JP 82: Politik, Agama dan Status Perempuan
Deadline 25 Juni 2014
Kirim ke [email protected]
Asia adalah rumah bagi 60 persen lebih penganut agama-agama mayoritas sekarang seperti Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Islam, dan banyak aliran kepercayaan dan keyakinan lainnya. Dan Indonesia adalah rumah dari penduduk Muslim terbesar di dunia. Asia tenggara khususnya memiliki karakter yang kuat sekali dalam perbedaan lanskap kebudayaan dengan konstelasi politik, ekonomi, demografi dan tradisi sosial yang sangat beragam. Aliran kebudayaan transversal bersinggungan dengan aliran agama seringkali mengawinkan kelompok-kelompok etno-relijius. Dan dalam hal ini, modernitas menyumbang kelahiran dari fundamentalisme agama dalam politik kenegaraan. Dan korban paling nestapa dari kelahirannya adalah perempuan dan para Liyan. Lanskap baru ini mempengaruhi dan memberikan konstribusi pada bagaimana perempuan menggunakan agensinya, menggunakan ruang untuk melakukan manuver dalam arena publik yang bersifat strategis dan politis. Prediksi bahwa sekularisme akan tetap bertahan dan berkuasa dalam pertumbuhan kehidupan negara dan politik di Asia Tenggara pada dekade terakhir dipatahkan oleh semakin besarnya pengaruh agama terhadap negara melalui partai politiknya, terutama Indonesia dan Malaysia. Agama tidak hanya merangsek dalam arena publik tetapi juga masuk dalam proses-proses dan pokok-pokok peristiwa politik dan kenegaraan. Lalu bagaimana implikasinya bagi kehidupan politik dan sosial? Banyak feminis ragu dan tak percaya karena yang memenangkan dan menguasai kursi-kursi politik dan parlemen adalah tafsir-tafsir agama yang misoginis dan tak ramah pada Liyan. Fragmentasi politik dan misoginisme baru bermunculan dalam wajah politik dunia. Bahkan institusi hegemonik seperti negara dan pasar telah diubah oleh agama umat tertentu dan kemudian banyak penganut agama lain sangat dirugikan karenanya.
Indonesia adalah rumah terbesar bagi populasi Muslim di dunia, dengan hampir 90 persen dari 240 juta penduduk mengidentifikasikan diri mereka sebagai Muslim. Meskipun Indonesia menjadi salah satu contoh terbaik praktek Islam moderat dan progresif, akan tetapi wajah-wajah tafsir yang tak ramah pada perempuan, minoritas seksual, etnis minoritas dan kelompok rentan lainnya masih mewarnai perjalanannya pada dekade terakhir. Tahun 1980-an merupakan tahun kebangkitan bagi revivalisme Islam di Indonesia, kemudian berkembang dengan pesat setelah jatuhnya rejim otoriter Orde Baru, Soeharto di tahun 1998. Partai-partai politik berbasis Islam (seperti PPP, PKB, PKS, dan lain-lain) berdiri dan sampai sekarang kuat menancapkan pengaruhnya dalam sistem politik dan kenegaraan di Indonesia. Meskipun perolehan suara di Pemilu Legislatif 9 April kemarin mereka mengalami penurunan, tetapi isu agama dan politik tetap tidak bisa dipisahkan dalam urusan kenegaraan. Tak hanya di pusat, sejak tahun 2001 Daerah Istimewa Aceh merupakan salah satu contoh ekstrem dimana perempuan kemudian banyak dikebiri hak-haknya melalui Qanun Syariah—berbeda jauh dari jaman Cut Nyak Dien dimana perempuan jauh lebih merdeka dan perkasa. Perempuan Aceh kini banyak sekali dibatasi dari cara berpakaian, berkendaraan, berada di ruang publik, sampai cara perempuan berswara dan tertawa pun juga diatur. Kecurigaan besar atas tafsir tak ramah gender yang masuk dalam diskursus politik ini bukan tanpa alasan. Kerja keras perempuan dalam dua organisasi massa Islam terbesar Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah untuk menampilkan wajah Islam yang tidak misoginis terbengkalai dan dipukul mundur oleh wajah tafsir baru yang tak lagi ramah pada para Liyan.
Banyak sekali contohnya seperti drama dan pertunjukkan poligami oleh Partai Keadilan Sejahtera yang jauh lebih banal daripada praktek serupa di era Orde Baru atau praktek korupsi dengan label halal misalnya. Lelaki alim sekaligus politisi tak lagi malu-malu mempertontonkan keempat istrinya di banyak media. Revivalisme Islam dalam politik, seperti dalam temuan Susan Blackburn dalam bukunya Women and the State in Modern Indonesia (Cambridge University Press, 2004) justru menambah beban terhadap perempuan dan memperlihatkan wajah diskriminatifnya yang kentara. Setiap kali didiskusikan agama dan politik, maka aspek stabilitas dan pertahanan merupakan pokok pertama yang dibicarakan. Sedangkan nasib perempuan dan para Liyan seringkali diabaikan. Tugas dari kajian Jurnal Perempuan pada edisi kali ini adalah untuk mengembangkan kajian analitik untuk mempertanyakan posisi agama dalam politik dan negara secara ontologis; serta memetakan konsekuensi dan implikasinya bagi kesetaraan gender dan keadilan bagi para Liyan—kelompok rentan. (dc)
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas beberapa aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
1. Bagaimana relasi agama (Islam) dan politik dalam praktek kenegaraan? Bagaimana sikap sarjana politik terhadap agama? Bagaimana sikap sarjana agama terhadap politik? Apakah agama perlu masuk dalam politik? Ataukah tidak perlu sama sekali? Apakah agama kemudian berbahaya bagi warga negara secara umum karena sifatnya yang spesifik bagi umat tertentu?
2. Bagaimana tafsir agama (Islam) atas politik dan kenegaraan? Bagaimana Islam meletakkan perempuan? Bagaimana Islam meletakkan kelompok rentan (minoritas seksual, kelompok difabel, miskin perkotaan, etnis minoritas, dan lain-lain).
3. Bagaimana Etik Islam (secara ontologis) dalam memandang posisi dan status perempuan dalam Politik? Bagaimana sejarah Islam atas partisipasi politik perempuan kontemporer secara global? Bagiamana Dunia Islam kontemporer memperlakukan perempuan secara politik? Apakah mereka subjek politik? Atau objek politik?
4. Bagaimana realitas partai politik di Indonesia yang berbasis Islam seperti PPP, PKS, PKB? Bagaimana sikap mereka terhadap perempuan? Apakah kemajuan yang mereka capai? Bagaimana kemunduran dan pelanggaran mereka terhadap keamanusiaan? Bagaimana wajah-wajah patriarkis dan misoginisnya?
5. Bagaimana realitas partai politik di Indonesia yang tidak berbasis agama seperti PDI, GOLKAR, Demokrat dalam memainkan isu agama? Bagaimana mereka menggunakan simbol Islam untuk mendulang swara? Bagaimana politisi perempuan dari partai ini menggunakan isu agama, terutama simbol-simbol Islam seperti jilbab dan lain-lain? Apakah berhasil? Apa akibatnya bagi kebijakan partai?
6. Bagaimana peran ulama dan organisasi masa berbasis agama seperti NU DAN Muhammadiyah, tokoh agama dalam percaturan politik di Indonesia? Apakah swara mereka didengar? Apakah mereka menjadi kendaraan politik? Bagaimana kritisisme terbangun? Bagaimana sikap mereka terhadap partai politik berbasis agama? Apakah akur? Bagaimana kondisi ketegangan antara ormas Islam dan partai Islam? Bagaimana dan apa pendapat ulama perempuan? Apa akibatnya bagi perempuan?
7. Bagaimana pendapat perempuan menanggapi keberadaan partai politik, politisi, yang mengeksploitasi simbol-simbol agama dalam kampanyenya? Dalam pidato-pidato politiknya? Dan dalam kebijakan-kebijakannya setelah menjadi pejabat negara? Apakah kritisisme perempuan terbangun dengan baik? Atau malah terkebiri? Bagaimana akses perempuan untuk menyampaikan kritik tersebut? Apakah ada bentuk-bentuk represi baru dari negara terhadap perempuan?
Deadline
Seluruh tulisan pada 25 Juni 2014 dikirim pada
Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengulas “hanya” salah satu dari 7 pertanyaan di atas dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Indonesia adalah rumah terbesar bagi populasi Muslim di dunia, dengan hampir 90 persen dari 240 juta penduduk mengidentifikasikan diri mereka sebagai Muslim. Meskipun Indonesia menjadi salah satu contoh terbaik praktek Islam moderat dan progresif, akan tetapi wajah-wajah tafsir yang tak ramah pada perempuan, minoritas seksual, etnis minoritas dan kelompok rentan lainnya masih mewarnai perjalanannya pada dekade terakhir. Tahun 1980-an merupakan tahun kebangkitan bagi revivalisme Islam di Indonesia, kemudian berkembang dengan pesat setelah jatuhnya rejim otoriter Orde Baru, Soeharto di tahun 1998. Partai-partai politik berbasis Islam (seperti PPP, PKB, PKS, dan lain-lain) berdiri dan sampai sekarang kuat menancapkan pengaruhnya dalam sistem politik dan kenegaraan di Indonesia. Meskipun perolehan suara di Pemilu Legislatif 9 April kemarin mereka mengalami penurunan, tetapi isu agama dan politik tetap tidak bisa dipisahkan dalam urusan kenegaraan. Tak hanya di pusat, sejak tahun 2001 Daerah Istimewa Aceh merupakan salah satu contoh ekstrem dimana perempuan kemudian banyak dikebiri hak-haknya melalui Qanun Syariah—berbeda jauh dari jaman Cut Nyak Dien dimana perempuan jauh lebih merdeka dan perkasa. Perempuan Aceh kini banyak sekali dibatasi dari cara berpakaian, berkendaraan, berada di ruang publik, sampai cara perempuan berswara dan tertawa pun juga diatur. Kecurigaan besar atas tafsir tak ramah gender yang masuk dalam diskursus politik ini bukan tanpa alasan. Kerja keras perempuan dalam dua organisasi massa Islam terbesar Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah untuk menampilkan wajah Islam yang tidak misoginis terbengkalai dan dipukul mundur oleh wajah tafsir baru yang tak lagi ramah pada para Liyan.
Banyak sekali contohnya seperti drama dan pertunjukkan poligami oleh Partai Keadilan Sejahtera yang jauh lebih banal daripada praktek serupa di era Orde Baru atau praktek korupsi dengan label halal misalnya. Lelaki alim sekaligus politisi tak lagi malu-malu mempertontonkan keempat istrinya di banyak media. Revivalisme Islam dalam politik, seperti dalam temuan Susan Blackburn dalam bukunya Women and the State in Modern Indonesia (Cambridge University Press, 2004) justru menambah beban terhadap perempuan dan memperlihatkan wajah diskriminatifnya yang kentara. Setiap kali didiskusikan agama dan politik, maka aspek stabilitas dan pertahanan merupakan pokok pertama yang dibicarakan. Sedangkan nasib perempuan dan para Liyan seringkali diabaikan. Tugas dari kajian Jurnal Perempuan pada edisi kali ini adalah untuk mengembangkan kajian analitik untuk mempertanyakan posisi agama dalam politik dan negara secara ontologis; serta memetakan konsekuensi dan implikasinya bagi kesetaraan gender dan keadilan bagi para Liyan—kelompok rentan. (dc)
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas beberapa aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
1. Bagaimana relasi agama (Islam) dan politik dalam praktek kenegaraan? Bagaimana sikap sarjana politik terhadap agama? Bagaimana sikap sarjana agama terhadap politik? Apakah agama perlu masuk dalam politik? Ataukah tidak perlu sama sekali? Apakah agama kemudian berbahaya bagi warga negara secara umum karena sifatnya yang spesifik bagi umat tertentu?
2. Bagaimana tafsir agama (Islam) atas politik dan kenegaraan? Bagaimana Islam meletakkan perempuan? Bagaimana Islam meletakkan kelompok rentan (minoritas seksual, kelompok difabel, miskin perkotaan, etnis minoritas, dan lain-lain).
3. Bagaimana Etik Islam (secara ontologis) dalam memandang posisi dan status perempuan dalam Politik? Bagaimana sejarah Islam atas partisipasi politik perempuan kontemporer secara global? Bagiamana Dunia Islam kontemporer memperlakukan perempuan secara politik? Apakah mereka subjek politik? Atau objek politik?
4. Bagaimana realitas partai politik di Indonesia yang berbasis Islam seperti PPP, PKS, PKB? Bagaimana sikap mereka terhadap perempuan? Apakah kemajuan yang mereka capai? Bagaimana kemunduran dan pelanggaran mereka terhadap keamanusiaan? Bagaimana wajah-wajah patriarkis dan misoginisnya?
5. Bagaimana realitas partai politik di Indonesia yang tidak berbasis agama seperti PDI, GOLKAR, Demokrat dalam memainkan isu agama? Bagaimana mereka menggunakan simbol Islam untuk mendulang swara? Bagaimana politisi perempuan dari partai ini menggunakan isu agama, terutama simbol-simbol Islam seperti jilbab dan lain-lain? Apakah berhasil? Apa akibatnya bagi kebijakan partai?
6. Bagaimana peran ulama dan organisasi masa berbasis agama seperti NU DAN Muhammadiyah, tokoh agama dalam percaturan politik di Indonesia? Apakah swara mereka didengar? Apakah mereka menjadi kendaraan politik? Bagaimana kritisisme terbangun? Bagaimana sikap mereka terhadap partai politik berbasis agama? Apakah akur? Bagaimana kondisi ketegangan antara ormas Islam dan partai Islam? Bagaimana dan apa pendapat ulama perempuan? Apa akibatnya bagi perempuan?
7. Bagaimana pendapat perempuan menanggapi keberadaan partai politik, politisi, yang mengeksploitasi simbol-simbol agama dalam kampanyenya? Dalam pidato-pidato politiknya? Dan dalam kebijakan-kebijakannya setelah menjadi pejabat negara? Apakah kritisisme perempuan terbangun dengan baik? Atau malah terkebiri? Bagaimana akses perempuan untuk menyampaikan kritik tersebut? Apakah ada bentuk-bentuk represi baru dari negara terhadap perempuan?
Deadline
Seluruh tulisan pada 25 Juni 2014 dikirim pada
Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengulas “hanya” salah satu dari 7 pertanyaan di atas dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan