Bagaimana Menakar Kualitas Caleg Perempuan Pemilu 2014?
Solo, 18 April 2014—Dalam format acara Suara Konstitusi yang diadakan dua minggu sekali setiap Jumat malam di TATV Solo Jl Brigjend Katamso 173, pemandu acara Sunny Umul Firdaus (dosen UNS) bersama narasumber lain mendiskusikan bagaimana menakar kualitas caleg pemilu 2014. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menempatkan 10 partai politik dapat melenggang ke senayan karena telah melampui ambang 3.5% parliamentary threshold. Lima besar partai politik adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKB. Sedangkan dua partai lain yang tidak berhasil masuk adalah PKPI dan PBB. Sunny Umul Firdaus membuka obrolan malam itu dengan memaparkan fakta politik uang yang sangat marak di desa-desa. Suwarmin (Wapemred Solopos) membenarkan fakta tersebut dan menjelaskan bahwa Pileg 2009 justru jauh lebih bersih dari Pileg 2014.
Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan) memaparkan temuan kajian dari Jurnal Perempuan dari edisi sebelumnya dan edisi yang akan diterbitkan Mei ini bahwa partai politik kita masih bersifat catch-all parties & office-seekers serta nir ideologi. ”Hal ini membuat partai kemudian bersikap amat pragmatis. Kemudian yang terjadi, baik di tingkat elit dan akar rumput, adalah transaksi-transaksi politik. Transaksi politik tidak hanya berupa uang, atau mukena, atau beras, atau voucher-voucher diskon pembelian barang tertentu misalnya sebelum Pileg kemarin; tetapi juga transaksi lain seperti posisi dan jabatan politik baik di legislatif dan eksekutif. Ini membahayakan iklim demokrasi kita.”
Sunny kemudian melemparkan kembali pertanyaannya, baik kepada pemirsa maupun narasumber, bagaimana cara mengatasi persoalan tersebut. Dewi kemudian menjelaskan bahwa caleg-caleg bersih dan potensial yang nanti berhasil duduk di parlemen harus menjaga otonomi dan independensi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat; sembari menyehatkan kondisi institusi partai politik yang sekarang masih kurang demokratis karena dikuasai oleh keluarga dinasti politik. “Kualitas anggota legislatif perempuan ditentukan oleh terpaparnya mereka atas isu-isu gerakan perempuan di akar rumput. Mandat-mandat keadilan harus diketahui dengan baik oleh mereka, jika tidak maka perwakilan mereka hanya bersifat deskriptif, yaitu standing for dan bukan substantif yaitu acting for. Gerakan Perempuan dan anggota legislatif perempuan harus saling menginformasikan satu sama lain mengenai mandat-mandat perjuangan kesetaraan dan keadilan ini”, jelas Pemred Jurnal Perempuan. Menutup obrolan ini Suwarmin menjelaskan bahwa media tidak boleh dibeli oleh partai, atau dimiliki oleh partai; karena kalau hal ini terjadi maka tingkat apatisme politik masyarakat akan meningkat dan ini tidak menyehatkan iklim politik Indonesia di masa mendatang. (redaksi-jp)
Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan) memaparkan temuan kajian dari Jurnal Perempuan dari edisi sebelumnya dan edisi yang akan diterbitkan Mei ini bahwa partai politik kita masih bersifat catch-all parties & office-seekers serta nir ideologi. ”Hal ini membuat partai kemudian bersikap amat pragmatis. Kemudian yang terjadi, baik di tingkat elit dan akar rumput, adalah transaksi-transaksi politik. Transaksi politik tidak hanya berupa uang, atau mukena, atau beras, atau voucher-voucher diskon pembelian barang tertentu misalnya sebelum Pileg kemarin; tetapi juga transaksi lain seperti posisi dan jabatan politik baik di legislatif dan eksekutif. Ini membahayakan iklim demokrasi kita.”
Sunny kemudian melemparkan kembali pertanyaannya, baik kepada pemirsa maupun narasumber, bagaimana cara mengatasi persoalan tersebut. Dewi kemudian menjelaskan bahwa caleg-caleg bersih dan potensial yang nanti berhasil duduk di parlemen harus menjaga otonomi dan independensi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat; sembari menyehatkan kondisi institusi partai politik yang sekarang masih kurang demokratis karena dikuasai oleh keluarga dinasti politik. “Kualitas anggota legislatif perempuan ditentukan oleh terpaparnya mereka atas isu-isu gerakan perempuan di akar rumput. Mandat-mandat keadilan harus diketahui dengan baik oleh mereka, jika tidak maka perwakilan mereka hanya bersifat deskriptif, yaitu standing for dan bukan substantif yaitu acting for. Gerakan Perempuan dan anggota legislatif perempuan harus saling menginformasikan satu sama lain mengenai mandat-mandat perjuangan kesetaraan dan keadilan ini”, jelas Pemred Jurnal Perempuan. Menutup obrolan ini Suwarmin menjelaskan bahwa media tidak boleh dibeli oleh partai, atau dimiliki oleh partai; karena kalau hal ini terjadi maka tingkat apatisme politik masyarakat akan meningkat dan ini tidak menyehatkan iklim politik Indonesia di masa mendatang. (redaksi-jp)