Oleh: Wanda Roxanne Ratu Pricillia Rubrik: Profil JP113 Feminisme dan Keadilan Iklim Lahir di Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Rukka Sombolinggi adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (Sekjen AMAN) selama dua periode, 2017-2022 dan 2022-2027. Sebagai Sekretaris Jenderal AMAN perempuan pertama, ia menggunakan identitasnya sebagai perempuan adat Toraja dalam memahami hak-hak masyarakat adat untuk kerja-kerjanya di Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) hingga bergabung dengan AMAN. Saat bergabung dengan JAPHAMA, Rukka mengaku patah hati karena melihat langsung bahwa masih banyak masyarakat adat yang teropresi dan didiskriminasi. Ia pun dan sadar bahwa situasi yang membuatnya sedih diakibatkan oleh tidak adanya pengalaman menyaksikan masyarakat adat yang diusir dan dikejar-kejar di kampung halamannya sendiri. Sebagai orang Toraja yang belajar mengenai kepemimpinan masyarakat dari keluarganya, Rukka lalu belajar mengutamakan tujuan dan kepentingan masyarakat adat. Rukka Sombolinggi: Identitas Personalnya Melekat Pada Identitas Kolektif Masyarakat Adat
Rukka menegaskan bahwa kisahnya tidak heroik, karena baginya identitas yang melekat padanya sebagai individu adalah identitas kolektif sebagai masyarakat adat - khususnya sebagai orang Toraja. Menurutnya, hal utama yang penting untuk ditonjolkan darinya adalah kisah bersama dan solidaritas masyarakat adat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat adat ingin dapat berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Sehingga sebagai individu dan bagian dari masyarakat adat, Rukka perlu memastikan masyarakat adat bisa mendapatkan keinginan mereka tersebut dengan AMAN sebagai kendaraannya. Salah satu yang diperjuangkannya adalah Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA). Sebagai Sekjen AMAN 2017-2022, Rukka memiliki mandat dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1 untuk melaksanakan seluruh program-program strategis agar terlaksana dengan baik. Ia melakukan hubungan-hubungan politik dan menjembatani aspirasi masyarakat adat kepada Negara. Selain itu, Rukka bertugas untuk melakukan hubungan advokasi dari level kampung, daerah, provinsi, nasional, hingga internasional. Rukka juga melakukan advokasi untuk RUU Masyarakat Hukum Adat. Setelah terpilih menjadi Sekjen tahun 2017, Rukka melakukan strukturisasi unit kerja organisasi dengan menambahkan satu posisi baru dalam AMAN yaitu Deputi Sekjen urusan Sosial Budaya. Sebelumnya AMAN memiliki tiga Deputi; Deputi Politik, Deputi Organisasi, dan Deputi Ekonomi. Tugas-tugas mereka terintegrasi dan mendukung satu sama lainnya. Rukka berharap perubahan ini dapat memberikan hal yang baik bagi masyarakat adat dan AMAN. AMAN sebagai Kendaraan untuk Membela Hak-hak Masyarakat Adat Selama menjabat sebagai Sekjen AMAN 2017-2022, Rukka berkewajiban untuk memastikan lancarnya berbagai program yang sedang dijalankan. Beberapa di antaranya adalah pemetaan wilayah adat, edukasi, dan advokasi. Pemetaan wilayah adat yang kuat dan multifungsi menjadi keunggulan dalam mengkonsolidasikan kampung-kampung, mengenali batas-batas wilayah, mengingat sejarah, memutuskan fungsi-fungsi wilayah di wilayah adat. Pada tahun 2012, setelah Kongres IV Masyarakat Adat Nusantara yang dilakukan di Tobelo, peta wilayah adat yang diajukan oleh AMAN diterima oleh pemerintah. Peristiwa tersebut menjadi tonggak sejarah dimulainya pengakuan akan eksistensi masyarakat adat di Indonesia. Selain pengakuan dengan penerimaan peta wilayah adat, pendidikan adat menjadi program AMAN berikutnya dalam memberdayakan masyarakat adat. Terdapat 100 sekolah adat yang didirikan oleh AMAN sejak tahun 2015. Uniknya, berbeda dengan sekolah-sekolah formal lainnya, selama pandemi COVID-19 sekolah adat menjadi menjamur. Masyarakat yang tinggal di kampung lebih memilih untuk membuat sekolah-sekolah sendiri di mana aktivitas pembelajaran bisa dilakukan di berbagai tempat; di bawah pohon, di pinggir sungai, hingga di halaman rumah. Pelajarannya pun tidak tergantung dengan kurikulum yang mengikat. AMAN juga melakukan advokasi dan pembuatan kebijakan. Advokasi dilakukan untuk pembelaan terhadap korban kriminalisasi dan perampasan wilayah adat melalui partisipasi dari organisasi-organisasi sayap perempuan dan generasi muda. Salah satu contohnya adalah Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Organisasi yang terdiri dari pengacara dan advokat tersebut mendukung advokasi, litigasi, dan non litigasi dalam memberikan akses layanan hukum bagi masyarakat adat yang rentan. Dalam pembuatan kebijakan, AMAN berhasil mendorong pengesahan beberapa peraturan oleh pemerintah. Sebagai contoh, keputusan dari Judicial Review terhadap Undang-undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diajukan oleh AMAN dan dua komunitas masyarakat adat lainnya berhasil dibacakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI). Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012 tersebut, MK menegaskan bahwa Hutan Adat (HA) berada di wilayah adat sehingga bukan lagi milik negara atau berstatus Hutan Negara (HN). Putusan ini meneguhkan hak konstitusional masyarakat adat atas wilayah adat beserta sumber daya alam dan hutan di dalamnya. Menurut Rukka, simbol pengakuan pada masyarakat adat lainnya adalah masuknya masyarakat adat dalam visi-misi resmi calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Meskipun sampai sekarang visi dan misi itu tidak dipenuhi, namun kemudian dituliskan secara resmi dalam dokumen-dokumen resmi Negara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, pada 2017 untuk pertama kalinya pemerintah mengeluarkan sertifikasi pengakuan HA dan mengembalikan 5.000 hektar yang kemudian bertambah hingga 75.000 hektare lahan HA. Pengakuan dari pemerintah sangat penting bagi masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan dan bahkan tidak dianggap ada. Negara pun memahami kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat. Di dalam kepemimpinan Rukka, selain pemetaan wilayah adat, edukasi, dan advokasi, AMAN turut memperkuat solidaritas dengan berbagai gerakan petani seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), gerakan lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan komunitas-komunitas lokal lainnya. Situasi masyarakat adat yang terus terdesak membutuhkan solidaritas yang kuat dalam bentuk aksi. Rukka menyampaikan pentingnya menggalang pendanaan bersama untuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Hal ini dilakukan untuk mendukung kampung-kampung mulai dari masyarakat adat, petani, nelayan, dan kelompok lainnya yang harus didukung agar tetap kuat. Karena jika terjadi krisis, ada tekanan, masyarakat adat tidak bisa berharap pada siapa-siapa. Pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Sistem Tanggap Darurat dalam Memperjuangkan Masyarakat Adat Rukka menyampaikan keinginan masyarakat adat untuk diakui dan diberikan kedaulatan secara politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia yang belum didapatkan selama ini. Tujuannya adalah untuk mengatur segala kegiatan dalam komunitasnya seperti penerapan aturan adat, pemerintahan adat, dan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Rukka menjelaskan bahwa masyarakat adat membutuhkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) secara mandiri untuk memenuhi kehidupan sehari-hari juga menjadi salah satu tujuan mereka. Terutama dengan valuasi ekonomi yang jauh lebih besar ketimbang perusahaan komersil, masyarakat adat memiliki kemampuan untuk mandiri secara finansial. Selain itu, Rukka menegaskan bahwa masyarakat adat ingin bermartabat secara budaya. Masyarakat adat dalam sudut padangan Rukka adalah mereka yang merasa bangga dengan atribut-atribut adat dan cukup percaya diri dalam proses komunikasi lintas budaya. Hal ini menjadi penting karena masyarakat adat sering kali dianggap sebagai orang kampung yang terbelakang. Dalam melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak masyarakat adat secara politik, ekonomi, dan budaya, Negara membutuhkan panduan dalam mewujudkan pemberdayaan tersebut. Pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat (UU MHA) adalah jawabannya. RUU ini berfungsi sebagai sinkronisasi berbagai RUU sektoral yang ada saat ini yang mengatur masyarakat adat secara parsial dan terbagi dalam beberapa peraturan seperti UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan UU Desa. Sinkronisasi tersebut dapat menjembatani Negara dan masyarakat adat agar terjalin relasi yang harmonis. Sehingga tidak ada lagi pembangunan sebagai wujud invasi dan perampasan wilayah adat oleh pemerintah pusat. Selain itu, pengaturan RUU MHA secara holistik juga bertujuan untuk memenuhi standar-standar hak asasi manusia (HAM) untuk kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, orang tua, anak, dan penyandang disabilitas. Rukka menjelaskan bahwa pemenuhan HAM bagi kelompok rentan juga diperlukan di dalam situasi khusus, seperti darurat bencana dan politik. AMAN memiliki Sistem Tanggap Darurat yang digunakan untuk merespons bencana-bencana seperti bencana longsor, kebakaran, dan banjir. Kebijakan ini juga dapat merespons bencana politik yang terkait perampasan wilayah adat seperti kriminalisasi dan penyerbuan sehingga masyarakat adat butuh dievakuasi. AMAN akan melayani dan melindungi masyarakat adat yang membutuhkan perlindungan dan bantuan hukum dalam situasi bencana politik. Contoh implementasi Sistem Tanggap Darurat terjadi pada pandemi COVID-19 di tahun 2020. Sebagai Sekjen AMAN, Rukka harus memastikan perlindungan dan layanan terhadap anggota-anggota AMAN di seluruh Indonesia. Selain itu sistem Tanggap Darurat dinavigasi menggunakan kerangka kerja sudah dibentuk dalam merespons dampak COVID-19 bagi seluruh masyarakat adat. Menurut Rukka, perubahan situasi kegiatan perkotaan yang drastis akibat pandemi COVID-19 membuat masyarakat memilih berlindung di kampung-kampung. Dalam pandangan Rukka, penting agar masyarakat adat menerapkan mekanisme tanggap darurat di semua kampung dan wilayah adat dengan melakukan karantina wilayah. Kecukupan kebutuhan pangan selama karantina turut menjadi mekanisme yang diterapkan dalam situasi tersebut. Menurut Rukka, berbeda dengan mereka yang berasal dari kota, masyarakat adat menjalankan proses karantina yang diselaraskan dengan kebiasaan yang mereka miliki. Ritual adat dan konsumsi ramuan tradisional adalah contoh bagaimana masyarakat adat menjalani karantina selama pandemi COVID-19. Mereka juga bekerja sama menggunakan rapid assessment untuk memastikan kecukupan bahan pangan selama minimal 3-6 bulan. Kecukupan pangan masyarakat adat, baik selama pandemi COVID-19 maupun secara umum, berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh daulat mereka atas wilayah adat dan kekayaan SDA yang dapat mereka gunakan. Semakin banyak pembangunan di daerah mereka, semakin miskin dan terancam pula kebertahanan hidup masyarakat adat. Menjadi pekerja semiinformal di kota seperti tukang cuci dan berjualan di pasar menjadi solusi agar tidak terancam kelaparan. Berefleksi dari persoalan tersebut, Rukka melihat pentingnya pengesahan RUU MHA. Tanpa disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat, walaupun implementasi Sistem Tanggap Darurat telah dilakukan di beberapa situasi khusus, pemenuhan hak masyarakat adat masih mengalami berbagai macam hambatan. Pembungkaman, Penyimpangan Aktivis, Stigma, Keterbatasan Akses, dan Diskriminasi Gender sebagai Hambatan Pemberdayaan Masyarakat Adat Perjalanan Rukka dalam membela hak-hak masyarakat adat tentu tidak selalu berjalan mulus. Saat Rukka mengawal AMAN dalam menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat dan mengkritik pemerintah, akun media sosial AMAN diretas. Tidak hanya media sosial, email yang berisikan informasi-informasi penting milik AMAN pun menjadi sasaran. Kerja-kerja mereka dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat pun terhambat. Bungkamnya AMAN menjadi harapan bagi para penguasa otokritik yang mengeksploitasi masyarakat adat. Menurut Rukka, hambatan lain adalah adanya mantan-mantan aktivis masyarakat adat menyimpang dari perjuangan mereka. Aktivis yang dulunya adalah anak-anak adat yang terlibat dalam organisasi atau gerakan masyarakat adat kini menjadi kaki tangan pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang melakukan perampasan wilayah adat dan penggusuran masyarakat adat. Mandat kepentingan masyarakat adat yang mereka miliki di awal perjuangan sudah pudar. Tidak ada lagi perjuangan demi kepentingan masyarakat adat. Koneksi dengan AMAN sebagai organisasi payung yang membela hak-hak masyarakat adat pun tidak mereka pertahankan. Kerja keras AMAN selama ini turut menyorot adanya stigma yang menghambat pemberdayaan masyarakat adat. Menurut Rukka, anggapan bahwa masyarakat adat itu anti pembangunan dan terbelakang sudah berlangsung lama. Mereka dianggap tidak produktif karena tidak eksploitatif tanpa menyadari bahwa mereka yang eksploitatif tidak akan meraih keuntungan karena harus menuruti pemilik perusahaan dan pejabat yang serakah. Masyarakat adat juga dianggap serakah karena menguasai wilayah adat. Sayangnya tuduhan tersebut tidak melihat perjuangan masyarakat adat untuk menjaga ekosistem di wilayah adat agar tidak dieksploitasi tanpa henti. Rukka menjelaskan bahwa salah satu solusi untuk mengurangi hambatan adalah penerapan teknologi untuk berkomunikasi melalui email, Zoom, media sosial, dan panggilan telepon selular. AMAN memiliki sistem komunikasi yang mumpuni untuk berjejaring dengan komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh Indonesia. Sayangnya, masih banyak wilayah yang tidak dapat diakses oleh sistem komunikasi tersebut. Hambatan akses selain komunikasi adalah ruang demokrasi masyarakat adat yang dibatasi sehingga harus melakukan diskusi dan musyawarah di tempat-tempat yang dianggap aman. Ruang demokrasi dan akses yang terbatas diperburuk oleh kriminalisasi di kampung-kampung dan perampasan wilayah adat yang terus-terusan terjadi. Hambatan akses yang dialami oleh masyarakat adat menjadi masalah yang berlapis bagi perempuan adat. Diskriminasi perempuan adat terjadi akibat sistem yang meminggirkan mereka. Secara adat, peranan perempuan dalam pengambilan keputusan tidaklah penting. Walaupun mereka berperan banyak dalam keluarga dan komunitas, pengambilan keputusan dalam bermasyarakat selalu dilakukan oleh laki-laki. Rukka tidak pernah melihat keterlibatan perempuan adat dalam kegiatan musyawarah untuk kepentingan-kepentingan bersama. Walaupun banyak kesepakatan komunitas yang berdampak besar pada kehidupan perempuan adat, suara mereka tidak pernah dilibatkan dan didengarkan. Konsep The Last Man Standing dan Domestifikasi Perempuan Adat Salah satu perjuangan Rukka dalam memberdayakan perempuan adat dilakukannya di Toraja. Rukka menyampaikan bahwa prinsip masyarakat Toraja adalah mendahulukan orang banyak khususnya yang lemah. Masyarakat adat akan mengutamakan kebutuhan kelompok marginal seperti janda, anak yatim, orang sakit, orang tua, dan penyandang disabilitas. Namun, yang tidak disadari oleh masyarakat adat di Toraja dan juga di Indonesia adalah posisi perempuan adat yang juga lemah akibat diskriminasi dan minimnya kesempatan untuk berpartisipasi. Perempuan adat, baik di Toraja maupun budaya lainnya di Indonesia, selalu dijadikan The Last Man Standing. Konsep tersebut, menurut Rukka, merepresentasikan sejarah perlawanan masyarakat adat; ketika para tetua, pemimpin, dan laki-laki sudah takluk, yang terakhir berdiri adalah perempuan. Selain dalam perlawanan, perempuan adat juga selalu dianggap menjadi satu-satunya yang berkewajiban menjaga rumah, orang tua, orang sakit, bekerja di ladang, merawat anak, dan semua tugas domestik. Dalam banyak kasus, perempuan juga menjadi pihak terakhir yang ditugaskan menjalin perdamaian ketika terjadi pertentangan antar kampung atau keluarga. Menurut Rukka, domestikasi dan pengerdilan nilai politik peran domestik semakin menghilangkan akses keterlibatan perempuan adat dalam musyawarah dan pengambilan keputusan. Kontrol terhadap terhadap kebutuhan dan kepemilikan aset dan SDA juga sirna akibat tidak ada tindakan afirmatif yang berusaha untuk memprioritaskan dan menjembatani kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan adat. Dari diskriminasi berlapis yang dialami oleh perempuan adat, dapat terlihat bahwa kuasa politik yang mereka miliki bersifat domestik dan kampung. Rumah, keluarga, dan kewajiban mengelola SDA untuk bertahan hidup menjadi ranah yang sudah ditentukan untuk mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang dihasilkan oleh kuasa politik perempuan juga bersifat terbatas. Akan tetapi, pengelolaan SDA yang dilakukan oleh perempuan adat setiap harinya membuat mereka unggul dalam pengetahuan mengenai tanaman, obat-obatan, dan ramuan. Hal ini membuat mereka lebih paham mengenai kondisi lingkungan yang kemudian dapat menjadi harapan dalam menghadapi krisis iklim yang mengancam masyarakat adat terutama perempuan. Krisis Iklim yang Mengancam Kesejahteraan Hidup Masyarakat Adat Krisis iklim akibat eksploitasi besar-besaran, semakin memburuk belakangan mengancam kehidupan semua penduduk bumi. Laporan dari Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC)[1] menunjukkan bahwa akan terjadi kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat celcius yang akan terjadi pada 2030. Maka untuk mencegah hal tersebut terjadi, dibutuhkan kontribusi seluruh pihak dalam menjaga kelestarian lingkungan hingga kita terhindar dari berbagai macam bencana. Dari pengalaman Rukka, peran Masyarakat Adat dalam merespons krisis iklim sangat besar. Rukka menjelaskan, menurut studi global diketahui bahwa wilayah-wilayah yang selama ini dilindungi oleh masyarakat adat adalah 80% dari biodiversitas dan keragaman hayati yang ada dan tersisa di dunia. Berdasarkan studi yang dijelaskan Rukka, di Indonesia sendiri, masyarakat adat telah menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan menjaga ekosistem terbaik yang ada saat ini. Rukka menjelaskan bahwa masyarakat adat Toraja memiliki filosofi tallu lolona, yaitu tiga makhluk bersaudara; lolo taun (manusia), lolo patuoan (binatang), lolo tananan (tumbuh-tumbuhan) yang perlu dijaga keseimbangannya. Selain dari nilai yang dianut oleh beragam masyarakat adat, pelestarian lingkungan dilakukan oleh masyarakat adat demi keberlangsungan hidup saat ini dan generasi yang akan datang. Selain peran masyarakat adat, Rukka menjelaskan bahwa komunitas adat juga menempati posisi sentral dalam menangani krisis iklim secara efektif dan efisien. Masyarakat luas perlu tahu bahwa masyarakat adat menjaga berbagai ekosistem, biodiversitas, dan karbon di wilayah adat sebagai wujud dari pelestarian lingkungan. Mereka melindungi wilayah adat tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk kelangsungan kehidupan semua orang. Rukka menyayangkan kontribusi besar masyarakat adat dalam menjaga ekosistem dengan melindungi wilayah adat mereka tidak diakui oleh pemerintah. Ironisnya, masyarakat adat yang mempertahankan wilayah dikriminalisasi dan diusir dari wilayah adat mereka sendiri. Perampasan wilayah adat dan perubahan iklim turut menekan masyarakat adat dan membuat ketidakseimbangan dalam lingkungan. Menurut Rukka, tekanan pada masyarakat adat yang terpapar dampak perubahan iklim semakin serius. Hal ini disebabkan oleh adanya potensi ekspansi wilayah-wilayah konsesi baru. Hutan yang masih ada dan kondisinya bagus sering kali dikorbankan untuk membuka lahan pertanian. Situasi ini biasanya dipengaruhi oleh dinamika politik dan sistem pemerintahan di kampung. Jika tetua adat tidak cukup kuat menghadapi tekanan dari luar, maka keputusannya dalam membuka lahan akan menimbulkan perpecahan dan menimbulkan berbagai masalah baru. Rukka menjelaskan, ketika terjadi konflik yang menyebabkan perebutan SDA, muncul keinginan anggota masyarakat adat, terutama laki-laki, untuk melakukan sertifikasi tanah secara individu. Hal tersebut bertujuan untuk mengamankan aset dan SDA yang mereka miliki. Namun pada kenyataannya wilayah adat tidak boleh disertifikasi, apalagi secara individu. Walaupun terdapat beberapa keberhasilan dalam melakukan sertifikasi tanah, masih ada pihak-pihak yang tidak mengalami dampak baik dari kondisi tersebut. Mereka yang malah semakin merugi adalah perempuan adat. Krisis Iklim dan Dampaknya Bagi Perempuan Adat Dalam konteks krisis iklim, Rukka menekankan bahwa perampasan wilayah adat yang digunakan atas nama pembangunan untuk konsesi berbagai perusahaan membuat perempuan adat menjadi semakin rentan. Terutama dengan absennya tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, perjuangan perempuan adat dalam menghadapi pencemaran, longsor, banjir, atau kekeringan tidaklah mudah. Walaupun AMAN membantu dalam kondisi darurat bencana, bantuan yang paling dinanti adalah yang berasal dari pemerintah. Sayangnya birokrasi membuat niat baik tersebut lambat dalam proses penyalurannya. Sehingga masyarakat adat, terutama perempuan, terdampak paling serius. Berdasarkan pengamatannya, ia melihat bahwa perempuan adat secara khusus mengalami dampak negatif terbesar dalam krisis iklim. Hal ini disebabkan oleh peran domestik mereka seperti mengambil air dan mengelola SDA di sekitar wilayah adat. Akibatnya, mereka terekspos dengan racun-racun dari air, tanah, dan tanaman. Menurut Rukka, kerugian tersebut sukar untuk dihindari karena perempuan lah yang dipercaya sebagai perawat bagi keluarganya. Sehingga mereka menjadi pihak pertama yang terekspos terhadap racun yang bisa saja terdapat di dalam bahan makanan yang mereka siapkan untuk keluarga. Rukka menjelaskan jika kekeringan terjadi, perempuan adat akan kembali mengalami kesulitan. Tanpa adanya air, hasil berladang, bertani, dan berkebun sebagai sumber makanan tidak bisa lagi diandalkan. Dalam situasi ini, perempuan adat akan lebih sulit untuk mendapatkan air bersih, bahan makanan, dan sumber kebutuhan lainnya. Apabila hal ini menyebabkan keluarga mengalami kesulitan pangan, maka perempuan adat yang akan disalahkan. Menurut Rukka, meski perempuan adat dilekatkan dengan tugas domestik dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, banyak perlawanan yang dilakukan mereka dalam mempertahankan wilayah adat. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan perempuan adat untuk melindungi lingkungan misalnya dilakukan oleh perempuan adat untuk melindungi Waduk Lambo dengan bertelanjang dada dan juga perjuangan Nai Sinta Boru Sibarani yang memimpin perlawanan perempuan adat Batak yang menolak pembangunan perusahaan di tanah adat Raja Sidomdom Baringring. Jika wilayah adat dirampas, krisis iklim terjadi, dan jauh dari SDA, maka pengetahuan dan kuasa politik perempuan adat melemah dan menjadi tak berharga. Pengetahuan perempuan atas obat-obatan, pengasuhan, dan tugas domestik lainnya sangat bergantung pada wilayah adat mereka. Apabila wilayah produksi, wilayah adat, dan sumber-sumber produksi hilang, maka perempuan adat juga akan kehilangan sumber kekuatan politik dan pengakuan akan eksistensi mereka. Menurut Rukka jalan keluar yang dapat dilakukan yaitu dibutuhkan nilai-nilai partisipatif dalam keterlibatan perempuan adat pada proses pengambilan keputusan. Domestikasi dan sistem budaya yang patriarki harus didekonstruksi untuk mencegah praktik warisan yang hanya diturunkan ke laki-laki atau sertifikasi dokumen aset atas nama suami. Selain penyelesaian masalah dengan sudut pandang yang adil gender, kesejahteraan masyarakat adat dapat diwujudkan dengan jaminan perlindungan hukum. Hal tersebut dapat dimulai dengan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat dan implementasi Sistem Tanggap Darurat yang baik. Sehingga di kemudian hari masyarakat adat, terutama perempuan, semakin berdaya dan mampu berkontribusi dalam merespons krisis iklim di Indonesia. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |