Call for Paper YJP Press
SERI Ekofeminisme IV: BURUH, LIMBAH & RUMAH
Editor: Ina Hunga & Dewi Candraningrum
Tenggat 26 Juli 2016 ke ([email protected])
Industri yang berbasis ‘Putting-out’ system (POS) dan Home-Workers (HW), sebenarnya sudah lama ada baik pada aras lokal di Indonesia, regional, maupun global, namun baru mendapat perhatian sejak tahun 1990-an seiring dengan krisis ekonomi dunia. Krisis ini mendorong restrukturisasi ekonomi yang terjadi secara menyeluruh yang dalam dunia kerja formal, khususnya industri yang merubah modus produksinya dari sebelumnya bertumpu pada pabrik dan hubungan kerja formal, serta standar kerja formal bergeser pada modus produksi di luar pabrik, yaitu berbasis dalam/sekitar rumah pekerja, hubungan kerja informal, produksi yang fleksibel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa POS yang berperan dalam mendukung perekonomian keluarga, yang juga didominasi oleh perempuan, justru memarginalisasikan perempuan dan rumahnya dengan limbah-limbah (Beneria dan Roldan, 1986; Allen dan Wolkowitz, 1987; Dangler, 1985, 1994; ILO, 1996; Ping-Chun Hsing, 1999; McCormick, 2002; Surman, 2002; Doane, 2007; WIEGO, 2010; Susilastuti,1999;ILO,2004; Doane, 2007; WIEGO, 2010; Hunga, 2000; 2011).
Manipulasi ruang domestik perempuan oleh kapitalis sangat terkait dengan konstruksi simbol perempuan sebagai sumber tenaga kerja murah dalam mesin besar patriarki, yang telah dibuktikan dalam feminisasi perburuhan. Untuk mendukung industri, tenaga perempuan tetap dikurung dalam rumah dalam kondisi tertentu mereka dikerahkan masuk ke pabrik, dan selanjutnya pada saat terjadi restrukturisasi ekonomi akibat krisis, para pekerja ini dikerahkan kembali masuk ke rumah. Strategi ini merupakan fakta konkrit kapitalisme yang menjadikan tenaga kerja ini mengejar keuntungan (Hartmann, 1976). POS menjadi tempat yang baik bagi pelaku bisnis karena HW dan rumah tinggal sebagai tempat produksi produk memberikan beberapa alasan pembenaran untuk memperoleh keuntungan dari hasil berbagai efisiensi produksi yang timbul dari: tidak menyediakan tempat kerja bagi pekerja, tidak menyediakan alat kerja, tidak menyediakan biaya pemeliharaan tempat kerja, tidak menyediakan biaya produksi karena menggunakan listrik dan air, tidak menyediakan jaminan sosial pada pekerja selayaknya pekerja di pabrik, tidak menyediakan biaya untuk pengolahan limbah, dll.
Edisi EKOFEMINISME IV kali ini akan berfokus pada buruh, limbah dan rumah. Di luar itu, edisi ini juga menerima kontribusi riset yang lebih luas yang mengkaitkan antara perempuan, dampak limbah dan ekologi.
Manipulasi ruang domestik perempuan oleh kapitalis sangat terkait dengan konstruksi simbol perempuan sebagai sumber tenaga kerja murah dalam mesin besar patriarki, yang telah dibuktikan dalam feminisasi perburuhan. Untuk mendukung industri, tenaga perempuan tetap dikurung dalam rumah dalam kondisi tertentu mereka dikerahkan masuk ke pabrik, dan selanjutnya pada saat terjadi restrukturisasi ekonomi akibat krisis, para pekerja ini dikerahkan kembali masuk ke rumah. Strategi ini merupakan fakta konkrit kapitalisme yang menjadikan tenaga kerja ini mengejar keuntungan (Hartmann, 1976). POS menjadi tempat yang baik bagi pelaku bisnis karena HW dan rumah tinggal sebagai tempat produksi produk memberikan beberapa alasan pembenaran untuk memperoleh keuntungan dari hasil berbagai efisiensi produksi yang timbul dari: tidak menyediakan tempat kerja bagi pekerja, tidak menyediakan alat kerja, tidak menyediakan biaya pemeliharaan tempat kerja, tidak menyediakan biaya produksi karena menggunakan listrik dan air, tidak menyediakan jaminan sosial pada pekerja selayaknya pekerja di pabrik, tidak menyediakan biaya untuk pengolahan limbah, dll.
Edisi EKOFEMINISME IV kali ini akan berfokus pada buruh, limbah dan rumah. Di luar itu, edisi ini juga menerima kontribusi riset yang lebih luas yang mengkaitkan antara perempuan, dampak limbah dan ekologi.