Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023

Podcast JP

Kebijakan HKSR Indonesia: Apa Berpihak pada Perempuan? bersama Siti Mazumah

13/6/2023

0 Comments

 
Picture
     Halo, Sahabat! Kembali lagi bersama kami di Podcast Jurnal Perempuan, podcast yang memperbincangkan feminisme dan kesetaraan. Bersama saya, Retno Daru Dewi.Nah, jika di podcast kemarin kita sudah membahas mengenai diskriminasi layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Sekarang kita masuk ke tema yang masih berkaitan, yaitu berkaitan dengan kebijakan yang melandasi layanan hak kesehatan seksual dan reproduksi atau HKSR di Indonesia.
​​​


Daru:
     
"Sahabat, Indonesia itu kan cukup ketat ya dalam meregulasikan layanan kesehatan reproduksi, contohnya layanan aborsi saja sangat sulit persyaratannya. Kalau berdasarkan diskusi kita dengan Bu Marcia kemarin hanya ada tiga kondisi yang memungkinkan seorang perempuan untuk melakukan aborsi. Situasi pertama apabila kehamilan mengancam nyawa ibu, gangguan tumbuh kembang janin, dan juga kehamilan akibat perkosaan. Selain itu, wah, meskipun kenyataannya aborsi dibutuhkan di beragam situasi genting yang lain. Mengaksesnya bisa berujung pada kriminalisasi. Tentunya kebijakan terkait HKSR di Indonesia yang cukup sensitif tuh bukan cuma soal aborsi aja, ya, Sahabat. Untuk membahasnya, kali ini kita sudah mengundang Mbak Siti Mazumah ke studio kita hari ini. Halo Mbak Zuma salam kenal."


Zuma:
   
 "Hai, salam kenal."

Daru:
 
   "Nah, Sahabat, Mbak Zuma ini sudah sangat dikenal diranah advokasi perempuan di Indonesia. Mbak Zuma ini adalah advokat dan aktivis perempuan yang sangat concern akan isu kekerasan pada di perempuan. Mbak Zuma juga pernah menjabat sebagai Direktur LBH APIK Jakarta, yuk, kita kenalan lebih dalam lagi. Silakan Mbak Zuma memperkenalkan diri."

Zuma:
 
   "Selamat pagi, teman-teman. Terima kasih saya sudah diundang ke sini, di kantornya Jurnal Perempuan. Sebuah kehormatan sekali gitu ya, seperti yang disampaikan oleh Daru bahwa saya Siti Mazumah, tapi biasa dipanggil Zuma dan saya bekerja di LBH APIK dari 2011 sampai 2023 kemarin, tepatnya bulan Maret itu ya dan sebagai direktur itu dari 2018 sampai awal tahun ini. Dan Maret saya sebagai koordinator di Forum Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan. Jadi sebelas tahun pasca di LBH APIK, lalu saya sekarang pindah gitu ya, masih bergerak di isu yang sama juga, fokus pada perempuan korban kekerasan."

Daru:
 
   "Okay, terima kasih. Mbak Zuma ini pengalamannya udah banyak banget nih berarti nih, Sahabat. Jadi, kita langsung saja masuk ke pertanyaan pertama. Nah, Mbak Zuma sebagai seorang aktivis, pengalaman Mbak Zuma sebagai advokasi HKSR kan sudah sangat beragam nih ya, seperti tadi pengalaman Mbak sebagai Direktur LBH APIK dan sekarang juga masih bekerja di isu yang sama."

     "Pasti Mbak Zuma banyak sekali terlibat dalam advokasi perempuan korban kekerasan yang membutuhkan penanganan dari segi kesehatan seksual dan reproduksinya."

Zuma:
     "Iya."

Daru:
     "Nah, menurut Mbak Zuma—gimana ya—apakah kebijakan pendukung HKSR yang saat ini dimiliki Indonesia sudah menggunakan asas-asas HKSR komprehensif? Kalau bicara kebijakan yang sekarang, nih, mungkin lingkupnya di Undang-Undang TPKS dan KUHP baru deh itu ya Mbak ada disinggul soal itu. Atau mungkin dengan pengalaman Mbak Zuma, Mbak Zuma paham ada sumber hukum Indonesia yang lebih detail dalam mengatur kesehatan seksual dan reproduksi mungkin, Mbak?"

Zuma:
     "Kalau payung hukum itu ya atau aturan yang mengatur secara komprehensif soal HKSR itu nggak ada, gitu ya, secara spesifik gitu. Kita punya undang-undang kesehatan, tapi juga tidak fokus, atau tidak memberikan apa aturan hukum yang jelas yang melindungi gitu ya, ada aturan khusus yang justru itu juga banyak mengkriminalkan kalau saya sebut ya kalau dibilang komprehensif, komprehensif, tidak memberikan perlindungan, tapi saling melengkapi untuk justru mengkriminalkan perempuan-perempuan dengan kesehatan reproduksinya. Atau perempuan yang harusnya gitu ya mendapatkan hak dia, baik berkaitan dengan kesehatan reproduksi atau hak lain dia sebagai korban yang sebenarnya itu diatur, baik dalam undang-undang. Misalkan kita tau ada hak bisa melakukan aborsi, baik korban perkosaan atau dalam kondisi medis khusus gitu ya. Tapi pada kenyataannya justru perempuan-perempuan yang mau mengakses HKSR-nya itu lebih banyak dikriminalkan. Beberapa kasus yang terakhir—mungkin kita juga dengar di Jawa Timur gitu ya—bagaimana anak korban kekerasan seksual yang hamil, tapi dia tidak boleh melakukan aborsi gitu."

     "Bahkan disampaikan bahwa dengan kondisi hamil yang tidak diinginkan tersebut dia tetap harus proses melanjutkan kehamilannya. Itu kan sesuatu yang sangat miris, bahkan ketika waktu itu saya masih di LBH APIK, banyak sekali perempuan-perempuan yang dikriminalkan gitu ya karena ketidakpahamannya dia bagaimana mengakses dan siapa yang bisa membantu dia untuk mengakses aborsi secara legal gitu, ya. Karena tidak hanya dia yang apa yang dikriminalkan, tetapi juga orang yang membantu juga bisa dikenakan dengan pidana juga. Jadi, benar-benar situasinya sulit sekali, jadi pengecualian-pengecualian khusus itu juga ternyata tidak gampang banget buat diakses oleh perempuan-perempuan korban yang ingin reproduksinya—itu kan punyanya dia gitu ya. Maksudnya mau melanjutkan kehamilan atau tidak, dia tidak punya hak lagi untuk itu. Jadi dia harus bertanggung jawab itu kalau kemudian melanggar gitu ya ada Undang-Undang Perlindungan Anak yang siap dikenakan. Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kesehatan, dan juga kita tau sekarang apa ada KUHP, lalu juga Undang-Undang TPKS untuk pemaksaan aborsi juga diatur di sana."

Daru:
  
   "Okay, emang sangat miris yaa. Jadi kayaknya serupa nih, Sahabat, dengan podcast kita sebelumnya yang ngebahas hal yang sama juga Mbak bahwa ketika perempuan ingin mengakses aborsi malah dikriminalkan dan juga yang  membantu dia dalam melakukan aborsi tersebut juga bisa dikriminalkan begitu ya. Dan tadi sudah Mbak Zuma singgung bahwa yang komprehensif, peraturan perundang-undangan mengenai HKSR itu belum ada, nih, Sahabat."

     "Ada Undang-Undang Kesehatan, tapi juga tidak melindungi dan seperti yang sudah berkali-kali kita bahas, perempuan yang mau mengakses HKSR malah bisa dikriminalkan. Padahal banyak situasi di mana perempuan juga butuh aborsi aman. Begitu ya Mbak. Nah, selanjutnya nih kita sudah sepakat ya bahwa implementasi layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif ini perlu dilindungi oleh kebijakan yang mumpuni. Jadi tidak meninggalkan celah  untuk mengkriminalisasi perempuan yang sangat membutuhkan pelayanan tersebut. Nah, berdasarkan pengamanan Mbak Zuma nih Mbak, em kira-kira bentuk-bentuk kebijakan seperti apa sih yang terbukti efektif dalam menyongkong penerapan HKSR yang komprehensif."


Zuma:
     "Kebijakan yang bisa menyongkong atau memberikan dukungan gitu ya HKSR yang efektif kepada perempuan khususnya ya, atau perempuan korban kekerasan, menurut saya saat ini belum ada. Apa ya dibilangnya ya, karena selama ini saya hanya melihat gitu ya, memberikan pendampingan, memberikan apa bantuan hukum kepada perempuan-perempuan yang justru dikriminalkan karena hak kesehatan reproduksinya gitu ya."

     "Jadi kalau ditanya apakah ada kebijakan yang efektif sebenarnya aturan atau hak mengenai korban itu sudah sangat detail dijelaskan, betapa hak atas layanan kesehatan itu juga melekat pada korban yang menjadi korban kekerasan, khususnya yang berkaitan dengan seksual gitu ya. Nah, di rumah sakit ada UPT, lalu juga ada tenaga medis yang memang sudah disiapkan atau sudah dilatih gitu ya untuk membantu apa kesehatan reproduksi atau HKSR untuk korban-korbannya. Kalau contoh yang ingin saya sampaikan soal penerapan kebijakan ini malah contoh yang tidak baik, nggak papa? Karena saya tidak melihat ada contoh kebijakan yang komprehensif gitu, memberikan perlindungan, nggak papa ya?"

Daru:
     "Ya, kita apa adanya ya Mbak. Memang harus mengkritisi ke atas juga seperti itu kan. Gimana, Mbak, menurut pengalaman Mbak, gimana nih malah miris nih peraturannya kayaknya?"

Zuma:
     "Ya, uhm, waktu itu kita mendampingi seorang anak perempuan yang menjadi korban kekeradan seksual gitu ya. Dia disabilitas mental dan dia diperkosa oleh gurunya di tempat dia belajar. Nah, kemudian persoalan anak disabilitas ini kan dia tidak memahami bagaimana kesehatan reproduksi dia. Dan rata-rata anak disabilitas ini kemudian mengalami kehamilan baru tau bahwa dia hamil ketika ibunya menyadari, kok sudah tiga bulan dia  nggak mengambil pembalut gitu kan, nah."

Daru:
  
   "Tiga bulan nggak menstruasi ya Mbak ya."

Zuma:
     "Betul, ada beberapa kasus yang polanya sama gitu ya, diketahui ketika sudah tidak menstruasi ketika dicek ternyata sudah terjadi kehamilan dan pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang dikenal oleh korban, itu tetangga. Dan yang saya ceritakan tadi adalah guru, sehingga ketika ketahuan gitu ya, yang terjadi dibawa ke rumah sakit, ternyata sudah hamil selama tiga bulan, tentu saja akses apa untuk aborsi itu sudah tidak bisa. Karena di undang-undang sendiri kan 14 minggu yaa, sehingga awalnya itu keluarganya—bagaimana ya—maksudnya itu kaya, dia disabilitas, apakah memungkinkan dia itu membesarkan anak ini?"

     "Nah, setelah mereka—inilah dampak kesehatan reproduksi itu benar-benar tidak bisa terdeteksi atau nggak bisa diakses gitu ya. Maksudnya, sampe kehamilan begitu dan bagaimana nanti masa depan anak ini benar-benar dipikirkan oleh keluarga ini. Akhirnya mereka bersepakat untuk membesarkan anak ini gitu ya, sampai lahir. Dan kemudian yang terjadi, proses hukum tetap jalan. Dia dilaporkan ke polisi, tapi kemudian persoalan tambahan lain adalah kehamilan yang tidak diinginkan tadi. Bagaimana masa depan si anak ini, dan bagaimana anak disabilitas yang menjadi korban ini. Keluarga sepakat untuk melanjutkan kehamilannya gitu ya, walaupun pada waktu itu dengan sangat berat. Karena akses untuk menggugurkan atau kesempatan untuk melanjutkan itu nggak ada, nggak ada payung hukum yang bisa membantu, nggak ada payung hukum yang bisa setidaknya menjadi solusi pada saat itu, tapi justru menjadi beban baru gitu ya. Bagaimana si anak yang dilahirkan tadi. Nah, ketika proses hukum berjalan si pelakunya divonis sembilan tahun dan akhirnya mereka dari yang ketika kasus terjadi sudah lama tinggal di Depok gitu ya, kemudian mereka pindah pulang kampung ke daerah Palembang."

     "Nah, ini dampak-dampak kesehatan reproduksi yang nggak bisa diakses oleh korban kekerasan seksual yang berdampak sampai kemudian tidak hanya ke korbannya, tapi juga ke keluarga gitu ya. Karena harus tetap bisa survive hidup dan bagaimana melanjutkan apa melanjutkan masa depan gitu ya. Sehingga terpaksa mereka harus pindah. Dan ketika ada perempuan yang—ini juga kasus lagi gitu ya, tapi juga berakhir tidak baik. Ketika dia korban perkosaan dan kemudian dia mencoba untuk menyelesaikan, apa ya, mengakhiri atau tidak melanjutkan kehamilannya, dia justru juga dikriminalkan atas pembunuhan terhadap anak gitu ya, terhadap bayinya. Itu kasus yang pernah tangani juga di daerah Jakarta Selatan, di Banten, lalu di Depok juga persoalannya sama gitu. Jadi situasi-situasi seperti itu seringkali terjadi gitu ya. Dan seperti yang saya sampaikan di awal, di Jawa Timur juga ada kasus yang seperti itu gitu ya."

     "Maksudnya, kehamilan—dia anak, tetapi kemudian polisi bahkan turut menyampaikan bahwa tidak memungkingkan untuk dilakukan aborsi. Padahal hak berkaitan dengan apa aborsi untuk korban kekerasan seksual itu dimungkinkan gitu ya, bahkan di Undang-Undang Kesehatan kalau nggak salah malah fatwa MUI juga sampai mengatakan hal itu gitu. Tapi aksesnya itu susah banget gitu. Misalkan kaya, mungkin beberapa kaya klinik PKBI, betapa mereka juga khawatir gitu ya, soal kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan yang membantu. Sehingga, yang terjadi adalah akses-akses layanan kesehatan reproduksi ilegal lah yang kemudian diakses. Karena lebih mudah, lalu juga dijangkau, tapi itu nggak sehat. Itu justru membahayakan perempuan yang akan mengakses. Dia bisa jadi dia mendapatkan—dia bisa meninggal, layanan kesehatan reproduksi dia juga akan terganggu gitu ya, dan beberapa kasus juga ketika ada aborsi-aborsi ilegal itu diakses, kemudian digrebek sama polisi gitu ya."

     "Nah, tuh polisi bahkan merujuk kasus-kasus yang ketika mereka lagi menggerebek apa soal layanan aborsi—ketika ternyata si bayinya masih hidup atau mungkin ada kondisi yang ternyata si perempuan ini masih dalam kondisi sakit gitu ya. Itu dirujuk di LBH APIK supaya kami bisa membantu menangani kasus itu. Jadi polisi menggerebek, polisi juga meminta bantuan gitu ya, bantuan hukum untuk melakukan pendampingan. Jadi sangat dilematis gitu ya. Dibilang, "Apakah sudah ada aturan hukum atau kebijakan yang baik?" Kalau saya bilang, "Nggak ada dan masih jauh sekali". Belum lagi kalau membahas soal apa layanan kesehatan reproduksi yang lain, tes IVA, kanker serviks, dan lain sebagainya gitu ya. Itu sudah kita tahu lah ya jawabannya bagaimana, gitu kan."

Daru:
     "Begitu tu sahabat miris banget yaa. Jadi dari kisah pengalamannya Mbak Zuma tadi itu benar-benar berbicara HKSR yang paling rugi itu banyak tentu perempuan."

Zuma:
     "Betul."

Daru:
  
   "Dan tadi itu ceritanya sudah berlapis tuh, Sahabat. Perempuan di bawah umur, disabilitas, lalu mengalami kekerasan seksual, kehamilan tidak direncanakan juga. Seandainya ya pemerintah memiliki kacamata interseksionalitas, paham soal kelompok marginal dan perempuan, mungkin bisa jadi kebijakan akan lebih baik lagi. Dan tadi menyinggung juga ya kekerasan seksual di ranah pendidikan, itu kan juga masih menjadi kasus yang timbul-tenggelam ya, Mbak ya. Dan  peraturan kok kayaknya belum bisa menghukum—apa namanya—pelaku segitu beratnya. Padahal kita sudah ada undang-undangnya, seperti itu. Nah, kemarin juga di podcast sebelumnya, kami membicarakan bagaimana nakes juga bias ya, dan tadi disinggung oleh Mbak Zuma bagaimana nakes juga mempunyai kekhawatiran akan dikriminalisasi. Dan ya karena peraturan yang belum jelas juga, bahkan pihak yang berwajib, kepolisian, malah larinya ke Mbak Zuma dan teman-teman juga untuk meminta pendampingan. Nah, kalau memang kita membicarakan landasan hukum memang seperti itu ya, Mbak. Belum ada yang mengikat sekali dan menguntungkan perempuan, terutama mengakses HKSR, terutama aborsi aman yang tadi menjadi bahasan kita barusan."

     "Nah, ada lagi nih Mbak pembahasan lainnya, jadi kalau kita berbicara undang-undang HKSR di Indonesia, ada pasal 49 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 39 tahun1999 tentang HAM nih, Hak Asasi Manusia, yang di mana pada UU ini dijelaskan bahwa perempuan memiliki hak khusus berkenaan dengan reproduksinya. Sebenarnya kan bagus sekali ya, tapi implementasi turunan UU ini masih lemah, justru mendiskriminasi perempuan atas otonomi tubuhnya, seperti pasal aborsi di KUHP yang baru. Nah, sebagai aktivis, Mbak Zuma paham banget nih ya kendala yang selama ini menghambat implementasi peraturan yang melandasi bagaimana perempuan punyai hak khusus akan reproduksinya itu. Jika Mbak Zuma bisa nih, mampu, melakukan sesuatu terkait regulasi dan implementasinya secara instan—seandainya nih ya Mbak ya. Penyesuaian apa sih Mbak yang sebenarnya dibutuhkan oleh penyusun kebijakan dan pengambil keputusan? Uhm, sehingga Undang-Undang yang menjadi landasan tadi dapat secara nyata menghadirkan HKSR berkeadilan pada perempuan."

Zuma:
     "Kalau landasannya sebenarnya pemerintah kita itu punya banyak sekali pengalaman ya, bahkan mungkin bisa belajar juga dari kasus-kasus sebagai negara yang mungkin aware soal isu kesehatan reproduksi gitu ya. Karena ini menjadi sesuatu yang sangat penting, karena soal berkelanjutan hidup, terus kemudian juga harapan hidup perempuan, terus generasi yang akan dilahirkan nanti juga seperti apa. Nah, penting juga kemudian memberikan edukasi—apa yam karena membicarakan soal HKSR itu belum menyasar kepada pemenuhan hak kesehatan reproduksi yang sebenarnya itu dibutuhkan oleh perempuan. Walaupun kita punya Kementerian Kesehatan yang mungkin harusnya menyadari bahwa ini hal yang sangat penting. Ketika—ya kita punya obgyn, terus punya banyak dokter-dokter yang harusnya memahami, aware gitu ya, ada Permenkes soal—bahkan ketika ada korban kekerasan juga bagaimana penanganannya, itu kan mereka sudah paham soal teknik membantu akses layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan korban kekerasan. Tinggal bagaimana kita punya keberanian untuk memberikan itu, kita tanya kepada perempuan yang mengakses layanan reproduksi ini, ke nakes gitu ya."

     "Misalkan perempuannya butuh apa, apakah pernah ada apakah ada sebuah peristiwa yang mengharuskan dia, misalkan, harus mengakses obat yang dibutuhkan pada saat itu. Atau ada pemeriksaan medis yang dibutuhkan, misalkan kalau terjadi kekerasan seksual, bagaimana dengan penyakit seks menular atau HIV atau hal yang melekat bisa saja terjadi. Nah, belum lagi soal pencegahan kehamilan, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang seharusnya itu aplikatif gitu ya, dan sesuai dengan asesmen awal gitu ya. Jadi, dari tenaga medis menurut saya juga menjadi garda terdepan gitu ya dalam pemenuhan akses HKSR, karena dari asesmen ini dia akan bisa memahami apa yang dibutuhkan oleh korban. Kalaupun korbannya tidak menyadari atau tidak mengetahui hak-haknya, bisa disampaikan, ada pilihan-pilihan seperti ini yang bisa kamu akses gitu ya. Bukan kemudian melakukan pembiaran, kemudian terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau misalkan penyakit seks menular atau akibat atau dampak lain yang bisa saja terjadi pada korban ataupun perempuan yang ingin mengakses HKSR-nya."

     "Ketika perempuan sudah memiliki kesadaran, misalkan, dia pengen akses layanan IVA atau layanan lain gitu ya, kan deg-degan itu ya. Pasti ditanya, sudah pernah berhubungan seksual atau enggak? Dan soal bias dan—karena kami pernah punya kasus, dua kali saya pernah membela kasus yang hampir sama, gitu ya. Dua-duanya belum pernah menikah, tapi dia pernah melakukan hubungan seksual gitu ya dengan pacarnya gitu. Dan kemudian dia itu melakukan pemeriksaan ke dokter, awalnya begitu ya, dia bekerja sebagai PRT dan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, lalu dia melakukan pemeriksaan ke dokter dan dokternya bilang itu adalah usus buntu gitu. Karena dia bukan nyonya statusnya, masih nona gitu aja. Jadi ada dua kasus. Karena statusnya nona, dianggap bahwa itu sakit maag, satu lagi usus buntu gitu ya. Sehingga kehamilan itu tetap berlangsung, tanpa perhatian. Misalkan kasih vitamin atau apapun gitu, untuk tumbuh kembangnya si bayi ini kan. Tapi diagnosa tenaga medis yang salah itu berakibat fatal, sehingga dua perempuan ini—satu kasusnya di Depok, satu lagi di Banten itu, harus berakhir di penjara. Karena anaknya itu dilahirkan dengan kondisi yang tidak bernyawa. Itu karena apa? Ya analisa dokter yang bias itu, "Kalau nona nggak mungkin dia hamil, kalau nyonya, oh ya sudah punya suami". Tapi kan nggak bisa begitu gitu. Nah, itu yang kemudian betapa kesalahan analisa dokter yang kemudian berdampak sangat buruk sekali pada masa depan perempuan. Nggak hanya apa kesehatan reproduksinya, tapi dia bisa berakhir di penjara lho, karena anaknya meninggal dia preeklamsia, dan dituduh ada upaya pembunuhan terhadap bayinya tadi."

Daru:
     "Oh, okay okay.  Sahabat, ini aku sampai terkejut-terkejut ya, saking biasnya nakes di Indonesia."

Zuma:
     "Iya!"

Daru:
     "Mungkin kalau tadi kita bicara perundang-undangan, kita mungkin tidak bisa mengandalkan itu secara cepat berubah, tapi seperti yang dikatakan Mbak Zuma, keberanian kita sebagai aktivis, tenaga kesehatanm itu juga harus diterapkan. Jangan bias seperti tadi."

Zuma:
     "Betul."

Daru:
     "Harus bisa kita bertanya, "Ini perempuan yang mengakses HKSR ini butuh apa?". Kemudian sampaikan hak mereka apa, apabila mereka memang butuh akses-akses aborsi amankah, HKSR yang lainkah, atau mungkin kekerasan seksualkah. Jangan sampai bias, teman-teman nakes ini ya. Apalagi tadi mentang-mentang belum menikah, "Oh pasti ini pasti bukan kehamilan ini ya kayaknya deh. Ini pasti penyakit yang lain."

Zuma:
     "Betul, ini fatal sekali."

Daru:
     "Padahal itu kan dengan mudah bisa USG, ya Mbak ya. Aku mikir aku mungkin bukan nakes..."

Zuma:
     "Testpack, lah, kalau USG mahal, testpack berapa sih?"

Daru:
     "Nah, iya, betul. Aku mikir kalaupun aku bukan nakes ya, ini menikah atau tidak menikah di USG saja kan juga kelihatan kalau memang usus buntu mungkin ya bisa kelihatan dari hasilnya, segala macam. Wah, ini benar-benar ya harus diubah semua mindset-nya. Tidak hanya perundang-undangan, tapi nakes juga tidak boleh bias, sehingga hak pemenuhan HKSR perempuan tadi bisa dengan adil diberikan ke perempuan di Indonesia. Nah, bicara  kebijakan nih, Mbak Zuma, kita tidak bisa memungkiri ya dari tadi obrolan kita, dan mungkin podcast sebelumnya, dan mungkin hasil-hasil riset yang banyak kita temukan di luar sana, bahwa kebijakan yang tidak memiliki perspektif gender justru bisa memberikan ketidakadilan bagi perempuan, utamanya. Nah, dulu kita tuh punya kebijakan publik yang memaksakan kontrasepsi terhadap perempuan di era Orde Baru."

     "Em, kebijakan tersebut dinilai berhasil menurunkan angka kelahiran, tetapi tidak menjadi bentuk penerapan HKSR yang berkeadilan. Jadi dari berbagai perundang-undangan yang katanya mesti adil nih, Mbak, bagaimana pandangan Mbak Zuma saat ini? Apa sih makna keadilan, makna berkeadilan menurut Mbak Zuma sendiri?"

Zuma:
     "Okay, makna berkeadilan itu tidak bisa dimaknai secara luas ya, karena kemudian yang bisa merasakan dan mengukur itu adalah individu yang kemudian menjadi sasaran dari kebijakan atau yang disebut keadilan itu tadi, gitu ya. Apakah misalkan ketika ada kasus yang tadi di beberapa kasus yang saya contohkan, apakah kemudian itu putusannya adil gitu ya, ketika dia memeriksakan ke dokter, didiagnosa bahwa dia usus buntu, tapi justru dia dipenjara karena anaknya meninggal gitu ya, dituduh melakukan pembunuhan. Dan hakim melihat, bahwa putusan itu putusan yang adil gitu ya. Apakah kemudian adil bagi si perempuan ini? Oh tentu tidak gitu. Karena dengan salah diagnosa dia kemudian menjadi dipenjara, anaknya meninggal gitu ya, dan itu kemudian menjadi persoalan baru buat dia memaknai keadilan itu apa. Buat dia keadilan ya nggak ada, gitu. Karena dia perempuan lah yang menyebabkan—kalau dia laki-laki mungkin dia nggak akan dipenjara karena dia melahirkan gitu ya. Bahkan pacarnya itu bisa punya pacar lagi dan entah kehidupannya, sementara si perempuan ini gitu ya, harus menghabiskan empat tahun di penjara."

     "Nah, kondisi-kondisi itu yang kemudian kita harus mempertanyakan ulang sejauh apa juga keadilan dalam makna luas di fokusnya pada isu HKSR ini ya, menyasar kepada perempuan-perempuan yang memang membutuhkan itu. HKSR yang sebagai sebuah kebutuhan yang memang itu hak ya, harus dipenuhi gitu. Harus dipenuhi oleh negara. Tapi pada kenyataannya, gitu jangankan memaknai soal keadilan untuk sampai mana itu, tapi pemenuhannya saja belum. Kalau berkaca pada Orde Baru—pemaksaan kontrasepsi dinilai berhasil, dinilai berhasil oleh siapa gitu kan? Oleh negara yang memaksakan itu gitu ya? Nah, itu kemudian kita perlu menafsirkan ulang soal keberhasilan juga. Karena ya lagi-lagi ketika ada pemaksaan kontrasepsi, siapa yang dipaksa? Perempuan kan, dipaksa untuk KB, untuk suntik, dan itu akan sangat mengganggu bagaimana hormon perempuan gitu ya. Bukan kemudian—oke kalau kemudian keluarga sepakat hanya memiliki dua anak. Bagaimana kemudian mereka membagi peran, apalagi kontrasepsi kan sudah sangat beragam ya, dan laki-laki juga bisa apa bisa menjadikan kontrasepsi sebagai sebuah bentuk kepedulian dia pada istrinya gitu ya. Supaya istrinya hormonnya tidak terganggu. Atau tidak ada KB0KB yang justru membahayakan jiwa atau fisik apa istrinya ini."

Daru:
     "Oke, ini sudah disinggung nih sama Mbak Zuma pertanyaan aku berikutnya. Ketika kita bicara tentang pemaksaan kontrasepsi di masa Orde Baru, itu kan artinya peraturan yang  tidak adil ke masyarakat, terutama perempuan ya. Karena perempuanlah yang dipaksa untuk KB, betul sekali. Nah, dengan KUHP yang sekarang ini Mbak, apakah menurut Mbak ada pelanggaran ketubuhan perempuan yang mungkin serupa ya dengan aturan Orde Baru yang memaksakan kontrasepsi tersebut Mbak?"

Zuma:
     "Jadi KUHP baru, tapi rasa lama gitu ya. Karena nggak ada sesuatu yang mengatur baru soal aborsi ini gitu ya. Justru kemudian yang mengedepankan soal apa pemidanaan bagi perempuan-perempuan yang melakukan aborsi atau orang yang membantu. Bahkan orang yang membantu ini bisa dikenakan 5 sampai 15 tahun gitu ya, untuk proses aborsi tadi. Nah, sebenarnya itu juga mengkhawatirkan karena tenaga medis itu juga mau membantu juga ada perasaan khawatir, takut dikriminalkan, belum lagi soal risikonya juga besar sekali gitu. Jadi kaya perlindungan terhadap mereka itu kaya nggak ada, terus kemudian perempuan yang mengakses aborsi juga akan didakwa dengan banyak pasal. Bahkan tidak hanya KUHP yang baru gitu ya, tapi Undang-Undang Perlindungan Anak itu juga menjadi pasal yang dikenakan gitu ya. Biasanya kan ada ya beberapa pasal alternatif gitu ya. Dan karena dianggap perempuan yang mengandung ini sudah dalam ada anaknya gitu ya, sehingga ya anak itu dimaknai masih yang dalam kandungan."

     "Jadi pasal-pasal itu sering banget dipakai untuk menyasar perempuan-perempuan dengan kondisi seperti ini. Baik yang anaknya meninggal gitu ya, ataupun kemudian proses aborsi-aborsi itu tadi. Jadi kalau walaupun misalkan ada beberapa aturan yang melonggarkan dibolehkannya aborsi, tapi pada kenyataannya undang-undang di KUHP kita, Undang-Undang Perlindungan Anak, itu benar-benar tidak memberikan celah gitu. Karena kalaupun kita bisa akses, kemudian tenaga medis mana yang bersedia? Sementara mereka dihantui perasaan takut, khawatir, dikriminalkan, risikonya tinggi, dan mereka tidak hanya akan kehilangan pekerjaan, tapi bisa dipidana."

Daru:
     "Nah, Sahabat, jadi begitu ya kondisi kebijakan terkait kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Kayaknya kita nggak bisa nih mengandalkan KUHP yang seperti tadi disinggung nih, KUHP kok kaya cerita lama, tapi kisah baru ya."

Zuma:
     "Iya, mengulang lagi."

Daru:
     "Mengulang pemaksaan dan melanggar ketubuhan perempuan, seperti yang terjadi di Orde Baru, ketika pemaksaan kontrasepsi begitu ya. Dan karena kita tidak bisa mengandalkan peraturan perundang-undangan, tadi Mbak Zuma sudah berpesan, kita harus berani, nakes jangan bias. Iya betul, nakes pasti memiliki kekhawatiran akan dakwa-dakwa di pasal yang bisa mengkriminalisasi mereka begitu ya. Tapi seandainya mungkin mereka bergerak bersama, kan akhirnya tergerak juga nih, aturan-aturan di atas itu. Bahkan bias-bias tersebut ada juga nih, penegak hukum, polisi saja bingung. Kemudian tadi Mbak Zuma juga sudah menyinggung bahwa hakim pun bias ya mengkriminalisasi kasus, bahwa perempuan ini sebenarnya membutuhkan keadilan HKSR itu tadi begitu ya."

     "Nah, kayaknya nih teman-teman yang kedepannya akan bekerja dibidang hukum, nakes, berminat menjadi aktivis harus lebih up to date juga ya melihat kebutuhan perempuan. Dan bahkan, perempuan dan laki-laki di luar sana, di Indonesia, kita juga harus lebih up to date melihat kebutuhan perempuan. Utamanya hak mereka dalam HKSR, agar paham terinformasi. Dan kita harus belajar dari para pejuang HKSR di luar sana, seperti Mbak Zuma di sini. Nah, kalau begitu kan kebutuhan perempuan, mudah-mudahan, dapat difasilitasi dengan baik dan didukung oleh regulasi yang kuat. Sebagai penutup nih Mbak Zuma, uhm, apakah Mbak Zuma memiliki harapan terkait isu kebijakan ini kedepannya? Agar perempuan-perempuan di Indonesia sepenuhnya terlindungi HKSR-nya termasuk terlindungi dari kriminalisasi dan bias-bias hukum yang ada. Apa sih Mbak harapannya?"

Zuma:
     "Harapan saya pasti ada ya. Karena kalau kita selalu pesimis, pasti kaya kita nggak punya alat perjuangan baru yang membuat kita harus tetap mendiskusikan ini. Jadi menurut saya juga Jurnal Perempuan mengangkat isu ini menjadi sangat penting begitu ya, karena diskusi-diskusi seperti ini harus tetap dibangun gitu ya. Karena korban-korban tidak terpenuhinya hak kesehatan reproduksinya, bahkan kemudian dikriminalkan karena perempuan, karena dia ingin mengakses HKSR-nya, itu kan mungkin sekarang di posisi yang tidak bisa bersuara, tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya menjadi harapan. Dan penting kita untuk teurs mengkampanyekan hal ini. Karena ini hak gitu ya, saya meminta kepada negara untuk melakukan pemenuhan. Karena kan sebenernya juga nggak berat bagi negara. Karena kan ini menyangkut tubuh perempuan gitu. Berikan, kemudian, kebebasan pada perempuan, apakah kemudian persoalan kehamilan yang tidak diinginkan. Terus kemudian juga akses layanan kesehatan reproduksi yang aman, yang gampang diakses, yang tidak diskriminatif gitu ya. Dan juga apa akses yang gampang gitu. Misalkan kita punya tenaga layanan kesehatan di setiap kecamatan bahkan mungkin desa-desa gitu ya. Mungkin bidan desa dan sebagainya gitu ya."

     "Dan kita berharap juga tenaga-tenaga medis yang berada di garda terdepan itu memberikan pelayanan HKSR yang komprehensif, yang maksimal, yang tidak mendiskriminasi gitu. Entah siapapun yang mau akses, bahkan termasuk yang tidak peduli statusnya itu dia nona, nyonya, yang kemudian berdampak sangat—semoga dua perempuan ini adalah kasus terakhir di Indonesia. Dan kita berharap juga semoga nakes lebih aware gitu. Dan kepada aparat penegak hukum gitu ya, ketika ada kasus-kasus aborsi atau berkaitan dengan hak kesehatan reproduksi, tolong juga punya perspektif yang lebih baik gitu ya. Mengenai hak-hak perempuan itu kan juga diatur gitu ya. Kalau kemudian ada pembantaran, kemudian harus dirawat di rumah sakit, dan bagaimana supaya dia secara kesehatan reproduksi juga—supaya pulih gitu diberikan haknya gitu. Karena dengan cuma memenjarakan, itu tidak akan menyelesaikan persoalan, justru akan menimbulkan persoalan-persoalan baru gitu ya, penegakan hukum si perempuan berkasus juga."

     "Nanti mungkin, bahkan, bisa jadi sakit, menghambat proses hukum, dan lain sebagainya gitu. Dan bagi para perempuan-perempuan yang mungkin saat ini sedang membutuhkan atau kesulitan mengakses HKSR-nya, jangan pernah patah semangat gitu ya. Ini memang sesuatu yang nggak gampang untuk saat ini kita peroleh gitu ya. Kita pasti akan punya kesempatan, akan punya peluang yang hak ketubuhan kita, hak kesehatan reproduksinya, kita itu adalah milik kita. Yang saat ini tidak gratis, tidak cuma-cuma, jatuh dari langit gitu ya. Itu memang harus kita perjuangkan. Dengan cara apa? Ya mengkampanyekan seperti ini, terus apa perbanyak informasi mengenai hak kesehatan reproduksimu yang harusnya itu menjadi milikmu dan sepenuhnya kontrol tubuhmu ada padamu."

Daru:
     "Oke, luar biasa nih. Mudah-mudahan harapannya Mbak Zuma kedepannya akan terwujud ya."

Zuma:
     "Amin."

Daru:
     "Memang tadi seperti yang Mbak Zuma katakan, kita tidak boleh patah semangat. Pelan, tapi pasti ya. Mudah-mudahan kedepannya akan ada pelayanan HKSR yang mudah, bisa diakses, nggak cuma di kita besar, tetapi di kota kecil, dan tidak diskriminatif utamanya nakes, seperti tadi yang sudah disampaikan oleh Mbak Zuma. Kayaknya remeh sekali ya tidak memberikan hak kesehatan seksual dan reproduksi kepada perempuan hanya karena status nyonya atau nona seperti itu kan. Jadi, mudah-mudahan juga kedepannya tidak hanya secara sederhana dipenjara aja seperti itu, karena dengan memenjarakan, tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru menambah masalah. Terima kasih sekali lagi untuk Mbak Zuma sudah hadir menjadi narasumber kita pagi hari ini, Mbak."

Zuma:
     "Sama-sama terima kasih sudah diundang ya Jurnal Perempuan."

Daru:
     "Iya, semoga bisa berpartisipasi lagi di kegiatan Jurnal Perempuan berikutnya."

Zuma:
     "Aamiin, ya, sama-sama."

Daru:
     "Nah, Sahabat, terima kasih ya sudah menyimak perbincangan kita hari ini. Seru banget nggak sih, insightful juga ya kan? Kalau setuju, subscribe dan like terus Podcast JP ya. Kalau Sahabat sekalian punya ide atau usul untuk pembahasan untuk tema, bisikkan ke kami ya. Bisa lewat kolom komentar atau direct message ke media sosial kami. Sampai jumpa pada podcast selanjutnya. Sehat dan bahagia selalu, Sahabat. Salam pencerahan dan kesetaraan."

     "Podcast ini merupakan kolaborasi antara Jurnal Perempuan dan Yayasan IPAS Indonesia. Salam pencerahan dan kesetaraan."
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023