Oleh: Iqraa Runi Aprilia Rubrik: Wawancara JP 114 Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi & Keadilan Gender Mitra Kadarsih mendalami studi D-3 Kebidanan di Politeknik Kesehatan Jakarta pada 2004. Terinspirasi dari mamanya yang juga seorang bidan, Mitra kemudian melanjutkan pendidikan ke tingkat D-4 hingga tingkat Pascasarjana di Universitas Padjajaran. Sesekali Mitra masih mengajar di Program Studi Kebidanan Universitas Dehasen Bengkulu Unived. Perjalanan akademisnya berliku dan panjang, mengikuti irama perjalanan pendidikan kebidanan di Indonesia. Namun demikian, dari pengalaman membuka praktik mandiri sejak 2008 seperti halnya mamanya, Mitra justru banyak belajar mengenai filosofi dan model of midwifery care. Cita-cita awalnya menjadi dokter telah bertransformasi menjadi seorang bidan yang memiliki komitmen pada isu perempuan khususnya Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Pada 2018 Mitra bergabung dengan Yayasan IPAS Indonesia di unit Health System Strengthening (HSS) dan sejak 2023 menempati posisi sebagai Health System Strengthening Specialist (HSS Specialist). Sebelumnya Mitra juga pernah bergelut di Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan juga United Nations Population Fund (UNFPA). Tempat praktik dan pergumulannya di isu pembangunan ternyata memberikan pengalaman empirik yang tidak dia dapatkan di bangku perkuliahan. Menjadi HSS Specialist secara langsung memperkuat pemahaman Mitra mengenai sistem kesehatan baik lokal maupun global. Menurut Mitra, bidan mampu memberikan layanan holistik untuk memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, sosial, kultural, dan emosional kepada perempuan. Bidan mengedepankan prinsip layanan yang berpusat pada perempuan dan memosisikan perempuan sebagai subjek layanan serta sebagai mitra utama dalam menentukan asuhan kebidanan. Selain itu, bidan memiliki tugas untuk memberikan layanan secara berkelanjutan (continuum care) dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan maupun nonkesehatan untuk memastikan kebutuhan perempuan terpenuhi. Oleh sebab itu, bidan merupakan sahabat perempuan dan menghargai waktu alamiah setiap proses reproduksi dan kehidupan perempuan. Sebagai seorang HSS Specialist, tentunya Mbak Mitra telah berhadapan dengan situasi minimnya pemahaman masyarakat tentang alat kontrasepsi. Dapatkah Mbak Mitra menjelaskan kepada kami tentang situasi tersebut? Jika bicara kontrasepsi, mari kita mundur agak jauh ke masa awal program ini masuk ke Indonesia. Pada tahun 1967, pemerintah Indonesia menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang komitmen awalnya adalah tentang pengendalian penduduk. Kemudian sejak tahun 1969 program Keluarga Berencana (KB) diperkenalkan dengan tujuan agar perempuan ber-KB, menggunakan kontrasepsi. Mama saya sebagai bidan adalah bagian dari sejarah bagaimana perempuan ber-KB di masa itu tidak mengindahkan hak perempuan. Kita pun masih dapat dengan mudah menemukan dokumentasi tentang bagaimana militer turun ke jalan, menjemput penduduk dan petani perempuan untuk ikut serta menjadi akseptor KB. Di kala itu, militer sangat disegani. Tentunya hal ini memengaruhi keputusan petani perempuan untuk ikut serta dalam menjadi akseptor KB. Selain itu, orang-orang gelandangan seperti gembel dan pengemis (GEPENG) menjadi salah satu target utama untuk mencapai akseptor KB. Tahun 80-an mama saya ikut bertugas memberikan pelayanan KB di Surabaya, bagi mereka, di gerbong-gerbong kereta. Jadi, gerbong kereta disulap menjadi tempat layanan. Tanpa pemberian konseling dan informasi, mereka dipasangkan Intrauterine Device/KB Spiral (IUD). Alasan mereka dipasangkan IUD adalah karena itulah KB jangka panjang yang dianggap efektif pada masa itu. KB pada masa itu tidak mengindahkan hak perempuan (petani dan gepeng) untuk memilih. Di sinilah muncul pelanggaran isu hak perempuan. Namun International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 2004 memaksa pemerintah kita untuk mengedepankan hak reproduksi perempuan. Walaupun perlu dicatat bahwa objektifikasi tubuh perempuan masih terus terjadi, kita dapat melihat bahwa ada pergerakan positif dalam KB. Setidaknya saat ini kita mengakui bahwa anggapan “KB hanya urusan perempuan” adalah kuno. Bidan, sebagai tenaga kesehatan yang banyak berurusan dengan KB pun harus mengubah cara pikir dan menyadari bahwaKB adalah hak perempuan, siapa pun itu. Layanan KB pun perlu disediakan sesuai dengan kondisi perempuan yang beragam. Sejujurnya, saya sebagai bidan tidak diajarkan di kampus mengenai apa itu women-centered care atau layanan yang berpusat pada perempuan. Padahal ini adalah dasar filosofi, konsep, dan pendekatan yang perlu dipahami oleh semua bidan. Jika ini tidak diajarkan dalam studi kebidanan maka sangat mungkin para bidan dan tenaga kesehatan melanggengkan objektifikasi tubuh perempuan. Indikator keberhasilan pola layanan yang tidak berbasis WCC cenderung hanya beroreintasi pada capaian jumlah akseptor dengan data angka yang wajib dilaporkan ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Dinas Kesehatan. Bagaimana situasi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) di Indonesia? Negara kita tidak memiliki data pasti terkait Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Namun dalam survei dari Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia/SDKI) tahun 2017 dilaporkan sekitar 15% kelahiran pada perempuan usia 10-49 tahun di Indonesia adalah kelahiran yang tidak diinginkan. SDKI 2017 juga melaporkan bahwa 12% perempuan belum menikah usia 15-24 tahun di Indonesia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Siapa yang mengalami KTD? Setiap perempuan yang melakukan aktivitas seksual berkemungkinan mengalami KTD, terlebih mereka yang tidak memiliki akses kontrasepsi. Berbeda sekali dengan stigma yang dilekatkan bahwa KTD terjadi di kalangan remaja atau orang muda yang melakukan “pergaulan bebas” atau seks tidak aman, perempuan yang menikah dan gagal KB juga dapat mengalami KTD. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Hasil penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) tahun 2009 di 9 kota besar di Indonesia melaporkan bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi sebanyak 39% dan 67% di antaranya mengalami KTD dan meminta pertolongan untuk penghentian kehamilan. Selain itu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada 2015 melaporkan bahwa periode 2000-2014 terdapat 118.756 kasus KTD yang mengakses klinik konseling KTD di beberapa kota di Indonesia dan 85% klien yang mengalami KTD berstatus menikah. KTD adalah fenomena gunung es dan biasanya perempuan dan orang-orang di sekitarnya akan lebih discrete ketika mengalami KTD. Hasil studi Pusat Kajian Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK UI) 2000, terdapat 2 juta kejadian penghentian kehamilan di Indonesia setiap tahunnya. Sementara itu, data Riskesdas 2010 melaporkan bahwa 49,4% upaya penghentian kehamilan dilakukan oleh perempuan itu sendiri. PPK UI bekerjasama dengan Guttmacher Institute kembali melakukan studi Insiden Aborsi dan Asuhan Pasca Keguguran (APK) Tahun 2018. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa estimasi angka kejadian aborsi tahun 2018 sebesar 43/1.000 perempuan usia subur atau 1,7 juta kasus. Apakah perempuan melakukan penghentian kehamilan secara mandiri? Bisa jadi. World Health Organization Abortion Guidelines (WHO Guidelines) tahun 2022 telah memasukkan self-managed abortion untuk usia kehamilan 12 minggu ke bawah sebagai prosedur yang aman. Namun demikian, apakah mereka melakukannya dengan aman? Lalu bagaimana dengan yang lainnya? Apakah mereka semua melanjutkan kehamilannya dengan aman juga? Informasi ini tidak pernah masuk ke data sistem kesehatan kita. Apa saja penyebab dari kehamilan tidak direncanakan? Biasanya penyebab KTD yang disebutkan adalah sudah cukup anak, gagal KB, dan terikat kontrak kerja. Namun selain itu ada hal yang tidak terungkap bahwa kasus KTD ini terjadi karena pemaksaan dan kekerasan. Pemaksaan ini berkelindan baik secara sosial, religi, dan legal. Pemaksaan secara sosial dapat dilihat dalam bentuk larangan dari pasangan untuk menggunakan kontrasepsi; pemaksaan secara religi/kepercayaan dapat dilihat dari adanya kepercayaan tertentu yang melarang menggunakan kontrasepsi; dan pemaksaan melalui hukum legal dapat dilihat pada UU kependudukan bahwa harus diizinkan suami untuk ber-KB. Menurut saya ini merupakan kekerasan yang terselubung/tidak disadari. Saat ini sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menyatakan bahwa kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan adalah tindak pidana, sehingga harus ada penanganan yang tepat terhadap kehamilan tersebut. Sayangnya, di negara kita kehamilan dianggap sebagai sebuah kewajiban bagi perempuan, sehingga korban kekerasan seksual yang hamil pun mungkin kehamilannya dianggap tetap diinginkan. Selain itu, perkawinan anak dan tren nikah muda juga berkontribusi pada KTD. Perkawinannya saja sudah dipaksa dan dalam kondisi belum siap secara fisik, mental, sosial, dan sebagainya. Pada kasus ini tidak memungkiri bahwa akan ada pelarangan penggunaan KB yang dibarengi dengan pemaksaan kehamilan oleh pasangan dan keluarga. Kejadian KTD kemudian diperparah dengan dilanjutkan tanpa kesiapan fisik, psikologis, sosiokultural, emosional, dan spiritual—mereka tidak siap. Kemudian terjadi potensi kesakitan jangka panjang (long term morbidity) seperti postpartum depression dan postpartum blues yang disebabkan karena mereka tidak/belum siap untuk memiliki anak akibat perkawinan anak atau tren nikah muda tadi. Dalam kasus kehamilan tidak direncanakan biasanya penyelesaian apa yang paling banyak ditempuh oleh perempuan Indonesia? Dari pengalaman saya, pasien yang mengalami KTD biasanya ingin menterminasi (aborsi) kandungannya. Namun kendalanya, mendapatkan akses layanan itu sulit. Biasanya saya hanya memberikan konseling KTD saja. Berdasarkan pengalaman saya, walaupun hanya memberikan konseling, saya tetap merasa khawatir dan ketakutan. Jika yang meminta layanan adalah pasangan suami–istri, pastinya aborsi terjadi, jika keduanya telah setuju dan sepakat. Dilema yang saya alami adalah keresahan dan kekhawatiran apakah mereka yang telah melakukan konseling dengan saya, kemudian akan mendapatkan akses yang aman atau tidak. Dilema-dilema ini sebetulnya terkait juga dengan peraturan yang ada. Di tengah tugas dan keterbatasan yang ada, saya berusaha melayani dengan baik dengan cara memberikan informasi kepada pasien tanpa membatasi informasi tersebut. Kemudian hal lain yang biasa saya lakukan adalah merujuk pasien pada konselor yang memang lebih ahli untuk melakukan konseling KTD tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, pola yang kerap terjadi pada pasien KTD adalah pasien datang untuk melakukan ultrasonografi (USG) dengan menyatakan bahwa ini sebenarnya KTD, kemudian mereka menghilang, tidak kontrol lagi atau bisa jadi mereka melakukan kontrol kehamilan di tempat yang berbeda. Berdasarkan beberapa studi dan konferensi yang saya datangi biasanya perempuan dengan KTD mendapatkan informasi aborsi dari internet, teman dekat, calo obat, dan sebagainya. Saat ini informasi sudah terbuka, jadi kemungkinan besar mereka mengakses layanan aborsi atau melakukannya sendiri. Sementara itu, berdasarkan fakta lapangan, banyak juga yang mengakses aborsi melalui dukun beranak, tenaga kesehatan panggilan, dan klinik ilegal. Bahkan ada juga yang ke luar negeri terlebih dahulu untuk mengaksesnya. Sementara terkait klinik terselubung, saya yakin ada tenaga kesehatan atau medis yang melakukannya. Tetapi masalahnya, apakah prosedur dilakukan dengan metode yang aman?. Terkadang kita berpikir bahwa bila terminasi dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan, otomatis aman, padahal aman atau tidaknya suatu tindakan terkait dengan pemilihan metode yang digunakan. Kalau masih menggunakan kuret tajam artinya masih menggunakan metode yang tidak aman karena sudah tidak direkomendasikan oleh WHO. Metode yang direkomendasikan oleh WHO adalah vacuum aspiration dan obat-obatan seperti misoprostol atau combipack campuran mifepristone dan misoprostol. Aborsi bukan sekadar tentang kesehatan fisik. Penting juga untuk memikirkan keadaan jiwa perempuan. Berdasarkan sejumlah testimoni yang saya baca dari website untuk solidaritas bagi perempuan yang melakukan aborsi, penting untuk memastikan agar mereka terbebas dari stigma diri. Website ini berisi komunitas dan pengalaman perempuan dari seluruh dunia termasuk perempuan Asia dan Indonesia. Hal menarik yang saya temukan, ketika selesai melakukan aborsi, mayoritas dari mereka merasa lega dan senang, tetapi ada juga sebagian yang masih merasa takut atau trauma. Testimoni-testimoni ini sebenarnya mengajarkan bahwa jika tidak ditangani dan direspons secara memadai, stigma diri adalah tantangan berat bagi perempuan. Perasaan bersalah itu muncul karena mereka tidak mendapatkan konseling yang cukup sehingga masih lekat adanya pemaknaan aborsi sebagai suatu tindakan yang salah, dosa, dan menyalahi kodrat. Kemudian, untuk kasus KTD yang dilanjutkan, saya tidak tahu pasti karena dari pengalaman saya, pasien KTD kontrol, lalu menghilang. Jadi, saya tidak tahu kapan dia melahirkan. Walaupun, pada beberapa kasus juga ada KTD yang dilanjutkan namun kasus itu hanya sedikit. Berdasarkan pengalaman saya, ada yang istrinya kemudian mengalami postpartum depression. Pasien saya sendiri, ada yang kemudian stres berat karena harus menyusui, merasa sendiri, dan tidak ada dukungan dari pasangan dan keluarga. Untuk kasus KTD dilanjutkan, ada dua hal yang perlu diperhatikan haknya yaitu perempuan dan bayinya. Ironisnya, jika perempuan tidak baik-baik saja, hal ini tidak dilihat sebagai permasalahan oleh orang-orang. Masyarakat kerap memaknai KTD yang dilanjutkan sebagai “happy ending” karena bayinya lahir, tanpa melihat pengalaman dari sisi perempuannya. Apalagi pada korban perkosaan yang kebanyakan diminta untuk melanjutkan kehamilan, kita pun sulit melihat bagaimana pengalaman mereka misalnya saat melepaskan bayinya ke dalam proses adopsi atau bahkan bagaimana kesulitan-kesulitan dan keterbatasan korban perkosaan yang terpaksa merawat bayi yang dilahirkan tanpa bekal apapun dan tanpa sistem pendukung. Bagaimana kaitan pendidikan seksual komprehensif dan pemenuhan HKSR perempuan? Sejauh apa pendidikan seksual komprehensif dapat menjangkau dan menyelesaikan permasalahan HKSR? Jelas pendidikan HKSR dan kesuksesan menyelesaikan problem yang ada sangat berkorelasi. Penting adanya pendidikan HKSR sejak dini, karena kalau kita berbicara seksualitas, akan sangat luas. Menurut saya pendidikan HKSR pertama kali yang kita terima yaitu saat kita hadir di dunia, ketika seorang anak merasakan sentuhan dan dekapan ibu—orang tua—dan menyusu. Dalam momen tersebut bayi dapat menerima rasa kasih sayang dari dekapan, proses menyusui dan kehangatan. Itu adalah bentuk pemenuhan seksualitas bayi dan itu juga adalah edukasi tentang rasa aman. Menurut saya itu adalah comprehensive sexual education (CSE) pada tahap bayi. Selanjutnya, relasi orang tua yang dilihat oleh anak yang secara tidak sadar itu adalah pendidikan seksualitas. Jika cara berelasi antara suami-istri atau parentingnya sering menunjukkan kekerasan baik dengan fisik maupun verbal, maka anak akan memahami kekerasan sebagai bentuk rasa kasih sayang dan menganggap kekerasan adalah kewajaran. Hal tersebut berimplikasi di kemudian hari. Perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan sarat kekerasan menikah kemudian mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Iia akan menganggap kekerasan yang ia alami sebagai wujud teguran dan kasih sayang dari suaminya agar memperbaiki diri—padahal itu adalah bentuk kekerasan. Mengapa sampai demikian? Karena kekerasan sudah tertanam dan dinormalisasi sejak kecil. Menurut saya, komponen standar usia untuk mempelajari comprehensive sexual education perlu ada. Saat ini klaimnya kita sudah memiliki comprehensive sexual education, nyatanya kalau kita bedah itu bukan comprehensive sexual education. Contohnya saja remaja tidak diajari tentang kontrasepsi dan aborsi. Edukasi seksual yang ada pada negara kita belum memenuhi kriteria comprehensive sexual education. Sebab dalam comprehensive sexual education cakupannya sangat luas. Dalam pendidikan seksual komprehensif yang sesuai pedoman global, perbincangan hubungan seksual sebenarnya sangat sedikit. Fokus utamanya adalah perbincangan mengenai bagaimana ketubuhan, relasi sehat, tanda bahaya atau red flag, memahami kekerasan, dan sebagainya. Sehingga, tujuan utama pendidikan seksual yang komprehensif adalah membentuk karakter dan ketahanan diri setiap manusia sesuai dengan usia dan perkembangan seksualitasnya agar terhindar dari kekerasan dan dapat menjalani kehidupan masa kini, serta mempersiapkan masa depannya. Penguatan karakter dan ketahanan diri semacam itu hanya bisa dicapai melalui edukasi yang komprehensif. Selain mendapatkan comprehensive sexual education, keluarga dan orang terdekatnya perlu menjadi benteng utama (support system). Jadi, comprehensive sexual education dan perlindungan serta dukungan keluarga menjadi paket yang sangat bagus. Walaupun ada studi bahwa comprehensive sexual education tidak mencegah seseorang untuk melakukan hubungan seksual, tetapi comprehensive sexual education dapat menunda seseorang melakukan hubungan seksual sampai pada usia yang siap secara reproduktif, melakukan hubungan seksual yang aman, dan mampu membangun relasi yang sehat. Kira-kira itu yang menjadi poinnya. Kemudian, apakah Comprehensive Sexual Education dapat menyelesaikan masalah yang ada? Comprehensive Sexual Education merupakan salah satu komponen penting dalam menyelesaikan berbagai masalah. Sehingga, Comprehensive Sexual Education tidak bisa 100% menyelesaikan masalah. Ada hal lain, seperti layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Sistem kesehatan yang mendukung juga merupakan komponen penting untuk menyelesaikan masalah. Melalui pendidikan kesehatan seksual yang komprehensif, perempuan dan laki-laki diberikan edukasi secara lengkap dan setara. Mereka diberikan pemahaman terkait kesetaraan gender, relasi sehat, dan lainnya. Sebagai contoh, terkait perencanaan kehamilan: Memberikan edukasi kepada perempuan maupun laki-laki bahwa perencanaan kehamilan merupakan kerjasama dari kedua belah pihak. Sehingga, perempuan dan laki-laki memahami bahwa perencanaan kehamilan bukan tanggung jawab salah satu pihak saja. Seperti pemilihan kontrasepsi, bahwa ragam jenis kontrasepsi untuk perempuan sangat terbatas dan tidak semua perempuan akan cocok dengan salah satu jenis kontrasepsi. Di sisi lain, kontrasepsi laki-laki lebih sedikit ragamnya meskipun saat ini pil kontrasepsi untuk laki-laki sedang dalam tahap uji coba. Menimbang keterbatasan tersebut, maka perempuan berhak memutuskan untuk tidak menggunakan kontrasepsi, begitu pun laki-laki. Namun bagaimana mereka bersepakat inilah hal yang penting! Seperti memutuskan untuk melakukan coitus interruptus atau atau ejakulasi eksternal itu tidak apa dilakukan asal kedua belah pihak saling berdiskusi dan sepakat. Namun untuk sampai pada keputusan sepakat melakukan coitus interruptus, perlu dibekali dengan pendidikan seksual komprehensif di mana laki-laki dan perempuan diberikan penjelasan terkait pemaknaan terkait kepuasan seksual agar dapat memerdekakan diri dari konstruksi kepuasan seksual menurut masyarakat—kepuasan menurut konstruksi masyarakat bahwa hubungan seksual wajib penetrasi penis ke dalam vagina dan konsep orgasme yang normal adalah ejakulasi tanpa terputus (di dalam liang vagina). Padahal orgasme bisa tidak selalu dilakukan melalui penetrasi atau sperma yang keluar di liang vagina. Di sinilah pendidikan seksual komprehensif terkait perencanaan kehamilan diperlukan. Kemungkinan kegagalan setelah berencana tentunya tetap ada, namun yang terpenting pasangan memahami bahwa komitmen untuk bekerja sama, saling menghargai, dan menghormati merupakan inti dari suatu relasi. Menurut Mbak Mitra, bagaimana kondisi kebijakan reproduksi di Indonesia? Apakah membahayakan posisi perempuan dan praktisi kesehatan? Saya, sebagai praktisi kesehatan, membaca kondisi kebijakan kesehatan reproduksi saat ini sangat dilematis. Kebijakan kontrasepsi menyatakan bahwa kontraspesi hanya bisa diberikan kepada pasangan usia subur yang sudah menikah. Itu artinya pasangan yang belum menikah tidak boleh saya layani. Padahal secara filosofi, secara sumpah jabatan, saya perlu melayani siapa pun yang ada di depan saya—baik pembunuh sekalipun perlu saya layani secara baik karena bagian dari sumpah jabatan. Dari perspektif public health, tentunya pembatasan layanan KB dapat berdampak buruk. Hal ini dapat menyebabkan tingginya kebutuhan yang tidak terpenuhi dan menyebabkan KTD. Dalam hal ini, kembali lagi yang akan lebih banyak dirugikan adalah perempuan. Saya sendiri dilematis menanggapi permintaan kontrasepsi, misalnya permintaan kontrasepsi untuk pekerja seksual. Perlu diakui bahwa pasien yang datang ke saya itu banyak mulai dari remaja hingga usia matang. Remaja ini bukan serta-merta tidak menikah, pernikahan anak di Indonesia juga tinggi dan saat ini ada pula tren nikah muda. Menurut saya, situasi di lapangan dengan kebijakan tidak bertemu. Hal ini membuat praktisi kesehatan seperti saya mengalami dilema dalam profesi. Tantangan pemenuhan HKSR perempuan di Indonesia cukup kompleks, bukan hanya soal layanan medis, bahkan comprehensive sexual education saja dibatasi. Tantangan lain adalah adanya syarat izin suami untuk pemasangan kontrasepsi. Izin suami untuk pemasangan kontrasepsi kemudian menjadi masalah besar ketika istri memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi tertentu, namun suami tidak memberi izin. Berdasarkan pengalaman saya, istri tetap melakukan kontrasepsi. Walaupun, itu adalah satu contoh bahwa ini tidak baik secara sistem, membahayakan saya sebagai praktisi, mungkin saja saya kemudian kena tuntutan karena melayani sebelum pasien saya meminta izin kepada suaminya. Peraturan yang dilekatkan pada tubuh perempuan sebenarnya berlebihan, sebab menjadikan tubuh sebagai objek yang diatur dan/atau diawasi oleh medis dan hukum, sementara tidak demikian halnya pada laki-laki. Walaupun sudah tertera dalam UU TPKS bahwa laki-laki dilarang membuka kondom tanpa persetujuan pasangan, namun implementasinya apakah demikian? Saat kita jabarkan peraturan yang mengatur tubuh perempuan dan laki-laki, perbandingannya akan jauh sekali. Bagaimana kemudian negara begitu restriktifnya dalam mengatur tubuh perempuan. Padahal kita tahu bahwa perempuan sudah terbebani dengan himpitan norma, nilai, budaya yang membuat mereka termarginalisasi dan menempatkan mereka menjadi rentan. Pada kasus perempuan yang memutuskan untuk aborsi, apakah mereka semua memilih untuk melakukan itu untuk dirinya? Tentu tidak. Dalam pengalaman saya, kebanyakan mereka melakukan aborsi karena takut keluarga menerima malu, takut mempermalukan orang tua, ekonomi keluarga sudah cukup untuk jumlah anak saat ini, agar bisa tetap kerja dan menafkahi keluarga, dan berbagai alasan lain yang pertimbanganya karena komunitas atau keluarganya. Dalam pengalaman saya, perempuan yang mengonsultasikan aborsi, mereka datang bukan untuk mereka tapi untuk keberlangsungan anak-anaknya. Sayangnya kebijakan tentang kesehatan reproduksi mengatur tubuh perempuan dan mengikat praktisi secara tidak berimbang. Jadi menurut saya sebagai praktisi, kebijakan kesehatan reproduksi yang kita miliki sangat dilematis. Adakah pengalaman kerja terkait penanganan KTD yang berkesan dan dapat direfleksikan dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan? Saat sahabat saya mengalami KTD, dia meminta layanan konseling KTD pada saya di tengah malam. Bingung tidak tahu mau melakukan apa dan ke mana. Kalau saat ini sudah ada konselor yang khusus melayani KTD, tapi dulu belum terbuka seperti sekarang. Waktu itu saya dapat telepon malam, dia bilang dia hamil dan ingin melakukan aborsi. Kemudian, saya jelaskan bahwa itu bahaya dan lain sebagainya. Kemudian, dia bilang “dengan bantuanmu atau tidak saya akan tetap mengakhiri kehamilan ini.” Semalaman suntuk saya tidak bisa tidur, bahkan berhari-hari saya memikirkan, karena dia hilang tidak ada kabar. Saya berpikir, dia ke mana? Bagaimana kalau dia akses layanan yang tidak aman? Saya takut besok dia sudah tinggal nama. Tahun 2005 informasi belum seperti sekarang. Saya pun belum mengetahui tentang metode aman. Baru 3 bulan setelahnya, dia berkontak lagi dan menceritakan pengalaman yang sangat buruk. Pengalaman teman saya menjadi turning point–bahwa akses aborsi aman adalah suatu hal yang perlu kita bicarakan pada khalayak. Stigma dan larangan aborsi berlaku di masyarakat kita begitu kuat, tetapi kenyataannya aborsi tetap dipraktikkan. Berefleksi dari pengalaman teman saya dan banyak perempuan lainnya, dengan atau tanpa bantuan petugas medis, perempuan akan mencari cara menghentikan kehamilan yang tidak dia inginkan. Mereka akan melakukan berbagai metode aborsi tidak aman yang berpotensi menghasilkan penderitaan dan bahkan kematian. Di sinilah seharusnya negara hadir, begitu pula petugas kesehatan. Membicarakan isu ini memang sensitif di masyarakat kita, tetapi jika kita semua diam, maka siapa yang akan memperjuangkan hak ini? Sementara komplikasi kesehatan dan bahkan kematian mengintai perempuan yang hendak menterminasi KTD yang dialaminya. Saya pribadi merasa bersalah atas apa yang dialami oleh teman saya dan berharap tidak ada lagi yang mengalami derita seperti yang dia alami. Pengalaman aborsi yang dia alami traumatis, bukan karena aborsinya sendiri melainkan karena perlakukan tenaga medis yang buruk. Dia melakukan aborsi tidak aman dan dia tidak dibius secara sempurna sehingga dia merasakan semua prosesnya. Untunglah dia mampu bangkit dari situasi traumatis dan depresif tersebut karena mengikuti post-abortion care. Ini menjadi momentum luar biasa bagi saya untuk terus menjalankan profesi sebagai bidan dengan baik sekaligus menerapkan prinsip women-centered care (layanan yang berpusat pada perempuan). Sebagai pembelajaran bagi kita semua, bahwa dalam praktik aborsi tidak aman sangat mungkin terjadi malpraktik atau prosedur yang sama sekali tidak sesuai dengan pedoman WHO. Tetapi karena praktik ini dilakukan secara rahasia, tidak mungkin perempuan melaporkan hal-hal semacam ini. Ini menyuburkan praktik aborsi yang tidak bertanggung jawab. Sebetulnya yang harus diatur adalah pelaku-pelaku aborsi tidak aman, calo obat, dan sebagainya–bukan perempuannya. Selain melalui penelitian, bagaimana cara Mbak Mitra mengajak dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kepedulian atas HKSR baik itu untuk masyarakat maupun praktisi HKSR? Saya biasanya melakukan dari hal-hal kecil, misalnya edukasi ke keponakan saya secara bertahap. Paling tidak dari lingkar yang terkecil ini mereka bisa mendapatkan informasi yang benar. Kemudian juga karena saya praktik, mengajar sebagai dosen tamu, dan fasilitasi pelatihan, pada ruang tersebut saya memberikan informasi penting untuk mereka karena itu hak mereka. Kalau untuk pasien, bertahap. Untungnya jadi bidan itu karena periksanya bertahap. Jadi kalau ada suaminya juga, saya beritahu soal kesetaraan gender, bagaimana dampaknya, bagaimana mereka harus jadi satu tim yang solid, dan kemudian ajak mereka diskusi setelah lahir nanti apa yang mau direncanakan untuk anaknya, untuk mereka, bagaimana mengatur me time atau mengatur waktu untuk mereka sendiri. Biasanya pembicaraan itu adalah stimulus—dari sesimpel itu akan jadi pembicaraan yang panjang. Kalau suaminya suportif, saya juga menanyakan bagaimana keterlibatan dan kesiapan suaminya setelah istrinya melahirkan. Banyak kasus suami menjadi abusif dan agresif pasca istrinya melahirkan karena kompensasi dari stresnya menjadi awal kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Tentunya, ini tidak dibenarkan sama sekali. Oleh sebab itu, penting melibatkan laki-laki, untuk memberikan pengetahuan agar dia tidak stres pasca istrinya melahirkan. Penting juga membangun dialog dan menanyakan apa dan siapa yang akan terlibat membantu mengurus bayi karena nanti perempuannya akan menjadi pihak yang rentan. Perlu juga bicra tentang momen di mana istri merasa menjadi tidak cantik, gemuk, sendiri, dan sebagainya. How to address situation itu menjadi bagian dari comprehensive sexual education. Kurang lebih seperti itu. Penelitian itu satu hal tapi usaha langsung itu saya memulai dari yang kecil karena dampaknya justru lebih besar. Termasuk lewat konseling yang saya buka. Harapan saya untuk isu HKSR di Indonesia adalah HKSR tidak lagi dipandang sebagai isu yang sensitif untuk diperbincangkan. Saya juga berharap Comprehensive Sexual Education yang sesuai standar global terintegrasi dalam kurikulum pendidikan formal, serta diberikan secara luas termasuk bagi perempuan dan laki-laki yang tidak bersekolah. Selain itu, saya berharap segera hadir layanan kesehatan seksual komprehensif yang ramah, bebas stigma, bebas penghakiman, dan bebas diskriminasi bagi anak, remaja, dewasa maupun lansia. Terakhir, saya sangat berharap, Indonesia dapat menjadi ruang aman bagi perempuan dan remaja perempuan untuk berkehidupan, bertumbuh, dan berkembang. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |