Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024

Podcast JP

Menampik Stigma Pemenuhan HKSR bersama Ika Ayu Kristianingrum

7/7/2023

0 Comments

 
Picture
     Halo, Sahabat! Kembali lagi di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang membahas feminisme dan kesetaraan. Kembali bersama saya, Retno Daru. 
Apa kabar para pendengar hari ini? Sehat-sehat ya, Sahabat. Sepertinya kita perlu tarik napas dulu nih sebelum memulai episode kali ini. Kenapa? Karena kali ini kita akan membahas mengenai tantangan sosio-kultural dari perjuangan HKSR Komprehensif. Cukup menguras emosi banget sih, mengetahui tantangan yang berat banget ini, Sahabat. Misalnya nih sampai sekarang HKSR masih dianggap tabu berdasarkan norma sosial dan adat di Indonesia. Nah, ini tuh turut mempersulit pemenuhan hak HKSR bagi perempuan. Apa sih yang bisa kita lakukan untuk menanggapi adat yang merugikan perempuan? Untuk membahasnya, kita sudah mengundang Mbak Ika Ayu Kristianingrum selaku Direktur Perkumpulan Samsara. Halo, Mbak Ika, terima kasih banyak ya sudah hadir di Podcast Jurnal Perempuan!

     ​Ika: Halo Daru, terima kasih sudah mengundang saya untuk hadir. 

     ​Daru: Mbak Ika ini sudah memiliki banyak pengalaman dalam ranah layanan HKSR. Nah, Perkumpulan Samsara sendiri menyediakan layanan konsultasi aborsi yang aman bagi perempuan dengan kehamilan tidak direncanakan atau KTD, maupun situasi lainnya. Perkumpulan Samsara juga menyediakan konseling untuk para pengguna layanan, sudah pasti nih Mbak Ika sehari-harinya berhadapan dengan tantangan sosio-kultural ini. Yuk, kita kenalan lebih dalam Mbak Ika. Silakan Mbak Ika memperkenalkan diri.

     ​Ika: Halo, saya Ika, saya Direktur di Samsara. Sejak 2021 saya memimpin Samsara. Kemudian Samsara seperti yang tadi disampaikan punya layanan—hotline—untuk konseling informasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi, juga situasi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Samsara sendiri sebetulnya adalah organisasi feminis yang fokusnya ada pada edukasi dan advokasi ya. Jadi tidak terbatas pada hotline saja, tetapi juga ada upaya-upaya advokasi yang kami lakukan untuk pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Kemudian, aku sendiri sejak 2009 sudah terlibat di banyak penelitian terkait isu sosial budaya, isu perempuan, kemudian kekerasan berbasis gender, dan juga tujuh tahun terakhir aku fokus melakukan banyak penelitian terkait isu aborsi aman. 

     ​Daru: Nah, Sahabat, kelihatan banget kan bahwa Mbak Ika sudah sangat berpengalaman di isu ini, makasih loh Mbak Ika atas pengalamannya. Nah, Mbak, kita ni penasaran banget soal bagaimana tanggapan Mbak Ika atas penggambaran HKSR di berbagai media. Misalnya nih kita ngomong soal aborsi ya, pasti media kebanyakan memotretnya sebagai tindakan biadab, jahat, keji, gitu ya, karena membunuh anak yang tidak berdosa. Nah, bisa dijelaskan nggak, Mbak, bagaimana sih sebenernya konteks isu aborsi di Indonesia? Siapa saja sih yang membutuhkan dan kenapa mereka butuh?

     ​Ika: Oke, aku mungkin mau memulainya dari soal stigma dan tabu ya. Jadi kesehatan seksual dan reproduksi itu kan yang kita tau hari ini itu adalah isu yang sangat sarat dengan stigma, yang diproduksi yang direproduksi oleh banyak hal, gitu ya. Mulai dari sosial budaya, misal, kemudian ada banyak konstruk yang itu berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat kita memandang soal kesehatan seksual dan reproduksi. Padahal kesehatan seksual dan reproduksi itu kan bagian yang melekat ya di diri kita, gitu. Tiap-tiap kita itu kan punya, tiap-tiap kita—kesehatan seksual, kesehatan reproduksinya—itu kan terus berkembang, gitu kan. Nah, itu kenapa kalau di dalam konteks seksualitas misal, kita perlu juga memahami bahwa seksualitas itu cair, misal. Nah, kemudian juga soal bagaimana pemenuhan kebutuhan atas reproduksi kita itu tuh berubah. Seiring berjalannya waktu, di usia-usia kita ketika terus bertambah begitu, tentu saja kebutuhannya akan berbeda, sehingga ada kebutuhan yang itu juga perlu dipenuhi secara berbeda. Nah, tetapi sayangnya memang ada kuasa yang itu menentukan bahwa kesehatan seksual dan reproduksi yang tabu ini jadi hal yang boleh atau tidak boleh dibicarakan, misal. Jadi ada kuasa yang kemudian menentukan bahwa hal ini tabu, tidak boleh dibicarakan—misal secara terbuka. Kalau perlu nih ya, kalau ngomongin kesehatan seksual dan juga reproduksi itu disimpan aja rapet-rapet, kalau perlu nggak usah dibicarain secara terbuka. Itu kan yang selama ini kita punya pemahaman soal kesehatan seksual dan reproduksi ya. 

     ​Nah, ketika kita bicara stigma dan tabu, semakin kesehatan seksual dan reproduksi itu mendapati stigma, semakin ada tabu, semakin kita tidak bisa membicarakannya secara terbuka, maka semakin jauh juga kondisi kita pada situasi yang sehat. Kita kan ngomongin kesehatan seksual dan juga kesehatan reproduksi gitu ya, itu perlu tadi—tadi aku sampaikan—perlu dipenuhi secara berbeda. Dan kita perlu banyak upaya untuk memastikan bahwa situasi kespro kita itu tuh benar-benar dalam keadaan yang baik, misal. Benar-benar ada dalam keadaan yang sehat gitu. 
     
     ​Nah, sayangnya banyak dari kita itu gagal menempatkan kesehatan seksual dan reproduksi itu menjadi bagian yang esensial dari kondisi sehat kita gitu. Jadi lebih banyak orang itu memilih untuk melanggengkan stigma, mempertahankan tabu, yang pada akhirnya itu punya dampak pada pelabelan, misal. Nah, itu ada hubungannya tadi dengan yang ditanyakan Daru ya, soal bagaimana kemudian media melihat soal aborsi, misal. Yang itu juga sebetulnya bagian yang tidak bisa dilepaskan ketika kita bicara soal kesehatan seksual dan juga reproduksi. Jadi bagaimana masyarakat atau media kita memandang aborsi itu masih sama dengan cara memandang kesehatan seksual dan reproduksi, masih penuh dengan stigma, masih dipenuhi tabu gitu. Jadi alih-alih secara tepat gitu ya, menempatkan aborsi sebagai bagian dari usul kesehatan, yang lebih dominan justru pembicaraan soal stigma atas aborsi gitu kan. Tadi kan disebut ya soal ada label bahwa aborsi adalah... name it, lah! Maksudnya banyak sekali tindakan-tindakan buruk, tindakan paling buruk yang itu selalu dilekatkan pada aborsi, gitu kan. 

     ​Nah itu sebetulnya dampak dari bagaimana konstruk itu terus merepresi kesehatan seksual dan reproduksi, untuk kemudian tidak bisa dibicarakan secara terbuka gitu. Sehingga stigmanya ada terus nih, nggak pernah hilang ya. Kalau aku mau bilang, kita nih ngomongin hal yang seharusnya esensial, hal yang penting buat tubuh kita, tapi di sisi yang lain itu adalah hal yang paling direpresi. Nah ketika kita ngomongin aborsi, yang mana itu adalah bagian dari kesehatan kan, begitu juga cara kita melihat aborsi ya kemudian pelabelan, pelekatan atas stigma, itu menjadi sangat dominan. Nah, kalau bicara kemudian—aku mungkin ngomongnya soal apa kemudian dampaknya ya ketika kita melihat aborsi malah justru dipisahkan dari bagian dari kesehatan—itu yang muncul adalah kerentanan. 

     ​Orang-orang yang mestinya bisa mengupayakan kondisi sehatnya secara utuh gitu, jadi semakin jauh dari kondisi yang sehat. Tadi itu aku bilang, "Udah kalau mau ngomongin kespro, ngomongin seksualitas udah disimpan aja sendiri, nggak usah dibicarain itu kan hal yang tabu untuk kita bahas, nggak perlu kamu omongin, nggak perlu kamu tanyakan ke orang-orang". Padahal itu ranah yang tadi aku bilang, ranah yang esensial dari bagaimana kita sehari-hari menjalani hidup sebagai manusia, istilahnya gitu ya. Kesehatan seksual dan reproduksi itu bagian yang sangat esensial, gitu kan. Jadi ketika ada sesuatu yang terjadi pada tubuh kita, yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan juga reproduksi kita, ya kita jadi nggak bisa bahkan mempertanyakan itu gitu ya. Karena seringkali, karena ada stigma yang itu kemudian membangun ketakutan, ya orang jadi nggak mau tanya—bahkan untuk bertanya ya. Nah, ini semakin rumit lagi ketika seseorang ada di dalam situasi Kehamilan Tidak Direncanakan. Ketika dia mempertanyakan, apakah aku sudah terlambat, tidak lagi mens misal di bulan kedua, di bulan ketiga. Ada ketakutan gitu ya, ada keraguan untuk bahkan mencari tahu apa yang sedang terjadi gitu. Problem ini sudah ada sejak lama sekali, tetapi hari ini kita belum bisa beranjak dari situ karena memang belum terpenuhi yang itu adalah problem dasar pendidikan, edukasi, kesehatan seksual dan reproduksi, yang mana di dalamnya sebetulnya itu muatannya sangat banyak dan salah satunya adalah soal bagaimana kita memberikan atau kita melatih diri kita untuk memberikan penghormatan pada setiap orang gitu ya. Istilahnya memanusiakan manusia sebetulnya di dalam pelajaran atau edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi itu kita juga bahas soal itu gitu. Tabu dan stigmanya di pendidikan kespro saja sudah, ya Daru tahu banyak sekali yang melingkupi si pendidikan kespro ini gitu. 

     ​Daru: Oke, terima kasih Mbak Ika jawabannya. Jadi tadi ada beberapa hal yang aku highlight. Pertama, seksualitas kita itu cair dan seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, pemenuhannya tentu juga berubah ya dan harus dipenuhi sebenarnya. Dan itu hak warga negara. Sayang, ada kuasa yang masih menabukan itu semua, sehingga masih tabu untuk masyarakat kita dalam berbicara mengenai kesehatan HKSR itu tadi ya dan hak-hak mereka di muka publik begitu. Nah, seperti yang tadi sudah kita obrolin dan disebutkan oleh Mbak Ika juga, media kan sering menyebarkan miskonsepsi terkait HKSR bagi perempuan. Bahkan nggak jarang justru media yang mempopulerkan anggapan yang tidak benar terkait HKSR perempuan. Akibatnya, masyarakat jadi termakan anggapan-anggapan yang tidak betul gitu ya, Mbak ya. Nah, kalau berdasarkan pengalaman Mbak Ika di lapangan, miskonsepsi apa aja sih yang sering kali Mbak temukan terkait isu-isu HKSR di Indonesia? Terus kenapa kekeliruan itu muncul? 

     ​Ika: Dari apa yang saya ataupun banyak sekali teman-teman cermati ya di gerakan kesehatan seksual dan reproduksi, yang muncul memang lebih banyak berita yang itu membawa dampak bombastis mungkin ya. Jadi meskipun sebetulnya itu mencerminkan fakta yang terjadi di lapangan, tetapi soal bagaimana pemberitaan itu dikemas yang dimunculkan seringkali hanyalah tadi muatan yang masih didominasi oleh stigma. Misalnya ada pemberitaan soal sekian ratus anak mendaftarkan diri untuk mendapatkan dispensasi perkawinan. Yang muncul di media itu hanya potongan soal itu saja. "Wah, ada nih di satu daerah sekian ratus anak misal itu mau melangsungkan pernikahan dini" misalnya gitu ya. Kita kan mengenalnya pernikahan dini, gitu ya. Mestinya itu kan perkawinan anak ya, karena perkawinan dilakukan di usia anak. Yang dimunculkan hanyalah potongan itu, tetapi tidak ada kemudian, "Apa ya yang menyebabkan itu terjadi?" misal. Yang justru juga sebetulnya diperparah dengan pernyataan-pernyataan pejabat publik. Itu yang kemudian melanggengkan stigma juga, tanpa kemudian menyasar ada akar masalahnya sebetulnya. Kebanyakan memang ada persoalan terjadi kehamilan yang tidak direncanakan itu di usia anak itu tadi. 

     ​Ada banyak sekali faktor, tetapi kalau kita bicara soal bagaimana media memandang isu kesehatan seksual dan reproduksi ini, kalau dari saya mengharapkan untuk bisa mendapatkan pemberitaan yang itu lebih progresif misal, lebih edukatif, itu memang masih jauh kalau untuk di Indonesia gitu. Itu kenapa sebetulnya banyak gitu dari kami, banyak dari teman-teman yang kemudian mencoba membangun diskursus yang alternatif gitu ya, soal pembicaraan kesehatan seksual dan reproduksi. Kita bicara soal aborsi saja di media, itu yang muncul pasti adalah hal-hal yang membawa kesan ngeri gitu ya. Tadi di awal kita bicara soal itu pembunuhan dan yang lain dan selalu yang disoroti soal itu adalah tindak kriminalnya yang dimunculkan. Kita tidak pernah bisa menempatkan, lalu kenapa kemudian ada orang sampai harus berupaya setengah mati kayak gitu? Atau bahkan ada yang juga sampai pada kematian untuk bisa mendapatkan akses aborsi gitu. Yaitu itu sebetulnya cara kita melihat masyarakat kita menstigma aborsi dan itu dikuatkan oleh bagaimana media mem-frame soal kesehatan seksual dan reproduksi dan termasuk aborsi itu tadi. Semakin itu diberitakan sebagai bagian dari tindak kriminal, yang mana sayangnya memang di Indonesia, itu juga diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi bagian dari aborsi sebagai isu kesehatan itu yang jarang sekali bisa kita lihat gitu.

     ​Daru: Wah, ini jawaban dari Mbak Ika juga komprehensif sekali nih ya, Mbak ya, tapi memang penting lho, bahwa masyarakat tuh harus melihat bahwa konstruksi nilai-nilai patriarki ini juga kan ya, Mbak, yang masih langgeng. Karena masih ada stigma dan tabu akan kesehatan seksual dan reproduksi. Makanya kesehatan reproduksi kita belum jadi hal yang esensial untuk diperjuangkan ya, terutama untuk pemangku kebijakan dan pengambilan keputusan. Karena stigma dan tabunya tadi langgeng. Kemudian, orang kalau mau bicara soal HKSR maka disimpen sendiri aja deh. Sehingga gitu ya, Mbak, ya untuk bertanya aja ragu. Padahal tadi penting banget yang Mbak Ika singgung mengenai pengalaman menstruasi, apalagi perempuan yang mungkin paling banyak mengalami dampak HKSR. Pengalaman menstruasi pertama itu kan penting sekali ya dan biasanya itu mereka di usia-usia yang mungkin memang belum bisa mengakses hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka semudah orang-orang yang sudah dewasa mungkin dan menikah mungkin seperti itu ya, Mbak. Nah, Mbak Ika kayaknya kita juga perlu memahami tantangan apa aja sih yang dihadapi para pejuang HKSR, aktivis-aktivis HKSR, penyedia layanan, dan advokat yang kerap membela perempuan terkait HKSR-nya, nih. Sebagai penyedia layanan juga, Mbak Ika pasti lebih paham mengenai hal ini. Tentu nggak mudah juga ya Mbak, ya menjadi penyedia layanan HKSR di negara yang menstigmatisasi isu HKSR—yang padahal dibutuhkan banget, loh. Nah kalau berdasarkan pengalaman Mbak Ika, stigma atau nilai-nilai tersebut risikonya apa aja sih, Mbak, bagi tenaga pendamping pasien?

     ​Ika: Apakah tantangan yang dihadapi oleh aktivis HKSR, aktivis yang bekerja di isu kesehatan seksual dan reproduksi, pendamping, dan juga kelompok yang berupaya menyediakan layanan, gitu ya? Antara stigma dan juga risiko jelas ada. Ketika stigmanya sangat dominan, risiko yang muncul itu juga sangat banyak. Misalnya nih, ketika kita mengedukasi—misalnya kita membuat diskusi, buat workshop yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, itu selalu ada anggapan atau ada stigma bahwa pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi ini kan hal yang nggak penting, gitu ya. Dia dianggap tidak penting, tidak esensial, kemudian ya stigma yang selalu muncul itu kan dia mengajarkan tentang, "Nanti kalau belajar tentang pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang diajarin cuma soal berhubungan seks" gitu, itu stigmanya. Kemudian untuk orangnya—atau orang yang tadi menyediakan layanan misal atau memberikan edukasi—itu ada anggapan tidak bermoral, misalnya. Ada anggapan orang yang tidak beragama. Nah stigma itu dilekatkan kepada para aktivis, yang kemudian risikonya adalah paling nyata itu persekusi. Dari beberapa pengalaman yang kami dapati di lapangan ketika menyelenggarakan kegiatan edukasi atau workshop tentang kesehatan seksual dan reproduksi, risiko persekusi itu adalah risiko yang paling sering kami dapati gitu ya. Karena tadi ada anggapan bahwa—ini kan satu, ini hal yang tidak penting, tambah lagi ini mengajarkan hal yang tabu. Tadi sih aku bilang risikonya yang paling dominan membawa kerentanan itu soal persekusi. Dan itu nyata kami hadapi ya di lapangan.

     ​Daru: Wah, terima kasih banyak nih Mbak, atas sharing pengalamannya. Ini penting banget lho Sahabat untuk kita pahami bersama, bahwa bahkan untuk memperjuangkan isunya saja dapat memberikan berbagai risiko lho kepada pemberi layanan dan aktivis itu ya. Tadi sudah disinggung, dampak dari medianya saja sudah besar. Kemudian ketika para pendamping ini mau memberikan pelayanan, sama media kadang diputer ya, misalnya mau pengajuan pernikahan, malah kok dibilang pernikahan dini, seolah-olah negatif sekali seperti itu. Jadi teman-teman pendamping juga—ini kayaknya saya salut juga ya Mbak, ya sudah membantu membangun diskursus tentang HKSR. Karena kalau nggak seperti itu, maka para pendamping untuk bicara k3spro aja sulit ya, pendamping layanan dan pemberi layanan ini. Kemudian juga ancaman persekusi ya, kriminalisasi dari tindakan aborsi ini juga sangat menjadi tantangan bagi para pemberi layanan dan aktivis. Nah, Mbak, aku mau move on nih ke pertanyaan berikutnya. Dalam pengalamannya Mbak Ika memperjuangkan HKSR, pernah nggak sih Mbak Ika menemukan atau mendengar kasus ketidakadilan yang diakibatkan oleh nilai yang dianut pihak tertentu gitu? Ada nggak mbak satu contoh kasus aja yang cukup mengganjal dan mungkin sangat berkesan ya buat Mbak Ika?

     ​Ika: Ya, kalau soal kasus ketidakadilan pemenuhan HKSR, yang mungkin kita bisa baca secara langsung, kita ketahui secara langsung, adalah kasus-kasus yang muncul ke permukaannya. Yang mengemuka, dan itu mungkin kalau dilihat secara kuantitas itu sangat sedikit. Tetapi itu tidak menunjukkan situasi yang sesungguhnya. Sebagai contoh, ada satu kasus—saya rasa banyak teman-teman juga tahu—kasus yang ada di Jombang beberapa tahun terakhir. Ada seorang anak yang mengalami perkosaan dan kemudian dia hamil, dia menyatakan bahwa dia membutuhkan akses aborsi, dia meminta untuk kehamilannya untuk dihentikan, tetapi justru dipingpong ke sana-sini ya. Kasus itu sesungguhnya harus menjadi pukulan bagi kita semua, karena apa yang selama ini kita bicarakan soal layanan aborsi, yang secara aturan sebetulnya secara legal sudah disampaikan ada ya, di dalam hukum di Indonesia, tetapi ternyata ketika ada yang membutuhkan, dia tidak bisa mengakses layanan itu. Kasus yang di Jombang itu adalah contoh nyata bahwa bahkan ketika ada aturan yang itu membolehkan seorang korban perkosaan mendapatkan akses aborsi saja, itu belum tentu juga akan bisa mendapatkan layanan aborsi aman, gitu. Jadi itu satu contoh yang kukira bisa menjelaskan bagaimana rumitnya seseorang yang secara aturan—kalau dalam hal ini kita bicara di regulasi yang kita punya di Indonesia—itu saja tidak bisa mendapatkan haknya sebagai korban perkosaan. 

     ​Contoh yang lain, ada banyak kasus yang kemudian harus sampai pada kematian. Seseorang yang sangat membutuhkan akses kepada aborsi dan dia berupaya untuk melakukan aborsi dengan metode yang itu berbahaya dan itu berakhir pada kematian, kita juga pernah baca itu di media dan. Ataupun yang tidak muncul di media ketika di banyak daerah saya kira, kita menemukan ada kasus-kasus yang sebetulnya itu, "Oke ini situasinya adalah KTD, korban pemerkosaan", tetapi karena tidak tahu bahwa ada aturan yang bisa diakses untuk mendapatkan layanan aborsi, tapi juga sayangnya kita juga belum punya alur yang jelas yang itu bisa memunculkan di mana kita bisa mengakses... ya, pada akhirnya korban tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya. Padahal, dalam konteks kesehatan pada titik tertentu, akses aborsi itu justru bisa menyelamatkan nyawa seseorang. Karena kita tahu banyak sekali orang dalam situasi Kehamilan Tidak Direncanakan, ketika dia sudah ingin menghentikan kehamilannya, apapun cara yang dia bisa dia pakai, itu akan dia pakai. Kenapa juga kita perlu membaca atau menempatkan aborsi pada konteks kesehatan juga, aborsi bisa jadi satu upaya, untuk bisa mencapai status kesehatan yang baik. Karena kerangka kesehatan yang kita punya tidak terbatas pada fisik, tetapi juga kesehatan yang holistik yang menyeluruh, gitu.

     ​Daru: Oh gitu ya, Mbak, ya. Jadi emang masih banyak banget ya, kasus-kasus yang tidak mengutamakan kepentingan perempuan-perempuan yang memang butuh gitu untuk menghentikan kehamilannya. Selanjutnya, nih Mbak Ika, kita juga ingin tau banget soal strategi advokasi yang sudah Mbak lakukan bersama teman-teman Perkumpulan Samsara sejauh ini. Strateginya apa saja sih Mbak, bagi para aktivis HKSR dalam mengadvokasikan isu? Terutama kepada pihak-pihak yang merasa isu tersebut bertentangan dengan nilai yang mereka anut. Ada nggak sih praktik baik yang Mbak bisa bagikan? Agar Sahabat-sahabat atau juga aktivis di luar sana bisa mengikuti praktik baik yang sudah dilakukan Mbak Ika dan teman-teman di Perkumpulan Samsara.

     ​Ika: Kalau konteks advokasi, Samsara sebenernya tidak bekerja sendiri. Kita punya aliansi, kita punya jejaring gitu, kita tergabung dalam Save All Women and Girls (SAWG) yang itu isunya juga spesifik pada kesehatan seksual dan reproduksi dan juga soal akses aborsi aman di Indonesia. Kita terus membangun diskusi dan juga diskursus yang berhubungan dengan pemenuhan atau pemulihan hak kesehatan seksual dan reproduksi korban pemerkosaan, misal, korban kekerasan seksual. Ataupun, misal, untuk situasi kedaruratan medis yang bagaimana diatur di regulasi yang kita punya. Jadi kalau bicara soal advokasi, agendanya bermacam-macam ya. Kita mengawal beberapa aturan yang itu akan secara jelas mengatur soal pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi, mengatur secara jelas bagaimana akses aborsi aman itu akan diberikan kepada korban kekerasan seksual atau pada situasi kedaruratan medis. 

     ​Kalau secara organisasi upaya-upaya yang dilakukan dalam konteks ini adalah  edukasi. Agenda advokasi yang dilakukan kami di dalam organisasi fokusnya ada pada pengetahuan. Jadi kami mengadakan diskusi, mengadakan sekolah-sekolah, mengadakan workshop, kami berkeliling dari pulau terpencil satu ke pulau yang lain untuk bisa menyampaikan edukasi seksual dan juga reproduksi. Kerja kami sementara memang ada di wilayah Maluku Utara dan Papua untuk di Indonesia Timur, tetapi melalui hotline kami berupaya untuk menjangkau seluruh daerah di Indonesia. Poinnya tadi pada informasi, pada pengetahuan yang menurut kami akan menjadi amunisi untuk orang bisa betul-betul berdaya dan percaya pada otonomi tubuhnya, gitu ya. 

     ​Kalau bicara praktik baik, yang bisa kami bagikan, merefleksikan apa yang sudah kami kerjakan di dalam organisasi adalah upaya kami dalam memberikan edukasi, yang itu bisa menjangkau kelompok-kelompok yang seringkali tidak terpikirkan untuk dijangkau. Dalam hal ini, kelompok tersebut bisa sangat bermacam-macam. Teman-teman yang tinggal di wilayah Indonesia Timur yang sangat jauh dari akses pengetahuan, bahkan ke akses listrik, komunikasi, internet, dan yang lain, tidak ada fasilitas itu, itu menjadi salah satu lokasi yang kami prioritaskan. Jadi ketika kami menjalankan agenda dengan visi bahwa apa yang kami ketahui, apa yang kami kerjakan dalam hal kesehatan seksual dan reproduksi—yang itu bisa menguatkan seseorang secara pengetahuan dan otonomi tubuhnya—itu harus kami sampaikan kepada teman-teman yang ada di wilayah terluar, misal. Di tempat-tempat yang seringkali tidak pernah dijangkau oleh pemerintah, misal, atau seringkali dilupakan. Prinsip kami adalah pendidikan, pengetahuan, harus sampai kepada kelompok yang tidak pernah dijangkau, jadi prinsipnya itu.

     ​Daru: Nah, Mbak, nih ngomong-ngomongin tadi udah disebut regulasi ya, tentunya layanan HKSR yang ada di kota dan di desa itu kan sangat berbeda. Mungkin karena pengaruh regulasi yang juga berbeda. Mulai dari fasilitas, tenaga kesehatan, hingga akses informasinya itu jauh banget perbedaannya. Kalau bisa menggambarkan nih, Mbak, kira-kira apa aja sih perbedaan ketika mbak meng-handle layanan bagi perempuan di kota dan perempuan di pedesaan? Terus, baik di konteks pedesaan maupun kota, siapa saja sih tokoh strategis yang penting untuk dilibatkan agar isu HKSR dapat diterima dan dipahami dengan lebih baik oleh mereka?

     ​Ika: Yang membedakan antara kota dan desa tentu saja soal fasilitas dasar bahkan ya. Di kota jelas, meskipun kalau kita bicara ketimpangan, bahkan di wilaya-wilayah yang ada di sekitaran pusat, misal—kalau kita tahu selama ini di Indonesia pembangunannya hanya terpusat di Pulau Jawa saja—juga masih ada ketimpangan di sana-sini. Tetapi dalam hal ini kalau kita bicara secara lebih besar gitu, wilayah-wilayah timur Indonesia itu situasinya sangat berbeda gitu ya. Selain juga karena latar belakang sosial budaya, tetapi juga fasilitas dasar. Yang tadi saya bilang, bahkan listrik saja, kita hanya punya kesempatan enam jam dalam satu hari untuk bisa mendapatkan akses listrik, misal, tidak ada akses komunikasi apalagi internet misal, itu di dalam konteks fasilitas. Yang sering kami temukan adalah bagaimana dalam hal ini pejabat publik atau pemerintah itu mengatur lokasi-lokasi yang itu sangat berbeda secara ketersediaan fasilitas, secara jarak, itu dengan pendekatan yang sama yang ada di kota misal, atau yang ada di sekitaran pusat pembangunan. 

     ​Kami bekerja di wilayah kepulauan di Maluku Utara, yang itu membutuhkan fasilitas yang jauh berbeda dengan apa yang kami butuhkan ketika kami bekerja di wilayah daratan. Misal untuk bisa mengakses fasilitas kesehatan tingkat lanjut, kami harus pergi melintasi laut atau misal teluk selama 1-3 jam dengan kapal speedboat misal atau kapal-kapal kecil. Yang dalam kondisi stabil, misal, mungkin kita bisa menghadapi kendala yang ada di lautan itu ya. Ya kita tahu kan sangat berbeda yang ada di daratan dan juga di lautan. Tetapi ketika kita dalam situasi kritis misal, ada kedaruratan yang kita punya, itu pasti akan membawa risiko kesakitan yang berlipat. Jadi itu yang seringkali kita tidak bisa membedakan pendekatan yang kemudian dalam situasi yang lebih besar, itu membawa risiko yang berlipat pada seseorang yang mengalami, misal, Kehamilan Tidak Direncanakan. Misal, kehamilannya berosiko tinggi. Misal, dia mengalami kekerasan seksual. 

     ​Lalu bicara soal kelompok strategis yang penting untuk dilibatkan, kukira ada banyak kelompok-kelompok yang bisa mendukung upaya pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi. Di antaranya ada tenaga kesehatan, misal kita bisa bekerja sama dengan bidan, kita bisa bekerja sama dengan penyuluh kesehatan. Kelompok-kelompok yang sehari-hari bekerja dalam isu kesehatan dan itu dekat dengan masyarakat itu adalah kelompok yang strategis. Tentunya kita juga perlu membicarakan secara jelas begitu ya soal apa prinsip, apa nilai yang ingin kita kembangkan bersama dalam kita memenuhi hak kesehatan seksual dan reproduksi orang-orang di wilayah tersebut. Selain itu, tentu saja kelompok-kelompok yang—mungkin kita mengenalnya dengan tokoh masyarakat ya—atau yang biasanya memiliki kedekatan yang baik gitu dengan masyarakat. Nah, memang kerjanya akan dua kali lipat dalam hal ini, misal kita perlu meng-clear-kan dulu nih prinsip dan nilai apa yang dalam konteks pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi itu berbeda dengan cara kerja kita. Tetapi kalau kita mau menjangkau lebih banyak kelompok masyarakat, kukira upaya mengklarifikasi prinsip dan nilai itu menjadi satu upaya awal yang penting dan harus dilakukan sebelum kita melangkah kepada kolaborasi bersama kelompok strategis yang mau kita sasar. 

     ​Daru: Wah, berarti masih nggak setara ya Mbak ya untuk bicara pelayanan HKSR di kota maupun pedesaan dan ternyata ini tentu sangat risikan ya. Utamanya tadi seperti yang udah Mbak Ika singgung, di situasi-situasi yang genting atau emergency. Wah, terima kasih banyak nih, Mbak, sekali lagi atas sharing-nya untuk Podcast Jurnal Perempuan. Kami senang banget lho, Mbak, kedatangan Mbak Ika sebagai narasumber podcast spesial bersama Yayasan IPAS Indonesia ini. Mbak Ika datang dari Yogyakarta lho, Sahabat, jauh-jauh nih sudah menyempatkan diri ke studio JP untuk mengedukasi kita semua soal isu HKSR. Nah, sebagai penutup nih, Mbak Ika, ada nggak pesan atau harapan dari Mbak terhadap pihak-pihak terkait seperti pemerintah, organisasi masyarakat sipil, tenaga kesehatan, serta masyarakat luas terkait upaya menghilangkan stigma dan miskonsepsi HKSR berkeadilan?

     ​Ika: Hal yang saya harapkan dari pihak-pihak yang itu bisa mendorong terciptanya HKSR yang berkeadilan, tentu saja yang pertama adalah tidak ada penghakiman. Kita mulai dulu dari situ. Harapannya tidak ada lagi penghakiman, tidak ada lagi stigma, tidak lagi kita membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi yang dibungkus dengan tabu, agar kita betul-betul bisa menikmati hak kesehatan seksual dan reproduksi kita secara penuh dan juga utuh. Dan itu dimulai dari tidak ada lagi penghakiman bagi kita, bagi kita semua yang ingin menikmati hak kita secara penuh. Itu saja aku kira harapannya. 

     ​Daru: Wah, bener banget tuh, Sahabat, kita pokoknya harus mengutamakan, menyuarakan keadilan HKSR ya untuk semuanya, sehingga stigma hilang dan semua orang berhak mendapatkan HKSR yang setara. Benar-benar dari hati yang terdalam nih ya, Mbak, harapannya. Mari doakan ya agar benar-benar tercapai, Sahabat. Sekali lagi terima kasih, Mbak Ika, atas waktu dan kesempatannya hari ini. Kami merasa terhormat sekali lho, Mbak. Mbak Ika bersedia hadir jauh-jauh lho dari Jogja. Tetap semangat dalam mengupayakan layanan HKSR yang komprehensif dan berkeadilan bagi perempuan Indonesia. Semangat untuk Mbak Ika dan teman-teman di Perkumpulan Samsara!

     ​Ika: Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan oleh Jurnal Perempuan. Semoga podcast ini bisa bermanfaat buat kita semua

     ​Daru: Nah, Sahabat, terima kasih juga untuk kalian sebab sudah menyimak sampai ke sini. Banyak ya wawasan yang kita ambil. Seperti biasa, pesan kami adalah jangan ragu-ragu lho untuk memberikan masukan, baik tema maupun narasumber, untuk podcast-podcast selanjutnya. Bisa kasih tahu ke kami via direct message di sosial media kami atau komentar ya. Terima kasih banyak sudah setia menjadi pendengar Podcast JP. Sampai jumpa di Podcast JP selanjutnya, Sahabat. Jangan lupa istirahat dan minum air putih yang cukup ya. See you! 

     ​Podcast ini merupakan kolaborasi Jurnal Perempuan dan Yayasan IPAS Indonesia. Salam kesetaraan dan pencerahan. 
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024