Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa

Podcast JP

Ikhaputri Widiantini: Akademisi dan Aktivis Perempuan

6/1/2023

0 Comments

 
Picture
     Halo, Sahabat! Kembali lagi bersama Podcast JP! Podcast yang membicarakan isu-isu kesetaraan gender, pengalaman perempuan dan feminisme. Bersama Iqraa Runi Aprilia. 
     Hari ini kita akan mengobrol bersama seorang akademisi dan aktivis perempuan. Dalam podcast kali ini kita akan mengetahui pengalaman dari Mbak Ikhaputri Widianti atau yang akrab disapa dengan Mbak Upie. Mbak Upi ini adalah dosen di Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesa. Beberapa mata kuliah yang diampu adalah Feminisme, Filsafat dan Hak Asasi Manusia, Estetika, dan Filsafat Seni. Tanpa berlama-lama lagi, yuk, kita berkenalan dengannya!

 Ikhaputri:
      Halo semuanya, nama saya Ikhaputri Widiantini. Seperti yang diperbincangkan oleh Iqraa, saya akrab dipanggil Upie. Saat ini saya mengajar di program studi Filsafat untuk sarjana di Universitas Indonesia dan kebetulan latar saya adalah mengambil feminisme dan filsafat. Walaupun kemudian secara spesifik saya banyak membicaraka suhu budaya pop dan seni, tetapi juga ada isu gerakan terutama tentang persoalan kekerasan seksual yang mungkin banyak berbicara pergerakan di kampus. Itu mungkin ya, Iqraa, sekilas tentang latar belakang saya.

Host:
     Mbak Upie, kita penasaran sekali dengan motivasi terbesar yang mendorong mbak Upie hingga menjadi dosen perempuan. Lingkungan kerja Mbak Upie, yaitu akademia, sendiri masih didominasi oleh laki-laki. Sudut pandang ilmu pengetahuan sendiri masih didominasi oleh laki-laki, mungkin kita dapat menyebutkan sudut pandang maskulin. Nah, sehingga kita sebagi perempuan itu sulit sekali untuk fit in dengan lingkungan tersebut. Lalu, ada juga kecenderungan untuk disepelekan. Nah, kira-kira apa motivasi Mbak Upie sehingga mantap melanjutkan karier dibidang ini dan apa tantangan-tantangan yang Mbak Upie alami? Silakan, Mbak Upie.

Ikhaputri:
     Ini pertanyaan sangat menarik ya, sejujurnya ini pertama kali lho saya ditanyakan. Hal yang memotivasi saya pertama itu adalah kehadiran Mbak Gadis Arivia karena di awal saya diajak untuk menjadi asistennya sebelum saya skripsi. Di awal, saya berpikir, “Ahh ntar ujung-ujungnya cuma bantu sebentar lah, cuma satu semester terus lulus akan melakukan hal yang lain”. Akan tetapi, sebelum lulus itu Mbak Gadis kemudian bilang bahwa kalau saya punya minat, ayo, Mbak Gadis akan support sekali. Lalu, ya awalnya coba-coba dan kemudian berkenalan dan lebih kenal dekat karena sepanjang kuliah saya mengidolakan Ibu Embun. Saya mulai ikut kelas beliau dan mulai memahami cara mengajarnya yang sedikit berbeda. Lalu, saya sempat membantu Bu Irma dan almarhum Pak Boas serta Pak Tommy Awuy. Nah, saya sempat berpikir juga bahwa, “Udah ah, tidak cocok karena terlalu banyak birokrasi”, dan saya merasa bahwa filsafat itu benar-benar maskulin. Saya juga berpikir akan mengajar apa ke mahasiswa karena materinya berisi tentang maskulin, kecuali saya masuk kelas feminisme dan beberapa kelas estetika dan seni yang masih banyak menyebut nama-nama filsuf perempuan. Motivasi pertama saya adalah karena saya punya ketertarikan tentang berbagi ilmu dan juga  pengembangan ilmu juga yang sudah saya sadari sedari sebelum lulus kuliah S1 ketika mulai bisa membantu beberapa teman bahkan junior-junior untuk memahami   beberapa   topik.   Selanjutnya, saya berpikiran, “Apa nggak harus jadi dosen kali ya”, melainkan bisa dengan cara lain, tetapi dengan hadirnya nama-nama tadi yang disebutkan saya jadi lebih semangat dan merasa bahwa kalau bukan   saya yang masuk ke dalam lingkungan tersebut lalu siapa lagi yang kemudian bisa berbicara.
 
     Namun, hal tersebut bukan tanpa tantangan ya karena nuansa maskulin sangat kental dalam diskusi-diskusi. Selain itu, topik-topik yang terkesan perempuan masih sangat feminisme.

Host:
     Sebagai seorang akademisi perempuan, bagaimana pandangan dan pengalaman Mbak Upie dalam menyoal kekerasan seksual?

Ikhaputri:
     Makasih ya Iqraa, ini juga tadi saya lupa sebutkan secara spesifik. Mungkin banyak orang akan berpikir bahwa kekerasan seksual itu sebatas pelecehan secara fisik atau bercandaan yang bernada seksual. Sementara yang saya alami sendiri dan kemudian ada beberapa kawan yang juga mengalami tersebut tidak hanya tentang yang sifatnya sexually terlihat, tetapi juga perendahan terhadap pemikiran mereka. Hal ini seperti salah satu kasus terakhir, yaitu terdapat mahasiswa laki-laki ingin mengambil pemikiran perempuan dan karya sutradara perempuan yang dimaksudkan sebagai tugas akhir. Kemudian oleh pembimbing awalnya itu berkata, "Ini untuk apa?" karena masih banyak karya karya sebelumnya yang lebih baik. Hal ini pun dirasakan oleh laki-laki yang pun merasakan kenapa seksis sekali sebagai pengajar. Saya sendiri sebagai dosen pun juga merasakan dalam jajak pendapat yang kerap dilakukan. Dalam hal tersebut masih banyak pendapat yang dipilih dan diperhitungkan berasal dari dosen laki-laki. Selanjutnya, masih terdapat beberapa alasan seperti perihal birokrasi yang dalam bidang ini masih banyak pertimbangannya. Dalam proses penanganan kekerasan seksual sendiri masih terasa pembedaan, banyak mahasiswa menarik kembali laporan kekerasan seskual karena dianggap hal-hal yag dilaporkan ini berlebihan dan dianggap remeh.

Host:
     Berangkat dari cerita Mbak Upie tadi maka kira-kira apa saja hambatan dan tantangan dalam upaya penanganan kekerasan seksual di kampus karena kembali lagi ke pembicaraan kita tadi ini lingkungn akademik kan masih kurang sensitif terhadap isu-isu perempuan. Apakah hal ini masih sulit untuk diwujudkan?

Ikhaputri:
     Kalau dibilang sulit itu ya kayaknya saya pesimis banget ya karena dilihat dari jangka waktu saya masuk di UI pertama kali sebagai mahasiswa itu 2000 dan sekarang 2022 cukup signifikan perbedaannya. Dulu tuh misalnya menyebut istilah ada kekerasan seksual langsung berpikir perkosaan dan sebatas cuman grepe- grepe dan tidak berpikir bahwa catcalling dan semacamnya berupa hal serius. Mereka berpikir hal tersebut hanya bercandaan. Bahkan, menyebutkan istilah kesetaraan dan feminisme itu seakan momok sekali dan sekarang berbicara istilah feminisme, kesetaran serta kekerasan seksual dan menegur pelaku catcalling di kampus lebih mudah karena informasinya lebih banyak. Akan tetapi, terdapat hal yang kemudian masih belum benar-benar terwujud dan saya rasa ini yang membuat jadi sulit, yaitu tentang pola pikir berpihak pada korban. Saat ini telah banyak pihak-pihak atau kelompok yang berpihak pada korban, contohnya komunitas Hopehelps, tetapi lucunya adalah orang-orang atau terduga pelaku yang ditangani kasusnya ini akan resisten dan menjadi sosok yang mendukung korban seakan-akan mereka mengerti dan menjadi suatu hal tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Hal ini adalah yang dilupakan, dalam artian mereka berbicara pada tataran teoritis.
 
     Berpihak pada korban di sini berarti ketika kita mendengar ada yang bercerita tentang pengalaman buruk yang dialami, maka kita akan mendampingi itu untuk penanganan. Penanganan ini termasuk penanganan dia secara psikologis dan pendampingannya. Jadi, tidak hanya ketika kasus selesai begitu saja. Untuk itu, telah ada komunitas yang memahami konsep berpihak pada korban. Di kampus sendiri meski telah ada Satgas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual, tetap perlu dipikirkan bagaimana perubahan pola pikir harus dilakukan. Hal ini, sebagai contoh pada salah satu kasus kekerasan seksual, orang-orang lebih mencari siapa yang melapor dan bahkan bertanya siapa yang menjadi korban. Cara berpikir ini menganggap bahwa bisa jadi sosok korban melakukan sebuah kebohongan. Hal-hal seperti ini yang harus diperhatikan, ketika kita menggunakan perspektif keberpihakan pada korban itu termasuk kita akan memahami bahwa jika ada yang melapor pasti ada suatu hal yang bermasalah dalam situasi tersebut. Pada dasarnya kita tidak benar-benar sensitif jika seperti itu karena kita tidak menempatkan korban pada situasi tokoh utama. Dalam hal ini kita harus berpihak pada korban.

Host:
     Saya mendengarkan pengalaman dan kerja advokasi Mbak Upie ini  merasa... luar biasa! Dan sebelum kita ingin membawa kasus kekerasan seksual tingkat lebih lanjut, kita perlu keberpihakan pada korban terlebih dahulu. Mulai dari mempercayai dan menanyakan kebutuhan    korban.    Nah,    di    sini    mungkin     Mbak Upie bisa highlight terkait strategi advokasi di lingkungan kampus?

Ikhaputri:
     Untuk berbicara mengenai strategi advokasi di kampus kita memiliki konselor khusus untuk kasus kekerasan seksual. Selanjutnya, dapat dijabarkan berdasarkan pengalaman saya selama berada di kampus, yaitu yang pertama adalah kita memiliki akses berada dalam suatu kelas atau komunitas. Hal pertama yang dilakukan adalah mengajak orang disekelilingi kita untuk mulai melakukan perubahan dalam pola berpikir dan bertindak, terutama lebih sensitif pada isu tubuh, seksualitas, dan tidak menganggap bercandaan mengenai isu tubuh    (seksual) sebagai hal yang biasa. Lalu membicarakan strategi advokasi untuk pengahapusan kekerasan seksual di kampus. Pertama, kampus harus memiliki kelompok konseling yang terpisah, yaitu tidak hanya konseling digabung dengan akademik dan umum. Konseling di sini berisi orang-orang terpercaya yang dalam hal ini telah bagus sekali terdapat Satgas PPKS di lingkungan kampus. Nah, tapi apakah kita bisa menjamin pada setiap fakultas dapat tertangani? Jadi, paling tidak ada di setiap fakultas memiliki kelompok tersebut dan perlu manusia manusia yang berkompeten dan memahami dalam penanganannya.
 
     Lantas penanganan seperti apa yang dibutuhkan? Pertama, konseler. Jadi, kita butuh orang-orang yang memang secara ahli paham cara mendengarkan. Itu biasanya kita akan butuh bantuan dari psikolog. Kemudian adalah penanganan hukumnya, yaitu sejauh mana harus ditangani secara hukum, yaitu baik dari tingkat kampusnya dulu kah? Apakah tingkat universitas? Atau tingkat pidana? Hal ini juga telah dibantu dengan Undang-Undang TPKS. Ini hanya penanganan awalnya, penanganan berikutnya adalah tadi, yaitu di wilayah pendampingannya. Kita harus mendukung korban untuk menjadi survivor, menjamin korban mendapatkan pendampingan dan dapat memahami korban. Melalui pengalaman-pengalaman yang dimiliki menjadi kunci penguatan dalam advokasi.
 
     Lalu, bagaimana nih untuk kita menjadi berkontribusi? Seperti apa yang saya katakan di awal, yaitu tahapan kita mengajak orang untuk  mengetahui hal-hal yang dalam pikiran orang tersebut ini tidak ada kaitannya dengan kekerasan seksual, seperti membaca buku terkait filsuf perempuan. Melalui hal ini saya menegaskan bahwa dengan membaca buku tersebut nantinya akan mendapatkan pengalaman yang berbeda dan kalau kita bisa mengembangkan cara tersebut dalam beberapa kelas kita tanpa disadari akan membentuk perlahan- lahan pola pikir secara inheren dengan kehidupan kita (terinternalisasi) ke dalam cara berpikir. Cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang menghargai dan peduli pada pengalaman orang yang melalui hal ini akan membangun ruang aman, yaitu ruang yang kemudian tidak memberikan kesempatan sama sekali pada diskriminasi dan kekerasan dan juga ruang yang mendengarkan pengalaman-pengalaman yang berbeda.

Host:
     Nah, terima kasih banyak Mbak Upie atas obrolannya yang menarik. Mungkin, Mbak Upie ada pesan-pesan kepada para penggemar Podcast JP

Ikhaputri:
     Baik, yang pertama adalah jangan memikirkan bagi waktu dengan rumah. Ini pemisalan, jika keluarga telah mengizinkan, jadi yang pertama adalah sudah mau dan benar-benar mau dan situasinya adalah keluarga sekitar tidak menyulitkan. Dalam hal ini berarti kan kita tidak mendatangkan persoalan yang baru. Lalu ketika sudah diterima, yang saya inginkan jangan berpikir untuk memiliki keinginan menjadi seperti apa, misal saya ingin menjadi seperti mbak Gadis, nah, itu jangan dipikirkan, tetapi berpikir apa yang bisa saya kontribusikan. Sebab, ketika kita berpikir seperti itu nantinya kita tidak dapat mengeskplor diri kita dan menjadi tidak mendengarkan diri kita sendiri. Kesalahan fatal kalau kita tidak ingin mendengarkan diri  kita sendiri adalah nantinya kita tidak dapat mendengarkan orang lain, nah, bagaimana kita bisa menjadi akademisi kalau kemudian kita tidak bisa mendengarkan suara-suara yang lain selain kita, tetapi semua bisa dilakukan kalau mendegarkan diri kita sendiri. Itu adalah prinsip pertama, jadi saya berharap akan banyak akademisi perempuan yang muncul, tetapi bukan hanya karena ingin menjadi seperti siapa, tetapi karena punya keinginan untuk melakukan suatu perubahan. Lalu, kedua, jangan takut untuk berelasi dengan akademisi-akademisi perempuan yang lain.

Host:
     Nah, sahabat, itu kira-kira bincang seru kami dengan Mbak Upie seorang akademisi perempuan yang pengalamannya tidak perlu diragukan lagi. Nah, kira-kira bagaimana nih pendapat pendengar tercinta mengenai advokasi yang dilakukan Mbak Upie sebagai akademisi perempuan. Terus nantikan podcast kami, bila ada saran mengenai narasumber atau isu yang dapat kami angkat jangan ragu untuk sampaikan kepada kami. Sampai jumpa lagi! Jurnal Perempuan, untuk pencerahan dan kesetaraan.
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa