Pada suatu hari, Heni datang ke sebuah rumah besar di wilayah Godean, Yogyakarta. Kedatangannya adalah untuk memintakan izin Lasmi, Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah tersebut kepada majikannya untuk mengikuti pertemuan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga yang anggotanya juga para pekerja rumah tangga. Sesampai di rumah majikan Lasmi, Heni langsung bertemu dan bicara secara baik-baik dengan majikan atas niat kedatangannya untuk meminta izin bagi Lasmi. Namun, bukan izin yang ia terima, sang Majikan justru marah karena ajakan Heni itu dianggap mengganggu tugas dan pekerjaan Lasmi sebagai PRT. “Lasmi belum boleh keluar rumah karena Lasmi masih harus mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Jam kerja Lasmi nanti selesai jam 20.00. Ia harus mengerjakan tugas akhirnya mencuci piring sehabis kita makan malam,” ujar sang majikan seperti yang ditirukan oleh Heni. Itulah bagian dari kehidupannya yang harus terus dihadapi oleh perempuan muda bernama lengkap Yuli Maiheni ini. Di kalangan sejumlah PRT, sosok Heni tidaklah asing sebagai “pejuang” perlindungan hak-hak PRT. Kegigihannya dalam memperjuangkanperlindunganhukumbagi PRTinilahyang membuatnyadipercaya oleh teman-teman sesama PRT untuk menjadi ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia yang memang sudah ia geluti sejak beberapa tahun yang lalu. Di Serikat PRT inilah ia kini mengorganisasi sebanyak 150 orang PRT yang mencakup seluruh wilayah di Yogyakarta. Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah pekerjaan mudah. Tidak hanya kultur masyarakat yang masih memandang rendah pekerjaan PRT, namun juga struktur negara masih belum bisa mengakomodasi kebutuhan PRT sebagai pekerja yang mempunyai hak-hak yang perlu dilindungi. Heni adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir di Yogyakarta, 15 Juli 1975. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang tuanya, membuat Heni akhirnya harus tinggal dan diasuh oleh neneknya di DIY. “Saya korban broken home, orang tua saya bercerai dan masing-masing kini sudah menikah kembali. Maka, jadinya saya dititipkan ke si Embah,” ujar Heni. Ia pun sadar bahwa keterbatasan biaya membuatnya tidak bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah Menengah Pertama adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ia selesaikan, setelah itu ia mulai bekerja. Awalnya ia tidak pernah menyangka bahwa harus menjadi PRT. Namun, kondisilah yang membuatnya harus melakukan pekerjaan itu. Ajakan menjadi PRT awalnya datang dari tetangga yang mencari PRT untuk sebuah keluarga di Jakarta. Meski mulanya sempat ragu, desakan ekonomi membuat ia menerima tawaran itu. Empat tahun ia menjalaninya untuk kemudian kembali lagi ke Yogyakarta. “Ini suatu pengalaman lucu. Saya itu, kan, relatif dimanja oleh nenek saya, hampir semua pekerjaan rumah, nenek yang melakukannya. Apalagi memasak, saya enggak bisa sama sekali. Saya sempat kebingungan selama beberapa minggu sama apa yang saya lakukan. Tapi, syukurlah saya bisa belajar dan menjalani pekerjaan dengan baik,” kenang Heni. Setelah empat tahun bekerja di Jakarta, sang Nenek memintanya untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu. Heni pun memutuskan untuk mencari pekerjaan di Yogyakarta saja. Sampai akhirnya, ia menemukan keluarga yang baru di wilayah Godeaan, Yogyakarta. Perempuan ini bersyukur karena di tempatnya bekerja ia diberi banyak sekali kemudahan dan kesempatan bagi dirinya untuk berkembang. Selain dibuka selebar-lebarnya untuk mengikuti kegiatan di perumahan, Heni pun mendapat sejumlah keterampilan, seperti memasak, menjahit, dan sebagainya. Membangun Posisi Tawar PRT Sama halnya ketika ia menjadi PRT untuk pertama kalinya, menjadi aktivis PRT pun bukanlah cita-cita yang ia kehendaki sebelumnya. Meskipun tidak mempunyai cita-cita menjadi aktivis, berorganisasi adalah aktivitas yang sudah ia tekuni sejak masih sekolah. Ia pernah menjadi pengurus Karang Taruna di tempat tinggalnya, sebelum ia memutuskan untuk bekerja. Kepedulian akan nasib PRT yang hampir selalu ia dengar dari sesama PRT, membuatnya tersentak untuk memperjuangkan suara hati PRT yang sering kali tidak pernah muncul di ruang publik. Dalam mengorganisasi PRT, hal mendasar yang menjadi substansi dari aktivitas ini adalah membangun posisi tawar PRT, khususnya di hadapan para majikan. Dalam banyak kesempatan, posisi PRT sering tidak setara di hadapan majikan. Inilah yang menyebabkan munculnya sejumlah persoalan antara PRT dan majikan. Hal ini tentunya berujung pada PRT yang selalu menjadi korban akibat ketidakberdayaannya. Membangun posisi tawar, kedudukan, dan peran PRT inilah yang menjadi motivasi Heni untuk terus berjuang mengorganisasi PRT. Ia getol melakukan penyadaran hak-hak terhadap teman-teman PRT-nya. “Sebagian besar PRT itu tahunya hanya kewajibannya. Hampir sebagian besar tidak mengetahui apa hak- hak mereka sebagai PRT. Lemahnya pengetahuan akan hak-hak ini membuat PRT sering menjadi korban eksploitasi para majikan yang tidak bertanggung jawab,” ujar Heni. “Hal penting yang terus diperjuangkan untuk PRT, yaitu mengenai hak dan kewajiban PRT secara adil. PRT berhak mendapat perlindungan, PRT berhak mendapat upah, PRT berhak libur satu hari dalam satu minggu, PRT berhak mendapat cuti hari besar, PRT berhak mendapat THR, PRT bebas berorganisasi, dan PRT berhak atas jaminan kesehatan,” jelas Heni. Namun demikian, apa yang diperjuangkan Heni ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus menghadapi persepsi masyarakat yang masih menganggap bahwa PRT adalah pekerjaan yang rendah. Ia sangat maklum jika dirinya tidak boleh lelah untuk selalu berhadapan dengan para majikan yang masih belum terbuka kesadarannya akan hak PRT, termasuk juga Heni harus menghadapi ketidaksensitifan pemerintah dalam memandang persoalan PRT yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal yang lebih sulit lagi menurut Heni adalah menghadapi teman-temannya sesama PRT yang masih belum menyadari akan pentingnya berorganisasi dan pentingnya mengetahui hak-hak sebagai PRT. “Kadang kala, ada ketakutan dari teman-teman PRT sendiri ketika diajak berorganisasi dan menuntut haknya. Mereka biasanya takut tidak mempunyai pekerjaan lagi setelah ia dipecat oleh majikannya gara-gara menuntut haknya,” jelas Heni. “Biasanya kalau saya mendapat keluhan semacam ini, saya langsung tunjukkan data yang ada. Data itu menunjukkan bagaimana tingkat permintaan akan PRT itu tinggi, hal ini berarti PRT masih sangat diperlukan. Jadi, tidak perlu takut keluar dari satu keluarga karena masih banyak keluarga yang akan menampung,” tambahnya. Ia tidak pernah gentar dengan segala kesulitan itu. Justru dengan banyaknya tantangan inilah, ia semakin yakin bahwa apa yang ia perjuangkan adalah sesuatu yang benar meskipun ia sendiri terkadang merasa lelah menghadapi semua itu. “Pekerjaan ini susah dan melelahkan, terkadang saya sering frustasi, sudah susah payah saya mengajak, ternyata tidak ada respons. Belum lagi marah-marah majikan yang selalu saya terima, pusing jadinya,” keluh Heni. “Setiap saya mendengar masalah yang datang dari PRT, hati saya seolah- olah selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah begini, saya tidak mempedulikan lagi segala kesulitan yang akan saya hadapi, yang penting saya bisa membantu,” tegasnya. Itulah sepenggal motivasi yang terus ia pertahankan. “Saya ingin teman-teman saya yang PRT menjadi sadar akan hak-haknya. Mereka selama ini lemah, tidak mempunyai posisi tawar yang baik di hadapan majikan. Akibatnya, gaji mereka tidak jelas, jam kerja mereka tidak jelas, mereka tidak dapat libur, kasihan. Belum lagi, tindakan kekerasan yang sering dialami PRT oleh majikan karena alasan yang tidak jelas pula,” ungkap Heni. “Kebanyakan majikan ini tahunya hanya kewajiban PRT, tetapi mereka tidak mau tahu soal hak PRT,” ungkap Heni. Bila mengenang perjalanan hidupnya, lagi-lagi ia bersyukur dan merasa beruntung mempunyai majikan yang begitu terbuka terhadap kemajuan dirinya. Kesempatan inilah yang tidak disia-siakan olehnya untuk mengikuti kegiatan organisasi di sekitar tempatnya bekerja. Kebetulan, waktu itu ada sekelompok masyarakat yang peduli akan nasib PRT di masjid sekitar tempat Heni bekerja yang melakukan pengajian khusus untuk para PRT. Dari sejumlah pengajian inilah, ia akhirnya mengenal Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), sebuah organisasi masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap para PRT. RTND menawarkan pendampingan kepada para PRT di wilayah tempat Heni bekerja untuk lebih mengenal hak-hak dan melakukan pengorganisasian. Ia tidak menyia-nyiakan tawaran ini, apalagi hal itu akan memberikan kontribusi yang positif bagi dirinya dan teman-temannya. “Saya waktu itu memang tidak mengerti sama sekali apa itu hak-hak PRT, jadinya ketika ada semacam pendampingan dari teman-teman RTND, saya sangat tertarik untuk bergabung,” ujar Heni. Heni “terjebak” di ruang yang benar. Ia tenggelam dalam kerja-kerja pendampingan, penyadaran, dan pengorganisasian para PRT dengan tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai PRT. Ia pun mendapat dukungan yang kuat dari majikannya, bahkan sang Majikan beberapa kali menawarkan kepada Heni untuk membuat pertemuan di rumahnya ketika sang Majikan pergi. “Majikan saya itu baik benar. Waktu itu saya minta izin mau ada pertemuan, namun sang Majikan akan pergi. Majikan saya bukannya melarang, malah saya ditawari untuk bikin pertemuannya di rumah saja, sambil menunggu rumah. Jadi, pertemuannya tetap dilakukan dan rumah tetap terjaga dengan baik,” kenang Heni. Setelah beberapa tahun mendapat pendampingan, Heni dan teman-teman sesama PRT mulai merasakan manfaatnya. Di samping hak-hak yang semakin ia pahami, ia pun bersepakat membentuk organisasi yang semua anggota dan pengurusnya adalah PRT. Jadilah OPERATA, Organisasi Pekerja Rumah Tangga. Organisasi ini kini telah berkembang di delapan wilayah di Yogyakarta. Berkat keseriusannya, Heni pun terpilih menjadi koordinator OPERATA. OPERATA melakukan sejumlah kajian dan penyadaran kepada PRT di delapan wilayah dampingannya. Selain pengetahuan tentang hak-hak PRT, OPERATA juga melakukan penyadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi perempuan, masalah gender, juga saling memberi sejumlah keterampilan. “Agar kami tetap kuat, jaringan OPERATA hampir rutin melakukan pertemuan yang bergantian tempatnya di delapan wilayah. Dalam pertemuan itu, kami saling berbagi pengalaman dan cerita nasib teman-teman PRT di tiap wilayah. Dari pertemuan ini pula, kami bisa memperoleh gambaran sejumlah persoalan-persoalan yang muncul di dalam PRT yang terus kami jadikan alasan mengapa OPERATA harus tetap ada,” kata Heni. Terbentuknya OPERATA tentunya bukanlah berita baik bagi para majikan. OPERATA terkadang dianggap organisasi yang akan mempengaruhi para PRT untuk malas bekerja dan menuntut macam-macam. Ketertutupan keluarga tempat para PRT tinggal ini menjadi hambatan yang paling serius yang dialami Heni dan teman-temannya ketika ingin mengorganisasi para PRT. “Jangankan untuk bergabung dan menjadi peserta aktif, bertemu para PRT ini saja sulit. Biasanya majikan melarang mereka, apalagi pertemuan ini dianggap tidak ada untungnya bagi sang Majikan,“ ujar Heni. Berangkat dari kondisi inilah, Heni dan teman-temannya bersepakat untuk membuat buletin Swara OPERATA. Meskipun dalam bentuk yang sederhana dan hanya ditulis tangan, buletin ini cukup informatif bagi para pembacanya. Swara OPERATA ditulis oleh para PRT dan ditujukan untuk PRT sehingga meskipun mereka tidak bisa hadir untuk mengikuti sejumlah pertemuan, mereka tetap mendapatkan informasi mengenai hak-haknya sebagai PRT dan berbagai informasi lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, Heni merasa jaringan OPERATA ini masih dianggap lemah, khususnya ketika berhadapan dengan pihak pemerintah. Sejumlah persoalan akhirnya harus kalah hanya karena posisi tawar yang rendah. Melalui sejumlah diskusi, akhirnya Heni dan teman-temannya sepakat memperluas lingkup organisasi ini menjadi sebuah serikat pekerja. Jadilah, Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia yang dideklarasikan pada 27 April 2003. Seiring dengan perubahan organisasi, mereka mengganti buletin Swara OPERATA menjadi Swara Serikat dengan lingkup yang lebih luas. Heni pun segera mendaftarkan kedudukan Serikat Pekerja Rumah Tangga ini ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi DIY. Anehnya, waktu yang dibutuhkan untuk pencatatan di Disnaker terbilang sangat lama. “Saya heran mengapa pencatatan ini cukup lama, sampai makan waktu enam bulan, padahal menurut informasi dari teman-teman serikat pekerja lainnya, paling lama pengurusan pendaftaran ini hanya membutuhkan waktu satu minggu. Jadi, itulah, posisi PRT di lingkungan pemerintah pun belum dilindungi,” ujar Heni. Sosok Heni tidak hanya dikenal di kalangan PRT. Sejumlah LSM pun sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Heni. Lita, misalnya, salah seorang aktivis PRT yang juga menjadi sahabatnya mengatakan bahwa Heni adalah sosok yang bisa dijadikan contoh bagaimana cara mengorganisasi PRT. “Heni adalah kawan saya belajar berorganisasi, belajar memetakan masalah, baik sebagai PRT maupun sebagai perempuan. Ia dan teman-temannya sangat tekun belajar sampai akhirnya mampu memperjuangkan nasib PRT melalui pendirian serikat,” kata Lita. Menurut Lita, Heni adalah sosok yang tidak mudah menyerah. Kegagalan bukan merupakan akhir segalanya. Heni selalu mencari jalan lain untuk mencapai sukses. “Beberapa kali dia menghadapi kegagalan karena memang mengorganisasi PRT ini sulit, jangankan untuk berorganisasi, kadang kala untuk hidupnya sendiri saja, PRT merasa kesulitan. Kegagalan itu akhirnya ia pecahkan bersama teman- teman untuk mencari jalan alternatif lainnya,” jelas Lita. KetekunannyadalampengorganisasianPRTmembuatnyamendapatkesempatan untuk belajar berbagai pelatihan dan mengikuti sejumlah seminar dan loka-latih, baik yang diselenggarakan di Yogyakarta, Jakarta, dan daerah-daerah lainnya. Bahkan, Committee For Asia Women pernah memintanya untuk hadir sebagai delegasi dari Indonesia guna menghadiri pertemuan yang membahas masalah PRT di Hongkong beberapa waktu yang lalu. “Saya senang sekali mendapat kesempatan berangkat ke Hongkong. Saya bisa bertukar pikiran dengan teman-teman dari Filipina, Thailand, Hongkong, Malaysia, dan sebagainya,” ujar Heni. Merebut Perubahan Perubahan datang bukan seperti kado yang hadir begitu saja, perubahan harus direbut. Itulah yang dilakukan oleh Heni, ia tidak menanti perubahan akan nasib PRT, ia merebutnya melalui agenda-agenda yang terus ia kampanyekan. “Salah satu agenda yang terus saya desakkan adalah terwujudnya perda tentang perlindungan buruh migran. Perda ini kedudukannya sangat penting untuk memberi perlindungan bagi PRT. Dengan perda, hak-hak PRT dan kewajiban PRT akan terakomodasi dengan baik dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang harus ditaati oleh semua masyarakat,” ujar Heni. Menurut Heni, sejumlah kasus-kasus yang menimpa PRT menjadi tidak bisa diproses lebih jauh karena belumadanyaperlindungan hukumyanglebih baik untuk melindungi PRT. Heni mencontohkan kasus yang menimpa PRT bernama Sutini. Sutini ini sudah jelas-jelas disiksa oleh majikannya, namun karena perlindungan hukumnya belum ada, penderitaannya seperti tidak berarti apa-apa. Selain perlindungan hukum, dengan adanya perda ini, posisi tawar PRT di hadapan majikan akan jauh lebih kuat. PRT akan mempunyai surat kontrak kerja, akan jelas hak-haknya, kewajibannya, upahnya, dan sebagainya. Heni pun pernah merasakan sendiri ketika ia bekerja menjadi baby sitter dengan kontrak kerja yang jelas. Waktu itu ia pernah bekerja untuk orang Jepang yang bekerja di Yogyakarta. “Dengan kontrak kerja, pekerjaan saya menjadi lebih jelas. Saya bisa bernegosiasi soal gaji, saya mendapat jatah libur. Bagi orang Jepang itu, mereka merasa terbantu dengan apa yang saya lakukan, jadi tidak ada masalah dengan kontrak kerja,” ungkap Heni. Selain terbentuknya perda tentang perlindungan PRT, Heni juga berharap masyarakat sudah seharusnya memandang PRT secara lebih adil dan setara. PRT bukanlah pekerjaan yang rendah. PRT adalah pekerjaan yang perlu mendapat perhatian karena di dalamnya terdapat aspek kemanusiaan. “Agar penyadaran ini terjadi, saya dan teman-teman terus membuat agenda-agenda kampanye, baik yang ditujukan kepada masyarakat maupun kepada para PRT. Harapannya agar semua bisa menyadari pentingnya penghormatan kemanusiaan bagi PRT,” ujar Heni. Itulah sosok Heni, perempuan muda dengan sejuta keberanian untuk memperjuangkan hak-hak Pekerja Rumah Tangga. Ia adalah taman belajar yang memercikkan arti penting sebuah keadilan manusia. Ia tidak saja pejuang Pekerja Rumah Tangga, ia adalah pejuang kemanusiaan. Ia adalah matahari bagi Pekerja Rumah Tangga. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 39, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |