Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025

Podcast JP

“Dialog Antar Generasi: Partisipasi Politik dan Kaum Muda” Bersama Dini Widiastuti, Tsamara Amany, Zeni Tri Lestari, dan Ikhaputri Widiantini

28/4/2023

0 Comments

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     "Halo Sahabat dan Kaum Muda! Kita bertemu lagi, nih, di podcast Jurnal Perempuan, podcast yang membahas tentang feminisme dan kesetaraan gender. Kembali bersama saya, Retno Daru Dewi. Bagi teman-teman yang sudah mendengarkan tiga rangkaian podcast sebelumnya, pasti tau dong apa spesialnya podcast kali ini. Yep, podcast ini adalah seri terakhir dari podcast  Jurnal Perempuan dan Yayasan Plan International indonesia  bekerja sama dengan Australian Volunteers Program dalam rangka Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day. Di podcast kali ini kami ingin merefresh kembali, nih, agenda tempo hari, yaitu diskusi publik kerjasama Jurnal Perempuan, Plan Indonesia, dan Australian Volunteers Program yang berjudul Dialog Antar Generasi: Partisipasi Politik dan Kaum Muda."

     "Nah, diskusi publik kemarin tuh diselenggarakan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok secara offline. Juga disiarkan di kanal Youtube Jurnal Perempuan dan Plan Indonesia. Apa sih yang dibicarakan di diskusi publik tersebut? Banyak banget lho, mulai dari perspektif aktivis kampus perempuan, dosen filsafat, hingga aktivis politik perempuan. Yuk, mari kita dengarkan paparan mereka. Untuk memantik diskusi, Mbak Dini Widiastusti menyampaikan pemaparannya soal data-data lapangan mengenai partisipasi politik perempuan. Mbak Dini adalah seorang profesional di bidang pembangunan dengan pengalaman lebih dari lima belas tahun dalam mengelola program strategi kampanye dan advokasi. Saat ini Mbak Dini memimpin Yayasan Plan International Indonesia, organisasi yang berfokus pada kesetaraan dan pemberdayaan gender di kalangan kaum muda terutama perempuan muda. Mbak Dini berkomitmen dan menaruh perhatian besar  dalam mempromosikan pendekatan multi pihak untuk memecahkan masalah dan inisiatif pembangunan yang berfokus pada kaum muda, perempuan, dan anak perempuan. Sahabat dan Kaum Muda, Plan Indonesia yang Mbak Dini pimpin telah melakukan survei terkait kondisi politik anak perempuan dan perempuan muda, bagaimana sih kondisinya? Berikut kita simak paparan dari Mbak Dini, yuk."
 
Dini:
     "Secara global dan juga di Indonesia ternyata 9 dari 10 remaja perempuan itu percaya bahwa partisipasi dunia politik itu penting dan mereka konsen terhadap isu-isu kemiskinan, pendidikan, dan lingkungan. Memang ada sedikit perbedaan antara global dan Indonesia, ya, tetapi kurang lebih sama termasuk juga isu kekerasan, ya, dan kriminalitas menjadi sesuatu yang concern anak-anak muda di Indonesia. Walaupun interest-nya tinggi, walaupun juga mereka yakin itu menjadi hal yang penting, ya, berpolitik, tetapi masih banyak sekali hambatan yang dirasakan terutama untuk perempuan yang masuk dalam berpolitik ya. Kurang role model terus hambatan yang politisi perempuan itu suka menjadi sasaran dan yang dilihat bukan kontennya yang dibicarakan, tetapi penampilannya yang nggak penting itu. Nah, jadi ini itu bikin ilfeel padahal belum masuk sudah banyak banget tantangan, ya males lah, gitu ya. Dan mereka juga merasa bahwa suaranya mereka itu kurang didengar sama politisi. Ya iyalah, kalau kebanyakan yang jadi politisi itu laki-laki tua, ya, dan perempuannya juga tua, ya, gjmana, suara anak muda bisa didengar. Jadi gimana, nih, caranya kita buka ruang-ruang ini dan supaya teman-teman juga walaupun kita ngomong politik bisa dikatakan ya. Sebenarnya banyak banget cara berpolitik ya, menarik sebenarnya karena ada temuannya juga bahwa mereka itu suka positivis, ya, 24% lah yang positif, bahwa keputusan pemimpin politik di Indonesia itu sudah memperhatikan isu-isu yang dianggap penting, yaitu kemiskinan tadi, ya, pendidikan, ini 24% yang mengatakan hal itu. Ya, ini nggak tinggi-tinggi banget, ya, tapi adalah yang begitu. Emm, tetapi 43% merasa stress dan khawatir melihat pemimpin politik kita yang miliki saat ini, 43% ini lumayan tinggi, ya."
 
     "Jadi, on one hand kalau dari isunya sudah dibahas, tapi dari para politisinya ini yang mereka agak concern. Itu sih, tapi dari secara  globalnya sama. Isu sudah, tetapi mereka kurang percaya pada waktu tersebut bisa, apa ya namanya, betul-betul memperjuangkan dan bukan pada tataran arti visual saja dan janji-janji saja; juga merasa kurang didengar pada tataran substantifnya. Tapi kalau dari sisi mereka, apa ya merasa khawatir karena terancam secara fisik itu di Indonesia tu penemuannya hanya 5% yang merasa tidak aman secara fisik, sementara global itu 28%. Jadi ini kan surveinya di negara-negara berkembang lain dengan list-nya yang pulau Prancis juga, ya. Jadi di Indonesia itu kalau pakai indeks apapun biasanya di tengah-tengah terus kaya lagu dangdut. Tengah-tengah, sedang-sedang, indeks apapun yang teman-teman lihat. Nggak buruk-buruk banget, tetapi bisa lebih baik gitu lho, dan jangan puas dengan segini aja. Nah, apa sih hambatannya ya Mbak Daru? Tadi, kurang role model."
 
     "Kalau secara jumlah mungkin dari zaman saya seusia adik-adik ya lebih banyak, tapi kan masih kurang ya, masih secara representase. Lalu, yang lebih-lebih lagi secara kualitasnya gimana, ya, coba aja kalau dilihat dari media koran atau tv atau apapun, sudah banyak politisi perempuan dan pemimpin perempuan yang di profile. Kalau buka koran kayaknya hari ini isinya laki-laki semua, kecuali Bu Sri Mulyani mungkin ya, atau sama Ibu Menlu, ya udah ya. Secara sistemnya sendiri juga ya, bagaimana ya. Kaya mau ngomong saja mesti harus berjuang banget, kan. Belum masuk ke dalam sistemnya, sehingga betul-betul ada bisa punya akses dalam bersuara mengungkapkan pendapat, gitu. Selain tadi stigmanya di komunitas belum nyampe di masyarakat, nasional, dan belum daftar jadi caleg atau maju masuk ke anggota politik itu di komunitas sendiri banyak stigma-stigma bahkan di anak-anaknya sendiri yang bahkan mengatakan bahwa di komunitas itu untuk menjadi pemimpin partai atau politik lokal (politik leaders) itu masih ada yang menganggap bahwa ini bukan untuk perempuan maupun perempuan muda apalagi. Ini masih banyak, masih ada sekitar 36% di dalam survei ini, menyatakan bahwa yang acceptable 36% di komunitasnya. Berarti kan masih ada 64% yang mengatakan bahwa is not acceptable kalau anak muda, terus perempuan apalagi, untuk menjadi pemimpin di tingkatan--ini tingkat komunitas. Di tingkat nasional lebih sedikit lagi. Nah, masih banyak sih bias-bias yang pemimpin itu, ya, perempuan janganlah atau ya, sampai sini saja jangan sampai nasional, jangan sampai ke tingkat tertinggi. Tapi sebagai perempuan, itu juga perempuan mana dulu, kita sebagai perempuan maunya perempuan berkualitas dan bukan yang memenuhi kuota doang. Ya itu sih Mba. Memang masih banyak, dan bukan yang paling buruk dari seluruh dunia, tapi PR-nya masih juga."
 
Daru:
     "Wah, keren banget ya paparannya. Ternyata anak perempuan dan perempuan muda mau banget lho berpartisipasi dalam bidang dunia politik. Hanya saja belum ada nih ruang yang cukup dan aman untuk mereka. Antusiasme yang tinggi itu tidak didukung oleh iklim politik yang tidak ideal. Ya, soalnya ruang politik sampai sekarang masih di dominasi laki-laki dan berusia tua dan enggan untuk mendengar mereka. Lalu, sahabat, terus gimana sih realitanya di lapangan? Selanjutnya, hadir juga nih Mba Tsamara Amany selaku seorang politikus muda Indonesia. Tsamara aktif mengadvokasikan isu-isu perempuan. Beberapa isu perempuan yang ia kawal adalah partisipasi perempuan di dunia politik hingga penghapusan kekerasan seksual. Mari-mari kita simak, yuk, paparan darinya."
 
Tsamara:
     "Terima kasih. Pertama-pertama tadi sangat mencerahkan ya paparan yang dijelaskan oleh Mba Dini sebelumnya terkait informasi-informasi yang sudah dilakukan oleh Plan. Saya juga kaget ternyata remaja perempuan cukup optimis dengan dunia politik di depan, tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan. Misalnya, komentar-komentar di media sosial rasanya negatif semua. Kalau ditanya, apakah perempuan terutama perempuan muda itu pesimis karena memang politik formal kita itu terlalu maskulin, menurut saya ada dua hal. Yang pertama, situasinya maskulin karena belum ada peregenerasi yang cukup baik per hari ini. Kalau kita lihat dari zaman Orde Baru sampai hari ini, kita lihat dari partai-partai politik yang mendominasi kultur partai atau mendominasi pengambilan keputusan masih didominasi orang-orang dulu-dulu (status quo), baik anaknya atau cucunya, dan lain sebagainya. Jadi regenerasinya masih berhenti dan tidak serta merta harus negatif, gitu ya. Ada yang keluarga-keluarga baik, tapi karena regenerasinya masih terbatas pada keluarga. Akibatnya banyak perempuan-perempuan yang tidak punya privilege itu sulit menembus politik formal di partai politik, itu yang pertama. Hal kedua adalah partai politik itu memang, sekarang punya kewajiban memberikan kuota 30% dalam daftar calon legislatifnya, tapi dalam realitanya itu nggak serta merta menguntungkan perempuan. Bagus, kalau misalnya tidak ada kuota 30% itu sama sekali tidak ada inisiatif mendorong partisipasi perempuan, tapi prakteknya banyak partai-partai yang lebih mementingkan pemenuhan kuota doang, yang penting 30% terpenuhi saja. Apakah orang-orang ini pasti terpilih atau tidak, memastikan keterwakilan perempuan di DPR itu urusan lain. Yang penting, emm, ada saudara perempuan, nggak? itu disuruh nyaleg. Gak dipikirkan bagaimana perempuannya, nggak dipikirkan bagaimana mereka harus menyiapkan kampanye, nggak memikirkan bagaimana distribusi pembiayaan itu nggak dipikirkan dan masih banyak lagi."
 
     "Akhirnya karena semua itu gak dipikirkan, calon-calon legislatif perempuan ini yang hanya ditaruh biasa, nomor urutnya juga yang nggak bagus-bagus amat. Di daerah yang pemilihan dengan kemungkinan besar mereka tidak bertarung dan tidak mungkin menang karena yang penting menuhin kuota. Karena itu semua terjadi, hanya sedikit perempuan-perempuan ini yang akhirnya memiliki kekuatan bertarung dan bisa menang dan melawan politisi politisi handal dan melawan politisi laki-laki yang sudah lama berada di dalam dunia politik formal ini, akhirnya kalah gitu. Nah, jadi sebenernya kalau ditanya apakah tugasnya? Kan banyak nih, kalau kita dengar dari diskusi-diskusi politik banyak sekali beban yang di push-nya di perempuan dan anak-anak muda. Nah, “Ayo dong anak muda masuk di dunia politik, ayo dong perempuan masuk dunia politik”. Oh, iya betul, mengajak orang masuk dunia politik, tapi tidak membenahi sistem politiknya dan tidak membenahi kapal berpolitiknya dan itu sih hanya omongan basa-basi, itu bukan omongan yang serius. Dan ada partai-partai yang sudah terbuka, tapi ini realita keadaan partai Indonesia saat ini. Intinya, menurut saya pribadi dan lain-lain, kita seringkali dianggap menjadi politisi dan menjadi perempuan dan anak muda itu harus idealisme, tapi yang paling nggak saya suka itu orang-orang yang sudah lama berada di politik formal ini memanfaatkan idealisme mereka itu untuk memanipulasi kita, biar idealisme kita ini dipakai untuk memanipulasi kita, untuk mengkonfrontasi kita. Jadi kita disuruh, “Ayo masuk politik, ayo masuk politik, ayo kerja politik”, tetapi mereka tidak memberikan bantuan-bantuan yang bikin kita sukses di dunia politik. Misalnya, “Oh, masuk politik itu penting membawa program kerja dan idealisme. Itu aja yang penting, membawa hati dan dengkul, kemampuan untuk turun ke bawah dan bertarung di masyarakat”. Bohong rasanya kalau ada politisi yang bilang, mencalonkan diri jadi anggota DPR dan melangsungkan kerja-kerja politik tidak ada biayanya, itu sudah pasti politisi bohong. Karena yang benar pasti menggunakan biaya dan bukan buat ngasih warga uang, tapi paling tidak untuk membiayai relawan-relawan bekerja, nggak mungkin dong nggak dikasih uang transportasi. Ketemu warga itu air putih yang dari box, kan, ada harganya juga. Semua itu butuh harga, semua itu butuh biaya."
 
     "Jadi kalau disuruh masuk politik, tapi nggak mau dibantu dan nggak mau di monitoring dan nggak mau dikaderisasi itu nggak benar. Jadi itu yang mau saya katakan adalah kita tidak boleh naif, tapi kita harus menggunakan kemampuan kita sebagai anak muda dan perempuan untuk mendorong sistem politik kita berubah dan baru kita terjerumus dan bertarung dengan fair. Politik kita itu perlu penerangan, tetapi cara terbaik untuk melawan sebuah mindset yang buruk adalah dengan sebanyak-banyaknya orang yang peduli dengan politik.  Karena situasi politik kita tadi kalau kembali kepada persoalan maskulinitas dan lain-lain itu sangat tidak ideal untuk perempuan dan tidak idealnya bukan hanya dari segi para elite politik, tapi  tidak ideal juga dari segi publik sendiri. Kalau ada politisi perempuan yang maju jadi anggota DPR dan maju jadi anggota kepala daerah dan misalnya dilihat dari track record dan sebagainya, yang orang-orang pikirkan itu bukan itunya dulu, bukan rekam jejaknya, bukan programnya, tapi pertanyaan yang sering ditanyakan oleh publik ke politisi perempuan adalah: kira-kira rumah tangganya sudah benar atau belum? Jadi ditanya urusan domestiknya dulu karena dianggap urusan domestik adalah tugas nomor satu perempuan."
 
     "Kemampuan bekerja di publik itu ekstra. Kalau urusan rumah tangga dan domestik nggak bener, seolah-olah perempuan ini nggak punya hak untuk maju di ruang publik, tapi kalau politisi laki-laki mana peduli, ya kan, karena seolah-olah urusan domestik, bukan urusan laki-laki, itu urusan perempuan. Belum lagi kalau misalnya debat-debat politik, isu-isu yang kontroversial, kalau ada dua laki-laki politisi berdebat, dikata-katain jahat, tetapi terpusat pada apa yang ia katakan. Kalau politisi perempuan berdebat yang pertama kali disorot, media berbicara, itu adalah cara berpakaiannya, gaya dandannya, dan berbagai macam hal yang dibutuhkan sebagai perempuan. Jadi ini standar-standar ganda, standar ekstra yang diberikan pada perempuan dan tidak dilakukan  pada laki-laki itu membuat perempuan sendiri itu berhenti di tengah jalan. Nggak semua orang itu punya kemampuan secara mental untuk lanjut terus dan itu sesuatu yang nggak perlu dinormalisasi. Jadi dulu, ya, Mba Dini dan semua ketika saya di politik, banyak elite-elite politik yang ngajar konsekuensi politik. Jadi kita seharusnya menerima sebagai perempuan konsekuensi politik. Tapi menurut saya itu suatu hal yang nggak boleh dinormalisasi. Kalau laki-laki, politisi laki-laki, tidak menerima itu semua, kenapa politisi perempuan harus menormalisasi dan menerima semua itu? Nah, makanya sebenarnya cara terbaik dalam melakukan itu semua adalah melawan, gitu kan. Melawan dengan cara-cara kita memberikan informasi yang utuh di media sosial dan melawan dengan cara-cara men-support. Meskipun misalnya nih, per hari ini tuh kadang-kadang suka agak pesimis dengan women support women, Mba."
 
     "Karena gini, saya tuh percaya banget dengan solidaritas perempuan. Tapi pagi ini tuh saya dikecewakan lagi gara-gara ngeliat video di KRL. Mungkin kalau ada temen-temen semua yang liat pagi ini, jadi ada satu perempuan yang sedang sakit haid gitu ya. Dan sakit banget, gitu. Jadi dia tiduran di kursi KRL yang kosong gitu. Dan ada perempuan lain yang memvideokan terus ngetawain. Emang ini kereta punya lo? Kursinya punya lo? Gitu kira-kira. Maksudnya, kita bisa berdebat ya apakah itu layak apa enggak, kursi KRL harusnya nggak boleh ditidurin apa engga. Tapi fakta bahwa ada seorang perempuan menertawakan rasa sakit perempuan lain terus membagikan itu dan menertawakan itu... itu menurut saya udah membantah dan mengacaukan berbagai macam konsep dan kepercayaan kita tentang solidaritas sesama perempuan. Jadi kalau ditanya edukasi semacam apa yang harus dilakukan kepada kita, gitu ya, sesama perempuan, gitu ya, tapi pada saya sendiri. Ya paling tidak kita support dulu nih perempuan-perempuan yang maju di politik. Karena banyak dari yang komentar-komentar negatif terhadap perempuan di politik itu bukan datang dari laki-laki saja, tapi dari perempuannya sendiri. Jadi kalau kita bisa sama-sama support, sama-sama mendorong perempuan-perempuan yang bagus, yang kompeten di dalam politik maupun di ranah publik gitu ya, saya kira itu sebuah step yang sangat maju gitu dibanding kita muluk-muluk mencoba untuk mengubah sebuah sistem."
 
Daru:
     "Waduh, ternyata nih ya, praktik tokenisme dalam politik masih terjadi. Sayang sekali ya, padahal konstitusi kita sudah memfasilitasi perempuan untuk maju ke ruang politik melalui kebijakan kuota 30%. Tapi, iklim politik yang belum ideal di tataran partai masih menyulitkan politikus perempuan muda. Semoga nih ya, pada Pemilu 2024, hal ini bisa sedikit demi sedikit teratasi. Ngomongin kaum muda di kampus nggak afdol kalau nggak mengundang aktivis mahasiswa. Di sini, Zeni Tri Lestari, hadir sebagai perwakilan mahasiswa. Zeni Tri Lestari adalah mahasiswi FISIP Universitas Indonesia. Zeni aktif pada berbagai gerakan aktivisme pemuda di dalam dan di luar kampus. Salah satu bentuk advokasinya adalah menjadi anggota Panitia Seleksi Satgas PPKS Universitas Indonesia. Zeni juga tengah menjabat sebagai anggota Unsur Mahasiswa Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual FISIP Universitas Indonesia. Zeni, the mic is yours!"
 
Zeni:
     "Mungkin yang aku sharing adalah di kampus aku, di FISIP UI, di kampus sebelah, tetangga. Jadi di tahun 2021 awal, saat Covid mulai masuk. Di saat Covid, kita masuk ke pembelajaran jarak jauh ya teman-teman. Di online itu, posisinya aku masih mahasiswa baru ya, masih angkatan pertama. Di situ kita nggak ada yang mikir dan nyangka bahwa kekerasan seksual, walaupun kita nggak ketemu nih, nggak masuk kelas offline, kita nggak masuk ke kampus, tetep bisa terjadi dan angkanya tuh sangat banyak. Aku bersama temen-temen di BEM FISIP UI akhirnya bikin semacam wadah pengaduan gitu ya, wadah pengaduan dan pendampingan untuk korban kekerasan seksual. Tapi di sisi lain, kita juga menyadari kalau penanganan kekerasan seksual ini hambatannya ada di regulasi. Siapa yang mendefinisikan KS di UI? Siapa yang mengatakan kalau ada KS yang terjadi di UI akan diapakan? Itu belum ada saat itu ya--2021."
 
     "Akhirnya kita juga melakukan advokasi peraturan ke Dekan di fakultas. Ini sejalan dengan advokasi-advokasi regulasi lainnya di tingkat universitas juga, itu banyak terjadi, tapi aku sharing yang fakultas ya, yang aku dan temen-temen jalankan. Kita akhirnya mendorong, ini kalau misalnya KS banyak terjadi di FISIP UI tapi nggak aada regulasinya, terus penanganannya akan jadi ke mana, gitu? Akhirnya cuma jadi omongan sana-sini, cuma jadi bahan gosip di temen-temen angkatan, tapi korbannya nggak dibantu. Korbannya nggak mendapatkan pemulihan sebagaimana dia seharusnya mendapatkan itu. Akhirnya advokasi kebijakan itu, tapi nggak gampang ya tentunya. Bahkan di fakultas yang menurut aku, di FISIP itu kan belajar ya, pengantar sosiologi. Kesetaraan gender. Masih ada komentar-komentar, bahkan dari dosennya pun sendiri, yang meragukan bahkan menanyakan pakaian korban itu seperti apa gitu. Aku kaget ya sebagai mahasiswa FISIP, kaya "Ini kan yang kita pelajarin di kelas, nggak sih? Bahwa kita nggak boleh tuh, apa, menyangsikan kesaksian korban dari pakaiannya, tapi itu mulutnya--eh, dari dosen--dari mulut dosen sendiri yang aku denger ya saat audiensi itu."
 
     "Kita minta ke Dekan, "Tolong dong, Pak, bikinin peraturan soal penanganan kekerasan seksual di kampus, karena selama ini kita nggak punya, tapi kasusnya itu banyak banget". Dalam jangka 8 bulan, itu di atas 10 kasus. 8 bulan ya, bukan satu tahun. Dan itu kondisinya PJJ--Pembelajaran Jarak Jauh. Kita bisa bayangkan, pasti ada angka yang mungkin munculnya itu lebih banyak kalau kondisinya kita tatap muka belajarnya. Akhirnya diadvokasi berhasil di tahun kedua. Jadi advokasinya nggak audiensi sekali doang terus berhasil. Kita coba lagi yang kedua kali, kemudian Dekan menyambut dengan baik, sampai harus pergantian dekan dulu baru dilahirkanlah Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di FISIP UI itu sendiri. Itu salah satu aktivisme yang panjang banget ya perjalanannya, bisa dibilang 3 tahun. Jadi, tahun pertama aku kuliah, masih resah-resah doang nih melihat banyak korban. Tahun kedua mulai audiensi, mulai mendampingi korban. Tahun ketiga akhirnya peraturannya disahkan dan dibentuk komite. Dan tahun keempat, sekarang aku tinggal skripsian sih. Gitu Mba, itu aktivisme yang perjalanannya tuh jauh banget, susah banget kayanya, buat satu regulasi doang nih. Padahal, ini buat kebutuhan mahasiswanya sendiri gitu. Kita pengen di kampus belajar dengan aman, dengan nyaman, kalau bisa nggak usah ada ancaman-ancaman kekerasan seksual dari--baik dari sesama mahasiswa, dari dosen, dan dari tendik atau lingkungan yang lain, kalau bisa nggak ada. Itu untuk kebaikan bersama aja sesulit ini advokasinya."
 
     "Sudah memuaskan atau belum? Sangat belum memuaskan. Karena ketika ngomongin advokasi, itu kita ngomongin bagaimana power yang ada itu bisa diberikan untuk kepentingan-kepentingan--dalam kasus aku--kepentingan korban kekerasan seksual, gitu kan ya. Orang-orang yang in power mau mengambil posisi yang in power itu tentu melalui proses politik dong. Nah, tadi aku cerita aku bareng temen-temen BEM. Nah, kita juga bisa recognize nih, salah satu wadah yang ada di kampus--bisa dibilang student government ya, BEM itu--bisa jadi salah satu wadah bagi kita untuk berpolitik dan mencapai tujuan politik kita. Misalnya untuk kepentingan perempuan dan kelompok minoritas lain. Tapi aku mau nanya dulu nih, temen-temen, biar nggak ngantuk. Ada yang bisa nggak nyebutin satu nama ketua BEM Universitas Indonesia yang perempuan? Ada nggak? So far, dari 15 BEM yang ada di Universitas Indonesia, ketua yang perempuan itu cuma ada tiga. Tiga doang, lho. Itu kaya... satu tangan. Dan lima belas--setengahnya lima belas--tujuh deh yang perempuan! Ini bahkan nggak mencapai sebagian, gitu. Jadi kita bisa lihat, wadah-wadah politik formal yang ada di kampus at least di Badan Eksekutif Mahasiswa, itu juga mengalami krisis kepemimpinan perempuan."
 
     "Dan--oh iya--aku juga belum bilang ya tadi pas kita ngobrol. Kalau ada yang belum tahu, aku juga pernah mencalonkan diri menjadi ketua BEM FISIP tapi mundur. Ini ada constrain juga nih ketika pemimpin perempuan, bahkan untuk mencalonkan diri aja, itu constrain-nya besar sekali. Apalagi udah menjadi ketua BEM-nya. Itu salah satu pengalaman juga ya yang menurutku cukup berharga. Dan aku bisa bilang, krisis kepemimpinan perempuan di wadah politik formal di kampus, itu adalah puncak dari berbagai fenomena yang kita alami. Tadi Mba Tsamara cerita soal komentar tentang tubuh di perempuan. Kalau di kampus, sepengalamanku, constrain-nya--kalau ada orang mau mencalonkan diri menjadi pemimpin di kampus, setidaknya dari pengalamanku. Bukan cuma dia harus punya strategi, bukan cuma dia harus punya inovasi, mau bawa apa nih di kepengurusan dia, di kepemimpinan dia, tapi di satu sisi dia juga harus punya tugas lebih untuk meyakinkan bahwa dia sebagai perempuan itu bisa memimpin. Karena masyarakat di kampus mempertanyakan, perempuan tuh bisa mimpin nggak sih? Tapi kalau calonnya laki-laki, nggak ada muncul pertanyaan, oh dia laki-laki nih, apakah dia bisa mimpin? Kita nggak pernah nanya gitu. Tapi ketika calonnya perempuan, itu mulai muncul. "Emangnya perempuan bisa jadi ketua BEM?" kaya gitu."
 
Daru:
     "Gimana tuh, wahai mahasiswi? Apakah yang disampaikan Zeni sesuai dengan realita yang kalian hadapi? Sebagai perempuan, kok kayanya susah banget ya untuk mengajukan diri sebagai pemimpin. Padahal kita sama-sama kompeten dan berintegritas, lho. Untuk mahasiswa Indonesia, baik yang laki-laki, perempuan, atau nonbiner, yuk kita tanamkan kesetaraan buat kita semua, meskipun kita berbeda-beda. Embrace Equity, seperti tema IWD tahun ini, yakni merangkul keberagaman. Mari kita bersama-sama bergerak menjadi masyarakat yang setara dan adil."
 
     "Oh iya, kira-kira gimana ya seorang akademisi filsafat perempuan melihat hal ini? Selanjutnya, yuk kita mendengar paparan dari Mbak Ikhaputri Widiantini alias Mbak Upie. Mbak Upie adalah seorang Dosen di jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Mba Upie memiliki kepakaran pada bidang Feminisme, Estetika, dan Metafisika. Selain mengajar nih, Mba Upie juga ikut turut terjun ke dalam advokasi anti kekerasan seksual. Kita simak yuk!"
 
Upie:
     "Ada pertanyaan yang ingin saya tanyakan dulu kepada teman-teman. Teman-teman tuh mendefinisikan berpolitik itu apa sih? Apa sih berpolitik itu? Setiap hari kita berpolitik, lho. Kalian negosiasi dengan orang tua kalian untuk mendapatkan uang jajan. Saya akan barter dengan nilai yang baik di akhir nanti, supaya dapet uang jajan, itu kalian sedang bernegosiasi. Itu salah satu kegiatan berpolitik. Yang sebenarnya dibenci, yang selalu diungkapkan oleh kalian-kalian lah, kita semua, ketika mengungkapkan "Ih saya benci banget politik!" itu bukan berpolitiknya. Kamu berpolitik. Yang sebenarnya kalian takuti itu adalah masuk ke ranah politik praktis. Tapi, begitu mengeluh, nomor satu kalian. Untuk bisa menyampaikan keluhan tersebut, ini sudah ada contoh yang ditawarkan oleh kawan-kawan di depan. Masuklah ke politik praktis."
 
     "Bahkan sebagai masyarakat sipil pun kita punya hak untuk berpolitik praktis. Yang paling sederhana adalah memanfaatkan hak pilih kita. Jadi hak pilih itu, di luar masalah kalian merasa bahwa "Ya tapi kan golput itu hak juga", oh enggak! Hak memilih itu, yang harus kita pahami, yang pertama yang dimiliki oleh warga negara untuk terlibat dalam kegiatan politik yang lainnya. Ini ibaratnya nih, kalau kita contohkan, kalian dapat tawaran, dapat tugas, untuk kerja bakti di komplek. Itu kan bukan hak ikut atau enggak. Tapi kan kalian pasti ikut karena itu kegiatan bersama di komplek, tapi kalian punya hak mau memilih kerja apa. Sama seperti kalian punya hak pilih. Jadi pertama adalah memahami bahwa kita semua itu berpolitik. Baru kita kemudian bicara apakah aktivitas yang ingin kalian lakukan sejauh mana. Termasuk berorganisasi, termasuk apresiasi terhadap tokoh-tokoh yang ada di dalam lingkungan politik, terutama perempuan-perempuan yang kemudian masuk sebagai kelompok minoritas, itu adalah bentuk apresiasi politik."
 
     "Saya kemudian mencoba merefleksikan dari cerita kawan-kawan, dari pengalaman kawan-kawan. Bagaimana Zeni berusaha dengan keras untuk bicara tentang penanganan kekerasan seksual, kemudian ada dari Tsamara yang kita juga mengikuti sekali gitu kiprahnya karena jarang-jarang ada tokoh perempuan yang kemudian muncul tanpa ada latar belakang dari siapa, gitu kan. Tiba-tiba muncul dan kemudian punya pendapat, tapi lucunya yang kemudian diperhatikan tadi juga sudah disampaikan oleh Mba Tsamara--yang diserang itu personalnya. Jadi tidak pernah saya temukan satu komentar pun yang bicara tentang pemikirannya. Tapi kemudian yang dipersoalkan adalah: anak muda tahu apa? Kamu perempuan! Dan lain sebagainya."
 
     "Jadi saya mengikuti betul--sampai baca komen tentang jualan Netflix pada akhirnya, gitu kan. Itu mengesalkan sekali. Lho, poinnya kan tentang pemikiran politiknya, tentang ideologinya, kenapa begitu kita bicara dengan perempuan, yang dipersoalkan adalah masalah-masalah yang sifatnya domestik? Tadi udah disampaikan. Jadi, Mba Dini pun tadi juga menunjukkan bahwa antusiasmenya tinggi, saya juga percaya sebenarnya, antusiasme tinggi. Tetapi kecemasan yang luar biasa itu yang membuat banyak perempuan takut untuk masuk ke ruang politik praktis. Jadi saya kemudian melihat, problemnya apa ya? Pertama adalah ada norma sosial yang terlalu kental, yaitu budaya patriarkal. Yang kemudian meminggirkan perempuan dan terlanjur membuat stigma terhadap perempuan. Sehingga muncul problem kedua: pola pikir misoginis. Begitu perempuan yang muncul, yang dilihat adalah, "Woah, perempuan! Wow perempuan!", "Ada politisi yang cantik!". Jadi orang nggak dilihat politisi yang bicara apa, tapi tapi politisi yang cantik, pakaian yang menarik. Jadi orang diarahkan melihat pakaiannya. Tadi sudah disampaikan dengan sangat baik. Jadi, pola pikir misoginis. Misoginismenya di mana? Itu kan nggak membenci perempuan? Orang itu memuji perempuan kan, pakaiannya, cantiknya--kan selalu ada yang bilang, saya pernah mendengar, "Jangan suka salah pikir kalau dipuji atau digoda, itu sih dipuji". Oh nanti dulu, tujuan dia memuji apa? Tujuan dia, untuk merendahkan posisinya. Jadi ada relasi kuasa yang masuk di sana. Jadi misoginisnya kerasa sekali, bahwa ketika perempuan yang bicara, ketika perempuan yang tampil gitu kan, mengajukan diri, mencalonkan diri untuk jadi ketua BEM, yang kemudian dipersoalkan adalah keperempuanannya. Nah itu di situ tuh misoginismenya. Nah, akibatnya apa? Kuranglah pengarusutamaan terhadap perempuan di sektor publik. Padahal ini udah digembar-gemborkan kan, tentang pengarusutamaan perempuan. Saya kasih satu contoh lah. Ini mungkin orang akan pikir, "Apa kaitannya sama politik praktis?".
 
     "Hal yang paling kecil itu bisa kita kaitkan nantinya ya, ketika belajar filsafat, berapa nama filsuf perempuan sih yang kalian kenal? Saya dari filsafat soalnya. Tokoh perempuan aja deh. Psikolog perempuan? Psikoanalis perempuan? Berapa nama sih yang dikenal? Berapa banyak? Dari pemikir Yunani itu ada berapa nama pemikir perempuan sih yang pernah muncul? Paling Hypatia lagi, Hypatia lagi, gitu kan. Diotima? Ptolemais? Banyak sebenarnya. Tapi, mindset-mindset tadi itu menunjukkan kita kurang memberikan keutamaan dan kredit terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Jadi, munculnya jadi banyak tuh, hanya karena tidak mengakui aja. Terus lanjutannya, saya perhatikan, kurang sekali ada fasilitas untuk perempuan. Saya tahu sekali ketika saya dulu di Jurnal Perempuan di era-era 2009 itu, beberapa kali saya mendapatkan informasi dan data, banyak perempuan yang jadi nggak bisa ikut rapat tengah malam. Karena harus ngurus rumah. Kalo dia muncul, pertanyaan yang diberikan ke dia adalah, "Lho, yang ngurus anak siapa?". Lah, ada suaminya. Emang pas bikin si istri sendirian, gitu kan? Hebat sekali, gitu kan. Suaminya ke mana? Itu kan jadi dipertanyakan."
 
     "Terus fasilitas. Apakah ada--di sektor publik--itu tempat yang layak untuk penitipan anak. Kalau memang perempuannya tetap yang mau bawa anaknya. Belum tentu ada. Jadi kan dia jadi berpikir lagi. Kalau saya tetap ingin berkegiatan di ruang publik, ada nggak nih fasilitas buat saya? Itu untuk yang punya anak. Sekarang yang single deh. Sekarang kalian kan akan mikir, kan yang single juga banyak. Jam pulang malam, dini hari, suruh jalan sendirian, saya sih nggak tenang. Yang sebenarnya laki-laki pun harus sama tidak tenangnya, kan bukan berarti di atas jam 9 malam semua laki-laki jadi Superman, kan, nggak juga. Jadi sama sebenarnya. Fasilitas-fasilitas itu perlu dipikirkan."
 
     "Misalnya nih, kalau kaya di kampus aja. Kan yang paling sederhana kampus deh. Apakah ada fasilitas yang menyediakan pembalut untuk perempuan di kamar mandinya? Tidak ada. Kalau dibilang boleh minta gitu misalnya, mau minta ke siapa? Kan malu duluan. Kadang-kadang rasa malu stereotipe itu juga muncul lagi. Terakhir adalah, tidak ada perlindungan dan jaminan hukum. Kebijakan-kebijakan itu sejauh mana? Sudah bagus sekarang kita dengar ada Permendikbud, Undang-Undang TPKS, misalnya. Tapi kan perjuangannya jauh sekali itu. Dan sekarang tinggal pelaksanaannya. Jadi, lima hal tadi saya perhatikan, yang kemudian menjadi masalah kenapa perempuan begitu takut untuk masuk ke politik praktis. Pun dia punya keberanian, punya support atau tidak? Itu yang perlu kita pertimbangkan."
 
Daru:
     "Sahabat dan Kaum Muda, paparan dari Mba Upie relate banget, nggak sih? Apalagi, sebagai perempuan, kita sering sekali dipinggirkan. Bahkan sesederhana di kelas nih, kenapa ya yang dimajukan untuk jadi ketua kelas selalu laki-laki? Padahal perempuan juga bisa, lho. Di beberapa kesempatan, malah perempuan lebih telaten dan lebih cocok jadi pemimpin. Kita harus sama-sama meruntuhkan bias ini nih di lingkungan terdekat kita. Sahabat dan Kaum Muda, terima kasih sudah mengikuti rangkaian kegiatan kami di IWD 2023! Tahun ini, perayaan IWD berkesan banget ya, karena ini kala pertama kita bisa merayakan IWD setelah adanya pandemik Covid. Namun, podcast JP nggak akan berhenti tayang, kok. Sahabat dan Kaum Muda bisa banget membisikkan tema menarik yang bisa kita bahas di podcast selanjutnya, lho. Kasih tahu lewat kolom komentar ya! Sampai jumpa lagi di podcast selanjutnya. Bye-bye!"
 
**Podcast ini merupakan kolaborasi antara Jurnal Perempuan dan Plan Indonesia bersama Australian Volunteers Program. Salam pencerahan dan kesetaraan!
0 Comments



Leave a Reply.

    Podcast JP

    Selamat datang di Podcast JP!

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025