Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024

Podcast JP

Memperjuangkan HKSR Tanpa Diskriminasi di Indonesia

10/5/2023

0 Comments

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Halo Sahabat! Kembali lagi bersama kami di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang memperbincangkan feminisme dan kesetaraan. Bersama saya, Retno Daru Dewi. Sahabat, sebelum ngobrol kita ada pengumuman dulu, nih.  Berkaitan dengan kerja sama penerbitan Jurnal Perempuan 114 dengan tema Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi atau HKSR, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Yayasan IPAS Indonesia memproduksi seri podcast spesial. Seperti tema JP 114, kita akan membedah persoalan terkait HKSR di Indonesia.

Host:
     "
Di seri pertama ini kita akan memulai dari salah satu cita-cita besar para pejuang HKSR di seluruh dunia, nih, Sahabat, yaitu HKSR tanpa diskriminasi. Faktanya nih, Sahabat, bahwa untuk mengakses layanan HKSR sebenarnya yang merupakan kebutuhan dasar kita semua, saat ini perempuan masih terbelenggu oleh diskriminasi. Apakah Sahabat pernah mengalaminya? Semoga tidak ya.  Untuk membahasnya, telah hadir di studio kami, dr. Marcia Soumokil selaku Direktur IPAS Indonesia. Halo Ibu Marcia."

Marcia:
     "Halo Mbak."

Host:
     "Narasumber kita hari ini tuh keren banget loh, Sahabat. Sebelum bergabung ke IPAS Indonesia, Ibu Marcia adalah seorang dokter yang mengabdikan diri untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan seksual reproduksi perempuan di Indonesia. Gimana sih perjalanan Ibu Marcia hingga sekarang ini? Yuk, kita kenalan langsung. Silakan Bu Marcia."

Marcia:
     "Terima kasih, Mbak. Nama saya Marcia Soumokil dan memang latar belakang pendidikan saya adalah sebagai dokter umum, tetapi kemudian juga mengambil S2 Master of Public Health dan sepanjang perjalanan karier saya itu dimulai sebagai dokter umum, di… Dokter umum PTT di salah satu puskesmas terpencil di Sulawesi Tengah. Dan kemudian bekerja di Provinsi dan itu pada tahun '98, ya, sampai 2005."

     "Tapi sejak tahun 2002, itu saya bekerja membantu satu organisasi perempuan di Sulawesi Tengah yang saat itu bekerja di isu kesehatan reproduksi untuk para pengungsi konflik Poso dan juga kekerasan seksual di sana yang terjadi akibat konflik. Dan sejak saat itu memang karier saya berpindah menjadi… tidak hanya menjadi klinisi, dokter umum, tapi lebih banyak passion saya di kesehatan perempuan. Setelah mengambil Postgraduate, Master Public Health itu, saya kemudian bekerja di development dan kebanyakan bekerja memang di isu yang HKSR, ya, jadi mulai dari HIV AIDS kemudian juga maternal neonatal health,  penguatan sistem kesehatan dan tata kelola pelayanan publik--karena tadi yang dibilang sama Mbak Retno--bahwa Kesehatan Seksual dan Reproduksi itu adalah hak bagian dari pelayanan publik dan kemudian akhirnya bergabung di IPAS."

     "Yak, jadi kalau-kalau eee memang dari dulu dalam setiap pekerjaan saya, isu yang menjadi concern itu selalu soal kesehatan perempuan secara umum, tapi lebih khusus juga kesehatan reproduksi perempuan dan bagaimana perempuan bisa terlibat dalam… pengambilan keputusan di ruang-ruang publik terutama kalau sudah terkait dengan kesehatan dan dirinya."

Host:
     "Okay, wah banyak banget, nih, pengalamannya Bu Marcia. Pasti menarik banget, nih ya, kalau kita bisa diskusi dan dapat insight dari Bu Marcia. Kita langsung masuk saja nih, Bu, ke perbincangan yang pertama. Jadi sebagai seorang dokter, Ibu Marcia telah melakukan banyak kerja advokasi akses kesehatan reproduksi, misalnya salah satunya sekarang sebagai Direktur di Yayasan IPAS Indonesia dan juga tadi sudah diceritakan oleh Ibu pengalaman sebelumnya. Nah, pada kerja-kerja terdahulu Ibu kan juga berfokus pada isu kesehatan seksual dan reproduksi perempuan di Indonesia. Keresahan apa sih, Bu, yang melatarbelakangi Ibu memperjuangkan isu ini? Pastinya juga perjuangan yang sudah bertahun-tahun dilakukan memiliki landasan dari pengalaman Ibu sebagai dokter ya dan juga sebagai perempuan. Ada keresahan apa sih, Bu? Atau mungkin motivasi Ibu bertahan di situ?"

Marcia:
     "Terima kasih, Mbak. Jadi memang… seperti yang saya bilang sebenarnya kegalauan itu dimulai sejak saya bekerja… di membantu teman-teman, yang kemudian fokus pada kesehatan perempuan pada saat konflik Poso tahun 2002-2004. Dan dari situ saya belajar bahwa memang karena di sana banyak sekali--pada saat konflik itu semua tenaga kesehatan itu keluar dari kampung dan teman-teman ini kemudian saya termasuk yang kemudian mencoba menyediakan layanan kontrasepsi pada saat itu. Untuk perempuan-perempuan yang mau konflik atau tidak dia akan butuh kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Tapi karena tidak ada tenaga kesehatan itu tidak bisa mereka akses. Jadi mulai dari situ ada kesadaran bahwa ketika konflik memang kesehatan reproduksi perempuan itu mulai sangat terancam ya karena kemudian bisa terjadi kehamilan yang tidak direncanakan, padahal mungkin situasinya juga belum kondusif."

     "Nah, mulai sejak itu memang saya lebih banyak fokus pada keadilan gender dan kesehatan perempuan dan pengaruhnya pada kesehatan perempuan, jadi misalnya ketika bekerja di HIV… banyak sekali kita lihat bahwa perempuan yang hidup dengan HIV pada… pada sekitar tahun 2007 sampai 2000--yak, 2000-an awal itu banyak sekali diskriminasi yang dialami oleh mereka, mulai dari mereka tidak bisa melahirkan secara pervaginam, normal, tapi harus sectio. Padahal saat itu WHO juga dalam guidelines-nya sudah bilang bahwa bisa perempuan dengan HIV bisa melahirkan normal asal dia apa… rutin meminum antiretroviral. Pada saat itu masih banyak perempuan dengan HIV yang kemudian diarahkan untuk melahirkan secara sectio yang kita tahu tentu risikonya jauh lebih tinggi daripada persalinan normal."
    
     "Dan juga kita lihat bagaimana korban, bagaimana banyak anak perempuan… dan perempuan muda yang kemudian menjadi penyintas dari kekerasan seksual. Dan apakah mereka mendapatkan penanganan yang komprehensif itu juga kita masih… masih banyak ketabuan di sana, baik ketabuan untuk perempuan. Kalau perempuan melapor, ini yang paling saya dengar dari teman sejawat saya, para kolega dokter, ketika ada perempuan bilang… menyampaikan bahwa mereka adalah korban perkosaan misalnya atau kekerasan seksual, yang seringkali muncul nih pertama, dari tanggapan mereka adalah: apa benar itu perkosaan? Jangan-jangan suka sama suka, tapi enggak mau tanggung jawab laki-lakinya."

     "Padahal kan tidak mudah untuk perempuan mengklaim dirinya mengalami perkosaan di tengah masyarakat dengan kultur budaya yang penuh ketabuan yang sangat restriktif, itu nggak mudah. Tapi, ketika pemberi layanan tidak mempercayai kemudian cenderung menyalahkan korbannya, nah, ketika itulah kita jadi bertanya, sebenarnya nanti apakah dia akan mendapatkan layanan untuk penanganan kesehatannya yang dengan dignity, dengan dignity, ya… dengan penuh apa ya?"

Host:
     "Kehormatan ya, Bu?"

Marcia:
     "Kehormatan, ya, kehormatan karena kemudian belum-belum sudah dicurigai. Nah, hal-hal seperti itu tuh masih sering terjadi, baik di tingkat masyarakat, tapi juga di pemberi layanan dan ini saatnya untuk semua ini diubah sebenarnya. Kita harus mulai pelan-pelan berupaya untuk mengubah itu."

Host:
     "Okay, jadi sebenarnya bisa disimpulkan bahwa kemanusiaan Ibu ini muncul karena ketika konflik Poso rekan-rekan nakes yang lain menghindari konflik sehingga Ibu… bisa dikatakan beralih nih menjadi fokus ke kesehatan reproduksi, utamanya tadi kontrasepsi ya, Bu, yang memang harus dibagikan ke perempuan. Dan ternyata Bu Marcia juga turut ikut mendekonstruksi, nih, stigma masyarakat apalagi untuk perempuan korban kekerasan seksual. Sudah jadi korban disalahkan pula, ternyata walaupun… di situasi konflik victim blaming masih jalan ya Bu, ya. Bukannya memperhatikan korban, tapi masih ada yang menyalahkan korban dan mencurigai korban seperti itu ya Bu."

Marcia:
     "Ya karena memang ya itu tadi ketabuan sosial soal… seksualitas perempuan dan kemudian tubuh perempuan itu masih sangat kuat. Ketika perempuan menjadi korban masih disalahkan itu karena kemudian cara berpikir… yang bias tadi itu ya."

Host:
     "Betul. Nah, di Indonesia sendiri kan isu-isu seperti ini ya, Bu, kesehatan reproduksi, masih banyak sekali. Bahkan di kota besar saja masih banyak layanan yang sulit sekali diakses ataupun didapatkan oleh perempuan. Salah satu contoh singkatnya kontrasepsi darurat, ya, salah satunya seperti yang tadi juga sudah diceritakan oleh bu Marcia. Nah, kalau berdasarkan pengamatan Ibu sebagai pekerja medis yang bekerja di lapangan, bisa nggak Ibu Marcia memberikan kita semua gambaran tentang situasi akses layanan kesehatan reproduksi di Indonesia secara umum?"

Marcia:
     "Oke, jadi sebenarnya kalau kita berbicara kesehatan reproduksi, reproductive health, itu sebenarnya area yang sangat luas. Jadi dan kalau kita mengikuti siklus hidup dari perempuan maka sebenarnya dimulai dari ketika anak perempuan atau anak laki-laki itu dimulai dari kecil ya, bagaimana mereka bisa mengakses informasi tentang tubuh mereka—karena kita selalu memberikan informasi tentang seksualitas dan reproduksi itu sebaiknya sesuai dengan umur. Tetapi kita tau bahkan jangankan anak-anak sampai usia remaja pun yang namanya comprehensive sexuality education atau pendidikan seksualitas yang komprehensif itu masih tabu. Tabu dibicarakan dalam ruang-ruang pendidikan formal kecuali Anda menyekolahkan anak Anda di sekolah-sekolah yang berbiaya mahal."

     "Di sekolah-sekolah yang berbiaya mahal itu akses ke informasi soal seksualitas reproduksi, itu diberikan oleh sekolah, bagian integrasi dari—diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan. Tapi begitu kita berbicara sekolah-sekolah yang lebih umum… di situ kita mulai mendapatkan hambatan karena banyak hal yang dianggap tidak boleh dibicarakan oleh… orang dewasa kepada anak dan remaja. Padahal kita tau kalau sekolahnya di tempat yang mahal kita bisa dapat akses itu. Ini mulai kita bicara juga keadilan reproduksi, ya. Jadi begitu di sekolah umum tidak boleh, kalaupun diberikan informasi itu hanya sepenggal-sepenggal… tidak komprehensif padahal semua studi maupun standar yang ada di internasional ya memang kalau kita mau menghindari masalah-masalah kesehatan reproduksi di usia selanjutnya itu dimulai dengan memberikan informasi yang komprehensif, tapi memang sesuai umur tentunya."

     "Dan ketika remaja—dan terutama ketika usia remaja sudah mulai di atas 10-14 tahun itu memang sudah harus cukup kuat informasi soal hak seksual, kesehatan seksual, hak reproduksi, bukan untuk mendorong mereka melakukan hal-hal yang tabu secara sosial ini, tapi sebenernya untuk memberikan informasi sehingga mereka punya pengetahuan yang lengkap, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang terbaik buat dirinya. Bukan keputusan yang dipaksakan oleh orang dewasa, itu satu ya.  Jadi ada satu tuh isu di sana kalau kita bicara soal siklus kehidupan yang mulai dari anak dan remaja. Bagaimana mereka mengakses informasi yang kemudian tidak diberikan secara legal-formal juga karena kemudian memberikan informasi soal kontrasepsi pada remaja atau anak dibawah umur, yaitu kita bisa kena KUHP ya."

Host:
     "Iya, betul."

Marcia:
     "Iya, itu problem besar gitu kan. Padahal remaja sekarang itu kan dunia dalam genggaman, ya. Tinggal cari di WebMD atau di berbagai website internet yang mudah-mudahan memberikan informasi yang pas karena itu juga yang kita khawatirkan kan. Nah, kemudian ketika memasuki usia reproduksi di sini sebenarnya… kalau kita bicara usia ketika perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui sebenarnya program pemerintah tuh cukup banyak di sana karena memang angka kematian ibu kita… walaupun secara ekonomi, perkembangan ekonomi kita cukup pesat, tapi ternyata penurunan angka kematian ibu kita berjalan sangat lambat, bahkan cenderung stagnan ya dalam 20-30 tahun terakhir. Dan kita termasuk negara di Asia Tenggara yang angka kematian ibunya cukup tinggi." 

     "Sehingga kalau kita lihat banyak tuh program bagaimana untuk mencegah ibu hamil mengalami kematian atau kesakitan jangka panjang dan bisa melahirkan anak yang sehat itu banyak program-program itu. Jadi ketika bicara kesehatan reproduksi perempuan pada saat perempuan bereproduksi, maka itu maka programnya cukup banyak. Nah, kita bisa lihat nih kemudian kita tanya lagi ketika perempuan tidak sedang bereproduksi padahal dia di usia reproduksi… kita punya program Keluarga Berencana yang cukup baik. Setidaknya pada era-era di masa Orde Baru, tetapi ketika desentralisasi dimulai tahun 2001 dan ketika banyak pelayanan publik didelegasikan ke pemerintah daerah ketika itulah kita mulai mengalami sedikit hambatan dalam keberhasilan program keluarga berencana, contoh paling gampang adalah angka titik unmet need for family planning."

     "Jadi unmet need for family planning itu adalah persentase perempuan menikah, jadi… sayangnya di Indonesia pertanyaan ini dalam survei-survei hanya boleh ditanyakan pada perempuan menikah. Jadi perempuan menikah usia 15-49 tahun yang kemudian ditanyakan apakah mereka ingin menjarangkan kehamilan, memberikan jarak, ataupun menghentikan kehamilan yang maksudnya tidak hamil lagi? Ketika mereka menjawab iya, mereka terus ditanya apakah sekarang menggunakan KB, kontrasepsi? Jadi itu, di antara perempuan menikah yang ingin menjarakkan atau menghentikan anak dan menggunakan KB itu ternyata 1 di antara — angkanya agak beda-beda nih, ada yang bilang 11%, ada yang 13%. Jadi 1 di antara 9 perempuan yang tadi ini menikah asumsinya aktif secara seksual kemudian ingin menjarangkan anaknya, tapi tidak menggunakan KB. Itu ada satu dari sembilan perempuan. Jadi itu cukup tinggi karena berarti perempuan-perempuan ini yang harusnya bisa mengakses layanan kontrasepsi, karena satu dan lain hal itu nggak mengakses layanan kontrasepsi. Karena apa? Nah, yang paling sering nih, terutama pada tenaga kesehatan, saya juga tenaga kesehatan, yang paling sering itu kita… salahkan, "Ah, perempuannya belum tahu" gitu kan."

     "Perempuannya, mereka yang kemudian tidak  mengakses, tidak tahu, tidak mau, tapi bukannya itu bagian dari tanggung jawab kita untuk memberikan informasi yang mudah diterima perempuan sehingga mereka tahu dan jika merasa perlu mereka mengakses gitu kan, tapi ada juga yang lain adalah ketersediaan misalnya alat kontrasepsi… mungkin ketika sekarang cukup banyak juga yang cuma-cuma, tapi apakah itu tersedia di seluruh penjuru Indonesia yang kemudian dari Sabang sampai Merauke dan kita punya Miangas sampai Rote? Apakah itu—apakah kemudian kontrasepsi yang dibutuhkan perempuan itu tersedia? Karena kita nggak bilang selama ini perempuan didorong, perempuan menikah didorong untuk pakai metode kontrasepsi jangka panjang itu program pemerintah MKJP, tapi apakah setiap perempuan—apakah kemudian perempuan punya… pilihan-pilihan? Ketika perempuan punya pilihan lain, apakah pilihan itu tersedia? Itu yang jadi pertanyaannya."

     "Nah, itu satu, akses ke layanan kontrasepsi dan kita nggak bicara nih soal perempuan yang tidak menikah karena kemudian undang-undanganya sudah jelas melarang bahwa kontrasepsi diberikan pada mereka yang bukan pasangan sah, gitu kan. Padahal kadang-kadang saya mikir ini agak-agak kita nggak adil ya, zaman dulu itu ketika laki-laki dan perempuan muda mereka mengalami pubertas jadi yang laki-laki mulai mimpi basah sampai yang perempuan mengalami menarke atau pertama kali haid dan kemudian jarak sampai mereka dikawinkan itu kan kecil ya? Jadi… biasa kalau pubertas atau mimpi basah laki-laki dan haid pertama perempuan itu dimulai usia 12-13—10-12 tahun kemudian berarti mereka sudah mulai itu kan pubertas, keingintahuan soal seksualitas kemudian perubahan hormonal yang juga menyebabkan mereka menjadi mulai punya keingintahuan, hasratnya juga sudah mulai ada sampai dengan mereka menikah itu kan cuma paling cuma 3-4 tahun ya. Karena zaman dulu menikah usia 15-16 tahun sudah gitu kan menikah."

Host:
     "Iya betul."

Marcia:
     "Jadi segala keingintahuan, hasrat seksual itu hanya butuh 3-4 tahun untuk menunggu sampai pernikahan yang dianggap sebagai dalam norma budaya kita itu adalah waktu untuk memulai hubungan seksual, gitu kan, ketika sudah menjadi pasangan suami, istri itu cuma 3-4 tahun."

     "Tapi sekarang coba kita lihat orang muda sekarang. Orang muda sekarang itu menarke sama haid pertama dan mimpi basahnya itu mulainya itu 10 tahun bisa, bahkan ada yang lebih muda, tapi kemudian kita berharap mereka jangan menikah sampai selesai kuliah yang berarti itu adalah usia 23-24 tahun, di atas 21 tahun. Jadi mungkin untuk beberapa orang muda, tidak melakukan hubungan seksual dalam jangka waktu yang cukup lama sampai benar-benar waktu yang tepat menurut budaya, dan adat, dan agama kita itu beberapa orang bisa, tapi kan menurut saya nggak adil aja gitu kalau dulu cuma 2-–3 tahun terus habis itu kawin sudah boleh berhubungan seksual. Tapi sekarang kita—ada lagi yang nanti orang tuanya, nanti selesai S2 dulu, itu makin panjang waktu untuk upstinen gitu kan. Mari realistis lah gitu kan. Nah, akses terhadap bagaimana cara mencegah kehamilan sehingga tidak menjadi kehamilan yang tidak diinginkan untuk siapapun, untuk orang muda menurut saya juga penting gitu dibandingkan kita hidup dalam utopia bahwa oh ya semua orang tidak akan melakukan hubungan seksual sebelum sah di penghulu maupun di depan- di gereja misalnya. Mari realistis lah."

Host:
     "Yak, jadi begitu rupanya sahabat. Tadi menarik sekali penjelasan dari Bu Marcia yang membuka mata saya terutama, yaitu adalah wawasan pengetahuan mengenai reproduksi yang harusnya sebenarnya semua umur bisa dapat ya dan disesuaikan seperti itu. Tadi juga sudah disinggung bahwa ketika kita bicara bahwa akses informasi comprehensive sexuality education itu biasanya didapatkan di sekolah-sekolah yang mahal, ini kan artinya bisa disimpulkan bahwa keadilan reproduksi ini sesuatu yang privilege ya, Bu, ya. Saya sendiri ketika di sekolah juga nggak ada deh comprehensive sexuality education-nya ini tidak ada dan saya rasa dari generasi-generasi sekarang juga belum ada kemajuan yang sangat signifikan untuk informasi mengenai ketubuhan kemudian hak reproduksi dan juga seksual itu juga belum berkembang segitu banyak, apalagi di sekolah-sekolah umum, seperti itu. Sedangkan remaja harus kuat mengenai informasi ini yang bukannya kita mau mendorong mereka ya, tapi untuk mereka agar bisa memberi pengetahuan dan juga ada kontrol seksualitas dan ketubuhan mereka sendiri, seperti itu."

     "Nah, kemudian tadi juga Bu Marcia menjelaskan sedikit banyak mengenai bagaimana negara juga punya andil ya dalam memajukan atau bahkan mungkin memundurkan si informasi mengenai keadilan reproduksi itu tadi. Nah, ini ada hubungannya nih Bu sama Jurnal Perempuan edisi 114 yang akan terbit ini bahwa ditemukan bahwa perempuan masih mengalami ketidakadilan reproduksi. Nah, ini terjadi utamanya ketika negara turut mengatur otonomi tubuh perempuan, tadi Bu Marcia sudah menyinggung ketika bicara program kontrasepsi ya atau KB ternyata perubahan dari sistem pemerintahan turut mempengaruhi lambatnya atau cepatnya program tersebut, seperti itu kan."

     "Nah, kemudian salah satu hal yang mungkin sedikit kontroversial nih adalah kriminalisasi aborsi. Pada berbagai instrumen hukum kita yang landasannya kok justru norma sosial dan juga agama, seperti itu. Nah, kalau bicara data, riset Jurnal Perempuan di edisi yang 114 memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 2015-2019 tingkat aborsi ini justru meningkat 32% di Indonesia yang sebenarnya berdampak pada tingginya angka kematian ibu. Nah, ini tadi juga sudah disinggung oleh Bu Marcia, bahwa secara ekonomi kita meningkat, tapi angka kematian ibu atau AKI justru stagnan ya Bu, seperti itu. Nah, kemudian hal ini disebabkan mereka tidak memperoleh layanan aborsi yang aman sehingga metode aborsi yang mereka pilih tidak aman, seperti itu. Nah, ini kan sebenarnya satu dari sekian banyak masalah kespro di Indonesia yang berakar dari ketidakadilan reproduksi. Nah, Ibu bisa tidak membagikan pengalaman Ibu ketika menangani ketidakadilan kesehatan reproduksi seperti ini yang masih menjadi persoalan di Indonesia?"

Marcia:
     "Terima kasih, Mbak Daru. Jadi mungkin kalau dari pengalaman IPAS. Mari kita mulai dulu dengan konsep apa itu keadilan reproduksi, ya, reproductive justice. Jadi sebenarnya benar tadi yang dibilang bahwa ketika kita berbicara kasus keadilan reproduksi itu adalah situasi di mana seseorang, baik perempuan atau laki-laki tua, muda, terlepas dari identitasnya itu memiliki otonomi terhadap tubuhnya, terhadap kesehatannya, dan juga terhadap seksualitasnya. Dan kemudian ketika seseorang tidak mendapatkan otonomi ini, baik karena peraturan legal-formal maupun norma-norma sosial, ketabuan sosial yang kemudian berlaku di masyarakat maka itu akan terjadi ketidakadilan. Apalagi kalau terutama itu disebabkan oleh apa namanya peran negara yang berkurang ya. Jadi kalau kita bicara soal HKSR memang akses ke aborsi aman itu masih menjadi satu problem besar ya karena kemudian Indonesia masih termasuk negara dengan hukum aborsi yang terbatas. Sampai saat ini memang hukum regulasi kita masih hanya membolehkan tiga situasi untuk penghentian kehamilan atau aborsi."

Host:
     "Okay."
Marcia:
     "Nah, yaitu kalau nyawa ibu terancam, satu. Dua, kalau kemudian ada gangguan tumbuh kembang janin yang tidak memungkinkan janin hidup di luar kandungan, kan nggak mungkin kita berharap ibunya membawa kehamilannya sampai 9 bulan dan kemudian setelah melahirkan anaknya meninggal, itu nggak mungkin kan. Nah, jadi dalam hukum kita itu boleh untuk menghentikan kehamilan. Dan yang ketiga adalah pada korban perkosaan ataupun kehamilan akibat kekerasan seksual kalau menurut KUHP 2023, tapi kita juga bicara soal kriminalisasi terhadap apa namanya penyintas ataupun mereka yang mencoba mengakses layanan aborsi yang sudah pasti menjadi tidak aman karena memang negara kita hanya memperbolehkan di tiga situasi tadi itu ya. Nah, ketika mengakses layanan yang sudah—sudah mengakses layanan tidak aman, tapi kemudian biasanya tuh yang terjadi adalah mereka datang ke pelayanan kesehatan dan kemudian dengan komplikasi akibat aborsi yang tidak amannya."
   
     "Nah, ini ketika mereka mengakses layanan kemudian diketahui aparat penegak hukum ini tadi jadi sudah mengakses–mengalami kehamilan tidak diinginkan, mengakses layanan yang tidak aman, mengalami komplikasi, dia datang ke rumah sakit, dan ditangkap polisi. Itu jatuh tertimpa tangganya entah berapa kali itu ya. Dan kemudian juga kriminalisasi yang diberikan—karena di hukum KUHP itu juga kriminalisasi dilakukan untuk siapapun yang membantu, membantu perempuan mengakses layanan tersebut, si pemberi layanan maupun siapapun yang membantu. Itu isu besar ya karena kemudian kita tahu di tengah kita bicara juga bahwa banyak sekali terjadi kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran yang mungkin tidak akan melewati jalur formal hukum."

     "Jadi karena perempuan kemudian terlalu takut untuk mengadu, menempuh jalur hukum, bahkan ketika dia mengalami kekerasan seksual. Dan ini kita nggak tahu apakah yang mencari layanan aborsi aman itu adalah sebenarnya penyintas kekerasan seksual dan ketika tidak ada layanan yang legal-formal, ya, tentunya mereka mau mengakses layanan ini, itu yang kedua. Bahwa kemudian ketika bahkan ketika hukum sudah memberikan perlindungan terhadap perempuan, anak, penyintas dari kekerasan seksual, tapi sampai saat ini layanannya itu belum ada, gitu kan. Padahal regulasinya sudah ada dari tahun 2009 dan kita berharap semoga dengan adanya Undang-Undang TPKS jelas-jelas memberikan perlindungan dan juga menjamin penanganan untuk korban kekerasan seksual itu akan menjadi faktor yang mendorong bahwa layanan ini harusnya nantinya akan ada karena itu menjadi tanggung jawab negara."

     "Kalau kita bicara soal hak diskriminasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi, kita tidak bisa tidak melihat bagaimana kawan-kawan yang memiliki identitas gender yang berbeda dan juga preferensi seksual yang berbeda, itu terdiskriminasi ketika mencoba mengakses hak HKSR-nya. Paling gampang bisa kita lihat misalnya kita lihat teman-teman transpuan itu kan. Transpuan mengakses layanan itu masih seringkali diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya dan bukan diperlakukan sesuai dengan identitas gender yang—atau ekspresi gender yang kemudian dia tunjukkan dan ini akan membuat teman-teman transpuan mungkin menjadi tidak nyaman. Mereka akan hanya mencari layanan, mereka akan mencoba mencari layanan yang menerima dengan baik apapun identitas gender dan ekspresi gendernya. Itu juga menjadi satu PR besar ya."

     "Dan kita juga berbicara kalau kita bicara HKSR itu kita ngobrol juga—kita perlu mengingat tentang perempuan yang kemungkinan usianya sudah lebih tua. Jadi perempuan yang mungkin di usia reproductive akhir atau sebenarnya fungsi reproduksinya sudah berakhir, tapi kan pada saat seperti itu ada masih banyak penyakit-penyakit terkait reproduksinya yang kemudian bisa mengganggu kualitas hidupnya. Jadi kita bicara soal misalnya kanker-kanker reproduksi yang terjadi di usia perimenopause maupun menopause ya dan bagaimana perempuan tua juga perempuan yang lebih senior--saya tidak tahu ngomongnya yang harus lebih tepat gimana--tapi perempuan yang berusia lanjut itu kemudian bagaimana mereka saat ini juga masih belum banyak perhatian kepada usia lanjut. Jadi kalau lihat program-program usila tuh kan masih sangat  gender blind ya. Jadi masih-masih gender blind, padahal juga akan ada kebutuhan-kebutuhan tertentu di perempuan usia lanjut."

     "Saya pikir itu salah satu dari sekian banyak contoh ya. Mungkin satu lagi yang sering kita dapati dan sering kita alami, yaitu ketika terjadi kehamilan di usia remaja ya, di perempuan muda, ketika masih sekolah. Itu biasanya--tentunya kehamilan yang seringkali tidak direncanakan, tidak diinginkan, tapi kemudian yang menjadi korban itu hanya si perempuan yang biasanya kemudian kalau dia dikawinkan itu maka akan berhenti tuh biasanya sekolahnya. Jarang sekali anak perempuan setelah dikawinkan, punya anak, kemudian masih melanjutkan sekolah. Jadi itu masa depannya terputus. Yang laki-laki masih bisa terus. Atau yang paling sering adalah justru diberhentikan dari sekolahnya. Diberhentikan dari sekolahnya, ya, itu tadi ketika berhenti, kalau laki-laki diberhentikan juga, tapi dia bisa langsung pindah ke sekolah lain, langsung melanjutkan hidupnya. Tapi anak perempuan yang kemudian mengalami kehamilan tidak diinginkan di usia sekolah mereka masih harus menunggu nih. Menunggu sampai ketika kemudian mengakhiri kehamilan tidak menjadi pilihan karena kemudian tidak diberikan pilihan itu, maka mereka akan meneruskan kehamilannya. Dan ya setelah melahirkan anak kemungkinan untuk mereka kembali ke sekolah itu sangat kecil."

Host:
     "Okay, wah menarik sekali apa yang dibagi oleh Bu Marcia informasinya. Jadi kalau misalnya kita mengungkit reproductive justice atau keadilan reproduksi, dimana otonomi ketubuhan seseorang itu harusnya mereka bisa kontrol sendiri begitu ya, Bu, ya. Sayangnya ada norma, stigma sosial, yang melanggengkan ketidakadilan ini. Utamanya ketika negara kurang berperan di sini. Em, terutama ketika kita juga ada peraturan-peraturan yang menghambat salah satunya tadi aborsi aman, seperti KUHP yang tidak hanya menghukum si perempuan yang melakukan aborsi, tapi juga orang-orang yang mendukung proses aborsi tersebut gitu ya, Bu, ya. Jadi aborsi aman sulit sekali untuk diwujudkan di sini. Kemudian seperti yang tadi juga sudah disinggung oleh Bu Marcia, bahwa masih banyak keputusan-keputusan gender blind di sini. Sehingga teman-teman dengan identitas dan ekspresi gender yang berbeda tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan yang mereka butuhkan. Tidak hanya itu perempuan-perempuan di usia yang mungkin secara reproduksi tidak terlalu aktif lagi itu juga masih kurang diberikan perhatian untuk kesehatan seksual dan  reproduksi mereka."

     "Nah, jadi sudah banyak sekali pengalamannya Bu Marcia. Kita tertarik nih Bu untuk mendengar ada nggak sih pelayanan, advokasi, atau mungkin penelitian Ibu yang paling berkesan dan menjadi apa ya bisa dikatakan refleksi diri ibu untuk semakin bersikeras memperjuangkan hak keadilan seksual dan reproduksi perempuan terutamanya di Indonesia, Bu."

Marcia:
     "Ada dua sih. Yang pertama itu adalah kita pernah melakukan studi kecil tentang stigma terhadap aborsi yang kita lakukan terhadap pemberi layanan, baik kesehatan, kepolisian, maupun, UPTD PPA, pada saat itu P2TP2A. Jadi kita mencoba melihat bagaimana pemberi layanan terkait kekerasan, terutama dan juga kekerasan seksual. Bagaimana persepsi mereka terhadap aborsi. Karena memang di undang-undang kita itu boleh gitu korban kekerasan seksual bisa mendapatkan pilihan, dia bisa memilih untuk mengakhiri sih melanjutkan kehamilannya. Jadi studinya sih kecil, dilakukan di salah satu ibukota provinsi di Pulau Jawa yang cukup besar. Dan yang menarik itu adalah ternyata stigmanya nggak cuma di aborsinya, stigmanya terhadap perkosaannya juga. Bahwa kemudian ini berdasarkan pendekatan kualitatif ya. Jadi diskusi dan juga interview dengan pemberi layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak."

     "Jadi kemudian, tadi yang banyak pertanyaan, "Apa benar itu diperkosa?" dan lain sebagainya itu kan. Bagaimana kita mau menjamin bahwa penyintas kekerasan seksual dan perkosaan bisa mendapatkan layanan yang komprehensif berkualitas termasuk pelayanan aborsi sesuai regulasi kalau kemudian terjadi kejadian kekerasan seksual dan perkosaannya itu sendiri dipertanyakan gitu kan. Itu, itu yang kemudian sebenarnya membuat Yayasan IPAS kemudian banyak bekerja di isu kekerasan seksual. Karena kita nggak usah ngomongin aborsinya dulu deh lah wong yang sesuai regulasi saja awalnya soal perkosaan dan kekerasan seksualnya saja masih penuh stigma gitu kan. Dan kemudian ketika di saat itu juga kita juga pertanyaan soal yang mau nanggung dosanya itu siapa? Itu pertanyaan menarik dari--yang keluar dari studi ini, itu yang muncul gitu kan. Dan buat saya itu sedikit menarik sih kalau kemudian itu pertanyaan itu keluar dari pemberi layanan kesehatan, karena sebagai pemberi layanan kesehatan kami ini tidak seharusnya yang menjadi axis utama pertimbangan dari seseorang yang memberikan layanan kesehatan adalah: apakah perilaku tindakan ini berisiko terhadap kesehatannya atau tidak berisiko."

     "Apakah ini akan membuat pasien menjadi lebih sehat atau lebih baik. Urusan surga neraka itu bukan ranahnya petugas kesehatan, itu ranahnya orang lain. Jadi harusnya pola pikirnya tuh ke sana. Jadi, apakah kemudian ini berisiko untuk pasien saya? Apakah ini akan membuat pasien saya jadi lebih buruk atau lebih baik, lebih sehat atau lebih sakit? Pertanyaan-pertanyaannya itu semacam itu. Bukan, apakah pasien saya akan berdosa atau tidak berdosa? Itu bukan, kita juga kan gak bisa menjadi Tuhan gitu kan untuk ngomongin soal itu. Itu jadi kemudian membuat, "Okay, masih perlu banyak mendorong supaya setiap orang yang mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan publik menjalankan kewajibannya sesuai dengan etika, standar, dan protokol keilmuannya, itu satu. Dan kalau yang kedua itu ada studi menarik sih, jadi saya nggak heran kalau kemudian studinya kawan-kawan Jurnal Perempuan tuh bilang ada peningkatan 32%."

     "Jadi ada satu studi besar yang dilakukan oleh kawan-kawan Guttmacher Institute di tahun 2018 bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, yaitu melakukan studi insiden aborsi, induced abortion, di Pulau Jawa dan studinya itu sangat, sangat rigor ya. Studinya itu studi besar, dimana mereka melakukan randomization, mencari di—baik di fasilitas kesehatan—dan mereka mempunyai studi di fasilitas kesehatan digabung dengan studi dengan di Key Informant Leaders—KOL—dan juga studi survei terhadap 9000 perempuan di Pulau Jawa. Dan dari studi itu didapatkan, sepanjang 2018—jadi mereka bikin modelling mulai dari tiga sumber data ini mereka melakukan modelling dan keluar dengan kesimpulan bahwa diestimasikan—karena kita nggak punya data. Ya, nggak mungkin kita punya data untuk sesuatu ilegal yang legal saja kita kadang nggak punya datanya gitu kan, itu menarik."

     "Diestimasikan di Pulau Jawa saja pada tahun 2018 ada 1,69 juta aborsi. Ini tentu menarik karena beberapa orang bilang, bagaimana mungkin 1,69 juta aborsi hanya di Pulau Jawa? Lah wong se-Indonesia ini katanya estimasi kehamilan setiap tahun 5,5 juta. Kok bisa ada aborsi 1,69? Mungkin yang harus ditanyakan darimana angka 5,5 juta kehamilan setiap tahun di Indonesia, itu yang harus ditanyakan. Dan studi ini kan tadi saya bilang ada 9000 perempuan di survei ya, itu menarik melihat profil perempuan yang mengalami atau kemudian menjalani induced abortion atau aborsi yang disengaja ini."

     "Jadi, satu memang dari data itu terlihat jelas bahwa lebih banyak perempuan menikah yang melakukan aborsi ini. Itu terjawab lah dengan tadi, unmet family planning ya, dia yang sudah nggak pengen memiliki anak gitu kan dan lain sebagainya, Tapi mungkin memang ada sedikit masalah dengan studi ini—bukan studi ini. Ada sedikit masalah dengan setiap studi aborsi adalah tidak serta merta semua orang mau mengaku dìa melakukan aborsi. Karena ada faktor risiko legalnya. Dan paling sering terjadi adalah perempuan muda itu karena mungkin tidak menikah jadi segala macam hambatannya, ketika melakukan aborsi biasanya mungkin mereka cenderung tidak mengakui. Perempuan yang melakukan aborsi ini itu semakin meningkat ketika anak, kedua ketiga—sudah mempunyai anak kedua, ketiga, keempat, itu kemungkinan dia melakukan aborsi itu lebih besar. Jadi balik lagi, ini soal menghentikan punya anak lagi sebenarnya kan. Jadi sebenarnya dua ini bisa men-counter selama ini orang mengaitkan  aborsi dengan remaja yang bergaul secara bebas. Saya nggak tau bergaul secara bebas itu kaya apa. Tapi kemudian selalu disalahkan remaja. Enggak kok, karena kemudian perempuan menikah yang kemudian tidak bisa akses kontrasepsi bisa mengalami itu karena mereka aktif secara seksual, gitu kan."

     "Nah, kemudian yang menarik lagi dari penelitian ini adalah aborsi ini lebih banyak ditemukan pada perempuan yang juga mengalami kekerasan, maka dia lebih cenderung melakukan aborsi juga dan ini dari studi itu. Jadi saya pikir, dua studi itu cukup menjelaskan tentang situasi perempuan di Indonesia ketika itu terkait dengan kehamilan yang tidak direncanakan, baik itu karena hubungan seksual yang konsensual maupun hubungan seksual yang melalui kekerasan."

Host:
     "Okay, wah pengalaman Bu Marcia tadi sungguh membuka mata. Tadi sampai saya garis bawahi lho Bu, bahwa urusan surga neraka bukan urusan pemberi layanan kesehatan. Jadi mungkin Sahabat yang mendengarkan podcast ini kalau punya cita-cita menjadi tenaga kesehatan, kita tidak boleh bias seperti itu ya, Bu, ya. Apalagi kalau kita memperjuangkan kesehatan orang lain dan dalam isu ini bagaimana kita memperjuangkan hak kesehatan seksual dan reproduksi orang di luar sana, terutama perempuan seperti itu."

     "Ini kan sulit, ya, Bu, ya, bahwa pemberi layanan kesehatan saja bias seperti itu. Nah, jadi untuk menghargai dan menjadi solusi permasalahan kespro yang ada di Indonesia ini ya, Bu. Menurut  Ibu, langkah-langkah apa sih yang efektif untuk implementasi kespro yang komprehensif di Indonesia? Karena kita kan nggak bisa nih berjalan sendirian. Harus ada banyak pihak, mulai dari pemerintah, lembaga kesehatan, organisasi terkait, dan juga masyarakat umum. Nah, menurut Bu Marcia ini langkah atau upaya apa saja sih yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait tersebut untuk mendukung terciptanya keadilan reproduksi?"

Marcia:
     "Jadi mungkin begini. Walaupun situasinya saat ini seperti sekarang ini ya bahwa kemudian masih banyak diskriminasi, stigma, untuk pemenuhan hak atas tubuh perempuan terkait kesehatan reproduksinya. Tapi sebenarnya kita nggak perlu berkecil hati. Kita lihat pengalaman—kalau kita melihat pengalaman di respons HIV terutama ketika kita bicara soal diskriminasi pemberi layanan, diskriminasi stigma di masyarakat, ketika HIV mulai ada di Indonesia tahun 2000-an itu kan stigmanya besar sekali. Pemberi layanan kesehatan, kaya yang saya bilang tadi, maunya semua perempuan di sectio, gitu kan, karena kemudian takut kalau melahirkan normal nanti kena darahnya tertular."

     "Jadi banyak stigma dan diskriminasi, tapi kemudian pelan-pelan itu bisa di—dan sekarang layanan untuk direspons HIV itu menurut saya sudah cukup baik dan karena kemudian... kalaupun masih ada stigma diskriminasi, masih ada diskriminasi, maka ada banyak peraturan yang kemudian—dan juga banyak komitmen untuk mengurangi diskriminasi itu. Jadi saya pikir, kita bisa mulai dengan tentu mengadaptasi apa yang dilakukan kawan-kawan HIV ya, aktivis HIV. Jadi mulai pertama ya, memang kita kampanye yang kampanye yang masif dan juga dengan strategi yang baik untuk kemudian mulai membicarakan soal ketubuhan perempuan. Dan saya pikir dengan adanya Undang-Undang TPKS itu awal yang baik gitu untuk membicarakan soal kekerasan seksual, kenapa kekerasan seksual itu bermasalah, kenapa perempuan dan laki-laki—anak perempuan dan anak laki-laki mempunyai hak untuk bilang tidak terhadap apapun yang tidak sesuai dengan keinginannya."

     "Jadi itu bisa menjadi pintu masuk untuk berbicara kekerasan seksual, tubuh perempuan, kesehatan seksual, kesehatan reproduksi yang cukup baik dan itu bisa kita lakukan mulai dari usia remaja/ Kita bisa memulai menggunakan itu untuk mengkampanyekan tentang hak otonomi atas tubuh kepada semua orang. Dan kemudian, yang kedua adalah tentunya kalau berkaca dari apa yang dilakukan oleh kawan-kawan HIV untuk pemberi layanan kan perlu training karena seringkali kita nggak bisa memisahkan pemberi layanan dari komunitasnya. Tapi melatih dan mendiskusikan itu penting dan juga memberikan keterampilan. Bagaimana sih sebenarnya, kalau di IPAS kami—di Yayasan IPAS kami punya pelatihan, misalnya namanya Women Centered Care. Jadi bagaimana memberikan care yang berpusat pada perempuan dan ini sebenarnya berangkat dari patient centered care karena itu wajib di apa dunia kesehatan—bahwa itu pelayanan kesehatan itu berpusat pada pasien. Dan ketika isunya soal kehamilan yang tidak direncanakan, kontrasepsi, kekerasan seksual, maka biasanya pasiennya cenderung perempuan ya."

     "Jadi makanya kita bilangnya, "Oh, bukan patient centered care untuk di kespro perempuan, tapi women centered care" jadi menitikberatkan pada women centered-nya. Tentunya, yang tidak kalah penting kalau kita berkaca dari respons HIV adalah peran pemerintah. Peran pemerintah, baik berupa regulasi yang kemudian berpihak pada perempuan dan remaja perempuan dan setiap orang dari kelompok yang termarginalkan yang selama ini mengalami diskriminasi ketika mengakses layanan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi itu perlu ada aturan yang melindungi ya. Sehingga kemudian mereka lebih sehat dan lebih sejahtera. Tapi juga komitmen, komitmen yang sama dari pemerintah di pusat sampai pemerintah di daerah, itu yang membedakan. Direspons HIV itu bahkan sampai ada—komisinya tuh sampai di kabupaten. Jadi bukan soal komisinya, tapi komitmen untuk mengatasi isu ini itu dari atas sampai ke daerah. Kemudian memberikan ruang cukup besar untuk mendiskusikan soal ketabuan sosial, kemudian norma-norma sosial dan norma agama, yang mungkin dengan berkembangnya zaman juga perlu berkembang. Toh perbudakan juga nggak ada lagi kan sekarang? Nah, itu juga menjadi penting."

Host:
     "Okay, baik Ibu Marcia, luar biasa sekali, lho, terima kasih sudah membagikan  pengalaman advokasi yang Ibu lakukan selama bertahun-tahun. Kalau nggak salah bulan Mei ini Yayasan IPAS Indonesia berulang tahun yang kelima, betul ya? Selamat ulang tahun juga untuk IPAS Indonesia, advokasi yang diberikan bagi perempuan di Indonesia, sangat menginspirasi kita semua. Nah, kemudian sebagai penutup nih Bu, Ibu bisa nggak membagikan harapan Ibu kedepannya terhadap keadilan reproduksi di Indonesia dan juga mungkin harapan untuk IPAS Indonesia dalam mendukung keadilan reproduksi di Indonesia di tahun-tahun yang akan datang."

Marcia:
     "Okay. Kalau harapan kedepannya terkait keadilan reproduksi tadi, bahwa akan ada suatu saat di mana setiap orang, tidak hanya perempuan dan konsep perempuan, tapi setiap orang akan memiliki hak otonomi untuk tubuhnya, untuk kesehatannya, dan untuk reproduksinya. Dan ketika kita berbicara secara khusus soal reproduksi ini, maka keadilan reproduksi berbicara mengenai empat hal: satu, hak untuk memiliki anak dan kemudian melahirkan anak sesuai dengan cara yang dia inginkan. Kemudian, yang kedua, adalah hak untuk tidak ingin punya anak, memilih untuk tidak ingin punya anak, mau childfree ataupun untuk menjarakkan kehamilan—jadi bagaimana mencegah kehamilan selanjutnya atau kehamilan, dengan ke akses kontrasepsi, tapi juga akses kepada layanan penghentian kehamilan ketika dirasa bahwa itu bukan kehamilan yang diinginkan."

     "Dan yang ketiga, sebenarnya hak untuk membesarkan anaknya dalam masyarakat yang aman dan bebas dari kekerasan serta opresi. Dan tentu juga kita berbicara soal hak untuk kebebasan berekspresi dan kebebasan seksual, jadi itu empat itu menjadi penting. Dan kita berharap suatu saat Indonesia akan mencapai situasi itu dan untuk Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Indonesia, kami tetap berkomitmen, komitmen kami adalah kepada perempuan dan remaja perempuan, tentunya ketika bekerja untuk perempuan dan remaja perempuan kita juga akan melihat bahwa bekerja dengan anak laki-laki, laki-laki, bekerja dengan pemimpin, tokoh agama, dengan teman-teman media, jurnalis, dengan pemimpin adat, dengan lain sebagainya, dengan pemerintah jadi langkah strategis dan penting itu akan kami lakukan."

     "Tetapi kami berharap bahwa dalam kerja-kerja kami perempuan dan remaja perempuan adalah center dari apa yang kami lakukan. Dan kami akan tetap mendorong, bekerja dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi kemudian juga mendorong bagaimana pemerintah, pemberi layanan publik bisa responsif terhadap kebutuhan yang timbul dari perempuan dan remaja perempuan, itu saja."

Host:
     "Baik, terima kasih banyak Ibu Marcia, terima kasih banyak IPAS Indonesia.  Gimana, Sahabat, perbincangan tadi? Relatable nggak nih dengan kalian? Enggak hanya untuk pendengar perempuan ya, untuk pendengar laki-laki juga semoga apa yang sudah dipaparkan oleh Ibu Marcia tadi dapat membuka mata kita semua. Nah, jadi yang bisa disimpulkan, keadilan reproduksi ini bukan hanya PR tenaga medis saja ya, Sahabat. Sesuai penuturan Ibu Marcia tadi, penting lho untuk semua orang di semua usia mengakses informasi mengenai comprehensive sexuality education. Negara juga harus komitmen kuat untuk memperwujudkan reproductive justice dengan peran pemerintah, mewujudkan regulasi yang tentunya lebih baik. Selain itu, bagi pemberi layanan kesehatan, tidak boleh bias lagi ya, semua harus dibantu secara adil."

     "Wah, kalau nggak ngobrol sama Bu Marcia mungkin nggak tahu banyak nih kita mengenai sulitnya mengimplementasikan kesehatan reproduksi yang adil secara merata di seluruh daerah Indonesia. Terima kasih banyak ya, Bu, sekali lagi atas sharing-nya, semangat terus bagi Ibu dan seluruh rekan kerja medis Indonesia dan untuk IPAS Indonesia juga. Selamat ulang tahun yang kelima, terus mencerahkan dan memberdayakan perempuan di Indonesia."

Marcia:
     "Terima kasih, Mbak Daru."

Host:
     "Terima kasih. Nah, Sahabat, terima kasih sudah mengikuti obrolan kita hari ini. Semoga podcast ini dapat membantu kita semua dalam menjadi ruang aman bagi  perempuan-perempuan di sekitar kita. Seperti biasa kalau Sahabat sekalian punya ide mengenai tema podcast selanjutnya bisikan ke kami ya. Sampai jumpa di podcast Jurnal Perempuan selanjutnya! Dadah!"


**Podcast ini merupakan kolaborasi antara Jurnal Perempuan dan Yayasan IPAS Indonesia. Salam pencerahan dan kesetaraan.

0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024