Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada hari Selasa malam, 10 Januari 2006 menjadi waktu yang paling luang bagi Sjamsiah Achmad dari sekian waktu yang dipadati oleh kesibukannya. Melalui percakapan dalam telepon, Sjamsiah Achmad sangat bersemangat untuk meluangkan waktunya meski hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Raya Idul Adha. “Selasa malam Anda tidak keberatan, kan, datang ke rumah saya?” begitu tanya Sjamsiah. “Saya menanyakan pada Anda karena saya takut menganggu waktu Anda di hari lebaran,” katanya lagi. Di usia 73 tahun pada Maret 2006 silam, agenda kerja Sjamsiah Achmad bukannya berkurang, justru semakin padat[1]. Pada bulan Januarinya, beliau harus ke Denpasar, Bali dan hari itu juga harus kembali ke Jakarta untuk melaksanakan kewajibannya di beberapa kegiatan. Baru beberapa hari di Jakarta, ia kemudian harus bertolak ke Tokyo, Jepang. Ia sedang tidak melakukan perjalanan wisata, tetapi perjalanan kemanusiaan yang terus ia suarakan, khususnya keadilan bagi perempuan. Saat saya tiba di kediamannya di komplek LIPI Taman Widya Candra, Jakarta Selatan, rumah beliau tidak tampak seperti rumah di sebuah kawasan yang dikenal sebagai perumahan para menteri. Saya menemui beliau di ruang tamu dengan sebuah kipas angin sederhana yang lumayan menghilangkan udara panas hari itu. Saya melihat sekeliling dan di ruangan itu saya terpaku pada foto-foto yang dipajang. Tampak salah satu foto, Sjamsiah memegang sebuah tropi penghargaan sebagai perempuan berbusana terbaik. “Saya dinilai sebagai orang yang selalu memakai busana baik, menggunakan pakaian dengan bahan-bahan tradisional Indonesia. Saya tidak menyangka apa yang saya kenakan diperhatikan orang,” ujar Sjamsiah tertawa di usianya yang lebih dari setengah baya. Sementara itu, foto lainnya menampakkan Sjamsiah sedang berjabat tangan dengan Hilary Clinton ketika berkunjung ke Indonesia. “Mengapa Anda memilih saya untuk diwawancara?” tanya Sjamsiah mengawali pembicaraan. “Tema Jurnal Perempuan kali ini tentang konvensi internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan atau CEDAW. Perjuangan melaksanakan konvensi tersebut tentu tidak lepas dari proses keterlibatan perempuan sehingga konvensi ini ikut diratifikasi oleh negara kita. Maka, sulit membiarkan seorang ibu yang banyak orang bilang mempunyai komitmen kuat terhadap pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Itulah alasan kami melakukan wawancara,” jawab saya. Perempuan Sulawesi yang Menapak Dunia Tanggal 10 Maret 2006, Sjamsiah Achmad tepat berusia 73 tahun, tentu bukan usia muda lagi untuk seorang aktivis dengan segudang kegiatan. Kita tentu dapat membayangkan bagaimana di usianya yang muda dulu ketika Indonesia masih dalam kondisi revolusi dan membiasakan kemerdekaan dengan tuntutan pembangunan di sana-sini, ia menapaki perjuangan hak-hak perempuan di tingkat nasional, bahkan sampai ke tingkat internasional. Bagi saya mungkin saja jika sampai saat ini Sjamsiah Achmad masih terlihat energik dan tangkas. Perempuan kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan pada 1933 ini adalah anak keempat dari sembilan bersaudara dengan dua orang ibu. Ia tujuh bersaudara kandung dengan ibu pertama dan bertambah lagi dua saudara dari ibu tiri. Ayahnya adalah pensiunan kepala kejaksaan negeri Kabupaten Sengkang, Sulawesi Selatan. “Saya kasihan dengan mendiang ibu saya. Tampaknya waktu itu tidak ada perhatian soal kesehatan reproduksi. Hampir setiap tahun melahirkan, bahkan sampai beberapa tahun tidak mendapat menstruasi. Ia meninggal setelah kelahiran adik saya yang ketujuh,” kenang Sjamsiah. Jika sekarang Sjamsiah menjadi seorang peneliti, mungkin bukanlah pekerjaan yang dicita-citakan karena waktu kecil Sjamsiah ingin menjadi seorang dokter, tetapi karena yang ada asramanya adalah sekolah guru, maka mau tidak mau Sjamsiah mesti mengikuti pendidikan guru. “Zaman dulu ketat sekali, kita tidak dapat sembarangan sekolah, apalagi waktu itu zaman perang. Saya masuk ke sekolah guru dan lulus tahun 1952.” Selepas sekolah guru, awalnya Sjamsiah ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, namun ada larangan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan dengan alasan bahwa usai perang negara sangat kekurangan guru. Tetapi, pemerintah berjanji akan memperbolehkan sekolah lagi jika telah mengajar selama dua tahun dengan syarat lulus di peringkat 1—3. Sjamsiah kebetulan memenuhi syarat itu sehingga setelah dua tahun mengajar pada 1954, ia menagih janji kepada pemerintah untuk diperbolehkan sekolah. Untuk mengurus kebutuhan pendidikan ini, ia harus bolak-balik ke Jakarta karena ada perubahan pola pemerintahan. Setelah tiga bulan lamanya mengurus surat-surat, akhirnya ia pindah ke Jakarta dan mulai melanjutkan sekolah. Pada waktu itu, Sjamsiah ternyata masih memiliki kewajiban untuk mengajar lagi. “Pagi saya sekolah dan sore mengajar, begitu terus saya sampai tidak merasakan letih,” ungkapnya. Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia melanjutkan kuliah di Diploma 1 Pendidikan, waktu itu namanya Sekolah Khusus Pendidikan. Setelah tamat diploma, ia melanjutkan ke UKI (Universitas Kristen Indonesia) mengambil Jurusan Pedagogi Fakultas Sastra dan Filsafat hingga berhasil menyelesaikan sarjana muda. “Setelah lulus, oleh almarhum Prof. Simanjuntak, mantan rektor IKIP (sekarang Universitas Negeri Jakarta), saya dan dua teman diminta kerja sama dengan beliau untuk membentuk unit riset Departemen Pendidikan Nasional. Unit riset ini berada di bawah Jawatan Pendidikan Umum, sekarang namanya badan Litbang Diknas. Waktu itu kita dirikan pada tahun 1956,” ujar Sjamsiah. Di unit riset baru tersebut, Sjamsiah mulai terus melakukan pengembangan dan penelitian tentang dunia pendidikan. Ia, misalnya, melakukan riset tentang bagaimana membaca dengan metode keluar sekolah. Adapun percobaannya dilakukan di Tapak Siring, Bali. Setelah hampir empat tahun menjadi peneliti, pada 1960 Sjamsiah mendapat kesempatan untuk meraih Master of Elementery Schooll Supervision di New York University, New York City, USA. Studi di AS ini terbilang singkat, di sana Sjamsiah benar-benar konsentrasi penuh. Pada 1962, Sjamsiah sudah berhasil meraih gelar master. “Master yang saya raih cepat karena di sana saya hanya kuliah saja. Kalau di Indonesia, ya kuliah, ya riset, sambil mengajar.” Sebetulnya, begitu Sjamsiah berhasil menyelesaikan studinya, ia langsung ditawari untuk mengambil Ph.D oleh profesornya. Tawaran itu ditolak meskipun profesornya memberi garansi dua tahun untuk dapat selesai. “Saya bilang tidak, saya sudah diberi kesempatan banyak oleh bangsa lain dan sekarang rakyat Indonesia sedang membutuhkan saya. Saya ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia,” katanya. Sebelum balik ke Indonesia, beruntung Sjamsiah masih sempat mampir selama tiga bulan di Inggris atas undangan British Council untuk melihat sistem pendidikan yang dikembangkan di Inggris. Setelah balik ke Indonesia, Sjamsiah kembali bekerja di unit riset yang ia bangun dan semakin berkembang. Satu tahun saja ia bekerja di sana karena kemudian ia dipindahkan ke Departemen Urusan Riset Nasional pada 1963. Namun demikian, baru satu tahun juga bekerja, Sjamsiah sudah harus pindah lagi ke Moskow, menjadi sekretaris pribadi Duta Besar RI di Moskow. Tujuan utama di Moskow, selain bekerja, Sjamsiah juga harus menjalani perawatan karena sebelumnya ia mengalami kecelakaan. Pakaian yang ia kenakan terbakar api dari spirtus yang ia gunakan sebagai pemanas makanan. “Sejak kejadian itu, saya cuti di luar tanggungan negara. Ke Moskow juga dalam rangka berobat. Selama tiga tahun di sana, saya belajar bahasa Rusia dan politik. Saya baca semua buku-buku politik dan saya selalu memberi masukan ke duta besar yang telah membantu saya,” ujar Sjamsiah. Ketika kembali ke Indonesia, ternyata Departeman Riset Nasional tidak ada lagi, diganti menjadi Lembaga Riset Nasional, dan setahun kemudian berubah menjadi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). “Saya bekerja sejak LIPI berdiri. Saya menjadi kepala Biro Hubungan Internasional pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1978.” Karir Sjamsiah terus melejit. Setelah sebelas tahun di LIPI, ia ditawari bekerja di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) oleh pemerintah RI. Tadinya Sjamsiah hanya dikontrak selama tiga bulan, tetapi kemudian diperpanjang menjadi satu tahun, sampai akhirnya diperpanjang lagi menjadi sebelas tahun. Di lembaga PBB ini, Sjamsiah bekerja di OThce for Science and Technology United National, New York. Setelah dua tahun, ia pindah ke bagian Non-Governmental Organizations (NGO) Unit, OThce of The Under Secretary General (1982—1983). Berikutnya, pada tahun 1983 Sjamsiah mendapat tugas ke Wina, Austria sebagai program officer di Branch for the Advancement of Women, Center for Social Development and Humanitarian Affairs UNOV (United Nations OThce Vienua), yaitu sejak tahun 1986—1988. Selama periode 1983—1988 ini, ia sangat terlibat dalam persiapan dan penyusunan tiga dokumen utama Konverensi Dunia Ketiga tentang perempuan tahun 1985, yaitu “Review and Appraisal” Dasawarsa PBB untuk perempuan. Ia terpilih sebagai ketua tim untuk Strategi Berwawasan Ke Depan bagi Kemajuan Perempuan, Survei Dunia I tentang Wanita dalam Pembangunan, serta Rencana Jangka Menengah antar Badan-Badan PBB bagi Kemajuan Perempuan. “Sebenarnya, pada waktu itu saya tidak tahu tentang women. Tetapi, untungnya sejak saya di PBB sampai tahun 1980, setiap konferensi dunia, sekjen membuat pidato dan kebetulan saya menjadi tim penulis pidatonya. Saya lalu banyak mendengarkan, apa itu women,” ujar Sjamsiah. “Nah, untungnya lagi, waktu itu NGO perempuan di NewYork sudah besar, jadi setiap sabtu saat NGO rapat, terutama pada saat menjelang konferensi. Saya terpanggil ingin tahu, jadi ikut saja di situ mendengarkan mereka. Setelah itu, saya mengerti, women yang dimaksud di sini adalah perjuangan atau gerakan perempuan untuk mendapatkan hak- haknya.” Sejak itu, aktivitas Sjamsiah terus berlanjut. Sejak ditugaskan di Wina, ia bertekad bulat untuk memperjuangkan perempuan Indonesia yang kondisinya ia ketahui. Ialalu dipercaya oleh United Nation (PBB) untuk kembali menjabat sebagai Komite CEDAW yang terdiri dari 24 perwakilan negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW. Sjamsiah Achmad adalah generasi ketiga yang diangkat menjadi Komite CEDAW di PBB. Pertama kali yang ditunjuk adalah (almh.) Ibu Sukarman. Namun, beliau belum sempat datang karena meninggal dunia akibat kecelakaan. Selanjutnya, diganti dengan Prof. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah itu, periode berikutnya adalah Sunaryati Hartono, mantan kepala BPHN, sekarang wakil ketua Ombusdman, barulah kemudian Sjamsiah Achmad pada tahun 2001—2004. Saat ini, selain menjadi Penasihat Gender dan Iptek di LIPI, Sjamsiah juga menjadi anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan, di usianya yang kepala tujuh ini, ia diangkat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste yang di angkat oleh Presiden SBY dan Presiden Xanana Gusmao. Pengawal CEDAW, Pengawal Keadilan Perempuan “Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, tanggung jawab ini seharusnya benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO, dan setiap individu,” ujar Sjamsiah. Itulah sebabnya Sjamsiah Achmad kelihatan tidak mau berhenti mengawal CEDAW untuk dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Sampai sekarang, ia terus memantau perkembangan CEDAW meskipun tidak lagi aktif di Komite CEDAW. Menurut Sjamsiah, meskipun sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun CEDAW secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik. Menurutnya, masih banyak terjadi ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia. Ketidakadilan ini disebabkan oleh beberapa hal, di samping kultur masyarakat, peran negara untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan juga belum sepenuhnya dilakukan, bahkan dipahami. Indonesia, menurut Sjamsiah, sebenarnya tidak terlalu terpanggil untuk bicara soal hak asasi manusia. “Pak Harto (Soeharto, pemimpin Orde Baru) baru bicara persoalan ini sekitar tahun 1990, mendekati turunnya dari jabatan presiden. Sejak itulah, kita baru membentuk Komnas HAM dan sebagainya. Menjelang Viena tahun 1993, baru Indonesia bicara soal hak asasi manusia karena tidak mungkin kalau tidak bicara,” ujar Sjamsiah. CEDAW diakui oleh Sjamsiah sampai kini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas, khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang membuat kebijakan. “Jangankan masyarakat luas, aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah saja sampai sekarang masih banyak yang tidak mengerti apa itu CEDAW,” katanya lagi. Menurut Sjamsiah, hal ini karena sosialisasi keberadaan CEDAW masih sangat minim, padahal CEDAW sudah berumur lebih dari 20 tahun sejak diratifikasi pertama kali di tahun 1984. “Banyak tanggung jawab negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih segudang yang belum kita lakukan. Peradilan yang kompeten juga belum bisa kita ciptakan. Tidak hanya peradilan dengan standar yang ada, tetapi juga peradilan yang berperspektif gender.” Sjamsiah menyesalkan tidak tersosialisasinya CEDAW dengan baik, padahal CEDAW memberi banyak pengertian tentang bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Sjamsiah, selama ini upaya pemberdayaan perempuan sering ditentang oleh masyarakat. “Misalkan saja soal kuota perempuan 30%. Masyarakat masih banyak yang tidak paham soal kuota perempuan. Kuota perempuan masih dianggap sebagai tindakan meminta belas kasihan, ini, kan, keliru besar,” cetusnya. “Kenapa 30%? Itu juga sudah menjadi ketentuan internasional secara minimal untuk mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Jadi, bukannya meminta-minta, tetapi itu memang hak perempuan. Dan, yang lebih penting lagi, bahwa itu sifatnya temporary, tidak permanen,” katanya lagi. Menurut Sjamsiah, hal yang paling penting di CEDAW adalah prinsipnya yang nondiskriminasi. Jika terjadi pembedaan perempuan dan berakibat pada kerugian perempuan tersebut, maka ini sudah termasuk diskriminasi. Di dalan konvensi CEDAW sudah diatur secara detail, bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan mana yang permanent action. “Masalah pendidikan, misalnya. Data menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak perempuan cukup rendah dibandingkan dengan anak laki-laki. Nah, upaya untuk mengejar ketertinggalan pendidikan anak perempuan inilah yang dimaksud sebagai upaya temporary action. Misalkan, memberi beasiswa untuk perempuan, itu sifatnya benar-benar temporary action yang harus dihapuskan bila persamaan sudah mulai terbangun,” katanya. Belum berjalannya CEDAW secara baik di Indonesia bukan berarti Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Digunakannya CEDAW sebagai dasar hukum sejumlah kebijakan adalah indikator yang dapat diacungi jempol karena dengan demikian, CEDAW diperhatikan keberadaannya. Sjamsiah memaklumi kesulitan pelaksanaan ini yang berkaitan dengan persoalan kultur budaya dan agama di Indonesia sebagai kendala yang paling berat bagi pelaksanaan CEDAW. Masyarakat masih belum bisa melihat bahwa budaya, sebagai ciptaan manusia, dapat diubah dan berkembang sesuai konteks zamannya. Tidak banyak perubahan pada kultur budaya dan perilaku masyarakat ini juga terjadi pada aspek pembedaan gender (sengaja dibedakan antara perempuan dan laki-laki atau diskriminatif terhadap perempuan) dalam masyarakat. Pembedaan gender sebagai bentuk konstruksi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya. Masyarakat masih belum mau melakukan perubahan-perubahan secara mendasar dengan alasan akan mengubah struktur kehidupan, ditambah lagi dengan konservatisme agama yang semakin menyudutkan perempuan dalam masyarakat. “Bukti nyata dari semua ini adalah masih berlakunya UU Perkawinan Tahun 1974 yang menempatkan perempuan sebagai orang nomor dua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa laki-laki yang mencari nafkah, perempuan mengurus rumah tangga. Seharusnya ketentuan ini diubah karena merugikan dan tidak memberi keadilan bagi perempuan,” katanya lagi. “Di masa depan, saya hanya berharap pemerintah membuat sistem kelembagaan yang akan menangani masalah HAM, dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa menjamin dua hal. Pertama, memberi keadilan kepada orang yang dilanggar HAM-nya; kedua, memberi keadilan pula kepada pelaku yang harus dibawa ke pengadilan.” Dedikasi Sjamsiah bagi perjuangan hak asasi manusia, khususnya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia tidak pernah redup. Hidupnya telah ia serahkan secara total bagi umat manusia. Di kalangan aktivis dan gerakan perempuan Indonesia bahkan di dunia, nama Sjamsiah Achmad bukanlah nama asing. Empat tahun keberadaanya di Komite CEDAW, menjadikan upaya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sebagai bagian dari hidupnya. Ia selalu mengamati bagaimana bentuk diskriminasi terjadi terus pada perempuan di negeri ini. Dengan peran dan kompetensinya di tataran nasional maupun internasional, ia telah banyak melakukan perubahan dan pemahaman bagi banyak pihak. Lewat konvensi hukum yang berpihak pada perempuan, Syamsiah Achmad memilih hidupnya sebagai pengawal keadilan bagi perempuan. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 45, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |