Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa

Podcast JP

Perempuan Penjaga Hutan bersama Farwiza Farhan

15/11/2022

0 Comments

 
PictureDok. Pribadi
Selamat datang di Podcast JP, Sahabat!

Pada episode pertama ini, kami berkesempatan mengundang Farwiza Farhan sebagai teman bincang-bincang. Farwiza adalah aktivis lingkungan perempuan yang masuk ke dalam list TIME100 NEXT 2022, sebuah list dari majalah TIME untuk orang-orang yang paling berpengaruh di tahun 2022. Kerja-kerja Farwiza dalam melestarikan ekosistem Gunung Leuser di perbatasan Aceh dan Sumatra Utara sangat mengagumkan! Terlebih, ia adalah aktivis lingkungan perempuan yang selama ini menghadapi kesulitan dan kerentanan dalam kerja-kerjanya. Sssstt, di sini Farwiza juga berbagi pengalamannya bersama kelompok perempuan yang hidup di dalam ekosistem Gunung Leuser dalam mempertahankan kelestarian ekosistemnya, lho!

Mari simak perbincangan host Iqraa Runi bersama bintang tamu Farwiza Farhan.

Host:
Halo semua! Selamat datang di Podcast JP!

Para pendengar dari seluruh Indonesia, inilah Podcast JP, program bincang-bincang ringan mengenai isu feminisme dan kesetaraan gender. Bersama saya, Iqraa Runi Aprillia.

Sahabat, upaya pelestarian lingkungan sekilas tampak tidak terkait dengan gender. Tapi, sadarkah kalian, bahwa aktivis lingkungan perempuan masih jauh dari sorotan? Jumlah aktivis lingkungan perempuan yang dikenal khalayak masih lebih sedikit dibanding aktivis laki-laki. Bahkan, pelestarian lingkungan jadi diidentikkan dengan aktivitas laki-laki. Sehingga, posisi aktivis perempuan dalam dunia pelestarian lingkungan masih rentan dan terpinggirkan.

Adalah sebuah pencapaian besar bagi aktivisme perempuan ketika Farwiza Farhan, seorang pelestari ekosistem Gunung Leuser, menjadi salah satu dari list 100 orang paling berpengaruh di dunia dalam penghargaan TIME 100 Next 2022. Sahabat, tidak hanya masuk dalam list majalah TIME, Farwiza juga menjadi cover majalah TIME terbitan Oktober 2022. Pemilihan tersebut sebab kerja-kerjanya berdampak luas terhadap salah satu ekosistem terpenting dan terkaya di dunia. Sosoknya bersanding dengan Presiden Joko Widodo dan Sri Mulyani Indrawati sebagai orang Indonesia yang menjadi cover majalah TIME.

Farwiza merupakan Pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh atau Yayasan HAkA. Yayasan HAkA merupakan organisasi non-profit yang menjaga dan merestorasi ekosistem Gunung Leuser. Farwiza sudah aktif dalam pelestarian ekosistem Gunung Leuser sejak tahun 2010. Pada tahun 2012, Farwiza bersama rekan-rekannya mulai membangun Yayasan HAkA. Sebagai aktivis perempuan, Farwiza menaruh perhatian lebih kepada kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan di sekeliling ekosistem Gunung Leuser, seperti gerakan ibu-ibu yang menghentikan pembalakan liar.

Pada hari ini, Farwiza sudah hadir bersama kita di Podcast Jurnal Perempuan. Sudah tidak sabar untuk berkenalan dengannya? Mari kita langsung berkenalan dan mendengar cerita Farwiza. Halo, Farwiza, salam kenal. Mari kita mulai dari perkenalan diri terlebih dahulu.

Farwiza:
Hai, semua. Nama saya Farwiza Farhan. Biasanya dipanggil Wiza.

Kalau bercerita sedikit tentang personal, kenapa memilih untuk melindungi ekosistem Leuser, kawasan ekosistem Leuser itu adalah tempat terakhir di dunia di mana empat satwa langka, gajah, badak, harimau dan orang utan masih tinggal bersama-sama di alam. Tapi selain itu, kawasan ekosistem Leuser juga memberikan banyak sekali manfaat kepada jutaan penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar ekosistem Leuser. Manfaat jasa lingkungan yang diberikan itu termasuk air, termasuk udara bersih, perlindungan dari bencana, dan manfaat-manfaat lain. Tapi buatku kenapa Leuser, karena aku orang Aceh, dan 80% Kawasan ekosistem Leuser itu terletak di Provinsi Aceh.
 
Host:
Kiranya, apa yang membuat Wiza tertarik dengan pelestarian ekosistem Gunung Leuser?

Farwiza:
Ada pembedaan antara Taman Nasional Gunung Leuser dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Nah, Taman Nasional Gunung Leuser itu memang luasnya sekitae 800.000 hektar. Namanya Taman Nasional, dia fungsinya, ya, kawasan konservasi. Sementara Kawasan Ekosistem Leuser itu lebih luas. 2.7 juta hektar, yang terbentang dari Aceh dan sampai Sumatra Utara. Kenapa penting untuk mengintervensi Kawasan Ekosistem Leuser? Karena ternyata, banyak satwa yang ada di Leuser itu adanya di luar taman nasional, di luar kawasan. Jadi, IUCN itu me-listing bahwa 80% populasi orang utan Sumatra berada di luar Taman Nasional Gunung Leuser, tapi di dalam Kawasan Ekosistem Leuser.

Host:
Tentunya, isu-isu di dalam kawasan hutan tersebut sangat kompleks. Nah, salah satu isu yang cukup akrab dengan feminisme adalah keterkaitan antara hutan dan perempuan yang memiliki relasi ‘intim’—terutama dalam kerangka ekofeminisme. Berdasarkan pengalaman Wiza, kira-kira bagaimana Wiza menilai relasi antara perempuan dan hutan Gunung Leuser?

Farwiza:
Yang pertama saya sadari, itu berangkat dari pembicaraan dengan para ibu-ibu ranger yang melindungi hutan. Dulu saya tanya, “Ibu kenapa mau repot-repot ikut terlibat melindungi hutan?” Lalu mereka bilang, “Kami pernah merasakan bencana yang luar biasa. Banjir bandang yang menyapu bersih semua desa kami. Jembatan rusak, sekolah rusak, rumah rusak. Kami kemudian harus menjadi pengungsi, harus tinggal di pengungsian di SD, dan ketika kami mengungsi, keadaan sangat sulit. Kami sangat kesusahan untuk mendapatkan air bersih, rasanya tidak aman, rasanya sanitasi itu sangat terbatas. Apalagi, perempuan yang sedang mengalami tamu bulanan. Tantangan yang dihadapi semakin berat karena tidak dimengerti oleh para bapak-bapak.” Begitu mereka ungkapkan. Lalu kenyataannya kan kalau ada bencana, biarpun kita semua merasakan, tapi kita tidak merasakan dengan seragam. Experience yang kita alami itu tidak sama rata. Beberapa dari kita menghadapinya dengan challenge yang jauh lebih besar.

Host:
Beberapa tahun belakangan juga, krisis iklim menjadi momok kita semua. Tentunya, Wiza juga pasti turut merasakan perubahan tersebut di lingkungan Gunung Leuser. Sebagai aktivis lingkungan, apa saja dampak dari krisis lingkungan terhadap kegiatan pelestarian ekosistem Gunung Leuser?

Farwiza:
Apa yang kita lihat soal dampak dari krisis iklim yang terjadi di Leuser—yang terjadi globally tapi juga kita observasi di Leuser—salah satunya, yang sangat nyata itu adalah perubahan siklus kekeringan, kemarau, dan banjir. Tapi ini juga sangat terkait dengan deforestasi. Jadi, kadang-kadang kita punya paradigma seolah-olah sesuatu terjadi karena satu hal dan bukan hal lain; banjir terjadi karena deforestasi dan bukan perubahan iklim. Padahal, yang terjadi adalah, ini saling memperparah keadaan satu sama lain. Ketika curah hujan berubah, hutan yang sudah rusak membuat jadi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga masyarakat yang tinggal di hilir aliran sungai kemudian merasakan dampaknya. Kekeringan dan banjir menjadi semakin sering, dengan skala yang semakin parah, di daerah-daerah di mana hutan di hulu sudah rusak.

Host:
Masih berkaitan dengan krisis lingkungan yang sempat kita singgung tadi. Menurut pengalaman Wiza, adakah bentuk resiliensi dari perempuan-perempuan yang hidup di kisaran hutan Gunung Leuser?

Farwiza:
Resiliensi krisis lingkungan itu yang pertama, para perempuan di tingkat akar itu perlu mengambil kembali hak mereka untuk terlibat dalam perlindungan lingkungan. Kenapa? Karena, yang pertama, biasanya upaya upaya untuk melindungi atau merusak lingkungan itu didorong oleh sebagian kecil pihak. Sebagian kecil pihak kemudian punya kekuasaan untuk memilih apa yang akan terjadi pada satu lanskap, lalu semua orang yang berada dalam lanskap tersebut akan mengalami atau berhadapan dengan dampaknya. Maka, untuk perempuan, lebih terlibat dalam upaya pengambilan keputusan terhadap apa yang terjadi pada satu lanskap itu adalah upaya untuk mereklaim kembali hak kita. Jadi, itu bukan upaya ekstra. Aku itu melihat contoh, para perempuan yang menjadi mitra kita di sekitar ekosistem Leuser. Yang pertama, aku melihat bahwa mereka terus menerus berupaya untuk mereklaim kembali haknya dalam perlindungan lingkungan, yang kadang-kadang, seringkali, terus di-undermine. Dalam proses ini, ketika para ibu-ibu mulai patroli, ternyata yang terjadi tidak hanya perlindungan lingkungan yang lebih baik, tapi juga perubahan tekanan di tingkat masyarakat dalam pengelolaan hutan dan desa. Jadi, misalnya, diceritakan dulu sebelum para ibu-ibu jadi ranger, ketika ada rapat desa, mereka biasanya ada di dapur, menyiapkan makanan. Tapi, sekarang mereka terlibat dalam rapat desa, dalam rapat untuk membahas anggaran, dalam membahas rencana pembangunan dalam setahun ke depan, memutuskan apa yang terjadi dengan dana desa. Mungkin awalnya para perangkat desa yang lain tidak nyaman dengan perubahan ini. Tapi, dengan keterlibatan para perempuan dan persistence-nya untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, ternyata mereka melihat bahwa hasil keputusan yang diambil menjadi lebih baik. Contohnya, penghargaan yang didapatkan (karena) desa mereka menjadi lebih asri. Mereka juga mengatakan, sejak mereka ikut dalam proses pengambilan keputusan dan ikut terlibat dalam perlindungan hutan, banjir hampir tidak pernah lagi terjadi di desa mereka.

Host:
Nah, ini adalah pertanyaan terakhir sebagai penutup. Kira-kira apa harapan pegiat lingkungan seperti Wiza terkait dengan keadilan gender dan krisis iklim?

Farwiza:
Sebenarnya harapan terbesarku tuh adalah, kita tidak melihat perlindungan lingkungan sebagai sesuatu hal yang PR-nya aktivis lingkungan aja, atau PR-nya pemerintah aja. Kenyataannya ini adalah milik kita bersama. Kita semua harus sama-sama terlibat dalam upaya ini. Kenapa? Pertama, kalau lingkungan kita rusak, kalau perubahan iklim tidak bisa—kalau kita tidak punya cara untuk beradaptasi, semua progress yang kita capai selama ini bisa mundur jauh ke belakang. Karena kerusakan lingkungan berdampak pada semua dalam hidup. Masalah food insecurities, tadi pagi saya mendengar berita tentang kasus kelaparan di Ethiopia dan di negara-negara lain di Afrika, dan ketika itu terjadi, ada masalah dengan migrasi, ada masalah dengan equality, atau gimana kita mau bicara tentang pendidikan ketika basic needs saja tidak terpenuhi. Kadang-kadang kita melihat masalah lingkungan tuh seperti sesuatu yang jauh di luar sana, tidak menyentuh kita, yang jauh di luar sana. Seolah-olah tidak menyentuh kita. Tapi, banjir yang kerap kali terjadi dala beberapa minggu terakhir di daerah-daerah yang tidak kita sangka kayak di Bali membuat kita harusnya jadi lebih sadar bahwa ini semua adalah milik kita bersama dan akibat dari pilihan-pilihan yang kita buat bersama. Jadi, saya rasa, yang saya harapkan adalah, tiap orang, apa pun perjuangan kita, soal lingkungan itu menjadi basis, karena itu adalah kita semua.

Host:
Wah, ternyata keikutsertaan perempuan dalam pelestarian lingkungan merupakan hal yang amat penting, ya, Sahabat. Seperti penuturan Farwiza tadi, perempuan memiliki hubungan yang erat dengan alam. Krisis iklim terutama menyulitkan perempuan yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem yang ada.

Selain itu, dapat juga kita petik bahwa apresiasi terhadap aktivis lingkungan perempuan amat diperlukan. Banyak kontribusi perempuan yang tidak terapresiasi dan terakomodasikan secara baik. Saya rasa, kita semua sepakat bahwa terpilihnya Farwiza dalam list TIME Next 100 ini dapat membuka jalan bagi aktivisme dan keterlibatan perempuan dalam mendorong keadilan lingkungan dan juga keadilan iklim.
Sahabat, terima kasih sudah menyimak perbincangan luar biasa kita pada hari ini. Nantikan Podcast JP edisi selanjutnya! Bila Sahabat memiliki masukan untuk Podcast JP, seperti narasumber maupun topik bahasan, silakan sampaikan melalui kolom komentar. Saya Iqraa Runi undur diri. Jurnal Perempuan, untuk pencerahan dan kesetaraan.
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa