Oleh: Abby Gina Rubrik: Wawancara JP 109 Kekerasan Seksual dan Ketimpangan Gender Mariana Amiruddin adalah seorang aktivis gerakan perempuan. Saat ini sedang menjalani periode kedua (2019-2024) sebagai Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai Wakil Ketua. Komitmennya memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia telah tumbuh sejak menempuh studi magister program kajian gender di Universitas Indonesia. Mariana menyelesaikan studi magisternya pada tahun 2000, sejak saat itu dia mengadvokasi isu kesetaraan gender melalui aktivisme dan menghasilkan berbagai tulisan. Selama lebih dari 10 tahun ia terlibat dalam mendokumentasikan dan membangun diskursus feminis di Indonesia bersama Jurnal Perempuan. Di tahun 2008-2013 dia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Mariana juga dikenal sebagai penulis baik karya fiksi, esai, maupun artikel yang terbit di berbagai surat kabar dan majalah. Isu-isu yang diangkat dalam tulisannya terkait tentang feminisme, sastra, politik dan hak asasi manusia. Saat ini, bersama Komnas Perempuan, Mariana aktif mengawal pembahasan Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan, Mariana memaparkan urgensi dari pengesahan RUU PKS terkait pemenuhan hak korban dan pemenuhan hak konstitusional seluruh warga negara. Ia memaparkan bahwa kehadiran RUU PKS adalah sebuah terobosan hukum yang penting bagi Indonesia sebab mampu mengisi kekosongan hukum yang selama ini tidak terakomodasi dalam instrumen hukum seperti KUHP dan UU lainnya.
Bagaimana situasi kekerasan seksual di Indonesia pada saat ini, berdasarkan data dan kasus-kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan? Apakah data-data tersebut dapat menggambarkan keluasan dan kedalaman dari persoalan kekerasan seksual di Indonesia saat ini? Sejak sekitar tahun 2012, berdasarkan data pengaduan tentang kekerasan seksual yang dihimpun oleh Komnas Perempuan terlihat bahwa angka kekerasan seksual cenderung meningkat. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2021, Komnas Perempuan mengategorikan kekerasan terhadap perempuan ke dalam kekerasan di ranah personal, di ranah komunitas, dan di ranah negara. Dalam kekerasan di ranah personal dan komunitas, kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang paling menonjol. Berdasarkan data pengaduan dari mitra lembaga layanan dan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal atau pribadi ini memiliki pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni kekerasan fisik sebanyak 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%). Kekerasan seksual juga menempati posisi tertinggi dalam laporan kekerasan di ranah publik/komunitas, yaitu sebanyak 962 kasus (55%) yang terdiri dari kekerasan seksual lain (yang tidak disebutkan secara spesifik) sebanyak 371 kasus, diikuti oleh perkosaan sebanyak 229 kasus, pencabulan sebanyak 166 kasus, pelecehan seksual sebanyak 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan sebanyak 10 kasus. Berdasarkan data pelaporan tersebut Komnas Perempuan membuat pemetaan terhadap jenis kekerasan yang menonjol, di mana bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan dijadikan isu utama. Ternyata, sejak tahun 2015 hingga tahun 2020, isu kekerasan seksual masih menjadi jenis kekerasan dengan angka pelaporan kasus paling tinggi. Maka Komnas Perempuan memberikan penekanan dan perhatian khusus pada kasus[1]kasus kekerasan seksual yang terus muncul. Walaupun data laporan kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahunnya menunjukkan peningkatan, namun angka tersebut belum merepresentasikan seluruh kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan dinarasikan di dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan masih merupakan fenomena gunung es. Data tersebut hanya memperlihatkan sebagian kecil kasus yang tampak di permukaan, sementara kasus yang tersimpan atau tidak diungkapkan masih banyak. Ada berbagai alasan mengapa dapat dikatakan bahwa data tersebut masih merupakan fenomena gunung es. Pertama, korban pada umumnya tidak berani untuk melapor. Tidak jarang ditemui kasus korban tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya karena hambatan psikologis. Nilai-nilai budaya dan keluarga, membuat korban merasa kekerasan yang dialaminya adalah aib yang membuat korban merasa bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya. Kedua, korban kekerasan cenderung enggan melaporkan kekerasan yang diterimanya karena kurangnya rasa percaya terhadap hukum. Korban cenderung merasa pesimis apakah kasus kekerasan yang dialaminya akan mendapatkan keadilan. Hal ini tidak mengejutkan mengingat dalam beberapa kasus perkosaan, korban justru disalahkan, kasus diselesaikan melalui mediasi, dan bahkan ada kasus di mana korban dikawinkan dengan pelaku pemerkosaan. Ketiga, adalah faktor respons dan dukungan keluarga terhadap korban kekerasan. Dalam beberapa kasus kekerasan, didapati keluarga yang menyudutkan dan mengusir korban. Berdasarkan data dari kajian kasus-kasus yang ada terdapat kasus anak diusir dari rumah karena diperkosa oleh ayahnya sendiri. Komnas Perempuan mencatat bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan seksual. Namun mengacu pada pengalaman, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan tidak direspons secara serius baik oleh lingkungan maupun oleh aparat penegak hukum, maka banyak perempuan yang memilih diam. Di dalam masyarakat yang patriarkis, pelecehan terhadap perempuan cenderung dianggap sebagai suatu kewajaran atau bagian dari keseharian. Pelaku tidak merasa tindakannya adalah suatu kesalahan, sementara sang korban pun merasa tidak berdaya merespons situasi tersebut sebab tidak ada payung hukum yang memadai untuk menangani kekerasan seksual. Alih-alih mendapatkan keadilan ketika melaporkan kasus kekerasan yang dialami, banyak perempuan justru mengalami reviktimisasi dan ketidakadilan yang berlapis. Bisa dijelaskan bagaimana mendesaknya pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini bagi korban dan masyarakat? Data laporan kekerasan seksual yang dihimpun Komnas Perempuan menemukan peningkatan angka kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan kekerasan seksual adalah sebuah persoalan yang sangat mendesak untuk segera direspons. Karena tingginya laporan. Data Komnas Perempuan tidak hanya menemukan berbagai pengalaman kekerasan perempuan, tetapi juga mengungkapkan adanya kebutuhan akan regulasi hukum yang dapat mengakomodasi pengalaman dan juga kebutuhan korban kekerasan seksual. Berdasarkan data yang ditemukan setiap tahun, Komnas Perempuan kemudian menjalankan salah satu mandatnya untuk membuat rekomendasi kebijakan bagi pemerintah. Data yang ditemukan oleh Komnas Perempuan mengungkapkan sebuah kebutuhan atas instrumen hukum yang secara khusus mengatur tentang penanganan, pencegahan dan juga pemulihan terkait kekerasan seksual di Indonesia. RUU PKS merupakan salah satu tawaran solusi atas persoalan tersebut. Berbeda dengan undang-undang lain yang lebih berfokus pada penghukuman bagi pelaku kekerasan seksual, RUU PKS juga memberi fokus pada dimensi korban, seperti pendampingan dan juga pemulihan korban. Berdasarkan pengalaman dari berbagai lembaga pendampingan korban, ditemukan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih belum memberikan perhatian bagi pengalaman korban. Hal ini termanifestasi dalam mekanisme pelaporan kasus yang tidak berperspektif dan/atau tidak berperspektif korban, seperti proses pembuktian yang tidak sensitif dan dibebankan kepada korban, dan potensi reviktimisasi korban dalam proses pelaporannya. Berdasarkan pengalaman korban dan lembaga pendamping, maka ada situasi yang mendesak untuk menghadirkan instrumen hukum yang mengakomodasi pengalaman tersebut. Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga yang mendampingi korban kekerasan seksual berusaha mendorong lahirnya regulasi hukum yang memastikan tata cara pelaporan kasus sensitif terhadap korban, serta memastikan bahwa korban dilindungi dan bebas dari ancaman pelaku. Peraturan perundang-undangan tersebut juga perlu memastikan bahwa proses pemberian keadilan pada korban tidak berhenti pada putusan hukum terhadap pelaku, tetapi memperhatikan dan menjamin bahwa korban mendapatkan hak atas pemulihan. Maka RUU PKS sebagai sebuah bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi hak-hak konstitusional korban kekerasan seksual, perlu segera dibahas dan disahkan. Berdasarkan pengalaman bersama Komnas Perempuan bisakah dijelaskan mengapa hingga saat ini proses pembahasan RUU tersebut berjalan lambat? Pada awalnya seratus persen dari anggota DPR menyetujui RUU PKS ini. Seperti kita tahu bahkan inisiatif pengusulan RUU ini berasal dari DPR. Dalam perjalanan pembahasan RUU ini, Komnas Perempuan bersama dengan masyarakat sipil telah memberikan masukan atas substansi, sistematika hukum, baik berupa Naskah Akademik maupun rancangan undang-undang, serta mendukung pembahasan dan pengesahan RUU PKS. Namun, di tengah perjalanan, Naskah Akademik dan RUU yang diusulkan kemudian ditolak, dengan munculnya anggapan bahwa RUU tersebut tidak mengandung nilai[1]nilai agama. Hal ini membuat proses pembahasan dan rencana pengesahan RUU PKS menjadi penuh dengan polemik. Pada mulanya RUU ini telah disepakati oleh semua fraksi dan semua partai sebagai sebuah kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya semua fraksi tidak mengehendaki terjadinya kekerasan seksual atau perkosaan. Tetapi kemudian muncullah penolakan terhadap RUU ini yang menyebabkan DPR kemudian menimbang kembali dukungannya terhadap RUU PKS. Gerakan perempuan di Indonesia memandang RUU PKS sebagai sebuah terobosan hukum yang penting untuk Indonesia, apa yang dimaksud sebagai terobosan hukum dalam hal ini? RUU PKS merupakan sebuah terobosan hukum. RUU ini diharapkan akan memahami kebutuhan korban kekerasan seksual. RUU PKS memberi pertimbangan khusus terhadap kebutuhan dan kepentingan korban, sebab para pendamping korban kekerasan seksual mengalami dan menyadari banyaknya hambatan yang dialami korban kekerasan seksual untuk dapat mengakses keadilan. RUU PKS merupakan sebuah undang-undang lex specialis, yang secara khusus bicara mengenai kekerasan seksual. Seperti kita tahu selama ini persoalan kekerasan seksual hanya dibahas dalam peraturan perundang-undangan secara umum. Berdasarkan pengalaman pendampingan korban di lapangan, RUU PKS akan mengenali kompleksitas persoalan kekerasan seksual yang terjadi pada korban. Jika sebelumnya kekerasan seksual hanya dipahami sebatas perkosaan dan pencabulan, maka RUU PKS mengenali sembilan jenis kekerasan seksual yaitu: pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan perkawinan. Sembilan jenis kekerasan seksual tersebut sungguh terjadi pada korban, dilaporkan dan ditangani oleh sejumlah forum pengada layanan. Pengalaman konkret tersebutlah yang menjadi dasar dari RUU PKS ini. Tidak seperti produk hukum yang membicarakan kekerasan seksual secara umum, dalam RUU PKS kekerasan seksual didefinisikan secara rinci dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM perempuan. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki produk hukum yang detail seperti ini. Salah satu alasan penolakan terhadap RUU PKS adalah anggapan bahwa persoalan kekerasan seksual telah diatur dalam perundangan lainnya. Bagaimana pandangan Komnas Perempuan soal hal ini? Kekosongan hukum apa saja sebenarnya yang coba dipenuhi oleh RUU ini? RUU PKS dikatakan tumpang tindih dengan KUHP dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, padahal tidak. KUHP hanya bisa mengatur dari sisi pidana karena kerangkanya memang hukum pidana. Kekerasan seksual dalam KUHP hanya memuat definisi yang terbatas seperti pencabulan dan persetubuhan. Sementara RUU PKS karena sifatnya lex specialis, maka definisi kekerasan seksual didefinisikanlah 9 jenis kekerasan seksual yang dirumuskan dari pengalaman para korban. RUU PKS tidak hanya mengatur soal pidana tapi juga mengatur pendampingan dan pemulihan korban. Proses hukum RUU PKS mengandung unsur-unsur yang mengarahkan korban untuk memulihkan dirinya. RUU PKS juga dikatakan tumpang tindih dengan UU PKDRT (Undang[1]undang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang mengatur tentang marital rape, yang sebetulnya dalam UU PKDRT belum bisa diterjemahkan di dalam tindakan hukum. Dalam diskursus penolakan terhadap RUU PKS bahkan masih banyak yang tidak mempercayai adanya perkosaan dalam perkawinan. Padahal Komnas Perempuan menemukan bahwa pengalaman tersebut kerap dialami oleh korban. Komnas Perempuan telah menarasikan dan menyampaikan potret kekerasan seksual tersebut agar masyarakat mengerti bahwa ancaman kekerasan seksual adalah nyata. Salah satu kasus yang dicatat oleh Komnas Perempuan adalah pengalaman seorang perempuan yang baru melahirkan sehingga ia harus menerima jahitan yang cukup panjang di vaginanya. Dalam kondisi demikian suami sang korban memaksa berhubungan seksual yang kemudian menimbulkan infeksi. Kasus lainnya adalah pengalaman seorang perempuan korban yang mengalami sakit ambeien cukup parah, tetapi suami malah memaksa melakukan penetrasi melalui anus hingga korban mengalami kesakitan yang luar biasa dan kemudian harus berkali[1]kali menjalani perawatan medis. Hal-hal seperti ini banyak tidak diketahui dan dikenali oleh masyarakat. Pengalaman ini juga belum diatur dalam RUU PKDRT. RUU PKS berusaha mengakomodasi kasus-kasus semacam ini. Masyarakat akan memahami kegentingan RUU ini jika mendengar dan melihat kasus-kasus aktual yang terjadi di dalam masyarakat. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) adalah undang-undang yang terkait dengan berbagai hal seperti perlindungan anak dan isu lainnya. Namun kehadiran UU PTPPO tidak dianggap tumpang tindih, tetapi justru diperlukan, untuk memberikan kelengkapan hukum. Dengan demikian maka RUU PKS tidak tumpang tindih, tetapi justru memperkuat penjelasan mengenai dimensi kekerasan seksual dan mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami korban. Kelompok yang menolak RUU PKS menyatakan RUU ini bertentangan dengan nilai agama. Apa upaya yang sudah dilakukan oleh Komnas Perempuan dan gerakan perempuan untuk merespons penolakan ini? Sebenarnya jika drafnya dibaca secara teliti, tidak ada gagasan dalam RUU PKS yang bertentangan dengan nilai agama. Proses pembahasan dan pengesahan RUU ini menjadi pelik karena sarat dengan kecurigaan. Adanya ketakutan bahwa RUU ini diciptakan oleh kelompok yang membawa ideologi liberal. Padahal kalau dilihat secara saksama, semua orang setuju untuk menolak kekerasan seksual, semua orang setuju bahwa korban perlu dibela. Maka sebenarnya RUU PKS tidak ada soal anti-agama. Salah satu alasan penolakan RUU ini adalah adanya istilah by consent (dengan persetujuan) yang dipahami secara salah. RUU ini menjelaskan bahwa suatu tindakan dianggap sebagai kekerasan seksual jika tindakan tertentu dilakukan tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya ketika seseorang menolak suatu tindakan, namun dipaksa untuk melakukan sesuatu hal yang sifatnya seksual, maka itu sudah termasuk kekerasan seksual. Namun kelompok yang kontra terhadap RUU ini malah menerjemahkan kata dengan persetujuan sebagai dalil seks bebas, bahwa ketika seseorang consent (memberikan persetujuan) maka aktivitas seksual dibolehkan. Ada perbedaan jalan pikiran di sini. RUU PKS berfokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tetapi kelompok kontra malah melihat RUU ini memberikan ijin atau mempromosikan seks bebas/zina. Padahal perkara zina telah diatur di dalam KUHP. Merespons polemik tersebut, Komnas Perempuan telah mengajak berbagai individu dan kelompok-kelompok yang kontra terhadap RUU PKS untuk berdialog, tetapi mereka tidak pernah bersedia. Komnas Perempuan juga mengunjungi anggota DPR dan fraksi yang menolak RUU PKS untuk berdialog. Naskah RUU PKS saat ini berbeda dengan naskah sebelumnya, setelah dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, dan kemudian dimasukkan kembali di tahun 2021 yang membuka ruang untuk perbaikan. Komnas Perempuan dan masyarakat sipil telah memberikan sejumlah masukan perubahan, termasuk istilah-istilah yang cenderung disalahartikan. Namun kelompok yang kontra masih menganggap bahwa RUU yang dibahas masih sama dengan naskah yang lama, dan gencar menolak dengan alasan isu zina. Padahal RUU ini sudah dibahas dari awal lagi dengan memastikan tidak ada istilah yang diperdebatkan sebelumnya. Saat ini penolakan terhadap RUU PKS bukan lagi soal setuju atau tidak adanya RUU ini melainkan lebih kepada upaya dari kelompok kontra untuk membawa kepentingan ideologi dalam RUU tersebut. Namun demikian posisi RUU ini terus berkembang. Saat ini secara politik fraksi yang mendukung semakin bertambah. Alasannya, lama kelamaan pihak yang sebelumnya menolak menyadari bahwa apa yang sebelumnya dituduhkan tidak ada. RUU ini dapat digolkan melalui Prolegnas. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas partai-partai yang ada telah mendukung RUU PKS. Saat ini perdebatan RUU PKS berada di tataran substansi. Produk hukum diharapkan imparsial dan netral, sementara ada anggapan bahwa RUU PKS tidak netral sebab dituding hanya mengakomodasi pengalaman dan kebutuhan perempuan, apakah memang demikian? Justru sebuah undang-undang dihadirkan dengan berangkat dari persoalan konkret yang terjadi di masyarakat. Maka korban kekerasan seksual sebagai pihak yang mengalami memang harus dilibatkan. Artinya pengalaman mereka memang perlu dihadirkan, dikenali, dan diakomodasi dalam kebijakan. Kasus kekerasan seksual tidak hanya dialami atau menimpa perempuan. Kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki, anak-anak, dan disabilitas. Maka kehadiran RUU ini tidak hanya melindungi perempuan tetapi semua warga masyarakat. Resistensi terhadap RUU PKS ini juga terjadi karena adanya narasi bahwa RUU PKS membawa semangat feminisme. Kata feminisme sendiri telah distigma negatif oleh banyak orang. Feminisme dibayangkan seperti hantu, diidentikkan sebagai paham yang menolak perkawinan dan keluarga. Padahal feminisme adalah perspektif, cara melihat problem hidup perempuan. Perspektif ini diperlukan untuk memeriksa bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat, termasuk di dalam narasi hukum yang misalnya mengabaikan kepentingan atau pengalaman konkret perempuan dan/atau kelompok rentan lainnya. Dalam KUHP kebutuhan korban tidak terakomodasi. Jangankan menjangkau kelompok difabel dan kelompok rentan lainnya, perempuan korban pun sulit mengakses keadilan karena mekanisme pembuktian yang sangat tidak berperspektif korban. Dalam KUHP kekerasan seksual dijelaskan sebatas pencabulan dan perbuatan tidak menyenangkan, tidak ada kata[1]kata kekerasan seksual. Perkosaan dimaknai secara sempit yaitu masuknya penis ke dalam vagina. Itu pun harus diikuti dengan keluarnya sperma. Oleh sebab itu, visum menjadi syarat bukti di pengadilan. Padahal menurut sejumlah laporan yang dihimpun oleh FPL dan Komnas Perempuan, bentuk perkosaan bisa amat luas, tidak sebatas penetrasi penis ke vagina. Bagaimana dengan penetrasi dengan menggunakan anggota tubuh atau benda-benda lain. Bagaimana pula dengan penetrasi yang dilakukan tidak pada vagina. Perkosaan dibayangkan hanya menimpa perempuan saja, padahal secara faktual siapa pun dapat menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual. Tidak dipungkiri bahwa semangat munculnya RUU PKS adalah tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan, tetapi dalam penerapannya RUU PKS akan melindungi semua warga masyarakat. Apa saja strategi dan upaya yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan untuk mendorong pembahasan RUU PKS? Strategi yang kami lakukan sudah banyak. Kami mengawal RUU ini untuk masuk ke dalam Prolegnas lagi. Kami berupaya menjangkau setiap kalangan termasuk DPR. Komnas Perempuan berkunjung ke setiap fraksi dan beberapa anggota DPR untuk berdialog. Komnas Perempuan memberikan pengetahuan tentang apa saja yang diperlukan oleh DPR dan juga kelompok-kelompok yang mengadvokasi RUU ini. Komnas Perempuan memberi masukan konten-konten penting ke dalam RUU PKS, sehingga dalam proses pembahasan RUU ini sudah memiliki perspektif yang kuat. Khususnya bagi para legislator, masukan ini sangat penting, sebab merekalah yang membuat undang-undang. Tanpa perspektif yang memadai maka undang-undangnya menjadi buruk dan tidak komprehensif. Selain menarget DPR, Komnas Perempuan juga melakukan pendidikan publik secara terus-menerus bagi masyarakat. Saat ini kesadaran dan inisiatif masyarakat untuk mengampanyekan desakan pembahasan dan pengesahan RUU ini sudah semakin luas. Berdasarkan pengalaman Komnas Perempuan mengawal RUU ini, kita tahu bahwa salah satu alasan terhambatnya pembahasan dan pengesahan RUU PKS terjadi karena pro dan kontra di media yang bukan mainstream. Diskursus yang ditampilkan di dalam media (non-mainstream) tersebut mau tidak mau menjadi salah satu pertimbangan dan rujukan legislator dalam menentukan sikap politiknya. Maka penting juga untuk memastikan media memiliki perspektif korban. Komnas Perempuan juga melakukan sejumlah media visit, pendidikan publik dan masukan bagi kelompok media agar dapat memperkuat perjuangan pengesahan RUU PKS. Apa yang dapat dilakukan masyarakat untuk mendukung pencegahan kekerasan seksual di ruang publik? Partisipasi publik dari masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara menyadari dan menyatakan bahwa kekerasan seksual itu memang harus dihapuskan. Masyarakat perlu menyadari bahwa isu ini adalah hal yang serius, penting juga agar terbangun rasa empati terhadap korban. Masyarakat luas seharusnya memiliki kesadaran untuk mendukung dan melindungi korban dan berpartisipasi untuk mencegah berbagai praktik kekerasan seksual. Hal yang sederhana misalnya dapat dilakukan dengan mengintervensi ketika terjadi kasus pelecehan seksual di ruang publik. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pencegahan kekerasan seksual dengan terus mengedukasi diri dan komunitas tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual, dampaknya dan cara mencegahnya. Penting agar muncul kesadaran bahwa persoalan ini perlu direspons secara bersama, sebab korban kekerasan seksual bisa siapa saja. Apa dampak negatif terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual jika RUU PKS tidak segera diundangkan? Apakah sumbangan penting bagi masyarakat jika RUU ini disahkan? Dampak negatif bila RUU PKS tidak segera diundangkan adalah banyak korban kekerasan seksual yang tercerabut aksesnya terhadap keadilan. Sebab seperti telah dipaparkan sebelumnya instrumen hukum yang ada tidaklah cukup. KUHP tidak cukup untuk mengakomodasi kebutuhan korban kekerasan seksual yang kasusnya begitu kompleks. Belajar dari pengalaman UU PKDRT, setelah RUU tersebut diundangkan, para istri yang mengalami KDRT kemudian menjadi sadar dan berani untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Dengan diundangkannya RUU PKS ini harapannya sama yaitu agar korban berani menuntut keadilan. Keberanian korban butuh didukung dengan mekanisme pelaporan dan penanganan yang memadai. RUU PKS ini dibuat dengan mengacu pada aspek-aspek pemenuhan HAM perempuan. Menurut saya masyarakat tentu mengharapkan adanya UU yang sungguh melindungi hak-hak konstitusional mereka, dan RUU PKS ini adalah salah satu jawabannya. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |