Undangan Menulis
TOR JP 87 November 2015
Tenggat tulisan: 15 Juni
Tenggat tulisan: 15 Juni
Seksualitas Gender Ketiga
Komisi Internasional IGHLCR (The International Gay and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC) merupakan satu organisasi penting di bawah PBB yang menangani pelanggaran HAM atas gender ketiga (kerap disebut sebagai lesbian, gay, biseksual, interseks, transgender atau SOGI-Sexual Orientation and Gender Identity). Badan ini merupakan salah satu badan konsultasi yang diakui PBB dan didirikan di tahun 1990. IGHLCR juga berkontribusi pada pembentukan Yogyakarta Principles in Action di tahun 2010. Dalam pengantar aksinya hal 6 dinarasikan: “We all have the same human rights. Whatever our sexual orientation, gender identity, nationality, place of residence, sex, national or ethnic origin, colour, religion, language, or any other status, we are all equally entitled to our human rights without discrimination. These rights—interrelated, interdependent, and universal—are shared by each one of us." Pada aksi tersebut diakui dengan jelas keberadaan HAM atas gender ketiga.
Seringkali bias kekerasan atas gender ketiga dikarenakan mereka dituduh sebagai perihal baru dan ‘barat’, yang pada kenyataannya dalam struktur tradisional masyarakat mana pun, akan dapat ditemui dengan mudah eksistensi gender ketiga. Di Indonesia, di kalangan komunitas Bugis, bahkan dikenal setidaknya ada lima gender yang berbeda. Yang analog sama adalah oroane (laki-laki) dan makkunrai (perempuan), dan tiga lainnya disebut sebagai bissu, calabai, dan calalai. Bissu mewakili aspek perempuan dan laki-laki, yang menjadi pemimpin spiritual setelah naik haji. Calabai mewakili aspek terlahir sebagai laki-laki dan kemudian menjadi perempuan. Sedang Calalai mewakili aspek yang terlahir sebagai perempuan dan kemudian menjadi laki-laki. Di samping tuduhan tersebut, tuduhan yang kerap ada adalah sebutan “sakit-jiwa” atas gender ketiga, padahal WHO, organisasi kesehatan dunia, telah menyatakan bahwa gender ketiga bukan fenomena sakit jiwa.
Dalam bukunya Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (London: Routledge, 1999), Judith Butler menarasikan bahwa “Cultural configurations of sex and gender might then proliferate or, rather, their present proliferation might then become articulable within the discourses that establish intelligible cultural life, confounding the very binarism of sex, and exposing its fundamental unnaturalness. What other local strategies for engaging the ‘unnatural’ might lead to the denaturalization of gender as such?” (hal 190). Butler melemparkan kemungkinan yang melampui binerisme, pada sesuatu yang kemudian manusia dapat menyebutnya sebagai alamiah. Teori Queers merupakan salah satu persebaran dari teori-teori kritis pos-strukturalis yang lahir pada tahun 1990-an dan disokong secara kuat dalam filsafat feminisme. Di samping Butler, teori ini juga dibangun oleh nama-nama seperti Lauren Berlant, Leo Bersani, Lee Edelman, Jack Halberstam, David Halperin, Jose Esteban Munoz, Eve Kosofsky Sedgwick, dan lain-lain. Diskursus ini dibangun dari pergulatan feminisme dalam melawan ide bahwa gender merupakan entitas esensialis-diri yang dibentuk dan dikonstruksi secara sosial, yang kemudian melahirkan identitas seksual. Teori ini mendenaturalisasi apa-apa yang normatif dan apa-apa yang disebut sebagai ‘melenceng’ dari kodrat alam. Queer berfokus pada sirkulasi jenis kelamin, gender dan hasrat. Tak hanya itu, ia juga membahas perihal cross-dressing (cara berpakaian berbeda dari ‘kodrat’ gender), interseksualitas, ambiguitas gender dan operasi kelamin. Teori ini kurang begitu berkembang dalam kajian-kajian di Indonesia, meskipun telah ada, tetapi tidak sebanyak kajian-kajian wanita.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas tujuh aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 15 Juni 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP87 (yaitu: Seksualitas, Gender Ketiga), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), daftar pustaka, narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Seringkali bias kekerasan atas gender ketiga dikarenakan mereka dituduh sebagai perihal baru dan ‘barat’, yang pada kenyataannya dalam struktur tradisional masyarakat mana pun, akan dapat ditemui dengan mudah eksistensi gender ketiga. Di Indonesia, di kalangan komunitas Bugis, bahkan dikenal setidaknya ada lima gender yang berbeda. Yang analog sama adalah oroane (laki-laki) dan makkunrai (perempuan), dan tiga lainnya disebut sebagai bissu, calabai, dan calalai. Bissu mewakili aspek perempuan dan laki-laki, yang menjadi pemimpin spiritual setelah naik haji. Calabai mewakili aspek terlahir sebagai laki-laki dan kemudian menjadi perempuan. Sedang Calalai mewakili aspek yang terlahir sebagai perempuan dan kemudian menjadi laki-laki. Di samping tuduhan tersebut, tuduhan yang kerap ada adalah sebutan “sakit-jiwa” atas gender ketiga, padahal WHO, organisasi kesehatan dunia, telah menyatakan bahwa gender ketiga bukan fenomena sakit jiwa.
Dalam bukunya Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (London: Routledge, 1999), Judith Butler menarasikan bahwa “Cultural configurations of sex and gender might then proliferate or, rather, their present proliferation might then become articulable within the discourses that establish intelligible cultural life, confounding the very binarism of sex, and exposing its fundamental unnaturalness. What other local strategies for engaging the ‘unnatural’ might lead to the denaturalization of gender as such?” (hal 190). Butler melemparkan kemungkinan yang melampui binerisme, pada sesuatu yang kemudian manusia dapat menyebutnya sebagai alamiah. Teori Queers merupakan salah satu persebaran dari teori-teori kritis pos-strukturalis yang lahir pada tahun 1990-an dan disokong secara kuat dalam filsafat feminisme. Di samping Butler, teori ini juga dibangun oleh nama-nama seperti Lauren Berlant, Leo Bersani, Lee Edelman, Jack Halberstam, David Halperin, Jose Esteban Munoz, Eve Kosofsky Sedgwick, dan lain-lain. Diskursus ini dibangun dari pergulatan feminisme dalam melawan ide bahwa gender merupakan entitas esensialis-diri yang dibentuk dan dikonstruksi secara sosial, yang kemudian melahirkan identitas seksual. Teori ini mendenaturalisasi apa-apa yang normatif dan apa-apa yang disebut sebagai ‘melenceng’ dari kodrat alam. Queer berfokus pada sirkulasi jenis kelamin, gender dan hasrat. Tak hanya itu, ia juga membahas perihal cross-dressing (cara berpakaian berbeda dari ‘kodrat’ gender), interseksualitas, ambiguitas gender dan operasi kelamin. Teori ini kurang begitu berkembang dalam kajian-kajian di Indonesia, meskipun telah ada, tetapi tidak sebanyak kajian-kajian wanita.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas tujuh aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Apa dan bagaimana gender ketiga? SOGIEB? LGBTIQ? Bagaimana sejarahnya? Apa arti penting ratifikasi itu sebagai sumber dan peta menuju keadilan bagi mereka?
- Apa dan bagaimana instrumen hukum internasional, ratifikasi nasional atas instrumen internasional yang melindungi gender ketiga? Apa saja? Bagaimana sejarahnya? Apa arti pentingnya?
- Bagaimana kabar pelanggaran HAM atas gender ketiga di Indonesia? Apa penyebabnya? Bagaimana mekanisme mempertahankan diri (defence-mechanism)?
- Bagaimana kabar Platform Aksi Beijing? Bagaimana dengan Beijing+20? Bagaimana sikap penolakan pemerintah atas SOGIEB pada November 2014? Kemajuan? Kemundurannya?
- Bagaimana perkembangan sejarah teori Queer? Gender trouble? Bagaimana pemikir dan sarjana mutakhir mendiskusikan temuan-temuan mereka?
- Bagaimana rekomendasi kebijakan dan hukum untuk mengatasi persoalan-persoalan visibilitas gender ketiga? Bagaimana strategi budaya gender ketiga?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 15 Juni 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP87 (yaitu: Seksualitas, Gender Ketiga), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), daftar pustaka, narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan