Akhmad Ramdhon: Buku Pandora Transformasi dari Surat-surat Kartini
Bedah buku Pandora karya dua puluh aktivis perempuan muda yang bergabung dalam FAMM Indonesia berlangsung di Public Space 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret. Acara yang diinisiasi oleh Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASO) bekerja sama dengan komunitas Jejer Wadon ini dihadiri oleh 50 mahasiswa dan beberapa anggota LSM di Surakarta seperti Pattiro, Spek-Ham, dan LPH YAPHI. Akhmad Ramdhon, dosen Sosiologi UNS Sebelas Maret yang menjadi narasumber berujar bahwa buku Pandora adalah transformasi dari surat-surat yang ditulis oleh RA. Kartini. “Narasi-narasi yang ditulis oleh kedua puluh aktivis perempuan muda di sini sangat kontekstual dengan surat-surat RA. Kartini seperti yang tertulis di dalam buku Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa,” papar Akhmad Ramdhon.
Maria Sucianingsih, salah seorang penulis dan aktivis di Jejer Wadon yang ikut tergabung dalam antologi Pandora mengatakan kedua puluh penulis buku adalah alumni semiloka Movement Building Institute (MBI). Seperti yang tertuang dalam tema “Pengorganisasian Perempuan”, dalam cerita-cerita nyata yang tersurat pada buku, para penulis berjuang menemukan konsep kepemimpinan dari pengalaman mereka mengorganisir kelompok perempuan.
Salah seorang penulis lain, Siti Harsun dari Salatiga memaparkan tentang kisah yang ditulis di dalam buku Pandora. Pernah menjadi korban trafficking dan bisa melarikan diri saat di pelabuhan, tentu sebuah kisah perjuangan seorang perempuan dari jeratan rantai kekerasan. Perempuan yang aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) dan pendiri PAUD ini tak pantang menyerah dalam mengadvokasi kelompok perempuan yang tinggal di Nusa Tenggara Barat. “Beberapa waktu terakhir ini saya mengembangkan kewirausahaan dengan berdagang di Nusa Tenggara Barat. Di tempat yang baru ini saya turut mengadvokasi kelompok perempuan yang berada di sana yang masih terpinggirkan dan buta akan hak-haknya,”tutur Siti Harsun.
Dalam sesi diskusi, Elizabeth dari LPH YAPHI mempertanyakan paradigma kepemimpinan perempuan yang idealnya saat ini seperti apa dan bagaimana. Pertanyaan ini dijawab Akhmad Ramdhon bahwa, ”Jiwa dan watak serta pandangan kepemimpinan seorang perempuan itu ada di setiap gerakan, organisasi, kelompok perempuan. Jadi masing-masing secara masif telah membawa jiwa kepemimpinan.” Sebagai penutup acara Akhmad Ramdhon mengemukakan bahwa persoalan-persoalan perempuan bukanlah sebuah kisah seperti dalam cerita dongeng Cinderella atau Alice In Wonderland Story. “Persoalan-persoalan perempuan adalah seperti menemu pada kotak Pandora, tak berujung. Dan judul Pandora untuk buku ini sangatlah tepat menggambarkan bagaimana keadaan perempuan saat ini,”pungkas Ramdhon dalam acara yang dimoderatori oleh Dita Rahayu Margatino. (Astuti Parengkuh)
Maria Sucianingsih, salah seorang penulis dan aktivis di Jejer Wadon yang ikut tergabung dalam antologi Pandora mengatakan kedua puluh penulis buku adalah alumni semiloka Movement Building Institute (MBI). Seperti yang tertuang dalam tema “Pengorganisasian Perempuan”, dalam cerita-cerita nyata yang tersurat pada buku, para penulis berjuang menemukan konsep kepemimpinan dari pengalaman mereka mengorganisir kelompok perempuan.
Salah seorang penulis lain, Siti Harsun dari Salatiga memaparkan tentang kisah yang ditulis di dalam buku Pandora. Pernah menjadi korban trafficking dan bisa melarikan diri saat di pelabuhan, tentu sebuah kisah perjuangan seorang perempuan dari jeratan rantai kekerasan. Perempuan yang aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) dan pendiri PAUD ini tak pantang menyerah dalam mengadvokasi kelompok perempuan yang tinggal di Nusa Tenggara Barat. “Beberapa waktu terakhir ini saya mengembangkan kewirausahaan dengan berdagang di Nusa Tenggara Barat. Di tempat yang baru ini saya turut mengadvokasi kelompok perempuan yang berada di sana yang masih terpinggirkan dan buta akan hak-haknya,”tutur Siti Harsun.
Dalam sesi diskusi, Elizabeth dari LPH YAPHI mempertanyakan paradigma kepemimpinan perempuan yang idealnya saat ini seperti apa dan bagaimana. Pertanyaan ini dijawab Akhmad Ramdhon bahwa, ”Jiwa dan watak serta pandangan kepemimpinan seorang perempuan itu ada di setiap gerakan, organisasi, kelompok perempuan. Jadi masing-masing secara masif telah membawa jiwa kepemimpinan.” Sebagai penutup acara Akhmad Ramdhon mengemukakan bahwa persoalan-persoalan perempuan bukanlah sebuah kisah seperti dalam cerita dongeng Cinderella atau Alice In Wonderland Story. “Persoalan-persoalan perempuan adalah seperti menemu pada kotak Pandora, tak berujung. Dan judul Pandora untuk buku ini sangatlah tepat menggambarkan bagaimana keadaan perempuan saat ini,”pungkas Ramdhon dalam acara yang dimoderatori oleh Dita Rahayu Margatino. (Astuti Parengkuh)
Pelukis Perempuan Kuratori Hari Bumi
Bertempat di Galeri Seni Rupa TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah) Solo, berlangsung pameran seni rupa yang digelar oleh Fakultas Seni Rupa UNS dari tanggal 21-23 April lalu. Sebagai kurator pada pameran tersebut adalah Anis Kurniasih (dengan twitter @anisskurniasih). Di samping sebagai kurator dari 120 karya rupa dengan berbagai media, Anis juga seorang pelukis. Dia melukis figur perempuan yang dia beri judul “Earth” (red. lihat foto dok YJP). Sebagai perempuan perupa, subjek karya Anis, menurutnya, adalah tubuh perempuan. Beberapa lukisan kanvasnya adalah tentang perempuan, kosmetika, bumi dan feminisme. Ketika ditanya mengapa tertarik pada feminisme, Anis memaparkan bahwa hal ini terjadi karena, pertama-tama dia adalah perempuan. “Tak banyak pelukis perempuan di Solo ini”, paparnya.
Anis yang dilahirkan di Wonogiri ini sekarang kuliah di Seni Rupa UNS pada semester II, kegiatan ini merupakan yang pertama bagi dia. “Tantangan menjadi ketua panitia amat besar karena dia 'hanya' perempuan. Sering tidak dihargai karena perempuan. Tetapi banyak teman mengapresiasi. "Mulanya saya kapok, tapi kemudian tidak lagi. Bagi saya, ini adalah tantangan. Dan saya amat senang”, papar Anis. Dari sejak SD, SMP, SMA, Anis Kurniasih (19 tahun) sangat suka melukis. Dia selalu ikut lomba melukis di kabupaten atau gelar budaya, dan sewaktu kuliah dia mulai mengikuti pameran lukisan mahasiswa. Menurutnya, “Dalam memperingati hari Bumi, bumi sekarang banyak kita rusak, dan kita memberi tema pameran ini sebagai “disturbia”, maksudnya adalah bahwa kita menciptakan mesin-mesin yang kemudian menganggu kelangsungan dan hidup bumi”. “Seni rupa bukan hanya peduli pada seni, tetapi juga peka pada lingkungan. Melalui bahasa visual, kami ingin menyampaikan perihal ini”, pungkasnya. (pemred-jp)
Anis yang dilahirkan di Wonogiri ini sekarang kuliah di Seni Rupa UNS pada semester II, kegiatan ini merupakan yang pertama bagi dia. “Tantangan menjadi ketua panitia amat besar karena dia 'hanya' perempuan. Sering tidak dihargai karena perempuan. Tetapi banyak teman mengapresiasi. "Mulanya saya kapok, tapi kemudian tidak lagi. Bagi saya, ini adalah tantangan. Dan saya amat senang”, papar Anis. Dari sejak SD, SMP, SMA, Anis Kurniasih (19 tahun) sangat suka melukis. Dia selalu ikut lomba melukis di kabupaten atau gelar budaya, dan sewaktu kuliah dia mulai mengikuti pameran lukisan mahasiswa. Menurutnya, “Dalam memperingati hari Bumi, bumi sekarang banyak kita rusak, dan kita memberi tema pameran ini sebagai “disturbia”, maksudnya adalah bahwa kita menciptakan mesin-mesin yang kemudian menganggu kelangsungan dan hidup bumi”. “Seni rupa bukan hanya peduli pada seni, tetapi juga peka pada lingkungan. Melalui bahasa visual, kami ingin menyampaikan perihal ini”, pungkasnya. (pemred-jp)
Peluncuran Buku Puisi Melawan Kekerasan Seksual
Sebuah pentas budaya untuk menggalang solidaritas bagi korban kekerasan seksual sekaligus memperingati Hari Perempuan Internasional digelar pada pertengahan Maret lalu (17/3) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta. Acara yang digagas oleh Jaringan Perempuan Perdamaian Indonesia bekerjasama dengan Megawati Institute dan Komunitas Penulis Perempuan Indonesia ini dapat disebut sebagai malam puisi karena pada malam itu dibacakan sejumlah puisi yang terangkum dalam buku berjudul ”Voices Breaking Silence”, sebuah antologi puisi melawan kekerasan seksual.
Acara dibuka dengan penampilan Simponi, sebuah band pop rock beranggotakan lima laki-laki yang aktif berkampanye melawan kekerasan terhadap perempuan dengan menggelar roadshow diskusi musikal di sekolah-sekolah, yang membawakan lagu ”Sister in Danger”. Usai musik pembuka, Direktur Megawati Institute Musdah Mulia dan Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyampaikan pidato yang memaparkan fakta-fakta terkait kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia dan ajakan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Acara berlanjut dengan pembacaan puisi oleh sejumlah perempuan, diawali oleh Djenar Maesa Ayu, penulis dan juga sutradara film, yang membacakan puisi karya Olin Monteiro. Disusul penampilan Betta Anugrah Setiani, pendiri Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang, yang membacakan dua puisi, satu diantaranya adalah karyanya, dengan iringan violin dan seruling. Penampil berikutnya adalah Neny Isharyanti, seorang pengajar di sebuah universitas, yang membacakan puisi karyanya dengan visualisasi. Ada juga Dinda Kanyadewi, model dan aktris, yang membacakan puisi karya Rieke Diah Pitaloka yang berjudul ”Soli Gadis Sumba”. Tak ketinggalan Sha Ine Febriyanti, pemain teater dan sutradara film, yang membacakan puisi karya Diana Timoria yang berjudul ”Perempuan dalam Selintas Perjalanan Dendam” dengan apik.
Jika di awal acara penonton disuguhi oleh data dan fakta tentang kekerasan terhadap perempuan, maka lewat puisi yang dibacakan oleh kelima perempuan tersebut, penonton diajak untuk mendengarkan suara korban yang selama ini seringkali (untuk tidak mengatakan selalu) diam terpojok dan dibungkam. Lewat bait-bait puisi kita dapat menangkap jeritan, gugatan, dan suara korban.
Pembacaan puisi malam itu juga menandai peluncuran buku yang dimaksudkan sebagai kampanye untuk melawan kekerasan seksual dan memberikan dukungan terhadap upaya penegakan hak dan keadilan bagi korban. Karena itu hasil penjualan buku tersebut didonasikan bagi korban kekerasan seksual. Penerbitan antologi puisi ini digagas oleh Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) dengan editor Yenti Nurhidayat. Puisi dalam buku ini ditulis oleh 52 orang kontributor, perempuan dan laki-laki, dengan latar belakang yang sangat beragam. Pengantar buku ini ditulis oleh Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum yang mengupas sosok Roro Mendut, salah satu tokoh penting dalam mitologi Jawa, sebagai dekonstruksi mitos seksualitas dan keperawanan.
Usai pembacaan puisi, Simponi kembali tampil dengan dua lagu dari album terbarunya, ”Terlalu Banyak (Korban)” dan ”Perempuan”. Disela-sela lagunya, Berkah Gamulya yang menjadi juru bicara berbincang dengan penonton, mengajak para lelaki untuk mengubah pikiran, ucapan, dan tindakan mereka untuk tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan. Ia juga mengajak para perempuan untuk berani menolak dan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Sebuah seruan dan ajakan yang selayaknya kita sambut. Penampilan apik Simponi menutup acara malam itu. Malam budaya untuk perempuan memang sudah berakhir malam itu, Hari Perempuan Internasional pun sudah berlalu, namun upaya melawan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama, belum berakhir dan masih terus berlanjut dan sejatinya kita semua diajak untuk terlibat. (Anita Dhewy)
Acara dibuka dengan penampilan Simponi, sebuah band pop rock beranggotakan lima laki-laki yang aktif berkampanye melawan kekerasan terhadap perempuan dengan menggelar roadshow diskusi musikal di sekolah-sekolah, yang membawakan lagu ”Sister in Danger”. Usai musik pembuka, Direktur Megawati Institute Musdah Mulia dan Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyampaikan pidato yang memaparkan fakta-fakta terkait kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia dan ajakan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Acara berlanjut dengan pembacaan puisi oleh sejumlah perempuan, diawali oleh Djenar Maesa Ayu, penulis dan juga sutradara film, yang membacakan puisi karya Olin Monteiro. Disusul penampilan Betta Anugrah Setiani, pendiri Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang, yang membacakan dua puisi, satu diantaranya adalah karyanya, dengan iringan violin dan seruling. Penampil berikutnya adalah Neny Isharyanti, seorang pengajar di sebuah universitas, yang membacakan puisi karyanya dengan visualisasi. Ada juga Dinda Kanyadewi, model dan aktris, yang membacakan puisi karya Rieke Diah Pitaloka yang berjudul ”Soli Gadis Sumba”. Tak ketinggalan Sha Ine Febriyanti, pemain teater dan sutradara film, yang membacakan puisi karya Diana Timoria yang berjudul ”Perempuan dalam Selintas Perjalanan Dendam” dengan apik.
Jika di awal acara penonton disuguhi oleh data dan fakta tentang kekerasan terhadap perempuan, maka lewat puisi yang dibacakan oleh kelima perempuan tersebut, penonton diajak untuk mendengarkan suara korban yang selama ini seringkali (untuk tidak mengatakan selalu) diam terpojok dan dibungkam. Lewat bait-bait puisi kita dapat menangkap jeritan, gugatan, dan suara korban.
Pembacaan puisi malam itu juga menandai peluncuran buku yang dimaksudkan sebagai kampanye untuk melawan kekerasan seksual dan memberikan dukungan terhadap upaya penegakan hak dan keadilan bagi korban. Karena itu hasil penjualan buku tersebut didonasikan bagi korban kekerasan seksual. Penerbitan antologi puisi ini digagas oleh Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) dengan editor Yenti Nurhidayat. Puisi dalam buku ini ditulis oleh 52 orang kontributor, perempuan dan laki-laki, dengan latar belakang yang sangat beragam. Pengantar buku ini ditulis oleh Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum yang mengupas sosok Roro Mendut, salah satu tokoh penting dalam mitologi Jawa, sebagai dekonstruksi mitos seksualitas dan keperawanan.
Usai pembacaan puisi, Simponi kembali tampil dengan dua lagu dari album terbarunya, ”Terlalu Banyak (Korban)” dan ”Perempuan”. Disela-sela lagunya, Berkah Gamulya yang menjadi juru bicara berbincang dengan penonton, mengajak para lelaki untuk mengubah pikiran, ucapan, dan tindakan mereka untuk tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan. Ia juga mengajak para perempuan untuk berani menolak dan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Sebuah seruan dan ajakan yang selayaknya kita sambut. Penampilan apik Simponi menutup acara malam itu. Malam budaya untuk perempuan memang sudah berakhir malam itu, Hari Perempuan Internasional pun sudah berlalu, namun upaya melawan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama, belum berakhir dan masih terus berlanjut dan sejatinya kita semua diajak untuk terlibat. (Anita Dhewy)