupan nyata ya. Yang, walaupun sudah ada kuota keterwakilan 30% di parlemen, tapi isu-isu perempuan juga masih kurang terwakilkan nih. Contoh kita punya, UU TPKS yang butuh waktu 6 tahun lho sampai bisa disahkan sekarang, gitu ya. Padahal isunya urgent sekali nih. Nah pasti Yasmine sama ya dengan semua orang di luar sana, terutama aktivis-aktivis gender dan perempuan, yang geregetan gitu ya, apalagi sebagai co-founder Puanisme Bogor yang banyak terlibat di advokasi penyintas kekerasan berbasis gender, pasti ngeliatnya nih, "Aduh kapan ya kita bisa maju" gitu ya. Nah, menurut Yasmine, kenapa sih isu politik terlihat sangat sulit dicapai oleh perempuan muda dari segi keterwakilan maupun informasi?”
 
Yasmine:
“Baik, Mba, jadi sebenarnya kalau saya melihat sendiri ya partisipasi politik yang inklusif tuh bukan hanya hak politik dan demokrasi yang mendasar bagi setiap warga negara ya, tetapi juga memang penting untuk membangun masyarakat yang stabil dan damai, yang juga bisa mengembangkan kebijakan dan merumuskan politik hari ini dan masa depan yang responsif nih terhadap kebutuhan kelompok marjinal atau yang bisa juga kebutuhan perempuan, seperti itu. Nah kalau kita lihat dari State of the World's Girls Report-nya Plan tahun 2022, 97% anak perempuan percaya bahwa berpartisipasi dalam politik itu penting. Tapi, 94% di antaranya, berarti cuma 3% yang nggak ngomong, anak perempuan tuh juga menyatakan bahwa mereka menghadapi tantangan. Menurut mereka itu penting, tapi juga mereka menghadapi tantangan ketika mencoba untuk berpartisipasi. Nah tantangan utama secara global terutama di Indonesia mungkin ya banyak anak perempuan yang bilang bahwa politisi tidak mendengarkan anak perempuan dan perempuan muda, terus juga diikuti oleh politisi yang nggak berbicara tentang isu-isu yang mempengaruhi perempuan atau anak perempuan, dan juga politiknya tidak terbuka untuk partisipasi perempuan muda atau anak perempuan. Jadi sebetulnya, as young women, we know that we are political, tahu banget, ngerti banget kalau kita political, namun memang secara global karena tidak sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan, akhirnya kita jadi banyak yang apatis. Nah, salah satu faktornya mungkin karena ya perempuan bukanlah aktor politik yang dominan dalam ranah politik, baik politik nasional maupun internasional. Hal ini merepresentasikan bahwa memang representasi perempuan pada ranah berpolitik itu masih jauh dari cukup untuk memperjuangkan dan mengangkat isu perempuan. Sehingga, perlu adanya usaha untuk meningkatkan representasi tersebut. Selain hal itu, sebagai kaum muda aja terbatas, kita sebagai youth aja terbatas,  apalagi sebagai perempuan dan anak muda perempuan muda gitu ya. Pasti banyak banyak ngedenger kaya, "Ah this is not your part" gitu kan, "This is not your responsibilities, you are just a girl, you are just a women, we dont need your opinion" misalkan kaya gitu. Hal ini memang, nggak bisa dipungkiri, memang sering kejadian. Problemnya memang ketika menggagas ide atau gagasan, ya most times nggak didengarkan atau nggak mendapatkan respons lah dari pengambil kebijakan. Jadi memang ada gap antara penggagas ide dan penerima ide. Gap yang seperti ini yang menimbulkan isu-isu seperti anak muda yang apatis, perempuan yang apatis, yang akhirnya membuat kesempatan kaum muda dan perempuan muda tuh malah jadi lebih tidak aksesibel dengan berpolitik. Terlepas dari representasi perempuan dalam parlemen, ada banyak juga hambatan intrinsik pada diri perempuan yang pada akhirnya menghambat perempuan untuk berjuang lebih dalam peran politiknya. Ada hambatan kultur sosial masyarakat, seperti penilaian masyarakat terhadap perempuan yang seharusnya tidak terjun ke dunia politik. Harus mengatur urusan domestik keluarga aja, misalnya. Dan akhirnya itu berpengaruh terhadap hambatan psikologis perempuan sehingga perempuan itu memiliki rasa percaya diri yang rendah dalam bersaing dengan laki-laki ketika terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini akhirnya nanti akan berefek terhadap hambatan ekonomi. Begitu Mba.”
 
Daru:
“Oke, kalau misalnya didengar-dengar, tetep ada value patriarki di sini ya Yasmine. Ada nilai-nilai yang masih mendiskriminasi perempuan di dalam masyarakat. Ini sebenarnya mungkin tidak terjadi hanya di bidang politik saja ya, ada beberapa riset-riset Jurnal Perempuan yang membicarakan perempuan di area perhutanan, perempuan nelayan, seperti itu yang juga tidak direpresentasikan seperti itu. Permasalahan mereka sangat berlapis, apalagi dengan kebijakan yang tidak mengutamakan kebutuhan kaum muda dan perempuan begitu ya Yasmine.”
 
Yasmine:
“Iya, betul Mba.”
 
Daru:
“Kita sudahlah tidak terwakili, tidak terwakilkan, tidak didengar pula. Dan ketika pengambilan keputusan, kita juga tidak dilibatkan, seperti itu ya. Mungkin bisa disepakati, nggak sih, ini kan karena aktor dominan di bidang politik itu kebanyakan bukan perempuan ya Yasmine.”
 
Yasmine:
“Betul, jadi nggak tahu ini kita butuhnya apa.”
 
Daru:
“Iya, betul, sedangkan kita mau berpartisipasi juga merek agak kurang mendengarkan gitu ya. Selanjutnya nih, Yasmine. Melihat data dari riset State of the World’s Girls yang tadi sudah kita singgung, kita dapat melihat banyaknya tantangan dan hambatan perempuan muda dalam partisipasi politiknya. Yasmine sendiri, sebagai seorang aktivis perempuan yang banyak mengikuti kegiatan volunteer di tingkat nasional hingga internasional, pasti sudah paham banget ya permasalahan seperti ini. Kalau dari riset yang tadi kita singgung, salah satu hambatan perempuan muda untuk berpartisipasi dalam politik adalah politisi nih tidak mendengarkan suara perempuan muda. Seperti yang tadi juga sudah disinggung oleh Yasmine. Nah, kalau pengalaman Yasmine di lapangan, kan tadi Yasmine merupakan co-founder Women for GRB dan meng-handle masalah-masalah di Poso begitu ya yang sekarang masi zona merah kan?”
 
Yasmine:
“Masih, masih pasca konflik, Mba.”
 
Daru:
“Nah, menurut laporan pandangan mata Yasmine nih di lapangan, apa saja sih tantangan dan hambatan bagi partisipasi perempuan di ranah politik?”
 
Yasmine:
“Mungkin kalau kita melihat dari lokasinya dulu ya. Kita kan ini di Poso, ini di zona merah, zona pasca konflik gitu ya, pertanyaannya mungkin... kita harus bertanya juga. Apa sih yang menjauhkan perempuan dari politik di desa? Pasti kan ada faktor yang menjauhkan mereka dari politik di desa. Nah, ternyata perempuan di desa ini menghadapi kesulitan khusus, dan lebih beragam. Seperti masalah akses, kekurangan dana, dan keterbatasan infrastruktur. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kapasitas perempuan desa untuk terlibat dalam pengambilan keputusan desa. Karena, ya mungkin udah sibuk ngurus anak, mereka juga harus ke kebun, jadi mereka seringkali mangkir dalam rapat desa. Nah, kalau memang lokasi kita ngomongin lokasi program Women for GRB di pasca konflik, itu memang perempuan itu kelompok paling rentan. Apalagi di wilayah pasca konflik, gitu ya. Karena mereka tuh terimpact dalam sektor manapun, sehingga mereka tidak bisa menerima manfaat alokasi anggaran yang seharusnya mereka terima, dan tantangan dari isu menyeluruh ini tuh antara lain memang menyebabkan kurangnya akses informasi. Mereka nggak tahu nih mereka mau belajar berpolitik darimana, mereka nggak tahu tentang budgeting, mereka boro-boro tahu tentang struktur daerah, struktur desa, seperti itu. Akhirnya mereka tereksklusi dari wacana politik. Kontribusinya juga terabaikan dalam rekonsiliasi dan juga kurangnya keterlibatan dalam sektor publik lokal. Perempuan ini memang kekurangan alat. Di Poso ini, mungkin kekuranan alat dan kapasitas untuk menyuarakan kebutuhan mereka. Khususnya dalam hal-hal yang mendasar lah, kaya kedamaian mereka dan keamanan mereka itu hal yang harus didapatkan bagi setiap makhluk hidup. Apalagi warga negara lah. Harus merasa aman, harus merasa damai. Mereka pun tidak bisa terlibat dalam pengambilan keputusan dalam sektor tersebut. Jadi, sebetulnya memang tujuan capacity building atau workshop ini melihat problem tadi, tantangan tadi, besar harapannya untuk meningkatkan edukasi dan menyediakan sumber daya kritis yang diperlukan untuk pemahaman dan partisipasi perempuan desa dalam berpolitik secara aktif. Kita pengennya sih mereka nggak cuma berpotensi untuk diri mereka sendiri, tapi pengennya juga mereka untuk gathering other women in village dan mereka juga lebih percaya diri. Sehingga, mereka jadi lebih percaya diri untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan komunitas lokal kaya gitu. Pengennya sih mereka juga terlibat dalam pengembangan kebijakan yang mana memang jadi kebutuhan untuk mereformasi tata kelola daerah ya, terutama dalam meningkatkan kualitas penganggaran daerah yang lebih responsif gender. Pengennya, mereka tuh kebutuhannya dan kepentingannya harus efektif, secara efektif ditangani dalam proses penganggaran yang transparan, seperti itu sih Mba.”
 
Daru:
“Oke, itu kayanya paparan dari Yasmine tuh semakin menjustifikasi bahwa perempuan itu punya masalah yang berlapis. Apalagi ini di Poso, wilayah yang rentan konflik, kebijakan untuk mempertahankan keamanan mereka saja belum ideal. Udah gitu nggak ada akses yang lancar, dana juga tidak ada, dan masih terbatas value atau nilai tradisional di sekitar mereka ya. Bahwa pekerjaan domestik itu pekerjaan perempuan. Jadi, bagaimana perempuan-perempuan itu mau hadir merepresentasikan kelompoknya, apalagi untuk menyumbang solusi, suara, dan mempengaruhi pengambilan keputusan di kemudian hari.”
 
Yasmine:
"Betul, Mba."
 
Daru:
"Wah, ternyata banyak juga ya tantangan buat para perempuan muda, apalagi buat perempuan-perempuan di wilayah perdesaan gitu. Lebih banyak tantangan dan hambatan bagi partisipasi politik mereka, tentunya dengan jumlahnya yang sangat banyak perempuan muda nggak mau sampai salah memercayakan suaranya pada politisi yang ternyata tidak mengutamakan isu-isu perempuan dan kepentingan kaum muda. Tapi... ketika kita bicara janji-janji di kampanye kadang suka membuat kita terbuai ya, Yasmine? Sehingga kita kadang suka salah milih nih, sebagai persiapan bagi para pendengar kita yang akan perempuan pemilih muda, apa saja sih yang menurut kamu perlu dipersiapkan sebelum berpartisipasi dalam politik? Jadi kita tuh perlu percaya nggak sih sama janji-janji politik, menurut Yasmine?"
 
Yasmine:
"Ayo percaya diri aja dulu, gitu, ayo kritis dalam melihat opsi ideal kolaborasi antara kaum muda dengan pemangku kebijakan. Melalui responnya positif nggak ya? Gitu, atas gagasan yang dikemukakan oleh kaum muda dan perempuan muda gitu. Mungkin kita bisa lihat dulu dari beberapa poin ketika mereka memberikan janji-janji politik mereka, gitu ya. Contohnya adalah, satu, misalkan apakah pengambil keputusan di semua tingkatan melembagakan partisipasi yang bermakna dan aman bagi kaum muda terutama perempuan? Gitu. Kita lihat dulu nih, kebijakan atau janji-janji politik itu apakah melembagakan partisipasi yang aman nih kaum muda dan perempuan? Gitu. Yang kedua, apakah program pemerintah nasional, nih, dan pemerintah lokal yang memang dijanjikan oleh calon pemimpin masa depan itu memastikan akses ke jalur menuju partisipasi politik, termasuk sumber dayanya, ya kayak pendidikan kewarganegaraan, pendidikan yang beragam, inklusivitas, gitu ya, including capacity building, misalkan kayak gitu... itu di sekolah ada nggak? Accessible nggak buat kaum muda atau perempuan? Terus, juga, kita juga perlu lihat apakah janji-janji politik ini mengadopsi pendekatan zero tolerance nggak? Dalam kekerasan terhadap partisipasi politik kaum muda dan aktivis perempuan gitu. Kalo misalkan nggak ada zero tolerance terhadap kekerasan, terhadap perempuan, ya...susah juga ya. Kita kan perempuan, kita mau dilindungi sama siapa lagi gitu?"
 
Daru:
"Hmm, betul."
 
Yasmine:
"Dan yang terakhir, apakah pemerintah juga mengakui peran penting perempuan dalam bermasyarakat? Kalo misalkan memang di janji politiknya kita bisa lihat, oh, dari program-programnya mereka mengakui pentingnya peran perempuan dan melibatkan perempuan mungkin bisa jadi salah satu consideration gitu, nah, itu harus menjadi pertimbangan bagi perempuan muda untuk memilih pemimpin masa depan negeri ini sih. Gitu menurut saya."
 
Daru:
"Oke, jadi ada empat poin nih Sahabat dan kaum muda yang harus kita perhatikan sebelum berpartisipasi dalam politik, terutama untuk perempuan muda. Yang pertama, apakah melembagakan partisipasi yang aman para perwakilan di politik tersebut? Kemudian, program pemerintah itu baik nasional ataupun lokal accessible atau tidak? Bisa kita pahami atau tidak? Tidak hanya kita aja, tapi juga semua masyarakat yang mungkin selama ini mengalami hambatan dalam mendapatkan informasi-informasi keterlibatan dalam politik. Kemudian, harus... ini kayaknya udah nggak bisa dibuang jauh-jauh, ini bener-bener harus zero tolerance kekerasan terhadap perempuan, ini seringkali dilupakan ya. Kemudian, pemerintah juga harus mengakui peran perempuan dalam politik, karena memang harus disepakati ya bahwa sudut pandang perempuan dengan permasalahan kita yang bisa dikatakan sudut pandangnya berbeda, itu sebenarnya bisa memperkaya kebijakan-kebijakan yang lebih baik lagi. Tidak hanya untuk perempuannya, tapi untuk semua orang. Oke.
 
Yasmine: "Betul."
 
Daru:
"Nah banyak banget nih insight-insight dari Yasmine untuk kita semua, terutama untuk perempuan pemilih muda nantinya yang ingin berpartisipasi di dalam politik. Nah, untuk penutup diskusi kali ini Yasmine, menurut Yasmine nih ya, tips aja sih--saran apa saja yang bisa diberikan pada para pemilih muda terutama perempuan. Apa saja yang harus dilakukan--apa saja yang harus dihindari selama mereka menyiapkan partisipasi pertama mereka dalam Pemilu? Karena begini, umm, memang kinerja wakil rakyat yang terpilih bukan tanggung jawab pemilihnya ya."
 
Yasmine:
"Betul."
 
Daru:
"Seperti yang tadi sudah disampaikan juga oleh Yasmine, ada janji-janji yang mungkin nanti diingkari, seperti itu. Tapi, kita bisa mencegah suara kita jatuh ke wakil rakyat yang populis, yang mungkin bisa dikatakan... paling sedikit resiko untuk terjadi kesalahan terutama kekerasan di kemudian hari. Jadi menurut Yasmine, tips sarannya apa nih yang harus dilakukan atau dihindari?"
 
Yasmine:
"Oke, baik Mbak. Jadi sebenarnya mungkin kita pertama memang be critical, dan juga be confident with your choice, gitu, menurut saya gitu dulu. Kalo misalkan saya mau share sedikit mungkin ada Youth Manifesto-nya Plan Internasional nih. Jadi tahun ini memang Plan International tuh bikin badan, namanya Global Young Influencer Group, dan itu memang--ini global ya, levelnya global dan kita semua menyepakati Youth Manifesto yang sama terkait partisipasi perempuan di politik, gitu ya. Nah, dalam manifesto ini kita menyatakan bahwa kita percaya pada potensi anak perempuan, perempuan, anak muda gitu ya dalam semua keragamannya untuk turut disertakan dalam setiap ruang pengambilan keputusan, gitu. Kami juga menuntut power holders untuk membuka jalur partisipasi yang aman, inklusif, accessible, dan berkelanjutan. Kami juga menuntut Pemerintah Nasional dan Undang-Undang Nasional untuk berbuat lebih dalam melindungi hak-hak perempuan dalam berpartisipasi dan kami juga menantang power holders di seluruh dunia untuk mendengarkan apa yang memang ingin kami sampaikan dan menjadi bagian dari solusi. Jadi, kalo menurut saya, pertama kita kritis, yang kedua memang kita juga confident aja sama pilihan kita, gitu. Jadi, I think so for my fellow girls, young women, let's be fearless aja, gitu ya. Karena tidak ada yang perlu ditakutkan atau dihindari oleh perempuan untuk menggunakan hak politiknya, gitu. We have our rights, we have our voice, so voice out, speak up and be fearless. Gitu aja sih Mbak."
 
Daru:
"Be fearless, tadi yang 'ayo berdaya' tadi ya? Itu mungkin, untuk Sahabat dan kaum muda, kata-katanya sedikit ya 'be fearless', ayo berdaya, tapi itu cukup kuat loh karena itu penting sekali ya memberdayakan perempuan, utamanya perempuan muda dalam partisipasi mereka dalam politik. Tadi Yasmine sudah memaparkan Youth Manifesto, yang dipercayainya tentunya ya, bagaimana harus percaya partisipasi perempuan muda untuk berpartisipasi dalam politik. Kemudian, menantang powerholders itu tadi ya, siapapun pengambil keputusan di atas sana, untuk mendengarkan perempuan--bahwa kita sebagian dari solusi loh, kita dapat menjadi solusi dari masalah yang ada."
 
Yasmine:
"Betul."
 
Daru:
"Wah, terima kasih banyak Yasmine atas waktunya, seru banget pembicaraan kita hari ini. Terima kasih Sahabat Jurnal Perempuan dan kaum muda yang telah setia menyimak Podcast JP. Seperti biasa, bila ada topik yang menarik untuk dibahas silakan kabari kami, beritahu kami, agar nanti bisa kita ulas di Podcast ini bersama-sama. Seri Podcast ini merupakan kerjasama Jurnal Perempuan dan Plan Indonesia bersama Australian Volunteers Program. Terima kasih banyak untuk para mitra kami, terima kasih Yasmine, sampai berjumpa lagi!"
 
Yasmine:
"Terima kasih Mbak Daru, sampai berjumpa lagi!"
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa