Oleh: Seli Muna Ardiani Rubrik: Profil JP 112 Pengetahuan Feminis Indonesia : Refleksi, Aksi dan Praxis Ririn Hajudiani adalah seorang aktivis pejuang hak perempuan yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) tahun periode 2022 sampai 2026. Melalui lembaga ini, Ririn melakukan pengorganisasian dan pendampingan terhadap kelompok marginal khususnya kelompok perempuan miskin pedesaan di Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selain isu perempuan, LPSDM turut menyuarakan isu adaptasi perubahan iklim dan kebencanaan pada 25 desa di Kabupaten Lombok Timur. Secara umum, program yang dilaksanakan LPSDM bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi serta memperkuat kapasitas Pemerintah Daerah dan masyarakat akar rumput guna mendorong lahirnya kebijakan yang adil dan berperspektif keadilan gender. Dalam 10 tahun terakhir, Ririn mengadvokasi isu keadilan gender bagi perempuan di akar rumput bersama LPSDM serta kerja sama dengan Institut KAPAL Perempuan dalam program MAMPU yang didukung oleh AusAID (Australian Agency for International Development). Ririn menyampaikan bahwa salah satu program yang mengupayakan implementasi teori kritis feminisme adalah Sekolah Perempuan. Tujuan dari program ini adalah memperkuat kepemimpinan perempuan agar memiliki kesadaran kritis, kepedulian, solidaritas, serta berkomitmen untuk melakukan upaya perubahan sosial. Melalui kerja-kerjanya, Ririn berupaya memperbaiki nasib perempuan dari kemiskinan. Beberapa desa di wilayah pembinaan Ririn saat ini menjadi piloting desa berbasis GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial).
Bekerja pada ranah komunitas, Ririn bersama LPSDM mengembangkan berbagai pendidikan kritis informal kepada kelompok masyarakat di Lombok. Dia menegaskan pentingnya memberikan perhatian khusus pada kelompok perempuan marginal. Menurut dia, saat ini kemajuan pengetahuan feminisme di Indonesia dapat dirasakan dan dibuktikan melalui semakin banyaknya riset dan gerakan sosial berperspektif feminis. Kendati demikian, sejumlah kelompok perempuan marginal mengalami tantangan berlapis untuk dapat menikmati dan merasakan manfaat dari kemajuan tersebut. Melalui refleksi tersebut, Ririn berkomitmen untuk terus melakukan advokasi dan pengorganisasian perempuan. Salah satu target advokasinya adalah dengan memperkuat kepemimpinan perempuan akar rumput agar mereka berdaya, mencapai keadilan, dan kesetaraan. Keluar dari Zona Aman, Memilih Merangkul Perempuan Akar Rumput Dilahirkan dari lingkungan keluarga yang nyaman tidak lantas melumpuhkan daya kritis Ririn sejak kecil. Dia lahir di Kota Jember pada 30 September 1969. Ririn lahir dalam keluarga yang berkecukupan secara finansial pada masa itu sehingga tidak mengalami hambatan untuk mengakses pendidikan. Di tengah kemudahan tersebut, Ririn kecil mulai mempertanyakan dan mengkritisi sejumlah aturan-aturan yang dia anggap timpang dan mengikat untuk anak perempuan. Semasa ia muda, pertanyaan tentang ketimpangan relasi antara mandor dan buruh juga menjadi perhatiannya. Refleksi ini muncul ketika Ririn kecil melihat bapaknya yang bekerja di perkebunan tembakau, kopi, dan karet. Pertanyaan semacam itu merupakan bukti kegelisahannya pada kondisi sosial di sekitarnya yang sarat dengan ketimpangan. Pada masa itu ia jarang mendapatkan jawaban yang memuaskan, bahkan orang tua merasa kebingungan dengan pertanyaan yang dia lontarkan. Kepedulian terhadap petani kecil, buruh kebun yang masih anak-anak, dan norma yang mengikat perempuan di usia muda inilah yang kemudian membuat Ririn terus berjuang untuk kelompok rentan dan marginal. Kegelisahan yang terus Ririn simpan tersebut belum terpecahkan hingga dia kuliah S1 Pertanian di Universitas Mataram. Pertanyaan-pertanyaan itu baru bisa terjawab setelah dia mulai bekerja di LPSDM. Di lembaga inilah, Ririn mulai melakukan advokasi isu ketimpangan gender. Ririn merintis dari posisi pekerja biasa hingga menjadi direktur. Awalnya Ririn bergabung sebagai staf pendamping untuk program Pendampingan Pengembangan Koperasi Simpan Pinjam (P2KSP) bekerja sama dengan Plan Internasional Lombok tahun 1998-2000. Melalui advokasi keadilan gender bagi kelompok dampingannya, Ririn semakin mengenal dan mempraktikkan perspektif feminis dalam kerja-kerjanya. Dua sosok perempuan aktivis yang memengaruhi kerja advokasi Ririn adalah Yanti Muchtar dan Misiyah (Direktur Institut KAPAL Perempuan). Keduanya merupakan mentor sekaligus sosok inspiratif bagi Ririn dalam peneguhan perjuangan gerakan perempuan akar rumput. Pemahaman awal Ririn tentang feminisme dan isu keadilan gender ia dapatkan dari pelatihan KAPAL. Selain mempelajari tentang keadilan gender dari organisasi dan mentor perempuan, Ririn juga selalu memperkaya pengetahuannya melalui bacaan-bacaan feminisme. Bacaan-bacaan feminis ini kemudian dia sebarkan juga pada komunitas dampingannya. Menurut Ririn, tulisan akademik feminisme beriringan dengan kerja advokasi di akar rumput. Ririn telah bekerja secara konsisten selama 24 tahun untuk gerakan pemberdayaan perempuan. Konsistensi ini membuat dirinya dilirik oleh sejumlah partai politik besar untuk dicalonkan sebagai caleg perempuan—yang pada akhirnya ditolak olehnya. Ririn menolak tawaran tersebut dengan pertimbangan bahwa jika dia meninggalkan kerja dampingan ini, maka perempuan kelompok rentan di wilayah Lombok yang selama ini dia dampingi akan terbengkalai. Sebagai perempuan yang tinggal di Lombok, Ririn memiliki kemauan keras untuk meningkatkan kualitas kehidupan perempuan di sana. Situasi perempuan yang ia temui sehari-hari begitu miris, misalnya banyak di antara mereka yang berasal dari kondisi sosial ekonomi yang amat timpang. Isu lain yang banyak ia temui adalah banyak perkawinan anak, kekerasan seksual termasuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan buruh dengan upah rendah, perempuan pesisir yang menanggung pekerjaan domestik keluarga di tengah kesulitan akses air bersih serta sanitasi tidak layak. Salah satu kisah dampingan yang berkesan bagi Ririn adalah tentang pengalamannya mewawancarai remaja perempuan usia 14 tahun di sebuah dusun di Kecamatan Jerowaru. Saat itu Ririn berpikir bahwa remaja tersebut tengah menggendong adiknya, namun betapa terkejutnya Ririn karena ternyata bayi itu adalah anak dari remaja perempuan tersebut. Bagi Ririn, kisah ini hanyalah satu contoh dari sekian banyak kasus perkawinan anak dan rentetan permasalahan seperti rendahnya edukasi kesehatan reproduksi dan kasus kekurangan gizi pada ibu hamil. Ragam permasalahan tersebut terus memacu Ririn untuk tetap berkomitmen dalam upaya pemberdayaan. Pada awal masa perjuangan baik di Lombok Timur maupun Lombok Utara, Ririn mendapat tantangan yang sangat kuat. Ririn bersama teman-temannya pernah dituduh menebarkan isu Kristenisasi, bahkan pernah pula dia mengalami ancaman dengan parang oleh warga dari komunitas masyarakat pesisir yang merasa tidak setuju dengan kerja yang ia lakukan. Ririn juga menuturkan bahwa olok-olokan juga pernah diterimanya karena mengajarkan feminisme dianggap menyebarkan ajaran Barat, menyesatkan, provokatif sehingga membuat para istri melawan suaminya. Menurut Ririn, ketidaksetujuan dan kesalahpahaman tersebut muncul karena masih asingnya materi kepemimpinan perempuan, kesetaraan gender untuk kalangan masyarakat pedesaan, terlebih di daerah terpencil. Mengembangkan Pengetahuan Feminis Indonesia melalui Sekolah Perempuan Salah satu terobosan pengupayaan daya kritis perempuan akar rumput dilakukan oleh Ririn beserta LPSDM yakni melalui Sekolah Perempuan. Di wilayah fokus kerja LPSDM sendiri Sekolah Perempuan telah dijalankan di tujuh desa, yakni tiga desa di Lombok Timur dan desa di Lombok Utara. Secara umum, Sekolah Perempuan yang dikembangkan bersama Institut KAPAL Perempuan telah dijalankan di enam provinsi, sembilan kabupaten/kota, dan dua puluh lima desa. Melihat dampak dari Sekolah Perempuan, di tahun 2014 Pemerintah Desa mulai merasa tertarik. Program ini kemudian diadopsi dan direplikasi di dua kabupaten wilayah kerja LPSDM. Melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Perempuan, pemerintah setempat mengakui perkembangan yang menonjol pada para alumni Sekolah Perempuan. Mereka dianggap kritis dalam melihat persoalan sosial, mulai dari KDRT, pernikahan anak, hingga layanan posyandu bagi ibu hamil dan anak. Sekolah Perempuan mengadvokasi kelompok perempuan miskin, berpendidikan rendah, penyintas kekerasan, perempuan kepala rumah tangga, pekerja informal seperti buruh tani, buruh cuci, dan lansia. Baru sejak tahun 2020, Sekolah Perempuan mulai mengadvokasi kelompok perempuan disabilitas. Menurut Ririn, hampir 80% anggota Sekolah Perempuan adalah perempuan miskin dan marginal, sementara 20%-nya lagi adalah kader, tokoh-tokoh di desa, dan guru. Sebagai pendamping, Ririn menyaksikan betul kesulitan para perempuan untuk sekadar mengungkapkan pendapat bahkan dalam konteks informal. Berdasarkan kerja pendampingan yang ia lakukan, Ririn menyadari betul bahwa membangun rasa percaya diri pada perempuan-perempuan yang telah mengalami diskriminasi dan ketidakadilan yang berlapis bukanlah tugas yang mudah. Dalam proses pendampingan di pertemuan Sekolah Perempuan, minggu-minggu pertama perjumpaannya dengan dampingan, sering kali diliputi oleh tangisan, gemetar, dan curahan hati pengalaman perempuan. Ririn memahami kesulitan ini karena ada rasa malu ketika harus menceritakan pengalaman kekerasan yang telah lama dibungkam demi mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Dengan perspektif feminis, Ririn melihat perlunya melibatkan perempuan sebagai subjek yang setara. Dengan menerapkan etika kepedulian yang berbasis pada mendengar suara liyan, Ririn dapat membangun pengetahuan bersama dampingannya. Proses pemberdayaan yang dilakukannya bersama Sekolah Perempuan adalah dengan mendorong keterlibatan langsung dan lewat tutur perempuan. Perempuan dampingan tidak boleh sekadar dipandang sebagai subjek yang pasif melainkan sebagai agensi yang perlu berbicara dan menyatakan kepentingannya. Ririn memahami bahwa hal terpenting adalah membuka ruang dialog antar perempuan dan membangun kepercayaan. Pasalnya, cerita perempuan sering kali datang dari pembisuan panjang. Maka forum belajar yang dilakukan oleh Ririn dimaksudkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri agar dampingan dapat bersuara dan terlibat secara utuh dalam kehidupan publik dan membangun solidaritas di antara sesama anggota. Terdapat beberapa model pembelajaran yang dilakukan Ririn beserta tim, yakni metode berbagi peran, dengar pendapat, menggambarkan sungai kehidupan yang mengilustrasikan sejarah perempuan, pemutaran dan analisa film, serta berbagai praktik lapangan. Selain itu, Ririn dan teman-temannya juga mengamati dan terlibat dalam kehidupan kelompok perempuan dengan cara live in di desa serta membuka percakapan informal. Tahapan pertama dalam rangkaian Sekolah Perempuan dia akui memang lebih membutuhkan ketelatenan. Mulai dari menumbuhkan daya kritis, kemudian pengetahuan mendasar soal konsep gender. Pengetahuan feminis yang dipakai sebagai alat pemberdayaan bagi kelompok dampingan berupa modul yang berisi tentang ketidakadilan gender dan faktornya, pluralisme, perlindungan sosial, dan livelihood. Baru setelah pemahaman ini dimiliki oleh peserta Sekolah Perempuan, barulah Ririn membawa para anggota untuk masuk pada tahap kedua. Di tahap ini Ririn melanjutkan dengan peningkatan kemampuan analisis sosial berbasis keadilan gender dan inklusi sosial. Pada tahap ketiga, barulah peserta Sekolah Perempuan diperkenalkan dengan materi pengorganisiran dan metode advokasi. Sekolah Perempuan memastikan bahwa seluruh kegiatan selalu berorientasi pada pelibatan dan partisipasi yang bersifat transformatif agar para perempuan dapat memperbaiki posisi sosialnya di masyarakat. Setelah kedekatan antara tim dan dampingan terbangun serta pemahaman yang cukup oleh kelompok Sekolah Perempuan, Ririn beserta tim kemudian mengarahkan para anggota untuk mengikuti program lanjutan yakni Training of Trainer (TOT). TOT ini ditujukan untuk fasilitator atau yang dinamai sebagai edukator komunitas. Tugas dari edukator ini adalah membumikan materi yang telah diberikan untuk disalurkan lagi kepada peserta Sekolah Perempuan. Materi yang digunakan adalah modul Pendidikan Adil Gender (PAG) yang dirancang oleh KAPAL Perempuan, ditambah dengan analisis sosial, pengorganisasian komunitas, dan kemampuan fasilitasi. Hingga saat ini, Ririn terus mengembangkan Sekolah Perempuan yang dibantu oleh edukator komunitas di setiap desa. Melalui para local leader inilah, ia mengakui mendapatkan berbagai inisiatif baru yang bahkan belum terpikirkan olehnya. Solidaritas feminis terlihat dari cara alumni Sekolah Perempuan yang secara konsisten terus memperjuangkan keadilan dan pemenuhan hak perempuan rentan. Bagi Ririn, proses kerja yang dia lakukan bukan sekadar kerja yang berhenti ketika satu-dua orang menjadi berdaya, melainkan jalinan panjang dari gerakan memperjuangkan keadilan gender bagi komunitas dan kelompok yang lebih luas secara berkelanjutan. Tidak hanya bergerak pada komunitas perempuan desa, Ririn kemudian terus mengawal kerja sama Sekolah Perempuan dengan lembaga desa, kampus, hingga Civil Society Organization (CSO). Capaian penting dan kontribusi inisiatif kolektif Sekolah Perempuan adalah adanya edukator komunitas yang terlibat menjadi enumerator untuk riset perkawinan anak dan pendataan keluarga. Alumni Sekolah Perempuan dengan demikian dapat dikatakan mampu mengaplikasikan pengetahuan feminis yang mereka dapatkan untuk advokasi isu keadilan gender bagi berbagai kelompok rentan. Keberhasilan lain yang berkesan bagi Ririn adalah ceritanya mengenai Komunitas Perempuan Penenun di Lombok Utara dan Lombok Timur. Beberapa di antara mereka adalah penyintas KDRT namun mampu bangkit dan mengajarkan nilai keadilan gender di sela-sela aktivitas menenun. Pengetahuan feminis dengan demikian tidak melulu berupa transfer teori dari individu ke individu secara formal, melainkan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan yang kontekstual. Ririn begitu bangga karena alumni Sekolah Perempuan ini juga turut mengampanyekan pencegahan perkawinan anak kepada kelompok remaja. Capaian penting lainnya adalah keberhasilan anggota Sekolah Perempuan menembus batas adat dengan menjadikan perempuan sebagai bagian dari tim 9 Majelis Adat Krama Desa yang sebelumnya didominasi atau bahkan sepenuhnya diisi oleh laki-laki. Keterlibatan perempuan dalam majelis adat ini begitu penting sebab tugas mereka adalah menentukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang merefleksikan dan mengakomodasi kepentingan kelompok perempuan adat. Dengan masuknya perempuan di dalam formasi inti, selayaknya tuntutan keadilan gender mampu terdengar lebih lantang. Cerita keberhasilan di atas tentu tidak datang dengan mudah. Pada awal Sekolah Perempuan dijalankan, Ririn terus memberikan pemahaman atas berbagai asumsi miring mengenai program ini. Anggapan yang sering dia temui bahwa Sekolah Perempuan dipertanyakan kelazimannya karena tidak dianggap sebagai bentuk pendidikan formal dalam pandangan masyarakat. Selain itu, ada juga yang mempertanyakan parameter ujian formal, keberadaan gedung, serta mengapa dia hanya menyelenggarakan sekolah perempuan saja dan bukan sekolah laki-laki. Menanggapi hal itu Ririn memahami bahwa masyarakat belum menyadari suatu pendidikan yang mampu dilakukan sepanjang hayat, terlebih pendidikan bagi perempuan. Mengubah Kepahitan Menjadi Sumber Pengetahuan Dalam wawancara dengan Jurnal Perempuan, Ririn menyampaikan bahwa pengalaman perempuan adalah sumber pengetahuan; yang kemudian dapat diakumulasikan sebagai sumber pembelajaran. Keyakinan inilah yang terus dia ingatkan terhadap diri sendiri maupun rekan organisasi. Sebagai direktur, dia mengarahkan untuk memberikan perhatian pada pendidikan perempuan. Melalui pendidikan kritis, perempuan akar rumput mampu memperkuat pemikiran dan posisi tawar mereka di dalam komunitas. Kerja advokasi di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara secara konsisten dilakukan oleh Ririn karena dia menyadari problem spiral kemiskinan begitu kuat berdampak pada pendidikan, kesehatan, dan berbagai kesulitan akses lainnya. Feminisasi kemiskinan ini begitu nyata dia jumpai pada perempuan, baik ibu, remaja, difabel, dan kelompok rentan lain di wilayah kerjanya tersebut. Ririn berpendapat bahwa problem berlapis yang dialami oleh pelbagai kelompok tersebut adalah suatu pengalaman yang harus direfleksikan. Refleksi yang mensyaratkan daya kritis ini dia bangun dalam program pemberdayaan LPSDM. Terlebih dalam isu perempuan, menurutnya metodologi feminis sebenarnya mengajarkan suatu pembongkaran relasi kuasa. Dia menganggap pendidikan kritis ini dapat menjadi salah satu contoh implementasi teori feminisme di dalam pengalaman sehari-hari perempuan. Karena sifat teori tersebut selalu mencurigai, mempertanyakan, dan membongkar hal-hal yang selama ini ditutupi oleh struktur sosial, budaya, ekonomi, serta politik. Bagi kelompok perempuan marginal, pendidikan ini yang kemudian memperkuat pemikiran bahwa perempuan sebagai subjek harus bebas dan setara sehingga mereka mampu membongkar kebisuan yang selama ini dijaga oleh supremasi patriarkisme melalui kaca mata gender. Beberapa problem kegelisahan mulai Ririn pantik. Dia mengajak kelompok perempuan berpikir mengapa terus terjadi perkawinan anak? Apa akar masalah yang ada di dalam sebuah keluarga? Mengapa angka kematian ibu melahirkan begitu tinggi, dan seterusnya. Deretan pertanyaan tersebut sengaja dilontarkan Ririn karena dia melihat permasalahan inilah yang melekat pada kehidupan perempuan di sana. Perempuan-perempuan yang dia dampingi di dua kabupaten Lombok tersebut rata-rata hanya mengenyam pendidikan dasar dan melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah merupakan capaian bagus. Sangat jarang yang menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA) apalagi sampai ke Perguruan Tinggi. Baru setelah dijalankannya program Sekolah Perempuan, beberapa perempuan di wilayah dampingannya saat ini termotivasi dan mampu menyelesaikan pendidikan S1. Menurut Ririn, kelompok perempuan dampingannya tidak hanya mengalami diskriminasi terkait akses sumber daya, perempuan juga mengalami kerentanan karena tradisi dan adat yang patriarki. Berdasarkan pengalaman advokasinya, tradisi dan hukum adat setempat merupakan salah satu justivikasi atas praktik perkawinan. Dalam adat pernikahan Lombok, penentuan sorong-serah atau seserahan dilakukan oleh keluarga laki-laki (bapak, paman, ketua RT, kepala dusun, dan tokoh adat). Untuk menentukan jumlah besar mahar pernikahan, para anggota penentu tersebut duduk di atas berugak atau saung. Aturannya, hanya laki-laki yang boleh menempati berugak, sementara perempuan hanya diperbolehkan duduk di bawah sebagai pendengar. Artinya, selama ini hukum adat setempat hanya mengizinkan pengambilan keputusan melalui suara laki-laki sehingga sulit untuk menghadirkan tawaran penempatan yang setara dalam praktik adat. Namun melalui kegigihan Ririn beserta teman-temannya mampu memperjuangkan hak perempuan untuk bersuara. Berkat dukungan edukator komunitas Sekolah Perempuan juga, akhirnya kini batas tersebut mampu ditembus. Kisah ini dituturkan Ririn dalam pengalaman Saraiyah, Ketua Sekolah Perempuan Pelangi Desa Sukadana. Sebagaimana ibu-ibu lain di Sekolah Perempuan, dulu Saraiyah hanya bisa mengikuti dari kejauhan saat proses penentuan sorong-serah perkawinan anaknya. Cerita ini menurut Ririn telah membuktikan bahwa melalui pendidikan kritis feminis mampu mereposisi perempuan di dalam hukum adat. Perempuan pada akhirnya memiliki kesempatan yang sama untuk bermusyawarah duduk di berugak. Bagi Ririn, dengan keikutsertaan ini perempuan menjadi agen aktif dalam menjalankan relasi keluarga. Selain itu, perspektif kepedulian perempuan juga memampukan suatu keputusan turut mengakomodir kebutuhan yang tidak kasat mata dalam pandangan maskulin. Misalnya, pemahaman anggaran keuangan keluarga yang lebih sensitif gender mampu melihat kebutuhan khusus untuk kesehatan ibu hamil dan bayi. Isu ini penting untuk diakomodasi dalam dialog di tingkat desa sebab masih banyak kasus stunting dan ibu hamil kekurangan gizi di wilayah-wilayah dampingan Sekolah Perempuan. Selain pendampingan pada isu diskriminasi perempuan, Ririn bersama anggota Sekolah Perempuan membuka posko perempuan yang didirikan sejak gempa Lombok pertama pada 29 Juli 2018. Posko perempuan ini terus bergerak dalam penyaluran bantuan, misalnya keikutsertaan perempuan sebagai Satuan Tugas (satgas) Covid-19. Pendidikan kritis feminis yang Ririn sebar luaskan juga mendorong inisiatif kelompok perempuan ini untuk menerapkan cara kerja yang sensitif gender. Kepemimpinan perempuan yang Ririn dan LPSDM upayakan juga memacu inisiatif lain seperti dibentuknya radio komunitas di wilayah pegunungan Kabupaten Lombok Utara. Program yang dioperasikan sejak masa pandemi ini menjadi media edukasi. Pasalnya, LPSDM menemukan adanya peningkatan kasus perkawinan anak selama pandemi serta Ririn mengakui bahwa wilayah-wilayah program ini sangat sulit dijangkau dan terbatas jaringan internet. Oleh sebab itu, radio dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan di tengah situasi keterbatasan tersebut. Ririn beserta organisasi mitra menamai kanalnya dengan ‘Radio Sekolah Perempuan Darurat Siaga Covid-19 “Nina Bayan.”’ Konten siarannya meliputi isu pencegahan perkawinan anak, KDRT, sosialisasi tentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kesejahteraan lansia, Sustainable Development Goals (SDGs), penyuluhan jaminan sosial, serta informasi terkait Covid-19. Saluran dengan jangkauan jarak 2,5 kilometer ini telah diperdengarkan di 8 dari 13 desa di wilayah tersebut. Upaya ini dinilai Ririn adalah langkah praksis dalam pendidikan kritis feminis yakni daya kritis gerakan perempuan yang sigap dalam situasi darurat kebencanaan dengan berperspektif gender. Sebuah Harapan, Hambatan dan Tantangan bagi Kerja Keadilan Feminisme Kalimat motivasi yang begitu mendalam dihayati Ririn adalah kutipan Misiyah: “kepemimpinan perempuan itu tidak jatuh dari langit, melainkan diciptakan dengan segala daya upaya.” Pesan ini menjadi pegangan Ririn sebagai community development. Dalam kerja tersebut, ia berharap agar pendidikan kritis feminis harus terus dikembangkan karena itu akan menjadi kerangka berpikir dalam mempertajam analisis. Menurutnya, gerakan perempuan juga harus dijaga sampai akar rumput. Cita-cita untuk keadilan gender dalam skala yang lebih besar seperti di tingkat nasional dan global tidak dapat tercapai jika komunitas di tingkat lokal ditinggalkan. Berefleksi dari pengalamannya, menurut Ririn kerja kemanusiaan khususnya sebagai aktivis feminis harus diawali dari kegelisahan dan inisiatif diri sendiri. Bekerja pada isu ini membutuhkan tekad dan kemauan yang kuat sebab tantangannya berasal dari berbagai pihak. Terkadang tantangan tersebut bisa hadir dari pasangan atau keluarga besar. Terlebih ketika isu yang dibicarakan adalah feminisme dan gender. Hambatan lain muncul dari eksternal yaitu penolakan dari komunitas karena menyampaikan materi yang dianggap akan membongkar struktur tabu di dalam masyarakat. Misalnya, sebagai aktivis keadilan gender, Ririn berupaya membongkar tabu untuk melawan KDRT. Padahal masyarakat umum masih banyak yang meyakini bahwa KDRT adalah urusan privat. Implikasinya, ketika aktivis mendampingi perempuan korban, mereka malah dituduh menyebarkan ajaran yang tidak benar dengan membeberkan aib keluarga. Meskipun sulit untuk mengubah kerangka pikir masyarakat terkait distingsi privat dan publik, tapi hal ini mungkin dilakukan. Ririn menggunakan pendekatan-pendekatan dengan model pelibatan kelompok perempuan dan pemerintah desa dalam diskusi dan dialog agar dapat berpikir lebih kritis bahwa KDRT berkait dengan pelanggaran HAM dan hak konstitusional warga negara yang tentunya merupakan ranah publik. Oleh sebab itu, pemerintah desa harus menyediakan akses pemulihan terhadap korban, mengadakan program untuk membangun empati dan respons atas KDRT di sekitar kita. Pendampingan dan pengorganisasian gerakan perempuan memang harus dilakukan secara bertahap. Sebagaimana prinsip Ririn bahwa bidikan utama dalam struktur patriarki ada di dalam ide atau pikiran sehingga upaya pertama kali yang dilakukan haruslah menyasar pada bagaimana pola pikir yang bermasalah tersebut didekonstruksi. Sayangnya, patriarki tidak hanya diidap oleh individu saja namun juga mewujud dalam praktik budaya dan institusional, sistem pemerintahan, sistem hukum, sistem agama, dan lain sebagainya. Dalam sejumlah program LPSDM, Ririn kerap mendapati adanya pemerintah setempat yang memang mengakui kesempatan yang setara bagi perempuan namun masih menarik batas pada nilai konservatif kodrat perempuan. Kejadian ini pernah Ririn alami saat program Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam kebijakan di Kabupaten Lombok Timur. Ada juga keluhan yang menganggap capaian Sekolah Perempuan secara kurikulum tidak jelas batasnya. Karena proses pembelajaran yang panjang dan tidak instan, sering kali baik peserta maupun pihak mitra mengalami kejenuhan. Pelbagai tantangan tadi masih dihadapi oleh Ririn dan LPSDM mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Pengalaman Ririn yang dekat dengan isu gender dan pendidikan kritis feminis telah membawanya menjadi salah satu tokoh kunci dalam menerapkan serta mengimplementasikan pengetahuan feminis di Indonesia. Pada 7 Maret 2022 kemarin, sebagai peringatan hari perempuan internasional, Ririn bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) meluncurkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Bersama KAPAL Perempuan dan LPSDM Ririn terus menggalakkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan desa. Harapan Ririn adalah agar inisiatif tersebut ke depannya bisa terus direplikasi menjadi kebijakan yang ramah gender. Tidak hanya pemberdayaan bagi kelompok perempuan marginal di Kabupaten Lombok saja, namun seluruh kelompok marginal di Indonesia. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |