Mengenang Marsinah di YAPHI: "Feminisasi Perburuhan Indonesia"
Solo, 21 April 2014—Dalam format pemutaran film Marsinah dan diskusi, bertempat di kantor Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) Jl Nangka 5 Kerten Solo, Elizabeth Yulianti Raharjo memimpin diskusi yang dihadiri kurang lebih 50-an buruh dari berbagai serikat pekerja di Solo. Hadir sebagai narasumber pertama adalah Heri Hendroharjuno yang memaparkan bagaimana kondisi pekerja outsourcing dan kontrak di Solo dan beberapa kota satelitnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri. Hadir dalam diskusi ini juga serikat buruh dari Magelang dan Semarang. Diungkapkan dalam rangka memperingati Hari Kartini ini, masih banyak pelanggaran dari pengusaha terhadap hak dasar buruh, Upah Minimum Regional, yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Temuan lebih buruk berada di Sukoharjo, dimana serikat pekerja mendapatkan banyak ancaman dan tekanan dari aparat agar tidak memperjuangkan hak-haknya, meskipun kesejahteraan buruh di Sukoharjo jauh lebih baik diperjuangkan di Sukoharjo daripada di kota lain, misalnya Solo.
Narasumber kedua adalah dari Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum, yang memaparkan bahwa secara lokal dan global, terjadi feminisasi buruh, yaitu peningkatan jumlah buruh perempuan yang menempati pekerjaan-pekerjaan berbayar murah, kurang lebih 70-80 persen dari seluruh jumlah buruh. Misalnya di Tifountex Solo dan banyak pabrik tekstil di Indonesia dan belahan dunia lain, seperti Bangladesh dan India. Perempuan buruh juga berupah jauh lebih kecil dari laki-laki buruh. Dilaporkan juga temuan dari Jurnal Perempuan No 56 Tahun 2007 bahwa perusahaan mulai banyak memberhentikan buruh Perempuan yang berusia di atas 40 tahun dan menggantinya dengan buruh perempuan yang lebih muda dengan tamatan sekolah lebih rendah untuk dapat menekan angka produksi. “Karena sudah pasti buruh-buruh baru ini berbiaya lebih murah. Banyak sekali modus perekrutan yang membuat perempuan hamil, menyusui, atau memiliki anak, kemudian tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Perihal ini tidak terjadi pada laki-laki buruh”, paparnya. Diskusi kemudian ditutup dengan refleksi mengenang kepahlawanan Marsinah dari Maria Martha Sucia dari LSM Satu Nama Yogyakarta. (redaksi-jp)
Narasumber kedua adalah dari Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum, yang memaparkan bahwa secara lokal dan global, terjadi feminisasi buruh, yaitu peningkatan jumlah buruh perempuan yang menempati pekerjaan-pekerjaan berbayar murah, kurang lebih 70-80 persen dari seluruh jumlah buruh. Misalnya di Tifountex Solo dan banyak pabrik tekstil di Indonesia dan belahan dunia lain, seperti Bangladesh dan India. Perempuan buruh juga berupah jauh lebih kecil dari laki-laki buruh. Dilaporkan juga temuan dari Jurnal Perempuan No 56 Tahun 2007 bahwa perusahaan mulai banyak memberhentikan buruh Perempuan yang berusia di atas 40 tahun dan menggantinya dengan buruh perempuan yang lebih muda dengan tamatan sekolah lebih rendah untuk dapat menekan angka produksi. “Karena sudah pasti buruh-buruh baru ini berbiaya lebih murah. Banyak sekali modus perekrutan yang membuat perempuan hamil, menyusui, atau memiliki anak, kemudian tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Perihal ini tidak terjadi pada laki-laki buruh”, paparnya. Diskusi kemudian ditutup dengan refleksi mengenang kepahlawanan Marsinah dari Maria Martha Sucia dari LSM Satu Nama Yogyakarta. (redaksi-jp)