Undangan Menulis
TOR JP 88 Februari 2016
Tenggat tulisan: 15 September 2015
Tenggat tulisan: 15 September 2015
PERKAWINAN BEDA AGAMA
Sebelum lahirnya Negara modern Indonesia, dalam masyarakat adat dapat dijumpai adanya hukum adat perkawinan yang sangat bervariasi, setidaknya ada kategori besar berdasarkan kekerabatan: patrilineal, matrilineal dan bilateral. Dalam masyarakat adat terdapat preferential marriage (artinya seseorang sudah ada jodohnya). Dalam masyarakat Batak disebut "pariban", dan hal ini ada juga dalam masyarakat Minang. Preferential marriage ini dalam kedokteran disebut sebagai "incest".
Dalam Undang-Undang Perkawinan kontemporer di Indonesia, sebenarnya, tidak dilarang adanya perkawinan beda agama karena tidak ada kata larangan dalam narasinya (seperti dikutip dalam wawancara Jurnal Perempuan dengan Prof Sulistyowati Irianto Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Januari 2015 lalu). Pemerintah pada waktu itu sebenarnya tutup mata saja atau lepas tangan mengenai hal ini. Dalam paparannya Irianto menerangkan bahwa yang diatur pemerintah dalam Burgerlijke Wetbook atau Hukum Perdata Belanda yang masih berlaku sampai sekarang adalah pernikahan yang ada kaitannya dengan ketika penduduk dibagi dalam tiga golongan pada tahun 1926, yaitu Europeanen, Vreemde Oosterlingan (Timur Asing) dan Inheemsche (indigenous/bumiputra), dengan hukumnya masing-masing dan pengadilannya masing-masing. Dan bila terjadi perkawinan di antara ketiganya terjadi maka akan diatur dalam Hukum Antar Tata Golongan, yang juga bisa dicari dalam Hukum Perdata Barat tersebut. Pada masa sekarang tidak ada hukum setingkat Undang-Undang yang melarang atau membolehkan soal perkawinan beda agama, masih menurut Irianto.
Menurut Irianto, yang melarang secara jelas perkawinan beda agama adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang disahkan berdasarkan Instruksi Presiden (bukan Undang-Undang atau kedudukannya di bawah Undang-Undang) karena menurut mereka kalau harus buat UU membutuhkan persidangan di DPR dan makan waktu lama, padahal hakim-hakim Pengadilan Agama segera membutuhkannya. Bahkan disebutkan dilarang perkawinan laki-laki Muslim dan perempuan Nasrani. Ini melampaui ayat di Al-Qur'an yang membolehkan perkawinan semacam ini: laki-laki Islam dan perempuan ahli kitab (Nasrani). Dalam buku Daniel Lev yang mewawancarai mereka yang terlibat menerbitkan draft yang akhirnya menjadi Kompilasi Hukum Islam, dipaparkan alasannya adalah bahwa “mereka takut bila tidak dilarang sama sekali, maka akan terjadi Kristenisasi”. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam masuk dalam kategori hukum negara karena disahkan oleh Instruksi Presiden.
Dalam praktiknya, banyak dilaporkan kesulitan mendaftarkan proses administratif dari perkawinan beda agama. Jika pun bercerai, tuntutan yang dilayangkan pun tergantung, apakah di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Meskipun ada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, khususnya, mereka yang “tercatat” beragama Islam biasanya menganut hukum informal atau adat ketika menikah. Draft awal undang-undang ini diselesaikan pada tahun 1952 dan 1954, kemudian di tahun 1967 dan 1968, dan lagi-lagi tidak bisa dimenangkan. Ulama konservatif terutama mengkritik pembatasan syarat-syarat poligami yang memberatkan dan tidak diterimanya perkawinan beda agama. Kemudian akhirnya dimenangkan oleh mereka dengan dibolehkannya poligami dengan pembatasan dan dilarangnya perkawinan beda agama.
Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Th 1974 dinyatakan bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan oleh manusia yang memiliki agama yang sama. Dan ini mengabarkan bahwa perkawinan beda agama harus dipilih pada salah satu agama saja. Perkawinan bukan Islam harus didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil, dengan perkawinan secara Islam dicatat di Kantor Catatan Urusan Agama (KUA). Ini kemudian menegaskan penafsiran bahwa perkawinan beda agama kemudian dihambat, atau dihalang-halangi, meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama. Kompilasi Hukum Islam yang dipublikasikan oleh pemerintah di tahun 1997 dikeluarkan untuk memenuhi permintaan ‘umat Islam’, dan khususnya ulama konservatif. Dalam pasal 40A (c) disebutkan melarang seorang Muslim laki-laki menikahi non-Muslim perempuan. Dan Pasal 44 melarang perempuan Muslim dinikahi oleh laki-laki non-Muslim. Pasal 4 mengonfirmasi bahwa perkawinan menjadi sah apabila dilakukan di bawah hukum Islam seperti tertera dalam pasal 2 (1) UU No 1 Th 1974.
Akibat praktis dari pertimbangan dan tafsir hukum tersebut kemudian adalah tetap ada fakta perkawinan beda agama. Praktik yang paling sering dilakukan adalah salah satu calon pasangan akan berpindah agama ke salah satu pasangan lainnya dan kemudian mereka menikah di bawah aturan agama yang dipilih secara baru dan bersama tersebut. Praktik lainnya adalah bagi pasangan yang mampu, mereka akan menikah di luar negeri, di Negara dimana perkawinan beda agama diperbolehkan. Hal ini kemudian mempengaruhi indeks kebebasan beragama di Indonesia. Dalam risetnya Adriaan Bedner & Stijn van Huis, Plurality of Marriage Law and Marriage Registration for Muslims in Indonesia: A Plea for Pragmatism, 6(2) Utrehct L. Rev. 175, 182 (2010), menarasikan bahwa status perempuan semakin rentan dalam pernikahan karena agensi mereka ditolak dalam kaitannya dengan tradisi perkawinan dalam agama tertentu, dan para perempuan yang berada dalam perkawinan beda agama kemudian menjadi korban dari Negara yang tidak memiliki kapasitas melakukan regulasi atas tafsir bias dan implementasi bias legal framework hukum perkawinan (hal 189). Dalam kerangka hukum yang mendua tersebut, kemudian perempuan banyak dirugikan.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas enam aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 15 September 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP88 (yaitu: Perkawinan, Agama, Perempuan), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), daftar pustaka, narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Dalam Undang-Undang Perkawinan kontemporer di Indonesia, sebenarnya, tidak dilarang adanya perkawinan beda agama karena tidak ada kata larangan dalam narasinya (seperti dikutip dalam wawancara Jurnal Perempuan dengan Prof Sulistyowati Irianto Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Januari 2015 lalu). Pemerintah pada waktu itu sebenarnya tutup mata saja atau lepas tangan mengenai hal ini. Dalam paparannya Irianto menerangkan bahwa yang diatur pemerintah dalam Burgerlijke Wetbook atau Hukum Perdata Belanda yang masih berlaku sampai sekarang adalah pernikahan yang ada kaitannya dengan ketika penduduk dibagi dalam tiga golongan pada tahun 1926, yaitu Europeanen, Vreemde Oosterlingan (Timur Asing) dan Inheemsche (indigenous/bumiputra), dengan hukumnya masing-masing dan pengadilannya masing-masing. Dan bila terjadi perkawinan di antara ketiganya terjadi maka akan diatur dalam Hukum Antar Tata Golongan, yang juga bisa dicari dalam Hukum Perdata Barat tersebut. Pada masa sekarang tidak ada hukum setingkat Undang-Undang yang melarang atau membolehkan soal perkawinan beda agama, masih menurut Irianto.
Menurut Irianto, yang melarang secara jelas perkawinan beda agama adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang disahkan berdasarkan Instruksi Presiden (bukan Undang-Undang atau kedudukannya di bawah Undang-Undang) karena menurut mereka kalau harus buat UU membutuhkan persidangan di DPR dan makan waktu lama, padahal hakim-hakim Pengadilan Agama segera membutuhkannya. Bahkan disebutkan dilarang perkawinan laki-laki Muslim dan perempuan Nasrani. Ini melampaui ayat di Al-Qur'an yang membolehkan perkawinan semacam ini: laki-laki Islam dan perempuan ahli kitab (Nasrani). Dalam buku Daniel Lev yang mewawancarai mereka yang terlibat menerbitkan draft yang akhirnya menjadi Kompilasi Hukum Islam, dipaparkan alasannya adalah bahwa “mereka takut bila tidak dilarang sama sekali, maka akan terjadi Kristenisasi”. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam masuk dalam kategori hukum negara karena disahkan oleh Instruksi Presiden.
Dalam praktiknya, banyak dilaporkan kesulitan mendaftarkan proses administratif dari perkawinan beda agama. Jika pun bercerai, tuntutan yang dilayangkan pun tergantung, apakah di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Meskipun ada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, khususnya, mereka yang “tercatat” beragama Islam biasanya menganut hukum informal atau adat ketika menikah. Draft awal undang-undang ini diselesaikan pada tahun 1952 dan 1954, kemudian di tahun 1967 dan 1968, dan lagi-lagi tidak bisa dimenangkan. Ulama konservatif terutama mengkritik pembatasan syarat-syarat poligami yang memberatkan dan tidak diterimanya perkawinan beda agama. Kemudian akhirnya dimenangkan oleh mereka dengan dibolehkannya poligami dengan pembatasan dan dilarangnya perkawinan beda agama.
Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Th 1974 dinyatakan bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan oleh manusia yang memiliki agama yang sama. Dan ini mengabarkan bahwa perkawinan beda agama harus dipilih pada salah satu agama saja. Perkawinan bukan Islam harus didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil, dengan perkawinan secara Islam dicatat di Kantor Catatan Urusan Agama (KUA). Ini kemudian menegaskan penafsiran bahwa perkawinan beda agama kemudian dihambat, atau dihalang-halangi, meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama. Kompilasi Hukum Islam yang dipublikasikan oleh pemerintah di tahun 1997 dikeluarkan untuk memenuhi permintaan ‘umat Islam’, dan khususnya ulama konservatif. Dalam pasal 40A (c) disebutkan melarang seorang Muslim laki-laki menikahi non-Muslim perempuan. Dan Pasal 44 melarang perempuan Muslim dinikahi oleh laki-laki non-Muslim. Pasal 4 mengonfirmasi bahwa perkawinan menjadi sah apabila dilakukan di bawah hukum Islam seperti tertera dalam pasal 2 (1) UU No 1 Th 1974.
Akibat praktis dari pertimbangan dan tafsir hukum tersebut kemudian adalah tetap ada fakta perkawinan beda agama. Praktik yang paling sering dilakukan adalah salah satu calon pasangan akan berpindah agama ke salah satu pasangan lainnya dan kemudian mereka menikah di bawah aturan agama yang dipilih secara baru dan bersama tersebut. Praktik lainnya adalah bagi pasangan yang mampu, mereka akan menikah di luar negeri, di Negara dimana perkawinan beda agama diperbolehkan. Hal ini kemudian mempengaruhi indeks kebebasan beragama di Indonesia. Dalam risetnya Adriaan Bedner & Stijn van Huis, Plurality of Marriage Law and Marriage Registration for Muslims in Indonesia: A Plea for Pragmatism, 6(2) Utrehct L. Rev. 175, 182 (2010), menarasikan bahwa status perempuan semakin rentan dalam pernikahan karena agensi mereka ditolak dalam kaitannya dengan tradisi perkawinan dalam agama tertentu, dan para perempuan yang berada dalam perkawinan beda agama kemudian menjadi korban dari Negara yang tidak memiliki kapasitas melakukan regulasi atas tafsir bias dan implementasi bias legal framework hukum perkawinan (hal 189). Dalam kerangka hukum yang mendua tersebut, kemudian perempuan banyak dirugikan.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas enam aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Apa dan bagaimana instrumen hukum bagi perkawinan di Indonesia? Apa saja? Bagaimana sejarahnya? Bagaimana status perempuan?
- Apa dan bagaimana instrumen hukum bagi perkawinan beda agama? Adakah? Bagaimana praktiknya? Bagaimana nasib perempuan?
- Apa dan bagaimana instrumen hukum dalam perceraian? Bagaimana praktiknya? Bagaimana nasib perempuan? Bagaimana nasib anak-anak?
- Bagaimana nasib perempuan dalam perkawinan beda agama di Indonesia? Bagaimana praktiknya? Adakah perlindungan hukum jika terjadi KDRT?
- Bagaimana nasib anak-anak dalam perkawinan beda agama di Indonesia? Bagaimana praktiknya? Adakah perlindungan hukum jika terjadi pelanggaran hak anak? Bagaimana dengan Konvensi Hak Anak?
- Apa dan bagaimana Counter Legal Draft UU Perkawinan No 1 Th 1974? Bagaimana nasibnya kini? Bagaimana rekomendasi Indonesia atas perempuan kepala keluarga dalam Beijing+20? Apakah ibu diakui sebagai kepala keluarga? Bagaimana nasib gender ketiga?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 15 September 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP88 (yaitu: Perkawinan, Agama, Perempuan), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), daftar pustaka, narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan