Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025

Podcast JP

Ke Mana Arah Politik Perempuan Muda Akan Berlabuh? bersama Arie Mega

10/10/2023

0 Comments

 
Picture
     Halo, Sahabat! Kembali lagi bersama kami di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang memperbincangkan feminisme dan kesetaraan. Bersama saya, Retno Daru Dewi. Sahabat, apa kabar? Sudah lama, ya, kita nggak bersua lagi di kanal Jurnal Perempuan Podcast kali ini yang bekerja sama dengan Yayasan Tifa dalam menghadirkan Podcast yang seru. Bahasan Podcast kali ini sejalan, loh, sahabat, dengan Jurnal Perempuan  ke-115 yang sudah terbit, yaitu Partisipasi Politik Perempuan Muda. Nah, Podcast kali ini kita akan ngobrol soal identitas politik perempuan dan kaum muda. Siapa saja, nih, sahabat yang baru akan nyoblos di tahun 2024 yang akan datang menjadi pemilih pertama kalinya. Apakah sudah mengetahui isu apa saja yang mau fokus dikawal? Nah untuk membahasnya lebih lanjut, agar wawasan kita juga bertambah, kita sudah mengundang Arie Mega Prastiwi atau yang akrab disapa dengan Kak Mega. Halo, Kak Mega, apa kabar?

               ​Mega: "Halo, apa kabar? Baik, Mbak Daru."
 
     Daru: "Baik, sesuai peribahasa, nih, tak kenal maka tak sayang. Jadi, yuk, kenalan lebih jauh lagi, sebelum kita seru-seruan ngobrolin mengenai perempuan dan politik. Kak Mega, silakan memperkenalkan diri dulu."
 
     Mega: "Baik, terima kasih. Halo semuanya, Sahabat JP. Apa kabar? Semoga dalam kondisi sehat. Well, perkenalkan saya Arie Mega. Saya project officer di (program) Jurnalisme Aman! di Yayasan Tifa. Latar belakang pendidikan saya, saya lulusan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia dan juga awardee untuk Short Term Award Australia, Awardee for Democratic Resilience Digital and Media Literacy Program di Queensland University of Technology atau QUT."
 
     Daru: "Oke, baik. Nah, udah nggak sabar lagi nih kak mega untuk kita diskusi mengenai isu yang kali ini kita angkat. Jadi, pemilu 2024 kan tinggal beberapa bulan lagi  sebenarnya, ya, kalo dihitung. Kemudian nanti kita akan memilih calon-calon pemimpin yang kelak akan merumuskan kebijakan, yang penting banget untuk bertahun-tahun yang akan datang, seperti itu. Nah, utamanya untuk kaum muda, terutama perempuan, apalagi yang baru memilih tahun 2024 nanti untuk pertama kalinya.
 
     "Berdasarkan pengalamannya Kak Mega, nih, di bidang riset politik dan jurnalistik di pemilu 20219 yang sudah berlalu, apakah kelompok perempuan dan kaum muda sudah terlihat kecenderungannya, akan memilih calon yang kayak apa, sih. Terus isu yang mereka kawal itu apa? Kemudian gimana, nih, caranya untuk pemilih 2024, kita bisa membangun atau mengawal identitas dan tujuan yang kokoh hingga mewujudkan keterwakilan perempuan di politik?"
 
     Mega: "Sekarang kita mau lihat latar belakangnya dulu, ya. Tadi nyebutin pemilu 2019. Nah, kalo dari pemilu 2019 itu, persentase perempuan terpilih, let’s say untuk DPR RI itu sudah mencapai 20,52 persen, gitu ya.
 
     "Ini sebenarnya ada peningkatan dari jumlah perempuan terpilih di hasil Pemilu  2014 itu. Dia angkanya masih 17,32 persen. Meskipun ada angka keterwakilan yang sudah mencapai 20 something persen itu, ternyata tidak diikuti juga, nih, oleh meningkatnya jumlah perempuan yang mengisi pimpinan di komisi di DPR. Posisi-posisi strategis pengambil keputusan itu masih minim diisi oleh perempuan. Tapi meski minim ternyata datanya World Bank tahun 2019 itu menunjukkan bahwa negara indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Cuma–tapi nanti kita nggak tahu, ya, 2024 seperti apa. Meski apa namanya, keterwakilan perempuan sudah ada, walaupun jumlahnya masih belum signifikan, ini kalo saya boleh ngutip tulisannya Ardila Syakriah dan Buniamin Azmah di (media) Project Multatuli, ini judulnya kan, ya kalo ngga salah Jalan Terjal Menuju Keterwakilan Perempuan di Parlemen. Itu betul. Kita kan sudah punya mandatory, ya, kalo keterwakilan perempuan harus 30 persen. Itu enggak semulus dengan usaha mereka. Dibanding dengan caleg pria. Nah, lantas preferensi 2019 itu seperti apa, sih?
 
     "Kalo pengalaman, ya, di tengah saya menjalankan beberapa project yang terkait dengan Women Leadership, saat itu mereka lebih memilih calon pemimpin yang punya visi kuat untuk menciptakan lapangan kerja. Lalu isu di pendidikan, isu-isu lingkungan, isu kesetaraan gender juga sudah ada, dan hak perempuan juga semakin menjadi perhatian–ini pada saat 2019. Kalau saya pikir untuk Pemilu 2024 ini–apalagi dengan banyaknya calon pemilih perempuan, oke, lah, lebih tinggi (angkanya), ya. Kemudian juga pemilih muda juga semakin meningkat, saya rasa yang akan mendominasi keinginan mereka memilih siapapun nanti–entah itu capres atau calegnya, itu akan bermain di isu iklim dan iklim lingkungan, serta kesehatan, juga termasuk lapangan kerja, ya. Itu menjadi preferensi mereka, kenapa? Karena kita baru saja kena pandemi, ini berdampak pada ekonomi. Terus selain ekonomi, ya, pasti ada dampaknya sama lapangan kerja, sama kesehatan, nih, karena pada saat pandemi, sudah mereka sakit, gitu, ya, kemudian berdampak ke ekonomi, sehingga fisik dan mental, ya, terdampak.
 
     "Nah, apalagi anak muda sekarang sangat concern dengan kesehatan mental. Pasti mereka akan memilih preferensi–entah itu partai atau nanti capres yang akan menyuarakan suara mereka, di iklim, kesehatan dan kemudian juga kesehatan itu lebih holistik, ya, gitu. Jadi ada fisik juga, kalo bisa nanti akses untuk kesehatan mental juga. Jadi semakin terakses, seperti itu. Aku rasa, apa namanya, yang jadi concern teman-teman atau calon para pemilih muda di 2024 ini juga sebagian perempuan–yang waktu 2019 lalu mereka sudah milih. Dan yang perlu saya garis bawahi, kelompok perempuan dan kaum muda ini– (akan) memilih yang berpotensi.  Mereka ini generasi yang aktif di sosmed dan punya pengaruh dalam membentuk opini publik."
 
     Daru: "Wah, Sahabat, kita sudah dapat banyak, nih. Jadi kemungkinan, nih, nanti siapapun yang kita pilih concern-nya kuat di lingkungan, ekonomi, yang artinya lapangan pekerjaan. Mudah-mudahan terjamin nanti, apalagi sejak pandemi–banyak orang yang kehilangan lapangan pekerjaan kemudian kesehatan juga. Ini kayaknya, aku jadi inget, tadi kita sempat ngobrolin betapa polusi–terutama di kota besar kayak jakarta, udah bikin banyak orang sakit terutama anak-anak. Mudah-mudahan ke depannya ada pemimpin yang concern ke situ ya. Jadi mungkin kaum muda juga butuh, nih, apa namanya, peduli akan isu ini. Apalagi tadi yang sudah Kak Mega singgung juga, kaum muda ternyata punya potensi kuat untuk membentuk opini publik. Dan itu kayaknya The Power of Social Media juga, ya. Tapi aku masih perlu menyayangkan tadi, sudah disebut kalau kita berkaca pada pemilu 2019, masih 20 sekian persen, ya, untuk perempuan. Yah, ini kemarin riset di JP juga memang concern ke representasi perempuan terutama perempuan muda–yang kayaknya memang belum memenuhi pengarusutamaan gender. Ya, mbak, yang harusnya 30 persen, kan. Dan itu kayaknya sulit sekali, untuk menembus paling tidak 30 persen."
 
     Mega: "Ya, betul."
 
     Daru: "Enggak usah bermimpi 50:50 dulu, deh. 30 persen saja sulit banget. Nah, kalau misalnya kondisinya seperti itu begitu ya, menurut Kak Mega, perempuan nih, kelompok perempuan dan kaum muda perlu banget nggak, sih, punya satu suara soal isu-isu keterwakilan mereka di dalam ruang politik dan juga keadilan gender. Karena kita kalau bicara perempuan, kaum muda, belum lagi kelompok marjinal, ya, mbak–mereka punya berlapis bermasalah, interseksional maju bisa digunakan di situ. Begitu, kalau menurut Kak Mega bagaimana, nih?"
 
     Mega: "Ya, tadi sudah dibilang, kalau memang perempuan (dan) kelompok muda, ini sudah jadi kelompok yang kurang terwakili dalam arena politik, ya, Mbak Daru, ya. Maka dari itu kalau kelompok ini terus memiliki identitas politik kuat, harusnya mereka dapat lebih aktif dalam memperjuangkan keterwakilan yang lebih baik–di tingkat politik, ya. Jadi, setidaknya memastikan bahwa kepentingan mereka diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin politik nantinya. Dan yang kedua, ini identitas politik yang kita sebut kokoh itu.
 
     "Ini sangat memungkinkan sekali perempuan dan kelompok muda untuk berperan aktif. Contohnya kayak, misalnya awal dibentuk Jurnal Perempuan gitu, ya. Gimana pada saat itu perempuan bergerak menuntut hal-hal dasar, kesehatan, kebutuhan pokok. Konsisten ini terus, saya rasa nanti ke depannya terus, perempuan berperan aktif–untuk apa namanya, dalam dunia kerja, isu-isu keadilan gender. Saya rasa ini akan harus tetap diperjuangkan. Kalau enggak kita mau kemana lagi?
 
     "Lagi-lagi kalau berdasarkan pengalaman saya, saya waktu kerja untuk melihat ibu-ibu di, apa namanya, di pedesaan seperti itu, ya. Mereka sangat concern kebutuhan pokok. Tidak hanya makanan saja, nih, tapi juga pendidikan anaknya, kemudian kesehatan anak-anak mereka. Itu yang mereka tuntut. Dan akhirnya saat dulu mungkin sebutannya posyandu, ya. Sekarang masih ada, itu dihidupkan lagi. Let's say, 2019 saya ke daerah, di beberapa daerah jawa timur, mereka mengalami ada stunting, kan. Nah, gimana caranya, apa namanya, tidak ada lagi mereka menghidupkan itu lagi. Nah, dari sini gerakan kelompok ibu-ibu akhirnya menuntut suara mereka diperhatikan dan akhirnya keluarlah gerakan. “Lho, ya udah sampean aja yang jadi RT-nya, sampean aja yang jadi lurahnya.” Nah, itu. Dari situ, dari gerakan yang seperti ini harus kita pertahankan sampai kalau bisa nanti ke level nasional. Dan perempuan untuk memimpin atau pun jadi pemimpin itu akan lebih ada– dengan, apa namanya, satu suara itu disuarakan."
 
     Daru: "Itu memang harapan– yang mudah-mudahan bisa terealisasikan, Mbak, ya.  karena kalau kita bicara, misalnya tadi, di desa yang Kak Mega kunjungi kalau bisa (berkata), “Oh iya Anda, sudah Anda saja yang jadi pemimpin”, segala macam untuk yang perempuan gitu, wah, itu menurut aku progresif banget, sih. Karena dari beberapa riset di Jurnal Perempuan dan mungkin ini juga fenomena sosial juga, ya, jadi di riset yang kemarin aku terlambat di JP, masih ada, lho, sudut pandang yang sangat seksis dan ada perempuan yang mau jadi lurah saja tidak diberi kesempatan oleh warga setempat. “Lho, perempuan emang bisa ya jadi pemimpin? Bukannya harus ngurus rumah tangga, ya” yang seperti itu. Itu satu hal.
 
     "Nah, kemudian temuan kami di Jurnal Perempuan yang baru terbit, nih, (edisi) 115, banyak sekali justru partisipasi perempuan di ruang politik ini justru (dilakukan) di luar partai politik. Kemudian ada juga artikel-artikel yang menunjukkan peran perempuan dan sekutunya, yaitu laki-laki–mendorong pengesahan UU TPKS tahun 2022 kemarin. Kemudian di riset yang aku terlibat kemarin, itu juga sama, kak, ruang politik bagi mereka tidak hanya– jadi dari sepuluh narasumber justru malah ada satu yang baru mau terjun ke partai politik tadi, nah, ini juga sempat kami diskusikan di podcast sebelumnya, bahwa okelah perempuan terlibat di partai politik, tapi kadang suka ada organisasi kecil, sayap-sayap di partai politik yang perempuannya di situ, gitu. Jadi perempuan partai A, perempuan partai B, yang itu justru menjauhkan mereka dari pengambilan keputusan utama, seperti itu, kan. Seolah-olah mereka dibuat spesial, padahal justru jadi jauh, nih, dari pemegang keputusan dan pemangku kebijakannya, gitu.
 
     "Nah kalau menurut Kak Mega, gimana, nih, bahwa yang terlihat suara perempuan muda justru banyak diadvokasikan di luar partai politik. Kalau menurut Kak Mega gimana, apakah ini bisa sama kuatnya dengan mereka-mereka yang bergabung di partai atau mereka harus bergabung atau sebaiknya di partai saja? atau gimana, Mbak?"
 
     Mega: "Oke ini menarik tadi, ya. Yang disebutkan, apa namanya, soal Bu Lurah itu, itu sebenarnya jalannya juga tidak oke, “Kamu jadi Bu Lurah, aja”. Kalau beliau cerita ke saya itu dia harus bersaing dengan lurah apa namanya, incumbent-nya, ya. Dan lagi-lagi, mengutip artikel di Project Multatuli itu juga, bahwa dia harus berjuang dua kali lipat, tiga kali lipat, untuk dapatkan suara. Di satu sisi dia juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Itu sudah multiple burden, seperti itu. Nah, tapi itu benar, apa namanya, itu perjuangan perempuan ketika untuk ingin menduduki level tertentu terutama keterkaitannya dalam kepemimpinan politik ya. Nah, tadi juga Mbak Daru sebut ada peran perempuan dan sekutu laki-laki, ya. Ini menarik sekali dengan kata sekutu laki-laki, nih. Terutama dalam mengesahkan UU TPKS, kita enggak langsung ke fokus, tapi saya mau emphasis–bukan berarti perempuan sebenarnya harus berjuang sendiri, betul memang harus “ada” sekutunya.
 
     "Kalau dalam riset itu disebut sekutu laki-laki, tapi saya sebenarnya lebih suka menyebut dengan Male Champion for Gender Equality atau, ya, jadi apa dia, memang sudah punya pemikiran kesetaraan gender sebagai seorang laki-laki. Tapi doesn't matter mereka support perempuan seperti itu. Saya pernah terlibat di project riset kesetaraan gender di bidang ekonomi dan dunia kerja, di situ disebutkan bahwa secara garis besar kalau misalnya perusahaan ingin untung, benefit-nya juga melejit sekitar 35-40 persen, keuntungannya gitu, ya, dari perusahaan itu jika ada perempuan di C level. Nah, gimana supaya perempuan ada di C level? Jadi, kan, karena kita, yang kita temukan nggak cuma let’s say di perusahaan korporasi gitu, ya, berapa persen, sih, perempuannya jadi CEO. Rata-rata mereka mandek di level manajer. Atau pun misalnya mereka di C level tapi bukan di pengambil keputusan, let’s say di sayap mana, seperti itu. Ya mereka enggak punya pengambilan keputusan. Itu yang terjadi, sama halnya di dunia media, 60 persennya perempuan, bahkan ada beberapa media banyak sekali perempuan. Lebih dari 60 persen. Tapi apa yang terjadi? Ketika carep (calon reporter) mulai gugur, perempuan-perempuan wartawan–sampai kemudian reporter, naik, masih reporter, masih 50:50. Sampai kemudian di level let’s say sudah masuk penulis senior atau redaksi utama, untuk masuk ke atasnya lagi sudah semakin nggak ada perempuannya.
 
     ​"Ini berlaku juga di dunia STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), gimana perempuan itu mungkin 80 persen ngambil Kimia, Fisika, Biologi, tapi apa yang terjadi? Cuma ada di level, ketika masuk di dunia kerja, cuma ada di staf level. Ke atasnya supervisor, makin berkurang lagi. Ini kenapa? Kalau let’s say, di media mungkin satu lain hal, kesempatan atau mereka juga harus double barden–teman-teman jurnalis perempuan. Kemudian ada stigma juga, “Enggak usah liputan malem-malem, deh, atau perempuan cuma liputan di (rubrik) Lifestyle. Padahal dia sangat kuat jaringannya di politik misalnya, atau di ekonomi. Jarang, lho, wartawan ekonomi perempuan, bisa dihitung. Hanya beberapa persen, hanya berapa orang, segelintir, terutama di Indonesia. Lagi, ketika di STEM, masuk korporasi perusahaan besar, mereka cuma jadi staf saja. Terus ujung-ujungnya apa? Nanti kalo misalnya, taruh, lah, harus ada shift gitu, ya. Kalau kemalaman seperti apa? Nah, itu lah kenapa harus ada pengambil keputusan, baik itu perempuan, baik itu laki-laki yang punya sensitif gender.
 
     "Salah satunya, ya, akhirnya, misalnya taruhlah kenapa, sih, kalau malam? Kayaknya sekarang nggak mandang laki-laki perempuan, ya. Pulang malam, laki-laki juga bisa dibegal. Nah perusahan harus menyediakan, voucher taksi salah satunya, ya, atau mungkin shuttle. Dan yang kedua, misalnya, “Ah nanti kan kamu hamil, susah, dong. Nanti harus ngurus anak”. Well give them. Kalau saya lebih suka–tidak lagi pada saat riset itu, ditulis “Jangan cuti hamil, jangan cuti melahirkan” tapi cuti untuk orang tua.
 
     "Nah balik lagi, banyak suara perempuan berada di luar partai politik, ini sebenarnya dampaknya buat saya positif-positif, aja, ya. Salah satunya yang tadi, kan ya. Sebenarnya kenapa, sih, positif? Ini karena mereka justru mendorong, contohnya UU TPKS tadi. Punya dampak langsung pada perubahan kebijakan. Terus jadi akhirnya mereka memainkan peran kunci dalam advokasi kebijakan yang inklusif. Kedua, kesadaran politik dari aktivis-aktivis muda dipupuk melalui organisasi termasuk perempuan ya, mbak, ya. Akhirnya punya kesadaran publik tentang isu-isu politik, itu justru dari kampanye situ mereka bisa menyuarakan isu-isu penting seperti itu. Dan banyak orang termotivasi, gitu. Jadi yang sekarang banyak gerakan-gerakan yang lagi seru, nih, Climate Rebellion, gitu ya. Nah itu gerakan semua dari–aku lupa dari mana negaranya, akhirnya sampai ke Indonesia juga. Mereka bikin gerakan seperti  itu, nah, itu kemungkinan besar mendapat perhatian harusnya dari pemerintah. Harusnya dengan suara-suara tentang iklim dari anak muda, seperti itu. Dan itu juga ada perempuan dan urusan terhadap lingkungan, harusnya seperti itu, ya. Ketiga, di luar keterlibatan perempuan, kelompok muda di luar partai politik ini harusnya membantu mereka membangun keterampilan untuk jaringan sosial segala macem. Belajar dulu. Jadi kelompok ini enggak sakdet saknyet, langsung masuk dinasti politik itu, ya. Tapi let's say bergeraklah dari bawah dulu. Dari berjejaring ini, akhirnya dia boleh di luar partai politik, tapi mereka akhirnya punya pengaruh ke gerakan sosial yang akhirnya jadi tekanan sendiri di partai politik. “Kok lu nggak punya agenda ini? Kenapa? Sementara di luar itu gerakannya seperti apa? Ini kayaknya memang enggak ada masalah kita memulai. Teman-teman memulai dari luar partai, bahkan itu malah lebih bagus. Mengasah keterampilan berjejaring sehingga jika nanti sudah saatnya, ya, tidak instan, kan akhirnya juga tidak ada kemampuan untuk bernegosiasi. Mungkin kalau berjejaring mereka sudah given dari siapa, ya, dari yang memberikan instan, ya, itu ya. Tapi setidaknya, kalau teman-teman dari awal, dari bawah aku yakin itu sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan kelak."
 
     Daru: "Wah, ini banyak kata kunci yang menurutku aku related banget sama isunya. Tadi suka banget, sih, Male Champion for Gender Equality. Jadi siapapun laki-laki di luar sana, kalau kamu bisa menjadi sekutu, membantu perempuan-perempuan, kalian itu champion sebenarnya. Apalagi Mbak Mega juga sudah menyebutkan bagaimana ternyata isunya dimana-mana masih ada, ya, stigma dan stereotype. Tadi yang Kak Mega sampaikan itu aku jadi inget hasil riset BPS, dimana sebenarnya kita perempuan mendominasi perguruan tinggi, bahkan dari mulai TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. IP, IPK kita (perempuan) lebih bagus daripada yang laki-laki. Tapi ketika masuk ke dunia kerja, wah, kok turun, ya, angkanya? Ke mana, nih, perempuan-perempuan berprestasi di kampus ini? Itu kan, karena masih ada peran gender tradisional, pola pikir-pola pikir yang tidak ramah gender seperti, "Perempuan masa malam-malam pulangnya”, “Nanti kalau liputan bagaimana?" Nah begitu, Sahabat. Jadi walaupun banyak, nih, isu perempuan, kayaknya masih bisa dilihat bahwa akarnya masih ada pola pikir yang patriarkal, sehingga mungkin kita butuh kondisi ramah gender yang tidak hanya di lingkungan sosial tapi juga di ruang politik, seperti itu, ya. Apalagi tadi Kak Mega sudah menyinggung dinasti politik. Nah orang-orang kayak gitu, biasanya mungkin tidak mengalami dari bawah, nggak tau masyarakat, nggak tau apa yang terjadi di bawah sana, seperti itu. Mungkin mereka bisa melihat dari kejauhan, tapi ada kalanya kalau tidak mengalami sendiri atau mengenal orang-orang, itu secara langsung. Empatinya belum keluar, gender equality-nya juga enggak jalan. Apalagi kalau misalnya kita bicara isu perempuan banyak yang dikesampingkan oleh para pemangku kebijakan. Buktinya UU TPKS saja perjuangannya lama sekali sampai disahkan seperti itu. Belum lagi pembangunan ekonomi makro, misalnya. Nah, kalau menurut Kak Mega, nih, apa saja isu2 yang akan menjadi perhatian-perhatian dari para perempuan dan kaum muda di Pemilu 2024 nanti?"
 
     Mega: "Yang pasti, nih, Pemilu 2024 ini akan jadi momen penting nih buat perempuan sama kaum muda untuk advokasi isu-isu, ya, Mbak. Terutama yaitu kita pascapandemi gimana, sih, dunia berubah dengan cepat dan juga turunannya–kita juga sebut ini polusi enggak kelar-kelar, terus kebakaran hutan di mana-mana. Nah, saya rasa, sih, kalau menurut aku, nih, ya 2024 ini harusnya yang masih jadi concern, sih, lingkungan, ya. Dengan gerakan temen-teman anak muda concern sama lingkungan, apalagi sudah mulai nih keliatan di sosmed gara-gara ada yang salah ngebakar hutan hanya untuk prewed, hanya jadi viral, sehingga terbuka, nih. Pemikiran teman-teman, yang taruhlah anak saya nanti tahun ini akan nyoblos, jadi gara-gara itu dia semakin concern, ternyata memang harus ada pemimpin yang concern sama isu lingkungan. Kenapa? Ya, nanti kan orang-orang tua udah nggak tinggal di sini—di planet ini. Gue nih, yang tinggal di sini, seperti itu. Gimana harus everlasting, lebih hijau, lebih apa. Itu sudah jadi, menurut aku tuh, akan jadi isu yang paling penting kalau misalnya kebijakan yang—entah itu nanti caleg atau pun nanti capres—itu akan sangat concern apa enggak ke sini. Karena pemilih muda itu kemungkinan suaranya akan ke sini, gitu.

     "Kemungkinan besar ya, setidaknya di kelompok para calon gengnya teman-teman anakku nih, udah tahu mereka mau ke mana, kampanyenya juga udah dimulai dari sekarang. Minimal bukan kampanye lebih nih, mereka lebih dikit-dikit kampanye soal environment. Dikit-dikit kalau bikin ide acara selalu dikaitkan sama lingkungan hidup. Nggak cuma di kelompok anak saya, kita datang ke pensi-pensi SMA sekarang pasti ada hijaunya. Tapi bukan green washing ya yang pasti."
 
     Daru: "Hahaha."
 
     Mega: "Nah, isu yang berikutnya tuh pendidikan. Menurut aku ya, di sini mereka juga—perempuan ini sama kaum muda—pengen memperjuangkan akses pendidikan yang setara. Kita tahu ya ada banyak perubahan pendidikan, bolak-balik dibikin bingung, ini hal... mungkin "remeh" ya, tapi buat ibu-ibu yang nyari sekolah anaknya, mungkin maksudnya pembuat keputusan dimudahkan semua orang bisa sekolah di negeri. Tapi nyatanya, praktiknya tidak seperti itu. Nah, akhirnya jadi kaya semacam, "Ini gimana sih? Kita anak sekolah mau digimanain". Isu katanya BPJS mau dihilangkan, itu jadi concern juga sama pemilih perempuan. Gimana nanti kesehatan—akses buat ke kesehatan reproduksi? Karena kan sebelum ini, kaya kehamilan semua ditanggung sama BPJS. Nanti gimana kalau saya mau punya anak? Masih ditanggung atau engga? Intinya seperti itu. Isu-isu dasar itu masih jadi reference pemilih 2024 tadi."
 
     Daru: "Tapi dari apa yang disampaikan Kak Mega, aku merasa, kayanya generasi muda pemilih pertama sekarang jauh lebih progresif ya? Mereka beruntung sekali dibandingkan aku, let's say. Dulu ketika aku jadi pemilih pertama, nggak ada tuh informasi sebaik sekarang, kampanye, apalagi kesadaran bahwa kita harus—walaupun kaum muda ya—di saat aku jadi pemilih pertama, belum ada tuh kesadaran untuk, "Oh kita harus memilih pemimpin yang oke di isu lingkungan, karena kedepannya aku yang akan hidup lebih lama daripada generasi yang sebelumnya", seperti itu. Jadi mudah-mudahan sih bisa benar yang tadi Kak Mega sebutkan ya. Public opinion itu dibentuk kuat oleh kaum muda, sehingga memilih pemimpin yang mudah-mudahan tepat kedepannya. Wah, seru banget nih Sahabat, obrolan kita dengan Kak Mega. Nah terakhir nih pertanyaan untuk podcast kali ini. Menurut Kak Mega, melihat tingginya antusiasme perempuan dan kelompok muda untuk membangun negeri ini, apa aja sih perubahan yang bisa dibawa oleh mereka selama 5 tahun kedepan?"
 
     Mega: "Oke, tadi menarik ya, sebelum aku menjawab pertanyaan ini, Mba Daru tadi bilang: terpapar informasi. Kita harus belajar dari pengalaman 2014, 2019, dan Pilkada 2020, terutama 2014 di mana hoaks beredar luar biasa ya. Nah, kalau ngeliat—belajar dari pengalaman itu, beberapa teman-teman OMS juga terutama dari yang—terutama perempuan di akar rumput. Ini sekarang mereka mau mengadakan banyak pelatihan politik. Ini aku mau—sebelum menjawab ke situ ya, Mba, ya, mau menambahkan karena tadi Mba Daru sebut, ini harus aku sebarkan. Jadi, teman-teman OMS yang bergerak di isu perempuan dan juga anak muda ini, terutama perempuan di akar rumput dan kemudian di perdesaan, kemudian di rural, tidak di kota besar ya. Kota besarnya 5 kota besar nih ya, Jakarta, dan yang lain sebagainya. Itu mereka akan mengadakan pendidikan, pelatihan politik."
 
     Daru: "Hmmm."
 
     Mega: "Di mana mereka itu, para ibu-ibu targetnya. Itu supaya gunakan hak pilih dengan baik. Jadi tahu siapa yang mau dipilih. Jadi tahu nih kalau misalnya, gimana sih milih hak—datang ke bilik tuh seperti apa? Jadi nggak boleh ada intimidasi dari RT-RW setempat. Nah itu diajarkan sama mereka."
 
     Daru: "Ini sempet kami singgung, Mba, di podcast kami sebelumnya. Bagaimana TPS juga harus jadi ruang aman."
 
     Mega: "Yes! Nah itu akan diajarkan. Sudah mulai pelatihannya kepada para mama-mama, gitu ya, di Indonesia Tengah-Indonesia Timur. Ini menarik juga, karena buat teman-teman media, juga harus melihat ini nih, harus dinaikkin. Dan kemudian, selain itu, selain jadi ruang aman—si TPS ini—tahu cara coblosnya seperti apa, kemudian juga tahu menggunakan gadget. Ini juga jadi perhatian teman-teman pegiat digital literacy."
 
     Daru: "Oke..."
 
     Mega: "Supaya tidak terulang lagi nih, penyebaran hoaks. Dan akhirnya berujung pada pemenjaraan. Kan kalau kita ngeliat 2014 itu kan banyak sekali ya yang dia bukan siapa-siapa, ibu-ibu biasa saja, tapi asik aja nyebar-nyebar hoaks ke mana-mana. Nah itu kita nggak pengen teman-teman OMS, kemudian para pegiat digital literacy, terutama buat perempuan, nggak pengen lagi ada kasus seperti itu, gitu. Jadilah Pemilu 2024 yang chill! Hahaha. Ya, udah nggak ada insiden seperti itu. Karena kita sudah tahu caranya handle hoaks, handle isu-isu atau berita-berita di sosial media. Nah, teman-teman anak mudanya sekarang juga sudah mulai, kalau bisa ya sudah, biarkan saja itu influencer dan penggaungnya di sana. Mereka sudah punya platform sendiri untuk menyuarakan suara-suara mereka. Yang benar seperti apa. Nah makanya, kembali lagi, apa yang harus bisa dibawa—perubahan apa aja yang bisa dibawa perempuan sama kelompok muda, nanti untuk 5 tahun kedepan lagi-lagi—ini adalah advokasi isu lingkungan dan perubahan iklim. Ini penting sekali. Karena kaum muda, khususnya perempuan nih, harus memperjuangkan kebijakan yang lebih agresif dalam perubahan iklim. Ini contohnya ini ya, waktu saya yang di ibu-ibu Jawa Timur itu, ada satu ibu-ibu yang menemukan mata air. Ini jadi ada kaya air dan politik ya. Dan gimana dia men-secure ini mata air, supaya tidak dikuasai oleh kelompok lain. Atau mungkin penguasa setempat. Sehingga dia bersama ibu-ibu yang lain jaga itu mata air. Dan kalau emang mau ambil, harus digilir. Itu luar biasa sekali perjuangan dia. Dan pada saat itu, desanya kekeringan. Gimana dia mendistribusikan air itu supaya adil. Nah, seperti inilah perempuan-perempuan ini yang kita butuhkan nih kedepannya.

     "Karena kita sedang menghadapi perubahan lingkungan, perubahan iklim ini dampaknya sangat luar biasa sekali buat kehidupan kita. Dan nanti juga pasti berdampak dengan keputusan politik yang akan diambil. Justru ini harus diadvokasi kedepannya. Menurut aku ya. Seperti itu. Karena ini berdasarkan pengalaman aku ya. Dan kemudian inovasi sama teknologi. Kita benar-benar dimanjakan, bukan dimanjakan sih, dipermudah ketika kita harus stay di rumah. Semua teknologi, tinggal pencet, semua dapat. Bahkan sampai ada telemedicine pun kita sudah ada. Nah ini harus terus diperjuangkan oleh perempuan dan juga kelompok muda. Supaya lebih merata lagi. Jadi, tidak hanya di lingkungan kita besar, tapi keadilan untuk mendapatkan digital, kemudian internet, itu juga harus tersebar. Ini harus mereka usung, supaya—ini kan bagian dari HAM ya. Hak Asasi Manusia kan, untuk mendapatkan kesetaraan informasi, kesetaraan akses segala macam, dan itu yang harus diusung sama mereka. Sehingga kita tidak lagi—inovasi teknologi harus jauh lebih murah dibanding sekarang. Sehingga bisa mencapai ke desa-desa dan kawasan terpencil lainnya. Itu yang harus diusung 5 tahun kedepan. Dan yang pasti ada pemberdayaan ekonomi, lewat inovasi tadi, terus ada wirausaha, advokasi perempuan. Ini juga intinya adalah sektor-sektor, apapun, publik, keputusan public policy yang berperspektif gender yang terus harus dikawal oleh perempuan dan kaum muda untuk 5 tahun kedepan."
 
     Daru: "Oke, ih, seru banget ya obrolan kita hari ini nih, Sahabat. Nah, sebelum aku closing, ada tambahan lagi dong, Kak Mega, satu nih, personal. Harapannya apa sih kedepannya? Apalagi 2024 mau datang nih kan. Harapannya apa? Mudah-mudahan."
 
     Mega: "Oke, personal nih, Mba, ya. Harapannya sih semoga akses pendidikan, kesejahteraan, itu lebih dapat, apa ya... lebih merata, seperti itu ya. Kemudian juga nggak ada lagi segregasi, baik itu politik, agama, atau apapun, gitu ya, sehingga ya nggak ada lagi lah isu-isu seperti itu. Kemudian juga keadilan bagi ibu-ibu atau perempuan-perempuan yang berjuang di daerahnya masing-masing untuk mendapatkan haknya, hak tanah mereka, hak pendidikan anak-anak mereka, hak kesehatan, itu semoga 2024 sudah jauh lebih baik dibanding sekarang."
 
     Daru: "Oke, wah, luar biasa! Gimana nih, Sahabat, setelah mendengar podcast kali ini? Tergerak nggak nih, Sahabat semua, untuk berpartisipasi di ruang politik melalui kendaraan partai politik, atau mungkin aktivisme akar rumput? Yang manapun itu, jika kita melakukannya dengan kesadaran, pasti akan bermakna sekali. Terima kasih Kak Mega, atas waktu dan kesempatan pada hari ini."
 
     Mega: "Sama-sama!"
 
     Daru: "Senang sekali, lho, bisa mengundang Kak Mega di podcast Jurnal Perempuan dan Tifa. Sahabat, terima kasih sudah menyimak dari awal sampai akhir ya. Jangan lupa, Jurnal Perempuan masih memiliki topik obrolan seru di podcast mendatang. Kalau misalnya Sahabat mau menyumbang topik atau punya saran narasumber yang keren, kasih tahu kita ya! Bisa lewat kolom komentar atau melalui Direct Message. Sampai jumpa lagi di podcast berikutnya! Sehat selalu, Sahabat. Terima kasih, Kak Mega!"
 
     Mega: "Terima kasih!"
 
     ​Daru: "Podcast ini merupakan kolaborasi antara Jurnal Perempuan dan Yayasan Tifa. Salam pencerahan dan kesetaraan!"
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025