ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Yuli Ismartono: Jurnalis Perempuan, Menantang Perang

29/8/2016

 
Picture
Waktu itu saya bertanya, “Apakah Anda tidak risau bahwa Anda dicari-cari oleh polisi dan sejumlah aparat dari berbagai negara?” Khun Sa waktu itu menjawab, “Saya bukan bandit, saya bukan teroris, tetapi saya juru selamat ratusan petani di daerah ini,” ujarnya. (Yuli Ismartono, 2003)
 
Kutipan di atas adalah salah satu isi percakapan antara Yuli Ismartono dan Khun Sa seorang “Raja Opium” yang sangat disegani di wilayah Segitiga Emas (golden triangle), yaitu terletak di antara negara Burma, Laosn  dan Thailand. Bertemu dengan Raja Opium adalah pengalaman jurnalistiknya yang paling dikenang sekaligus sebuah prestasi tersendiri. Betapa tidak! Khun Sa adalah nama yang tidak asing lagi bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah, seperti Burma atau Amerika Serikat. Bagi pemerintah Burma, Khun Sa tidak saja dikenal sebagai raja opium, namun juga dikenal sebagai sosok bandit yang ringan tangan dalam mencabut nyawa-nyawa orang yang berseberangan dengannya atau memperlihatkan sikap melawan. Sementara itu, Khun Sa menjadi target operasi atau the most wanted person pemerintah Amerika yang berperang melawan jenis obat-obatan terlarang.

Keberhasilan Yuli menemui Khun Sa bukanlah tanpa perjuangan. Kabar bahwa Khun Sa bersedia menemui dirinya harus dinantinya selama setahun. “Untuk mendapatkan kesempatan bertemu dengan Khun Sa, saya nunggu dulu setahun,” katanya. Suatu hari saya mendapat kabar dari teman wartawan Bangkok Post kalau saya bisa bertemu dengan Raja Opium. Berita itu datanganya tengah malam, kenang Yuli. “Kamu harus segera berangkat hari ini juga ke Chiangrai. Di sana kamu akan bertemu dengan orangnya Khun Sa yang akan membawamu ke markas Khun Sa,” kata Yuli meniru ucapan rekannya. Malam itu juga ia pergi meninggalkan Bangkok menuju Chiangrai. Ternyata sampai di Chiangrai, ia tidak bisa langsung berangkat untuk menemui Khun Sa, ia masih harus menunggu kepastiannya selama dua hari, sampai akhirnya pada tengah malam, orang-orang Khun Sa mengajaknya untuk meninggalkan Chiangrai menyeberang ke perbatasan Birma. Perjalanannya pun selalu ditempuh pada malam hari karena perjalanan ini merupakan perjalanan yang terlarang.

“Jadi, tengah malam, kita diajak naik gunung, naik keledai, lama sekali perjalanannya, melintasi hutan dan sungai, sampai sakit saya untuk bisa bertemu dengan Raja Opium itu. Sampai pada akhirnya, saya tiba di suatu tempat di mana banyak orang membawa senjata. Khun Sa sendiri memakai pistol.  Ia dikawal oleh tentaranya sendiri. Saya melihat di mana-mana ada tanaman opium. Wow, mengerikan sekali, tapi saya bangga akhirnya bisa menemui Raja Opium ini,” kenangnya. Di sinilah kehebatan Yuli Ismartono, di saat semua pihak kesulitan mencari jejak Khun Sa, ia malah dengan kemampuannya berbincang dengan Raja Opium tersebut.
 
Jurnalistik dan Perang dalam Kehidupannya
Siang itu cuaca di Jakarta tidak terlalu cerah ketika Yuli menerima Jurnal Perempuan. Tanah Jakarta baru saja terguyur hujan deras dan pada saat wawancara dilakukan, rintik hujan masih terlihat menari-menari lewat kaca jendela ruang kerjanya. Ruang kerja Yuli berukuran empat kali empat meter dan berada di lantai empat gedung Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta. Di ruangan itu ada tiga meja, satu meja digunakan sebagai meja kerja, satu meja digunakan untuk menata buku-buku, dan satu meja kecil yang ditaruh di ujung ruangan bersama dua kursi tamu. Selain buku-buku, memasuki ruangannya kita akan disuguhi oleh gambar-gambar foto Yuli ketika dalam tugas meliput perang. Tidak ketinggalan, satu set komputer diletakkan di ujung ruangan bersebelahan dengan meja kerja. Semua tertata dengan cukup rapi. Itulah ruangan seorang eksekutif Majalah Tempo berbahasa Inggris. Ditemani dengan dua gelas air putih, wawancara pun dimulai di kursi ruangan yang memang tersedia untuk dua orang.

Yuli memulai percakapan dengan mengisahkan pengalaman ketika ia mendapat tugas peliputan ke Bangkok. Tugas itu merupakan tugas pertamanya ketika ia diminta menjadi koresponden Majalah Tempo. Bangkok tidak saja meninggalkan kesan sebagai wilayah paling mengesankan. Pengalaman itu terjadi di saat ia bersama rekan wartawan perempuan terjebak di bawah jembatan kecil di tengah-tengah kedua kubu yang saling menembak.

Awalnya tidak terpikirkan sama sekali bahwa ia menjadi seorang wartawan perang, sekitar awal tahun 1980-1990 akhir. “Awalnya, saya hanya ingin menjadi wartawan saja,” kata Yuli. Namun, waktu itu di Bangkok hampir selama dua tahun terjadi sejumlah kudeta oleh tentara. Sementara itu, letak Bangkok yang tidak jauh dari perbatasan Muangthai dan Kamboja, pada tahun 1980-an juga sedang terjadi perang antara tiga faksi di Kamboja, yang salah satu faksi yang berkuasa menggugah ASEAN untuk berperan menciptakan perdamaian. Di sini peran pemerintah Indonesia, menurutnya, sangat menentukan, karena sebagai salah satu pendiri ASEAN kelihatannya pemerintah RI ingin sekali mengadakan perdamaian antara sejumlah negara di Asia Tenggara yang berkonflik. Tentunya Tempo sangat berkepentingan dalam berita itu. Dari sinilah Yuli Ismartono dibutuhkan dan langsung ditempatkan di Bangkok sebagai koresponden.

Hal yang paling mengesankan dan sudah pasti tak akan terlupakan baginya adalah di saat ia terjebak di tengah-tengah pertempuran di perbatasan Kamboja. “Kami terjebak dalam peperangan selama satu hari satu malam di perbatasan Kamboja. Waktu itu kami berdua, saya dan satu teman lagi wartawan perempuan dari Strait Times Singapura, berasa ada di antara peluru yang  melayang  dari  dua kubu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kami berdua bersembunyi di bawah jembatan kecil dan sudah pasti mencekam. Jadinya, kami berdua sepanjang hari itu menunduk saja, di antara bebatuan dan lumpur selama satu hari satu malam. Sungguh, malam itu sangat mencekam. Kami sempat kehabisan bahan makanan dan minuman, tapi kami harus bertahan. Untung perang tidak berlarut-larut karena persediaan makanan kami habis. Sejak peristiwa itu, saya selalu sedia makanan dan minuman setiap kali peliputan, saya khawatir kondisi mencekam itu kembali terulang,” kenang Yuli Ismartono ketika mengenang salah satu peliputan perang yang paling menegangkan dalam tugasnya sebagai jurnalis.

Terlihat sekali dari cara ia bercerita dan mimik wajahnya bahwa ia memang sangat menikmati penugasannya sebagai wartawan perang. Pengalamannya terjebak di tengah-tengah pertempuran tidak membuatnya jera. Semakin banyak perang, semakin tertantang nyali jurnalistiknya. “Di Thailand sendiri, selain kudeta politik dari tentara, juga banyak masalah yang layak diberitakan, misalnya antara kaum muslim dan pemerintah pusat. Seperti Aceh di sini, mereka menginginkan mendirikan negara Islam di situ. Dan, kebetulan, pada saat itu juga di perbatasan dengan Malaysia di bagian selatan Muangthai, banyak masalah dengan kelompok-kelompok gerilya komunis yang sebetulnya pelarian dari Malaysia, tapi mereka meminta suakanya ke Thailand. Selain itu juga, di perbatasan dengan Birma, konflik selalu ada antara pemerintah Birma (sekarang Myanmar) dan kalangan gerilyawan yang menentang otoritas pusat. Mereka selalu bergejolaknya di perbatasan. Karenanya, bisa dibilang bahwa Thailand itu perbatasannya penuh dengan wilayah konflik. Sepertinya tepat sekali saya ditempatkan di Bangkok. Semua itu, menurut saya adalah area konflik yang menarik,” ujar Yuli.

Pengalaman meliput sejumlah konflik di perbatasan Thailand tampaknya menjadi pintu masuk bagi Yuli untuk memasuki area konflik berikutnya. Majalah Tempo kelihatan puas dengan hasil liputan yang dilakukan olehnya selama ini. Entah ini semacam kutukan atau malah berkah jika kemudian Yuli harus menerima sejumlah penugasan liputan yang sudah pasti merupakan area peperangan. Selain Thailand, ia pun harus menerima penugasan di Irak, kemudian di Afghanistan, pertikaian pemerintah Srilangka dengan pemberontak Tamil Eelam, runtuhya rezim Aphartheid di Afrika Selatan, bahkan ia harus mengejar raja opium yang terkenal, yaitu Khun Sa di wilayah Segitiga Emas. Tentunya, sejumlah penugasan yang dilimpahkan kepada dirinya adalah kepercayaan yang telah ia bangun. Simak saja apa komentarnya tentang yang satu ini.  “Pertama, mungkin saya sudah ada di luar negeri dan kedua saya sudah berpengalaman meliput area konflik, termasuk berapa uang yang saya terima dan bagaimana menembus wilayah konflik, semua sudah sangat jelas dan saya memang mengerjakan dengan kesungguhan,” demikian tuturnya.

Tugas lain yang juga tidak bisa dilupakannya adalah ketika ia bertemu dengan pemberontak Tamil Eelam di Srilangka. Ia mendapat kesempatan bisa bertemu dengan pemberontak ini setelah tidak sengaja ia bertemu dengan pengungsi lain yang lolos dari area konflik melalui jalan tikus. Jalan tikus bagi pengungsi atau Yuli sama-sama sebagai jalan penyelamat. Bila jalan tikus ini dianggap sebagai jalan penyelamatan dan pelarian diri dari konflik bersenjata, maka tidak demikian anggapan Yuli karena jalan tikus adalah jalan penyelamat bagi dia untuk akhirnya bisa menemui para pemberontak Tamil Eelam.

Seperti yang ditulis oleh majalah Bazaar, untuk bertemu dengan para pemeberontak Tamil Eelam, ia harus melewati berbagai pos penjagaan dan rute jalan yang sangat berat. Berbagai penjagaan ketat harus dilalui Yuli sampai akhirnya ia diantar oleh pihak pemberontak ke pusat pemberontakan. Ternyata, untuk sampai ke sana, yaitu di semenanjung Jaffna, Srilangka, ia harus menjinjing tinggi- tinggi ransel yang berisi kamera dan tape. Jalan yang dilaluinya pun penuh dengan ranjau. Di sepanjang jalan yang dilewati harus ditunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah tamu yang sudah diketahui kedatangannya. Sampai akhirnya, Yuli tiba di tanah Jaffna, pusat pemberontakan Tamil Eelam, dan ia melihat setiap orang di sana memanggul senjata. Yuli pun diperlakukan dengan sangat baik, ia diberi penginapan khusus perempuan.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dunia jurnalistik bagi Yuli adalah segala-galanya dan medan perang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yuli beruntung mempunyai keluarga yang  mengerti  dengan  kehidupan  jurnalis.  “Keluarga  dan suami saya penuh pengertian. Sedikitnya untuk satu peliputan saya harus meninggalkan keluarga selama 2-3hari. Bahkan, ketika saya mendapat tugas ke Irak, saya meninggalkan mereka kurang lebih tiga bulan,” tuturnya. Yuli adalah ibu dari dua anak, yang pertama perempuan bernama Atikah Suburt (29), saat ini menjadi wartawan CNN untuk peliputan di Indonesia dan satunya lagi laki-laki bernama James Lowai (24) yang sekarang masih menempuh kuliah di Amerika.

Yuli lahir di Yogyakarta pada 4 Oktober 1946 dan terlahir sebagai anak seorang diplomat. Karena itu, tidak mengherankan apabila ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti tugas ayahnya, hingga akhirnya ia harus menyelesaikan studi S1-nya di India meskipun sempat kuliah di Universitas Indonesia. “Saya pernah di UI sebentar, kemudian saya melanjutkan ke India dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Kami berteman, di samping karena orang tua kami sama-sama diplomat dan kami menempuh pendidikan di universitas yang sama, sampai akhirnya ia dipenjara oleh pemerintah Burma. Kalau ada kesempatan, saya selalu mengontaknya. Kami masih saling memberi kabar meskipun harus dengan sembunyi-sembunyi,” demikian ujarnya.

Selesai menamatkan studi, ia kembali ke Indonesia. Yuli pun bingung mencari pekerjaan yang pas untuk dirinya hingga ia bertemu dengan Ibu Herawati Diah yang menawarinya bergabung di harian Indonesian Observer. Sejak saat itu, ia tidak pernah mengenal pekerjaan lain, selain kegiatan jurnalistik yang ia tekuni sejak 1969. Di media yang satu ini, ia melewati karier jurnalistiknya selama satu tahun karena kemudian ia meneruskan studinya ke Amerika di Universitas Firencius, New York. Setelah itu, ia kembali lagi ke Indonesia dan menjadi editor untuk Jurnal Prisma edisi bahasa Inggris sekitar tahun 1977-1982. Selepas dari Prisma, iamenjadi koresponden Majalah Tempo di Bangkok. Awalnya memang ia tidak bekerja untuk Majalah Tempo. Kepergiannya ke Bangkok dalam rangka mengikuti tugas suami. John Mcbeth, demikian nama suaminya, adalah salah seorang pejabat UNICEF yang ditugaskan di Bangkok. Karena kebetulan di Thailand dan sepanjang perbatasannya penuh daerah konflik sementara Tempo membutuhkan jurnalis yang bisa meliput, maka jadilah Yuli ditawari oleh Tempo untuk menjadi koresponden di sana yang ternyata banyak melahirkan pengalaman menarik baginya.
 
Jurnalis Profesional
Memasuki wilayah konflik bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya, daerah ini tertutup bagi semua pihak, kecuali pihak-pihak tertentu atau pihak yang bertikai. Menjadi wartawan di daerah konflik tidak bisa  mengandalkan  kemampuan  teori jurnalistik. Jurnalis yang dikirim ke wilayah konflik tidak saja harus cermat menyimakperistiwa, tetapi jugaharuscermatmawasdiri menghadapi kemungkinan terkena tembakan. Di sini keberanian sangat diutamakan.
“Waktu kita terjun ke lapangan, kita tidak ada waktu untuk takut. Kita bukan saja harus melihat semua dan terus mencatat, tapi kita juga harus mawas diri,” kata Yuli. Dalam konteks itu, faktor pengalaman, keberanian. dan keinginan untuk membangun jaringan adalah kunci utama dalam proses peliputan di wilayah konflik. Faktor inilah yang terus menjadi kuncinya dalam setiap kesempatannya meliput area konflik dan sejauh ini, ia memang tidak pernah menolak kesempatan yang diminta padanya, bahkan ia sangat menikmati kesempatan tersebut.

“Kata kunci selama saya bertugas adalah jaringan. Saya selalu memanfaatkan jaringan dimana pun saya ditugaskan. Saya bisa masuk ke daerah gerilyawan Tamil Eelam itu bukan saya dapat sendiri. Saya ngomong-ngomong dengan pengungsi. Saya bertanya, ‘Daerah itu sudah diblokir, kok, kamu bisa keluar?’ Orang itu menjawab, ‘Oh, ada jalan tikus, Bu.’ Terus, saya cerita sama teman saya dari Amerika dan itu prinsip saya, saya tidak mau jalan sendirian. Karena saya takut bila terjadi sesuatu, tidak ada yang digambar oleh pengungsi. Dan, benar ternyata, kita sampai juga di tempat tujuan,” ujar Yuli. Membangun komunikasi dengan berbagai pihak ini juga yang membawa kesuksesan Yuli menembus daerah konflik di Thailand untuk pertama kali. Menurutnya, Majalah Tempo tidak pernah mengajarkan secara detail bagaimana meliput wilayah konflik. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan Sang Jurnalis ini untuk menggali sendiri kunci-kunci yang bisa membawanya ke area konflik.

Ia adalah salah satu wartawan yang mencari sendiri kunci-kunci itu. Ketika di Bangkok, misalnya, Yuli berteman dengan banyak pihak. Ia memanfaatkan asosiasi perkumpulan wartawan yang ada di Bangkok. Di Bangkok banyak pula wartawan asing dari penjuru dunia berkumpul karena waktu itu Thailand dan wilayah sekitarnya dipenuhi oleh konflik dan liku-liku. Yuli pun meminta pertolongan mereka. “Saya ingat banyak izin yang harus dipenuhi, namun semua bisa teratasi karena banyak yang membantu saya untuk mengurusnya,” ujar Yuli. Hal yang sama juga dilakukan ketika ia harus meliput wilayah konflik di Afghanistan pada 1989. “Waktu dikirim ke Afghanistan, saya ikut Jawal Dastan, mungkin nama itu tidak populer. Ia adalah kepala suku yang masih bertahan di bagian utara Afghanistan. Waktu itu pemerintah Rusia angkat tangan terhadap tentara Afghanistan, seperti Amerika bertekuk lutut di Vietnam. Peristiwa ini adalah peristiwa besar. Tank-tank besar Rusia tidak ada, siapa nanti yang akan berkuasa? Saya harus mencari informasi itu dan sangat sukar untuk mendapatkan datanya. Datang ke kedutaan Afghanistan untuk mencari tahu kemungkinan ke sana, saya malah dibilang, ‘Kamu gila, kamu perempuan, tidak berjilbab, sulit untuk masuk wilayah Afghanistan,’ demikian kata pejabat kedutaan itu. Tapi, untung, dulu Taliban belum masuk, Afghanistan masih agak liberal. Ketika saya ditanya, ‘Kamu siapa dan apa maksudnya datang ke Afghanistan?’ Saya menjawab, ‘Saya wartawan dan saya ingin meliput kondisi Afghanistan setelah Rusia menyerah.’ Setelah menunjukkan sejumlah identitas, barulah mereka memberi izin untuk masuk ke wilayah Afghanistan.”

“Selama berada di sana dan melakukan peliputan, termasuk juga untuk mengirim berita, saya memanfaatkan teman. Termasuk ketika saya bertanya bagaimana saya bisa masuk ke masyarakat? Mereka jawab, kamu harus ini dan itu, termasuk mereka mengingatkan saya untuk memakai kerudung. Jadi, itulah fungsi networking. Penting sekali di situ. Kita harus jalin persahabatan, kalau sudah itu, dengan kredibilitas juga. Kalau waktu itu ada pembicaraan yang off the record, ya, harus benar-benar off the record. Kita harus menghormati permintaan mereka. Saya dianggap wartawan yang profesional, bisa dipercaya, dan kutipan saya tidak pernah ngawur-ngawuran. Karena itu, saya selalu diajak oleh wartawan-wartawan Bangkok Post dan dipercaya oleh mereka sehingga saya mudah sekali mendapatkan kesempatan yang mahal,” tutur Yuli.

Selain faktor jaringan, faktor lain yang menjadi prinsip Yuli adalah memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik, termasuk kode etik jurnalistik. “Saya berusaha objektif waktu mengirim berita. Tugas saya murni untuk mencari informasi dan mencari tanggapan orang untuk saya kirim ke Jakarta. Saya tidak pernah membuat kesimpulan. Sayaserahkansemua ke editor-editor itu. Kalau kita mau jadi wartawan yang profesional, kerja kita adalah memberitakan. Keinginan saya adalah memberi informasi yang sebenarnya, yang setepatnya, kepada masyarakat. Itulah visi kita untuk menjelaskan satu masalah yang sedang terjadi, harus sejujur mungkin, seobjektif mungkin. Misalnya, kita diberitakan dan kita dilarang mengomentari, dan kita harus memberi pendapat. Jadi, penulisan kita harus mencerminkan objektivitas itu,” ujarnya.
 
Jurnalis Perempuan

Perang adalah area maskulin. Kekerasan, senjata, darah, dan korban-korban manusia tak berdosa menjadi penghiasnya. Penggambaran perang yang semacam itu tidaklah menjadi penghalang bagi Yuli untuk terjun ke dunia yang selalu didominasi nuansa maskulin. “Ini dunia laki-laki sebetulnya, tapi dalam konteks ini saya adalah jurnalis, saya profesional dan saya tidak pernah melihat bahwa saya berbeda. Karena mungkin saja saya diskriminasi, tapi saya tidak mau melihat itu sebagai rintangan. Saya selalu memaksa kalau tidak boleh. Saya pernah dilarang masuk ke daerah konflik itu, mereka mengatakan kepada saya, kamu, kan, perempuan. Bagi saya, tidak ada kata perempuan atau laki-laki. Saya sering mendapatkan kata-kata itu. Pernah suatu kali oleh tentara saya dilarang masuk, alasannya ini bukan area untuk perempuan. Tapi,  saya balas menjawab bahwa  ini tugas saya. Tidak ada laki-laki atau perempuan dalam tugas ini. Mereka tetap marah, ‘Kamu bodoh sekali, ya. Ini, kan, bahaya. Kamu bisa kena tembak.’ Saya jawab, ‘Oh, itu risiko saya, Pak.’ Pokoknya, saya terus meyakinkan mereka bahwa saya bisa mengerjakan tugas saya dengan baik,” jelas Yuli dengan berapi-api.

Persoalan-persoalan yang diskriminatif terhadap perempuan itulah yang kadang kala menghambat perjalanan karier jurnalistiknya. Terkesan itu persoalan ringan, tapi itu merupakan persoalan besar menyangkut posisi perempuan di dalam lingkungan masyarakat. Yuli selalu merasa kesal bila hilangnya kesempatan meliput suatu peristiwa hanya disebabkan gendernya. Kekesalan dan kesedihan Yuli sebagai perempuan tidak saja ditujukan dari perilaku masyarakat yang memposisikan dirinya lemah. Kesedihannya semakin bertambah ketika ia harus menyaksikan bagaimana perang tidak pernah meninggalkan sesuatu yang membanggakan. Perang telah banyak merenggut nyawa manusia, terutama perempuan dan anak-anak yang paling banyak menjadi korban.

“Saya sedih karena saya benar-benar seorang yang pro-damai. Saya dapat melihat secara nyata betapa buruknya pengaruh dan dampak perang. Perang itu, dari yang kecil sampai yang besar, yang selalu menderita itu rakyat. Perang itu, kan, permainan pemimpin politik mereka, tapi dampaknya itu masyarakat. Saya sedih. Menggambarkan kesedihan korban perang itulah yang menjadi tujuan saya untuk memberitakan suatu peristiwa. Inilah yang akan terjadi kalau perang itu terjadi. Saya melihat di Irak itu menyedihkan sekali. Semua serba kekurangan, di rumah sakit banyak korban, kekurangan obat, kekurangan makanan. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab. Perang selalu mengatasnamakan kebebasan, tapi pada akhirnya menyedihkan. Seperti di Kamboja, selama beberapa dasawarsa perang terus, ladang, gedung sekolah, hancur percuma, yang menderita adalah rakyat yang tidak tahu-menahu soal perang.”

“Saya melihat bagaimana orang kena ranjau di Afghanistan, Srilangka, Kamboja. Kehidupan seseorang itu bisa hancur sama sekali hanya karena ia kena ranjau. Anak kecil banyak yang kakinya buntung kena ranjau. Paling banyak yang menjadi korban itu perempuan dan anak,” tambahnya. Kesedihan akan korban perang di Birma juga membuat dirinya sangat terpukul. “Saya melihat sebuah masyarakat atau rakyat Birma yang tertindas berusaha keras untuk keluar dari penindasan itu, tapi gagal. Saya menangis waktu itu, saya melihat banyak korban, banyak darah yang mengalir, malah pemimpinnya ditahan sampai terkucil,” kata Yuli. Perang memang selalu tidak berpihak kepada kemanusiaan. Semua atas dasar kekuasaan.

Semangat dirinya untuk meliput wilayah konflik cukup besar. Namun, cita-cita itu harus berhenti sejenak. Bersama dengan sejumlah karyawan Tempo  lainnya  di tahun 1993, Yuli harus berhenti bekerja karena Tempo diberedel pemerintah Indonesia pada zaman Orde Baru. Majalah Tempo diberedel bersama majalah Editor dan tabloid Detik yang memberitakan masalah pembelian kapal perang oleh Habibie semasa menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Ketika tidak lagi di Tempo, Yuli pernah bergabung di SCTV pada divisi pemberitaan dan kehumasan. Sebelum kembali ke Tempo tahun 1999 ketika Tempo diperbolehkan terbit lagi, ia pernah menjadi staf kehumasan PT Freeport Indonesia di Papua.

Semangat Yuli Ismartono cukup dibanggakan. Sebagai perempuan, ia tidak saja berhasil menembuswilayah-wilayahperangyangselamainidijauhiolehperempuan, tapi ia juga berhasil menunjukkan bahwa profesionalitas itu bisa dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Dan, semua perempuan juga bisa melakukan itu, seperti yang dilakukan oleh Yuli Ismartono, seorang jurnalis perempuan yang menantang perang. (Eko Bambang Subiyantoro)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2003
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 28, 2003  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.


Yuniyanti Chuzaifah: Trafficking Bukan Soal Moral

22/8/2016

 
Picture
Lahir dari sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada Mei 1998, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melangkah menuju upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan. Fokus perhatian Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran, perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan, perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata, dan perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah pedesaan. Perdagangan orang, utamanya anak dan perempuan, merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana Komnas Perempuan menyikapi maraknya kasus perdagangan orang? Padaawal Juli 2010, jurnalis Dewi Setyarini, berbincang dengan Ketua Komnas Perempuan Yuni Chuzaifah, di kantornya di Jalan Latuharhary No.4B,  Jakarta. Berikut hasil perbincangan selengkapnya.
 
Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana komitmen Komnas Perempuan dalam ikut menyelesaikan persoalan traThcking?
Yuniyanti Chuzaifah (YC): Komnas Perempuan sekarang bekerja sama dengan Komnas HAM mencoba membuat national inquiry, sebetulnya kayak pemantauan bersama tentang  isu-isu  pelanggaran  HAM  dan  trafficking.  Ide awalnya adalah bagaimana seluruh masyarakat terlibat dalam proses pemantauan. Karena kita tidak ingin pemantauan ini menjadi mekanisme elitis institusi-institusi HAM, jadi kita membuat instrumen pemantauan HAM untuk buruh migran dan trafficking. Komnas HAM menggarisbawahi masukan soal trafficking juga. Semuanya sudah di-launching. Sekarang kita bekerja sama dengan kawan-kawan di komunitas sudah melaksanakan instrumen itu.

Kita kemarin ke Johor, Tanjungpinang, ke beberapa wilayah perbatasan. Planning-nya juga ke wilayah perbatasan di Kalimantan, ke penjara-penjara, ke tempat-tempat deportasi, ke terminal Selapanjang. Nah, dari situ kita ingin ke depan ada pemetaan yang lebih komperehensif, suatu solusi yang betul-betul solutif untuk pengentasan pelanggaran (hak) buruh migran dan (persoalan) trafficking, karena mekanisme perlindungan melalui advokasi kasus-kasus sudah tidak mempan lagi. Hampir setiap tahun banyak lembaga-lembaga buruh migran membuat data yang fantastik soal kasus-kasus kematian, juga dramatis; kematian yang sadis sampai hilang kontak dan sebagainya. Kita sudah 30 tahun mengirim buruh migran dan tidak ada perlindungan yang signifikan. Dan memang, tipis sekali bedanya antara pengiriman buruh migran dan perdagangan orang. Sebetulnya, melalui pemantauan ini kita ingin ada hal- hal konkret.

Terutama pula, Komnas Perempuan ingin membuat mekanisme pemulihan karena selama ini kompensasi bagi korban lebih ke arah finansial, padahal bicara soal buruh migran, mereka rata-rata penopang keluarga, jadi kita bicara soal seluruh rakyat miskin berapa kali lipat jumlah buruh migran di luar negeri. Jadi, sebetulnya, ketika kita bicara soal pemulihan kasus-kasus yang gila atau korban perkosaan, kehamilan buruh migran yang melahirkan anak-anak tanpa ayah, wajah-wajah anak yang dibawa dari luar negeri itu, kan, nantinya akan mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sepanjang hidupnya, baik orang tuanya maupun anaknya. Jadi, kita (Komnas Perempuan) ingin membuat suatu pemulihan yang tidak hanya mengembalikan hak si korban, tapi juga pemulihan untuk reparasi, keberterimaan di komunitasnya. Termasuk pula menjadikannya sebagai kebijakan konkret di wilayah-wilayah karena perda- perda yang ada itu banyak mengatur soal pengiriman atau retribusi, pajak- pajak yang berhubungan dengan pengiriman buruh migran, tapi yang (mengatur) dimensi perlindungan belum banyak. Memang ada seperti di NTB, sudah dicoba perda yang ada dimensi perlindungan, bagaimana pemerintah bertanggungjawab soal pemulihan kembali.

JP: Bagaimana sinerginya dengan pemerintah dan pihak lain yang terkait?
YC: Jadi, yang dilakukan Komnas Perempuan dan Komnas HAM adalah ke beberapa wilayah tersebut (Johor, Tanjungpinang, Selapanjang). Tapi, idenya adalah mendorong kawan-kawan yang bekerja untuk isu HAM dan buruh migran untuk menggunakan instrumen itu sehingga di akhir idenya adalah bagaimana kita punya data nasional yang lebih baik tentang data trafficking. Tapi, lagi-lagi, mengandalkan data kuantitatif dengan sebaran yang banyak atau data kualitatif yang sistemik menasional, rasanya tidak sederhana. Tapi, setidaknya, Komnas Perempuan dan Komnas HAM dengan jaringan masing- masing punya peta terbaru, terutama mengenai bagaimana perlindungan yang harus dilakukan, karena UU No. 39 belum cukup efektif untuk menjadi alat perlindungan. Bisa dibuktikan, UU itu sudah berapa kali, sih, digunakan untuk menjerat pihak aktornya, terutama misalnya PJTKI (PPTKI). Walaupun berapa kali dikutip soal PPTKI yang melakukan pelanggaran, tapi praktiknya seperti apa. Menurut para agen PJTKI, waktu dengar pendapat di DPD, sanksi itu belum pernah terjadi.

 
Yang menarik, pejabat lokal di wilayah-wilayah border yang tadi saya sebut, tidak terlalu clear apa itu migrasi dan apa itu trafficking. Jadi, data yang dia punya (hanya) soal trafficking dan KDRT. Artinya, seluruh buruh migran diasumsikan sebagai trafficking. Di (daerah) border bisa jadi yang paling banyak adalah trafficking, tapi apakah secara objektif trafficking-nya ada dua pola, kekerasan itu, atau karena tidak ada pemahaman yang clear antara migrasi dan trafficking. Termasuk pula, bayi-bayi kita temukan. Dalam workshop yang pernah kita lakukan, ada sejumlah orang yang dideportasi dan (harus) kembali pulang ke tempat asalnya, tapi banyak yang tidak punya uang sehingga rentan menjadi korban trafficking. Jumlah orang di dalam kapal, antara yang berangkat dan yang sampai, ada selisih yang cukup banyak. Jadi, selisihnya pada ke mana? Apakah pendataan teknis yang tidak komprehensif atau soal orang-orang yang tidak jelas didrop ke mana?

JP:
Menurut Anda bagaimana penanganan korban traThcking sekarang, apakah ada perkembangannya? Kita sudah punya Undang-Undang PTPPO dan juga sudah dibentuk P2TP2A di berbagai daerah?
YC: Ya, P2TP2A sekarang, karena perubahan nomenklatur, jadi dalam APBN budget didrop tidak ada. Ini penting untuk kembali dipikirkan. Belum lama ini, kami ketemu dengan KNPPA, Bu Linda (Meneg PPPA) bilang akan mendesak pemda untuk menyediakan fasilitas P2TP2A. Tapi, dari beberapa pertemuan dengan kepala daerah, rasanya perspektif perempuannya juga banyak yang belum bagus; melihat isu-isu perempuan juga belum bagus, melihat isu kekerasan terhadap perempuan, trafficking. Bukan paham sebagai suatu kata, tetapi bagaimana pola penanganan yang konkret. Menyediakan dana itu tidak sederhana, bisa jadi malah tidak ada. Memang ada beberapa propinsi seperti di Papua, mereka buat Rumah Aman, kemudian rumah sakit untuk korban kekerasan. Untuk wilayah lain yang rentan trafficking, mestinya serius dibuat. Yang terjadi, sekadar ada bangunannya, tapi sistemnya tidak komprehensif. Itu yang perlu dipikirkan, membangun sistem perlindungan, terutama untuk shelter-shelter yang lebih pro-perempuan. Sejauh yang saya lihat dulu, sebelum terlibat Komnas Perempuan, di shelter itu tidak proporsional antara jumlah korban, gedungnya, fasilitasnya, termasuk sumber daya orang yang menangani. Kemudian pula dari segi jarak, buruh migran atau korban trafficking menempuh jarak yang tidak realistis untuk menjangkau shelter milik KBRI sehingga yang terjadi, justru di tengah-tengah pelarian mereka menjadi korban trafficking oleh supir taksi atau para migran lainnya yang berkeliaran di negara penerima. Kalau kita lihat, misalnya, beberapa kasus bayi di Selapanjang, menurut mereka, itu kebanyakan (dilakukan oleh) orang-orang dari Pakistan yang rata-rata adalah buruh bongkar pasang atau buruh bangunan yang temporer.

JP: Berarti soal sistem, ya? Kelemahan lain dalam penanganan korban selain sistem?
YC: Ya, perspektif orang yang dipakai untuk melihat masalah isu migrasi, kan, cenderung demografis, ekonomis, politis, tidak melihat, misalnya, dimensi agama dalam proses orang bermigrasi. Korban trafficking banyak juga yang motif awalnya karena dia ingin beribadah haji atau umroh. Kita lihat, misalnya, orang menggunakan visa umroh untuk haji; atau setelah haji dia tidak pulang supaya bisa bekerja di sana. Ketika dia tidak punya dokumen, menjadi ilegal, rentan posisinya, sangat mudah dipindahkan ke majikan lain atau mudah diperjualbelikan, juga tentu menjadi korban kekerasan seksual. Yang kedua, karena kemiskinan, di beberapa suku tertentu, misalnya.

Ya, jadi memang ada tokoh agama yang baik, di beberapa wilayah ia menyediakan fasilitas pendidikan untuk para perempuan yang bermigrasi supaya anaknya aman dididik di situ; atau di wilayah tertentu dia membuka lembaga pendidikan yang rata-rata para perempuan ini bisa sekolah dan dengan mudah, menyelesaikan pendidikan Aliyah. Walaupun pada akhirnya ia menjadi buruh migran, tetapi relatif ia punya pengetahuan bahasa Arab, punya pengetahuan untuk menjaga dirinya. Tapi, ada juga  tokoh  agama  yang menjadikan ketidaktahuan buruh migran sebagai komoditas. Jadi, perdagangannya berlapis.

JP: Pelaku perdagangan yang berlapis dan adanya pandangan bahwa mereka adalah malaikat penolong berpengaruh terhadap sulitnya penanganan?
YC: Iya, orang jadi tidak clear melihat. Polanya juga semakin canggih dan kadang samar, bahkan pelaku perdagangan ini bisa jadi saudara dekat. Di beberapa wilayah, untuk bekerja di pub, menjadi pekerja seks, harus ada tanda tangan dari orang tua. Artinya, keluarga menyetujui‚ “memperdagangkan” entah itu anaknya, entah itu keluarganya. Kalimat izin dipahami seperti itu.

JP: Bagaimana dengan prosedur penanganan korban yang berbelit?
YC: Ya, itu dari hulu sampai hilir yang harus ditangani, soal aparat penegak hukum yang harus sama-sama sensitif terhadap korban juga suatu agenda. Tapi, selebihnya juga soal kemiskinan, terbatasnya opsi-opsi pekerjaan bagi perempuan  rentan.  Sekarang,  dengan  semakin  menguatnya  moralisme  di Indonesia, pekerja seks tidak boleh, mobilitas keluar malam jadi terbatas (ada daerah yang punya perda prostitusi yang membatasi warga keluar malam hari- red), padahal bisa jadi ia tukang sayur. Pilihannya menjadi sedikit. Opsi untuk PRT diperjuangkan (melalui) undang-undangnya pun, dari kalangan kelas menengah masih sangat resistan. Opsi perempun sangat terbatas. Menjadi buruh migran yang legal juga prosedurnya enggak sederhana untuk orang- orang yang mungkin pendidikan masih terbatas sehingga terkadang pilihan untuk masuk dalam jeratan trafficking itu menjadi lebih terbuka karena tidak ada opsi. Dari hasil riset saya terhadap beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK) dan buruh migran, rata-rata mereka adalah korban pernikahan dini, lalu korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), suami pergi, atau melakukan kekerasan yang lain, lalu dia tidak punya jaringan tempat untuk bergantung, keluarganya miskin semua, dan dia harus menanggung anak untuk survive sehingga dia harus masuk dalam lingkaran trafficking.

Rantai kemiskinan, juga soal agama yang harus ramah pada perempuan, kemudian tindakan yang tidak tegas yang menimbulkan efek jera pada pelaku, nyaris sulit untuk menjerat para pelaku perdagangan, pembuktiannya juga complicated, sulit. Rumit, ya, apalagi kalau berhadapan dengan korban yang rentan. Dia sudah harus melakukan bukti-bukti segala macam, nyaris enggak mungkin gitu, kan. Ini memang masalah yang perlu pendekatan multidimensi dan sistemis, ya. Di samping tadi itu, ya, soal pemulihan, ini termasuk agenda Komnas Perempuan, bagaimana membuat suatu standard setting untuk mekanisme pemulihan, baik buruh migran maupun trafficking.

JP: Bagaimana pemulihan yang efektif agar korban tidak balik lagi menjadi  korban traThcking?
YC: Yang jelas pemulihan dalam makna luas, ya, jadi korban sendiri mendapatkan hak keadilan, baik secara ekonomi maupun psikis, karena kadang sudah menjadi korban trafficking, suaminya tidak mau terima dia secara psikis. Beberapa kasus perempuan yang tadinya menjadi korban perkosaan terus kemudian terjebak dalam prostitusi, kan, kebanyakan karena tidak diterima oleh suaminya. Dia menganggap, terutama kelompok moralis, ini soal purity, body purity, dan purity symbol. Akhirnya, dia (korban trafficking)  merasa dirinya kotor dan  dia menyemplungkan langsung. Jadi, pemulihan kepada korban juga harus didukung oleh komunitas, bahwa kadang, adil itu enggak hanya bagi dirinya, tapi bagi korban, bahwa saya harus diterima oleh masyarakat. Makanya, yang saya lihat, survival para korban trafficking maupun penghamilan paksa dan sebagainya  di  wilayah  yang  permisif,  enggak  harus  membuat  surat nikah.

Tetapi, kalau di wilayah yang semakin moralis, dia harus membuat  surat nikah walaupun asli palsu. Misalnya, karena jaringan di Timur Tengah untuk mendapatkan surat nikah itu mudah, ada jaringan yang siap siaga. Survival- nya sampai seperti itu, sudah menjadi korban dia harus memastikan juga di komunitas. Jadi, pemulihan dalam makna luas adalah seperti itu, individu, masyarakat, kebenaran, keadilan; karena sekarang, pulih bagi korban, tapi ketika distigma lagi oleh masyarakat, tidak ada artinya.

JP: Bagaimana bentuk pemantauan nantinya?
YC: Sebagai sebuah konsep, kita sudah punya pemulihan dalam makna luas. Tetapi, isu buruh migran memang harus kita ramu bersama. Konsepnya, sih, setelah finding-finding dari pemantauan ini baru kita cari polanya yang pas. Mungkin bahan bakunya adalah pemulihan dalam makna yang luas ini, tapi persisnya seperti apa, kan, justru tujuan pemantauan ini untuk mendapatkan deskripsinya yang pas. Paling tidak, secara sinergis kita bikin kajian soal kebijakan-kebijakan lokal, preview perda diskriminiatif. Nah, nanti kita lihat sisi kebijakannya seperti apa, respons pemerintah setempat atau lembaga- lembaga negara di tingkat lokal, terus jaringan di setiap wilayah, juga misalnya peta korban itu sendiri, termasuk jaringan aktor yang terlibat di situ, mesti dilihat sehingga memutus rantainya itu menjadi lebih clear.

JP: Apa kendala yang kemungkinan muncul?
YC: Kendalanya berlapis, soal kekuatan korban dengan kekuatan jaringan pelakunya enggak berimbang, lalu kebijakan-kebijakan yang ada, misalnya, retribusi pajak. Rata-rata perda yang muncul adalah soal gimana pajak-pajak. Itu juga yang dikeluhkan oleh PJTKI. Makanya, UU No. 39 ini kalau semua pihak ingin merevisi, interest-nya beda-beda. PJTKI, civil society, dan korban punya interest sendiri.

JP: Apakah ada optimisme masalah traThcking ini akan selesai, minimal berkurang?
YC: Kalau dari peta Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan tahun 2009, sekarang ini ada keberanian korban. Jadi, sekarang ini korban tidak takut walaupun aktornya adalah orang penting, orang berpengaruh. Itu menurut saya luar biasa, termasuk korban trafficking atau buruh migran yang rentan. Yang kedua, data laporan terbanyak datang dari laporan lewat telepon. Jadi, teknologi HP (handphone) pada titik tertentu membuka akses yang lebih mudah bagi perempuan untuk bicara atau mengungkapkan kasusnya. Dulu, kasus hilang kontak sangat tinggi. Sekarang, dengan adanya HP, buruh migran bisa komunikasi dengan keluarga dan anaknya, itu bisa membantu dalam situasi sulit, ya. Itu yang saya rada optimis.

Sekarang juga orang melalukan campaign yang sangat serentak, bahkan kolosal yang populer di kalangan anak-anak muda dengan musik dan sebagainya yang membuat orang aware. Kata trafficking orang sudah tahu walaupun mungkin substansinya masih enggak jelas. Misalnya, belum lama ini, ada pertemuan soal campaign (anti) trafficking, terus bilang, “Stop perdagangan ilegal terhadap perempuan,” jadi, kalau legal boleh? Paling tidak, orang harus dipahamkan soal trafficking itu. Pola baru, kan, rada mengerikan, soal menjual virginitas. Kasus terakhir ada orang diancam via video. Oleh pelakunya, anak-anak diminta berhubungan seks, direkam dalam video, dan kalau melaporkan, akan disebar (video tersebut). Melalui ancaman, itu juga membuat kerentanan baru.
Paling prinsip (dalam penyelesaian masalah trafficking) adalah soal penegakan hukum. Kita punya UU (tentang) anti-trafficking, tapi sebetulnya tingkat efektivitasnya seberapa, sih? Kalau itu dibuat efek jera, mungkin bisa membuat perdagangan perempuan bisa ditekan. (Dewi Setyarini)
 
Catatan Belakang:

Tulisan ini dibuat pada tahun 2010
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 68, 2010  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

(Almh.) Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

15/8/2016

 
Picture
​“Saya setuju dengan sebutan bahwa negeri kita ini adalah negeri yang maskulin. Saya dapat melihat dan merasakan maskulinitas itu dari ‘teks-teks’ sosial kita yang sarat dengan pelecehan seksual terhadap perempuan. Dan, saya kira semua itu akibat hegemoni patriarki yang telah tumbuh cukup lama dalam negeri ini. Untuk itu, saya sangat tertantang untuk menulis cerpen sebagai saksi atas ketidakadilan.” (Ratna Indraswari Ibrahim)1
 
 
Bila Ratna Indraswari Ibrahim tidak menulis, itu bisa berarti dua kemungkinan, yakni tidak ada lagi pelanggaran kemanusiaan atau kehidupan ini memang telah usai. Sejauh ini, memang tidak pernah terbayang oleh Ratna jika ia harus berhenti menulis. Baginya, menulis cerpen bisa mengungkapkan sekaligus menggambarkan suatu realitas sosial yang terjadi di masyarakat. “Cerpen adalah bagian dari sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra merupakan refleksi kejujuran atas realitas sosial di mana karya sastra itu tumbuh,” kata Ratna. Alasan itulah yang menjadikan Ratna merasa dapat membantu dan berbagi kepada sesama manusia lewat cerpen-cerpennya. Kemanusiaanlah yang menjadikan Ratna tetap menulis.

Ratna adalah perempuan biasa yang luar biasa. Mengenal Ratna mengingatkan kita pada si Genius Stephen Hawking yang memberi pemahaman bahwa keterbatasan fisik bukanlah instrumen utama bagi berkurangnya kegeniusan seseorang. Ratna secara fisik tidak mungkin mengerjakan pekerjaannya seperti manusia normal. Ratna adalah orang cacat secara fisik, tetapi genius secara ide. Ratna adalah Stephen Hawking dalam dunia sastra dan perjuangan perempuan di komunitasnya.

Hampir sebagian besar anggota tubuhnya, terutama tangan dan kakinya, tidak bisa difungsikan, menyuap makanan pun tidak mungkin ia kerjakan sendiri. Di atas kursi rodanya, Ratna kerap kali kecewa kepada masyarakat yang memperlakukan orang cacat dan perempuan dalam posisi yang tidak penting, terbelakang, dan bodoh. Tekad untuk mengubah pandangan masyarakat yang keliru inilah yang menjadikan Ratna selalu hidup dalam kehidupan yang tidak berperilaku adil.

Ia sangat mengagumi ibu Nabi Musa A.S., karena kecerdasannya, perempuan itu menemukan jalan untuk menyelamatkan Musa kecil dari kekejaman Firaun yang siap membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir. Ratna bercita-cita agar perempuan di negerinya dapat berpikir seperti itu, berpikir alternatif, cerdas,  dan mandiri dari kekuatan laki-laki yang mendominasi dan memperlakukan perempuan secara tidak adil. Itulah Ratna, ia hidup dalam cerpen-cerpennya yang kelak akan dikenal sebagai sosok yang memberi pemahaman kepada dunia bahwa nilai dan kedudukan manusia bukan dilihat dari fisik, melainkan dari tindakan, pikiran, dan sumbangsih seseorang dalam kehidupan bersama.
 
Ratna dan Sisi Kehidupannya
Dalam dunia sastra, nama Ratna Indraswari Ibrahim cukup dikenal sebagai penulis cerpen. Cerpen-cerpennya kerap dimuat di sejumlah media cetak, baik lokal maupun nasional. Selain dikenal sebagai penulis cerpen, Ratna juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan hak para difabel untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagai warga negara. Kondisi fisiknya memang tidak normal karena sebagian besar anggota tubuhnya tidak berfungsi. Ia terserang penyakit polio pada usia 12 tahun dan sejak itu ia harus mengisi hari-harinya di atas kursi roda.

Meskipun harus menghabiskan kehidupannya di atas kursi roda, Ratna merasa tidak mempunyai persoalan menyangkut kondisinya yang difabel. Persoalan ini baginya sudah lewat. Ia juga tidak mengalami diskriminasi dalam keluarganya. Orang tua dan saudara-saudara tidak pernah memperlakukannya secara istimewa. Inilah yang menjadikan Ratna merasa selesai dengan kondisinya.

Di atas kursi roda, Ratna semakin menemukan dirinya. Kehidupannya telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang cukup berharga bagi dirinya menyangkut keberadaan difabel lainnya. Di atas kursi roda, ia dapat merasakan bagaimana perlakuan masyarakat masih belum sepenuhnya menerima orang-orang difabel. Keinginan Ratna hanya satu, yaitu perlakuan yang sama dari masyarakat kepada mereka yang difabel. Dengan sepenuh hati, Ratna kerap memaksa masyarakat yang menganggap difabel sebagai objek yang perlu dikasihani untuk mengubah pandangan bahwa difabel adalah subjek yang juga mempunyai peran penting. Ratna telah menunjukkan perannya, yaitu menumbuhkan motivasi kepada rekan-rekannya sesama difabel dan masyarakat umum bahwa mereka ini adalah manusia biasa yang juga warga negara.

Kepedulian ini diwujudkan Ratna dengan mendirikan organisasi penyandang cacat di Kota Malang, yaitu Bakti Nurani yang pada tahun 1977—2000 dinakhodai oleh Ratna. Melalui Bakti Nurani, Ratna membangun jaringan keluar dengan berba- gai organisasi untuk membangun kekuatan. Tidak saja dengan sesama organisasi penyandang cacat, tetapi juga organisasi sosial lainnya. Baginya, membangun jaringan dapat menggalang kekuatan yang mempercepat proses perubahan masyarakat. Kekuatan jaringan yang dibangun Ratna tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri hingga pada tahun 1993, ia diundang untuk hadir dalam seminar Hak Asasi Manusia di Sidney, Australia sebagai delegasi dari Indonesia.

Ratna Indraswari Ibrahim lahir dari keluarga besar. Ia adalah anak keenam dari sebelas bersaudara, lima laki-laki dan enam perempuan. Ratna dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur pada 24 April 1949. Darah keluarganya mengalirkan minat menulis yang tinggi dalam diri Ratna. Ia sendiri mengakui bahwa kelahirannya dalam keluarga Saleh Ibrahim (ayahnya) membawanya pada perasaan seperti anak ikan yang bertemu dengan air. Ayahnya, Saleh Ibrahim yang berdarah Padang adalah seorang penulis dan aktivis. Beberapa karya tulisnya menghiasi sejumlah media massa pada saat itu. Sayang, Saleh Ibrahim tak bisa menemani Ratna hingga melihat putrinya ini menunjukkan kemampuan menulisnya. Pada tahun 1967, ayah Ratna meninggal akibat kanker. Umur Ratna saat itu baru 18 tahun.

Ratna sangat mengagumi ayahnya. Lelaki ini mengajarkan anak-anaknya untuk membeli dan membaca buku. Karena itulah, koleksi buku Ratna banyak sekali, mencapai 1.000 judul. Semenjak ayahnya meninggal, Ratna menapaki kehidupan bersama ibunya, Siti Bidahsari Arifin, orang Padang berdarah campuran. Tidak jauh berbeda dengan ayahnya, ibunda Ratna juga yang suka menulis dan melukis. Ibunyalah yang memperkenalkan Ratna pada kemandirian dalam hal menulis.

Suatu kali, ibunya pernah mengatakan, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya,” ujar Ratna mengutip kata-kata sang Ibu. Tampaknya, ucapan tersebut dipegang teguh oleh Ratna, bahkan hingga kini. Pada tahun 1975, cerpen pertama Ratna berjudul “Jam” dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI. Sejak saat itu, Ratna semakin memantapkan hati, jiwa, dan pikirannya untuk menulis.
Dalam kesehariannya, aktivitas Ratna cukup sederhana, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Beberapa waktu memang Ratna harus keluar rumah untuk mendatangi sejumlah seminar, baik tentang politik, sosial, maupun budaya. Ratna aktif menghadiri seminar-seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara. Bagi Ratna, tidak ada kerugian apa pun untuk mendatangi seminar, malah menambah wawasan.

Tidak jarang pula Ratna bergabung  bersama teman-temannya untuk turun  ke jalan memprotes sejumlah kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut  isu kebudayaan, perempuan, lingkungan, dan aksesibilitas bagi difabel. Ia juga kerap hadir untuk memberi dukungan pada sejumlah aksi mahasiswa, seperti aksi mogok makan yang dilakukan mahasiswa untuk memprotes kebijakan pemerintah daerah. Ratna memang tidak bisa bergabung terus-menerus, tetapi kehadirannya mampu menambah dukungan moral.

Solidaritasnya yang tinggi membuat Ratna dikenal hampir di semua kalangan. Hal ini tampaknya berpengaruh bagi kehidupan Ratna. Hidupnya tak pernah sepi. Dalam keseharian, ia terus menciptakan arus bagi setiap aktivis LSM, mahasiswa, budayawan, wartawan, para difabel, birokrat, pendidik, dan elemen masyarakat lainnya. Rumahnya di Jalan Diponegoro 3, Malang tak pernah sepi dari kehadiran seorang teman, masyarakat biasa, hingga sejumlah tokoh besar, seperti budayawan dan politisi. Ratna tidak pernah membeda-bedakan siapa saja yang datang ke rumahnya. Kehadiran rekan-rekannya merupakan spirit baru bagi Ratna untuk semakin memahami kehidupan. Mereka banyak membantu, menjadikan Ratna kuat dan percaya diri.

Di rumahnya, di atas kursi roda, ia mendengar banyak cerita dan keluhan tentang ketidakadilan sosial. Cerita-cerita inilah yang kerap kali menjadi ide bagi setiap cerpen-cerpennya yang hampir selalu berangkat dari kenyataan sosial. Dengan sabar Ratna mendengarkan cerita yang kadang kala cukup menyesakkan dadanya. Setiap cerita kehidupan itu selalu melahirkan korban. Ratna sendiri menyebut teman-temannya sebagai “kunang-kunang”, penerangan bagi dirinya. Ratna senantiasa mengikat komitmen dengan setiap temannya dan menjaga komitmen itu. Inilah yang membuat setiap orang memiliki komitmennya sendiri dengan Ratna.

Ratna mempunyai kegemaran membaca sejak kecil. Sewaktu SMA ia telah membaca sejumlah buku “berat” untuk dibaca anak seusianya, seperti buku karangan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi dan bacaan-bacaan Marxis. Kebiasaan membacanya ini mengajarkan Ratnapada banyak haltentang kehidupan. Kebiasaan membaca inilah yang menjadi teman hidupnya sehari-hari. Koleksi buku Ratna banyak, hampir setiap ada buku baru ia beli. Teman- temannya selalu menginformasikan adanya buku baru atau buku bagus. Ia lalu menitip temannya untuk membelikan karena ia sadar, mobilitasnya terbatas. Ditambah pula, sejak ibunya meninggal, praktis Ratna menjalani hidupnya seorang diri. Ia hanya ditemani tiga temannya yang siap membantu Ratna menjalani aktivitas sehari-hari, mulai dari makan, mandi, ke toko buku, menghadiri seminar, sampai mengetikkan makalah atau naskah cerpennya.

Ratna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan honor menulis cerpen, juga pembayaran sewa kamar-kamar di rumahnya yang diindekoskan. Meskipun saudara-saudaranya sedia membantu, namun bukanlah Ratna bila tidak bisa mandiri. Ia harus belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, untungnya keluarga Ratna bisa memahami hal itu. Dengan penghasilan terbatas, ia menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring makanan kecil untuk teman-temannya yang datang ke rumahnya yang selalu terbuka. “Silakan mau makan, berdiskusi, menginap, atau apa saja selama saya bisa membantu, saya akan bantu, asalkan mau dengan kesederhanaan,” kata Ratna yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya ini namun mengundurkan diri.

Dalam menulis cerpen, ia tidak selalu meminta bantuan temannya untuk mengetikkan. Terkadang Ratna juga menuliskan naskah cerpennya sendiri, ia hanya minta disiapkan komputer di depan kursi rodanya. Dengan sepasang sumpit sebagai “tangannya”, Ratna menekan tombol huruf pada keyboard komputer secara perlahan dan penuh kesabaran. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Ratna untuk mengetik satu kata menjadi kalimat lalu paragraf, apalagi sebuah cerpen. Setiap tombol yang ditekan membutuhkan waktu kurang lebih setengah menit, maka ia membutuhkan waktu berjam-jam untuk sebuah cerpen. Apakah ini menjadi hambatan? Tidak, justru di situlah pergulatan batinnya terjadi hingga mampu memberikan jiwa pada setiap karyanya. Dengan kesabaran, ketekunan, dan komitmen, Ratna tidak saja produktif menghasilkan cerpen, tetapi juga menghasilkan cerpen yang tajam.

Selain menjadi cerpenis lepas, Ratna juga menjadi aktivis sosial dengan menjadi salah satu pendiri Yayasan Entropic, sebuah yayasan yang peduli pada isu lingkungan hidup. Bagi Ratna, alam memberikan kehidupan bagi manusia. Sungguh suatu kebiadaban bila alam harus dirusak oleh kelompok-kelompok yang mementingkan dirinya sendiri. Dari alam pun Ratna mengahasilkan sejumlah cerpen yang membela kelestarian lingkungan hidup.

Pada tahun 1998, Ratna mendirikan Yayasan Pajoeng dan menjadi koordinator litbang di sana. Yayasan Pajoeng adalahsebuahyayasanyang bergerak dalam bidang pengembangan kebudayaan di Kota Malang. Kebudayaan, menurut Ratna, adalah sumber peradaban. Sebuah bangsa menjadi kurang beradab ketika kehilangan akar kebudayaannya karena setiap kehidupan merupakan refleksi kebudayaanya. Ratna juga menjadi pionir bagi perkumpulan aktivis dari berbagai elemen di Kota Malang yang tergabung dalam Forum Pelangi. Komunitas diskusi ini aktif melakukan kajian dan tukar informasi antarelemen masyarakat di Kota Malang. Ratna dan teman-temannya di Malang juga membidani lahirnya Jurnal Naraswari yang memfokuskan isinya pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Media ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memahami sejumlahketidakadilan gender yang terjadi di sekitarnya.

Kepedulian Ratna terhadap persoalan perempuan bukanlah hal baru. Pada tahun 1995, Ratna pernah menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Internasional di Beijing, China. Pada tahun 1997, Ratna juga menghadiri Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, USA. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia memberinya penghargaan sebagai Perempuan Berprestasi. Dalam soal belajar, ia tidak akan pernah berhenti, “Belajar itu tidak pandang usia dan kapan pun,” demikian tuturnya. Itulah kebanggaan Ratna ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan MIUSA (Mobility International United States) di Eugene, Orengon, USA pada tahun 1997.
 
Mengabarkan Kenyataan Lewat Cerpen
Ratna sendiri sudah lupa sudah berapa banyak cerpen yang dilahirkannya. Yang  jelas,  Namanya  Massa  (Yogyakarta:  Penerbit  LKis,  2000)  adalah judul buku kedua kumpulan cerpennya. Kehadiran buku tersebut menjadi tonggak ketekunannya selama 25 tahun menggeluti dunia sastra. Sebelumnya, Ratna juga pernah melahirkan kumpulan cerpen berjudul Menjelang Pagi (1995) dan yang terbaru adalah buku kumpulan cerpennya yang ketiga berjudul Lakon di Kota Kecil (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). Ketiga buku tersebut hanya berisi reproduksi ulang cerpen-cerpen Ratna yang pernah dimuat di media massa, namun itu bukan berarti sebuah ide dan intelektualitas hanya terukur dari kuantitas karya. Ratna adalah orang yang sangat menghormati proses.

Memahami proses adalah memahami persoalan secara lebih substansi dan mendalam. Ia lebih senang orang mengenalnya secara proses, bukan sebagai Ratna yang sekarang ini. Konsistensinya pada proses telah melahirkan cerpen-cerpen yang cerdas. Kompas sebagai koran nasional hampir tak pernah meluputkan nama Ratna dalam setiap penerbitan buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Salah satu karya Ratna adalah “Bunga Kopi” yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2007.

Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah. Cerita dalam cerpen-cerpen Ratna berangkat dari kenyataan sosial yang didapatnya dari teman-temannya. Melalui cerpen, setiap pembaca diajak untuk memahami realitas sosial tersebut untuk pada akhirnya turut merasakan, apakah dirinya menjadi penindas atau yang tertindas. “Itulah tugas cerpen, mengabarkan sebuah kenyataan dan membangunkan mimpi kita dalam sebuah kisah,” kata Ratna yang menemukan jati dirinya dalam pekerjaan menulis cerpen.

Ada banyak pilihan untuk mensosialisasikan gagasan dan pengalaman, Ratna memilih menulis untuk mengekspresikan semua itu. Dengan menulis ia merasa semua orang dapat membaca, kapan pun dan dimana pun. Meskipun minat baca di Indonesia masih rendah, Ratna percaya bahwa dari hal yang kecil itulah akan tercipta sesuatu yang besar. Bila kita tengok cerpen Ratna yang berjudul “Rambutnya Juminten” yang dimuat Kompas, 18 Juli 1993, kita akan dapatkan bagaimana Ratna mengabarkan suatu realitas masyarakat yang sangat mengagungkan suami sebagai kepala rumah tangga. Juminten adalah seorang istri yang dikategorikan “setia” dan ideal dalam ukuran masyarakat yang menganut paternalisme tinggi. Sebagai seorang Istri, Juminten mau melakukan apa saja demi sang Suami, termasuk memanjangkan rambutnya, meskipun dalam hatinya sangat bertolak belakang. Cerpen itu cukup kuat memaksa kita untuk tersadar bahwa perilaku paternalistis menjadikan perempuan tak berdaya. Cerpen tersebut terpilih dalam Cerpen Pilihan    Kompas Tahun 1995 dan menjadi nominasi Cerita Pendek Perempuan di tingkat ASEAN pada tahun 1996.

Selain “Rambutnya Juminten”, beberapa cerpen Ratna juga mempunyai prestasi terbaik, seperti “Jerat” yang masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1993; “Bajunya Bu Boni” menjadi pemenang ketiga Sayembara Cerpen Majalah Wanita Femina tahun 1996; “Perempuan itu Cantik“ termasuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1996 dan masuk seleksi Yayasan Lontar, Jakarta; dan “Seruni” yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Cerber Majalah Wanita Femina tahun 1998. Cerita terakhir ini mengisahkan pemberontakan seorang mahasiswa kedokteran dalam melawan tradisi. Selanjutnya, pada tahun 2000, cerpennya kembali terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas.

Sejumlah cerpen Ratna memang tidak sekadar cerpen. Ia mewakili sepotong kenyataan sosial yang terjadi. Memahami cerpen Ratna tidak bisa hanya dengan dibaca, tetapi juga harus dirasakan karena di situlah letak kekuatan cerpennya. Ia dapat menjelaskan realitas yang selama ini dipandang keliru oleh banyak orang berkaitan dengan perspektif kemanusiaan. Cerpen Ratna mengajak kita untuk bisa memahami setiap persoalan tidak dari satu perspektif, tetapi dari banyak sisi. Perspektif yang beragam dapat membantu kita untuk memahami setiap persoalan tersebut, seperti yang dikatakan Ratna, “Bahwa kebenaran seseorang itu tidak bisa dipandang dari satu sisi. Kebenaran itu hendaknya dilihat dari sisi dan perspektif yang lebih luas. Melalui share pendapat dan berbagi pengalaman, saya kira setiap persoalan yang muncul dapat lebih jelas tingkat kebenarannya.”
 
Memihak Perempuan Lewat Cerpen
  • Juminten mengangkat bahunya yang indah, “Kang, saya ingin memotong rambutku semodel Marni. Dia bilang, saya akan kelihatan rapi, kalau potongan rambutku pendek.” “Kamu bersolek, kan, untuk suamimu, iya, kan?” (“Rambutnya Juminten”, 1993). 
Penggalan di atas adalah cuplikan dialog dari cerpen Ratna berjudul “Rambutnya Juminten”. Cerpen tersebut adalah salah satu cerpen terbaiknya dan—dapat dikatakan—mewakili perasaan Ratna akan kegelisahanya terhadap kondisi perempuan di negeri ini. Juminten mewakili kebanyakan perempuan di  negeri ini yang harus tunduk dan patuh kepada suaminya. Ini bukan karena Juminten tidak punya keinginan lain, melainkan kultur sosial masyarakat yang paternalistis membuat Juminten harus merelakan “dirinya” untuk diperlakukan sekehendak suaminya.

Dalam cerpen tersebut Juminten menuruti saja apa kata suaminya yang menginginkan rambutnya agar tetap dipanjangkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Juminten harus memanjangkan rambutnya. Sementara itu, di sisi lain, tren mode rambut pendek tampaknya menjadi pilihan hampir setiap perempuan. Juminten tidak saja mewakili perasaan Ratna, tetapi Juminten juga mewakili perasaan sebagaian besar perempuan yang hidup dalam hegemoni patriarki. Perempuan tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia hadir untuk memenuhi selera para laki-laki.

Teralienasinya perempuan oleh kekuasaan laki-laki inilah yang menurut Ratna setidaknya harus menjadi perhatian setiap insan. Sama halnya dengan komentar Budi Dharma (Guru Besar Sastra Inggris di IKIP, Surabaya), bahwa Juminten merupakan korban konstruksi sosial masyarakat. “Sebagai anggota masyarakat, ia semata komponen. Ia dibentuk oleh kehendak-kehendak dari luar, bukan dari dirinya sendiri,” kata Budi Dharma.

Ratna memang bertekad untuk membongkar realitas patriarki ini melalui cerpen-cerpennya. Ratna menginginkan tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersama-sama menggugah kesadaran perempuan yang teralienasi oleh hegemoni patriarki. Ratna sangat perhatian terhadap persoalan perempuan yang telah menikah. Menurutnya, sudah banyak contoh yang menggambarkan bagaimana perempuan yang menikah selalu menjadi objek kekerasan oleh suaminya, entah itu secara fisik, psikologis, maupun secara ekonomi. Ratna berpandangan bahwa sebagai istri, perempuan yang menikah, harus berani menunjukkan hak-haknya sebagai warga negara yang sama dalam perlakuan di mata hukum.

Hal ini tampak dalam komentar Ratna yang cukup keras ketika menyikapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga, “Istri harus berani melapor ke polisi bila ia dipukul oleh suami,” tegasnya. Pernyataan ini sangat jelas memberi pemahaman bahwa suami dalam instrumen perkawinan, tidak punya hak untuk melakukan kekerasan terhadap istri atas dalih apa pun. Untuk itu, istri wajib melaporkan kepada polisi bila ia mengalami kekerasan sekecil apa pun. Sebagai cerpenis, Ratna hanya bisa mengkisahkan kegelisahannya tersebut dalam sebuah cerpen. Ia pun sering kecewa terhadap tayangan-tayangan televisi yang hampir sebagian besar mengeksploitasi perempuan. Ratna khawatir bahwa citra perempuan yang terbangun melalui televisi yang suka menangis, sebagai pekerja rumah tangga, tidak mempunyai daya kreativitas berpikir, bercitra sensual, ditangkap secara mentah-mentah oleh masyarakat. Tayangan televisi ataupun media cetak adalah agen yang efektif untuk mempengaruhi masyarakat. Bila tayangan televisi sendiri telah mengalami bias gender, maka jangan disalahkan bila masyarakat akan mencontoh perilaku seperti yang tertangkap di televisi atau media cetak selama ini.

Dalam konteks tersebut, cerpen-cerpen Ratna sebenarnya tidak saja melawan hegemoni-hegemoni patriarki,  tetapi  juga  melawan  hegemoni  kapitalistis  yang selalu menampakkan manusia secara fisik. Dalam konteks itu pula, Ratna mau melakukan apa saja agar cerpen-cerpennya bisa dibaca. Ia memang tidak menginginkan dirinya menjadi terkenal, tetapi ia hanya ingin memberi pelajaran bahwa realitas yang terjadi tidaklah sama dengan tampilan di media massa yang sangat eksploitatatif. Mensosialisasikan cerpennya melalui sekolah-sekolah adalah upayanya untuk memberikan pemahaman dini terhadap siswa tentang persoalan ketidakadilan gender. Upaya ini ia lakukan agar siswa lebih terbiasa untuk memahami realitas yang sesungguhnya.
 
Penutup
Ratna Indraswari Ibrahim memang tidak terbiasa untuk diam tidak menulis. Menulis sudah menjadi bagian hidupnya. Namun, kebiasaanya untuk menulis telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Bila Ratna menulis, berarti ada ketidakadilan yang merajalela, ada penindasan yang kejam, ada korban yang jatuh, dan ada cinta yang tercabik. Bila Ratna menulis, berarti ada perempuan yang diperkosa, ada tanah yang digusur, ada aktivis mahasiswa yang dipukul, dan ada manusia yang terbantai. Ratna memang sosok penulis cerpen yang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang ia tuliskan. Cerpen Ratna adalah saksi yang berbicara pada nilai-nilai kemanusiaan.
​
Semestinya kita dapat belajar dari  Ratna  bahwa  kesempurnaan  seseorang itu tidak akan diperoleh tanpa kita berupaya untuk menyempurnakan diri kita sendiri. Tidak ada satu pun yang bisa mengubah diri kita, kecuali diri kita sendiri. Itulah yang telah dilakukan oleh Ratna untuk mencari kesempurnaan dirinya. Ratna adalah saksi di mana keterbatasan fisik bukanlah hambatan seseorang untuk berbuat untuk sesamanya. Ratna telah membuktikan, meskipun ia tidak bisa menggunakan kemampuan fisik anggota tubuhnya, tetapi ia mampu memberi pencerahan melalui pikiran-pikirannya. Ratna dapat dijadikan saksi bahwa kekuatan pikiran lebih berbahaya ketimbang kekuatan fisik. Kekuatan fisik hanya tumbuh di dalam jasmani, tetapi kekuatan pikiran tumbuh di dalam jiwa. (Eko Bambang Subiyantoro)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2002
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 23, 2002  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Yanti Muchtar: Pendidikan Alternatif untuk Perempuan

1/8/2016

 
Picture
Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern dengan isu pendidikan perempuan adalah Kapal Perempuan (Lingkar Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Metode yang dilakukan adalah memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan alternatif. Yanti Muchtar adalah Direktur Eksekutif Kapal Perempuan yang telah menerapkan pendidikan untuk perempuan ini di masyarakat terpinggir dan para ibu rumah tangga yang hidup di sana. Selengkapnya, berikut wawancara Jurnal Perempuan dengan Yanti Muchtar.
 
Jurnal Perempuan (JP): Apa pentingnya pendidikan alternatif bagi perempuan?
Yanti Muchtar (YM): Kalau kita mau melihat isu demokratisasi, maka harus ada satu, dua, tiga atau lebih masyarakat sipil yang kuat. Maka, kalau kita bicara tentang masyarakat sipil yang kuat, berarti kita juga akan bicara kelompok- kelompok perempuan yang kuat sebagai bagian dari masyarakat sipil itu.  Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengorganisasi perempuan menjadi sangat penting agar proses demokratisasi bisa berjalan sepenuhnya dan dengan yang sebaik-baiknya menuju masyarakat adil dan pluralis, yang akhirnya manfaatnya juga bisa dirasakan oleh kaum perempuan.
JP: Atas hal tersebut, bagaimana Kapal Perempuan mengorganisir sekolah perempuan?
YM: Tentu saja sama dengan yang tadi saya katakan, prasyarat dalam menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan pluralis membutuhkan  masyarakat sipil yang kuat, yaitu masyarakat sipil yang berperspektif keadilan sosial dan keadilan gender. Karenanya, kita harus memperkuat perempuan sebagai bagian yang terpenting dari masyarakat sipil sebab untuk konteks Indonesia, kita harus mengakui bahwa 57% masyarakatnya adalah perempuan. Dari jumlah ini, artinya manakala kita bicara proses demokratisasi, maka mau tidak mau kita harus memperkuat dan memberdayakan perempuan.

JP: Dari kegiatan pendidikan alternatif untuk perempuan, Kapal Perempuan memilih pendidikan yang diberikan pada ibu rumah tangga. Mengapa demikian?
YM: Kapal Perempuan mencoba melawan arus dengan cara memperkuat dan mengorganisasi ibu rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tidak militan dan sulit diorganisasi, padahal mereka itu, kan, mayoritas. Makanya, kami coba mengorganisasi ibu-ibu rumah tangga di dua wilayah, yaitu di Ciliwung dan di Kampung Jati, Klender. Dan, ternyata setelah satu tahun, mereka berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di dua wilayah tersebut.

JP: Apa saja program yang dimiliki di Sekolah Perempuan itu?
YM: Kita mencoba mengintegrasikan tiga pendekatan sekaligus. Pendekatan pertama adalah bagaimana meningkatkan kesadaran perempuan sekaligus meningkatkan cara berpikir yang kreatif dan kritis, namun di saat bersamaan kita juga tahu bahwa faktor ekonomi juga merupakan sebuah masalah yang tidak bisa kita tinggalkan. Pendekatan ekonomi saja memang tidak cukup. Artinya, perempuan sebetulnya perlu pula pengetahuan, itu mengapa kami masuk dengan pendekatan apa yang disebut pemerintah sebagai “keaksaraan fungsional”, yaitu mereka dapat membaca, menulis, dan berhitung. Nah, ketiga hal itu coba kami gabungkan dengan metodologi yang berusaha tidak memisahkan ketiga hal ini. Misalnya, ketika kami mengajar membaca, maka yang dibaca adalah persoalan mereka. Setelah itu dianalisis, kemudian bagaimana menjawab pertanyaan dan menggali jawabannya. Nah, dari situlah muncul kebutuhan pentingnya berorganisasi, bersolidaritas sehingga hasil proses itu kemudian menghasilkan organisasi yang mereka inginkan.

JP: Jadi, berdasarkan pengalaman perempuan itu kemudian timbul kebutuhan akan pengetahuan-pengetahuan tersebut?
YM: Persis, berdasarkan pengalaman merekasendiri lalu mereka bisa merumuskan kebutuhan mereka.

JP: Adakah kendala dalam pengorganisasian Sekolah Perempuan tersebut?
YM: Ada, yaitu dari masyarakat sendiri, dan sebetulnya masyarakat kita memang sudah terkotak-kotak. Maka, ketika kami datang ke dua wilayah  tersebut, yang keluar adalah isu penyebaran agama. Kita sempat dianggap melakukan penyebaran agama. Dan, kendala kedua, banyak yang berpikir kami bawa bantuan karena selama ini, orang datang ke mereka untuk bawa bantuan  fisik. Jadi, menurut kami, materi yang nantinya disampaikan pada kelompok ibu rumah tangga ini adalah tema pluralisme juga, yaitu bagaimana saling menghargai dan bagaimana saling menerima perbedaan yang ada dalam masyarakat, dan di antaranya adalah perbedaan agama.

JP:
Apa perubahan yang terjadi di kelompok pendidikan alternatif bagi perempuan tersebut?
YM: Mereka bisa lebih terbuka dan berani mengekspresikan pikiran mereka sendiri. Misalnya, di Ciliwung, kami terkena isu agen penyebaran agama, ternyata ibu-ibu yang sekolah di tempat kami menolak isu itu dengan mengatakan itu mengada-ada dan bohong belaka. Reaksi itu sebenarnya hasil proses penguatan bahwa mereka berani mengatakan dan bertindak atas nama diri mereka sendiri. Akhirnya, posisi tawar mereka dalam masyarakat itu pun lalu menjadi lebih baik.

JP:
Artinya Kapal Perempuan berhasil memfasilitasi Sekolah Perempuan di dua wilayah itu, apakah memang ada kebutuhan sekolah alternatif di sana?
YM: Tentu ada, sebab kalau kita mau bicara soal Indonesia yang adil dan sejahtera serta demokratis, tentu harus ada pengawasan, monitoring, dan input dari masyarakat. Masyarakat miskin tentu saja ada di dalamnya, berikut perempuan- perempuan miskin. Mungkin sebagai salah satu contoh, inisiatif LSM untuk membantu, seperti yang dilakukan Kapal Perempuan, tetapi sebaiknya itu adalah keinginan atau diinisiatifkan oleh mereka sendiri. Dan, harapan ke depan, proses-proses pengorganisasian itu dapat didorong oleh kita semua, khususnya oleh pemerintah. Dorongan itu bukan sekadar omongan, melainkan juga terjamin di APBD dan APBN, bahwa usaha-usaha yang tersistematisasi memang pendanaannya ada dari pemerintah. Mengorganisasi ibu-ibu agar mereka kuat dan mampu mengekspresikan aspirasi dan pendapat mereka itu, kan, penting. Misalnya, saat pemilu lalu, hampir semua pihak memberikan pendidikan politik, padahal seharusnya yang diberikan adalah pendidikan kewarganegaraan dan itu harusnya memang dilakukan oleh negara.

JP:
Berbalik pada kelompok perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga yang dianggap tidak militan, pengalaman Kapal Perempuan sendiri bagaimana?
YM: Ya, ternyata mereka militansinya tinggi sekali karena pada tingkatan tertentu tidak ada itu namanya riil ibu rumah tangga. Banyak di antara mereka menjadi buruh cuci dan pengusaha kecil. Pengalaman kami ternyata, mereka cukup mampu untuk membangun komunitasnya. Saya hanya ingin membandingkan ketika saya pulang dari Manila, di situ ada persatuan orang tua yang isinya ibu rumah tangga dan mereka memulai aktivitas pendidikan pre-school di setiap komunitasnya dengan konsep dari mereka untuk mereka, dan ternyata gerakan ini cukup kuat, begitu pula di daerah miskin kota. Saya langsung membayangkan bagaimana mereka bisa melakukan itu dan apakah mungkin diterapkan di negara kita.

JP:
Dapat  digambarkan apa yang dilakukan mereka di sana?
YM: Seperti di Filipina, Indonesia juga saya rasa, kadang anak tidak disekolahkan, selain faktor biaya, jarak yang jauh, mungkin juga tidak ada tempat atau ibu- ibunya menganggap tidak penting. Maka, kelompok ibu-ibu rumah tangga ini bersatu dan mengumpulkan uang, menyewa satu ruangan, dan membuat satu sekolah di situ. Di sana mereka sekaligus dididik untuk menjadi guru TK dan mereka dapat bergantian menjadi guru TK di sana. Bagi yang tidak punya biaya tidak perlu membayar.

JP:
Apa pendapat Anda mengenai persoalan pendidikan di Indonesia?
YM: Indonesia memang sudah meratifikasi deklarasi education for all, yaitu ‘pendidikan untuk semua’ dan juga berdasarkan UUD ‘45 yang diamandemen, pendidikan dasar 9 tahun seharusnya gratis,  bermutu,  dan  aman.  Karena itu, tidak mungkin bila Indonesia tidak memikirkan persoalan pendidikan  ini, apalagi persoalan perempuan yang jelas separuh lebih dari penduduk di Indonesia ini. Ya, kita harus terus menjalankan metode pendidikan alternatif ini sebelum semuanya menjadi semakin runyam dan negara ini tidak menjadi apa-apa di mata dunia. (Sofia Kartika)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2005
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 

​

    Author

    Redaksi Jurnal Perempuan 

    Archives

    February 2021
    January 2021
    September 2017
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com