Oleh: Retno Daru Dewi G. S. Putri Rubrik: Profil JP 110 Perempuan dan Inisiatif Keadilan Farida Haryani adalah seorang aktivis pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjabat sebagai Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (PASKA) Aceh. PASKA didirikan untuk memberdayakan para penyintas konflik dan pelanggaran HAM, khususnya perempuan, dan penyandang disabilitas. Dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal, PASKA membimbing para dampingannya untuk mengasah kemampuan yang dapat meningkatkan kondisi finansial mereka. Perempuan penyintas konflik dan pelanggaran HAM menjadi salah satu sasaran utama pemberdayaan Farida karena mereka mengalami beban berlapis akibat masalah yang terjadi. Selain kekerasan seksual, dampak dari konflik dan pelanggaran HAM sering kali merenggut nyawa suami dan anak laki-laki di Aceh. Maka, tidak hanya hidup dengan trauma, tetapi para perempuan penyintas juga kehilangan sumber penghasilan yang biasanya digunakan untuk menghidupi keluarga mereka. PASKA merespons situasi ini dengan memberikan program pendampingan dan pemberdayaan agar perempuan penyintas konflik dan pelanggaran HAM di Aceh mampu mengatasi trauma dan meningkatkan kondisi finansial mereka secara mandiri.
Kerja Farida bersama PASKA adalah salah satu perwujudan upaya inisiatif keadilan yang dilakukan oleh gerakan akar rumput. Advokasi untuk memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat yang dilakukan Farida berangkat dari rasa kepedulian terhadap korban. Menurut dia, kepedulian dan empati muncul dari refleksinya atas situasi konflik yang disaksikannya dan dari cerita-cerita perempuan yang didampinginya. Selain memberikan pendampingan dan pemberdayaan terhadap perempuan korban pelanggaran HAM berat di Aceh, bersama PASKA, Farida juga memberdayakan penyandang disabilitas di Aceh. Pendampingan yang diberikan mampu membuat kemampuan mereka menjadi lebih terasah dan tidak selalu bergantung dengan orang lain lagi. Pengalaman dan Pengetahuan Perempuan sebagai Basis Gerakan Pemberdayaan Tekad Farida dalam menegakkan HAM muncul dari pengalamannya menjadi saksi ketidakadilan yang terjadi sejak lama di Aceh. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Farida sering mendengar isu-isu mengenai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akan tetapi, dia tidak pernah melihat sendiri orang-orang yang tergabung di dalam organisasi tersebut. Sering kali masyarakat menyebut GAM sebagai hantu karena tidak kasat mata keberadaannya. Sayangnya, kecemasan akan eksistensi GAM terlanjur mengganggu pemerintah pusat dan menyebabkan Aceh diwarnai oleh kehadiran tentara Bawah Kendali Operasi Komando Pasukan Khusus (BKO Kopassus) melalui program Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Masuk Desa (AMD). Jumlah pasukan yang dikirim ke Aceh memperlihatkan penggunaan kekuatan yang berlebih dalam menghadapi GAM. Aceh menjadi Daerah Operasional Militer (DOM) yang membuat semua kegiatan bermasyarakat diatur oleh militer. Menurut Farida, istilah ABRI Masuk Desa terlalu halus dibandingkan dengan kekerasan yang telah diakibatkan oleh militer. Salah satu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh tentara adalah penyiksaan terhadap warga Aceh. Dengan alasan meningkatkan keamanan, para laki-laki di kampung Farida diminta untuk berkumpul di Meunasah oleh para angkatan bersenjata. Alih-alih diminta untuk jaga malam secara bergantian, mereka justru disiksa agar mengakui keberadaan GAM di Aceh. Para korban diceburkan ke comberan dan dipukul jika tidak bisa memberi informasi mengenai GAM. Penyiksaan tersebut meninggalkan rasa trauma dan ketakutan bagi warga laki-laki di Aceh. Akibatnya, baik laki-laki mapun perempuan, tidak ada yang berani melawan dan memperjuangkan hak asasi warga Aceh. Kiprah Farida sebagai perempuan pejuang HAM di kemudian hari mendapatkan dukungan dari korban. Menyaksikan ketidakadilan di sekitarnya, Farida yang dibekali pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah merasakan ada yang janggal. Dalam pemahaman Farida, aparat keamanan negara seharusnya tidak melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Perbedaan antara teori Pancasila dan praktiknya oleh tentara di Aceh membuat Farida bertanya-tanya. Sayangnya, rasa penasaran yang dia miliki ditepis oleh guru di sekolah dengan alasan anak kecil tidak boleh bicara politik. Penyiksaan yang dilakukan oleh tentara terhadap warga Aceh pada saat itu berbanding terbalik dengan perilaku ayah Farida sendiri yang juga seorang pensiunan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang kemudian bergabung dengan ABRI di Aceh. Ayah Farida jauh berbeda dari tindak kekerasan yang tidak adil dibandingkan tentara yang didatangkan oleh pemerintah pusat. Sejak Farida masih duduk di bangku sekolah, ayahnya mengambil tawaran untuk bekerja sebagai seorang camat. Alih profesi sang ayah semakin melunturkan citra negatif yang Farida saksikan dimiliki oleh angkatan bersenjata di Indonesia. Tidak berhenti sampai refleksi di masa kanak-kanak, keinginan Farida untuk menegakkan keadilan semakin menguat ketika dirinya menjadi mahasiswa di Program Sarjana Pertanian, Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh. Sewaktu berkuliah, perempuan kelahiran 15 Januari 1966 ini mengikuti sebuah LSM yang dikenal dengan Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa atau YADESA. Melalui YADESA, Farida mendapatkan tugas pertamanya sebagai Community Organizer di Bukit Janda yang berada di Pidie Jaya. Di Bukit Janda, Farida bertemu dengan perempuan-perempuan yang kehilangan suami serta anak-anak laki-laki mereka akibat konflik. Apa yang disaksikannya semakin menegaskan bahwa perempuan adalah pihak paling rentan di wilayah konflik seperti Aceh. Penyiksaan oleh tentara yang disaksikan oleh Farida menjadi motivasi utama untuk membela HAM di tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Tekad Farida untuk terlibat dalam aktivisme yang berorientasi pada pemberdayaan dan mendorong keadilan gender semakin menguat. Aktivisme yang dilakukan Farida semakin meluas ketika akhirnya dia dipanggil ke Jakarta pada tahun 1998 oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), untuk membawa dua perempuan penyintas konflik dan pelanggaran HAM di Aceh. Di Jakarta, Farida mengunjungi Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Mabes ABRI), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Di depan ketiganya Farida membuktikan bahwa ada kekerasan yang dilakukan oleh Negara di Aceh. Negara telah melakukan pelanggaran HAM yang ditunjukkannya dengan menghadirkan dua orang penyintas dari Aceh. Pengalaman Farida tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam. Lima belas hari setelah membawa kedua penyintas ke Jakarta, pihak DPR segera turun tangan dan berkunjung ke Aceh untuk mengonfirmasi pengakuan mereka. Farida pun mendapatkan permintaan dari DPR RI yang dipimpin oleh ketua fraksi ABRI, Hari Sabarno, untuk membuktikan adanya kekerasan dengan menghadirkan perempuan-perempuan penyintas konflik dan pelanggaran HAM di kantor DPR kota Sigli, Kabupaten Pidie. Sebanyak 700 perempuan penyintas berhasil dikumpulkan oleh Farida. Dari ke-700 penyintas, lima orang diminta untuk memberikan kesaksian mereka. Kelimanya adalah penyintas pemerkosaan, penembakan, penyiksaan, penghilangan orang (suami), dan pembakaran harta benda. Sehari setelah mendengarkan kesaksian para penyintas, perwakilan DPR RI memantau lokasi penyiksaan Rumoh Geudong. Di sana perwakilan DPR RI sempat bertemu dengan 10 orang tentara yang berkelit dan pura-pura tidak tahu akan adanya penyiksaan di Rumoh Geudong. Walaupun terdapat bukti seperti tanda serah terima dan alat-alat penyiksaan seperti alat setrum, para aparat tersebut mengaku baru saja tiba dan tidak mengetahui tentang adanya penyiksaan di tempat mereka bertugas. Namun saksi yang dihadirkan semakin mempertegas akan adanya penyiksaan yang ditutup-tutupi. Tidak hanya perwakilan DPR RI, Baharuddin Lopa dari Komnas HAM juga meminta Farida untuk membawa perempuan penyintas pemerkosaan dari beberapa kecamatan ke Rumoh Geudong. Maka, pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tidak bisa diingkari sama sekali. Pemeriksaan yang dilakukan oleh perwakilan DPR RI dan Komnas HAM bersama Farida berhasil membawa mereka pada bukti sisa potongan mayat yang dikubur di Rumoh Geudong. Sepotong jari kelingking dan rambut yang berlumur darah menjadi bukti adanya penyiksaan di tempat tersebut. Selain di Rumoh Geudong, 12 kerangka manusia ditemukan oleh Farida dan perwakilan pemerintah pusat di Aceh Utara dan 3 kerangka di Trienggadeng. Dua minggu setelah penelusuran yang dilakukan oleh perwakilan pemerintah pusat bersama Farida, status DOM dicabut oleh Panglima ABRI pada saat itu, Jenderal TNI Wiranto dalam kunjungannya ke Lhokseumawe. Pencabutan status DOM menunjukkan bahwa konflik dan ketegangan yang selama ini terjadi di Aceh pada akhirnya diakui dan ditindaklanjuti oleh negara. Bahkan istilah DOM adalah sebuah terminologi yang tidak pernah diketahui oleh rakyat Aceh hingga status tersebut dicabut oleh pemerintah. Pengakuan dari negara terjadi setelah Farida memperjuangkan para perempuan penyintas pelanggaran HAM di hadapan pemerintah di Jakarta. Perjuangannya bahkan membawanya sebagai salah satu penerima penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1998. Sejak saat itu, Farida tidak pernah berhenti menegakkan keadilan bagi rakyat Aceh terutama para perempuan penyintas konflik dan pelanggaran HAM. Perjuangan Memberdayakan Perempuan Penyintas Konflik Pelanggaran HAM Sebelum bergabung di YADESA, perjuangan kemanusiaan Farida dimulai semasa masih bersekolah. Pada suatu hari, Farida sekeluarga mendengar adanya suara senjata yang ditembakkan. Ayahnya sudah memperingatkan untuk tinggal di rumah karena suara tembakan tersebut terdengar seperti adanya eksekusi. Akan tetapi, Farida tidak mengindahkan larangan sang ayah dan segera mengayuh sepedanya ke tempat kejadian perkara. Di sana dilihatnya korban penembakan secara tidak manusiawi yang dilakukan oleh tentara. Seorang laki-laki dewasa yang hanya menggunakan celana dalam menjadi korbannya. Warga setempat tidak ada yang berani keluar rumah untuk menyaksikan atau merapikan korban yang ditembak di kepala tersebut. Terdapat perintah yang juga merupakan bentuk intimidasi dari tentara bahwa mayat tidak boleh dipindah sebelum pukul sebelas siang keesokan harinya. Namun karena jiwa kemanusiaannya, Farida mengajak seorang kakek yang ditemukannya di tempat kejadian perkara untuk menggotong dan merapikan posisi mayat tersebut. Dikumpulkannya otak korban di dalam kantong plastik dan ditutupnya mayat menggunakan daun pisang. Farida kemudian bercerita tentang betapa sulitnya membersihkan bekas lengket otak manusia dari tangannya. Ketika ditanya dari mana datang keberanian untuk memanusiakan korban penembakan yang sudah tercerai berai isi kepalanya, Farida menjawab bahwa keberanian tersebut datang dari amarah. Amarah yang memuncak akibat ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya. Farida memulai fokusnya dalam memberdayakan perempuan penyintas konflik pelanggaran HAM pertama kali di Bukit Janda. Akibat berkurangnya warga laki-laki yang biasa mencari nafkah, kondisi ekonomi warga di Bukit Janda menurun. Kondisi ini membuka mata Farida akan pentingnya memberdayakan perempuan secara finansial di tengah-tengah kondisi konflik. Kondisi serupa ditemukannya ketika bergabung di Rehabilitasi Tindak Kekerasan Aceh pada tahun 1999. Baik laki-laki maupun perempuan, kondisi ekonomi para penyintas konflik dan pelanggaran HAM pasti menurun. Hal tersebut dikarenakan fokus utama dari pemulihan adalah pada kondisi fisik dan kondisi mental mereka yang terluka sehingga pemenuhan kebutuhan finansial mereka sering dianggap tidak prioritas. Selain itu, tidak mudah memulihkan fisik dan mental yang habis disiksa oleh aparat keamanan negara yang menyalahgunakan kekuasaan mereka di Aceh. Salah satu pemulihan kasus penyiksaan dan pelanggaran HAM yang ditangani oleh Farida adalah Memorisasi Rumoh Geudong. Rumoh Geudong dikenal sebagai lokasi penyiksaan warga Aceh oleh tentara sejak tahun 1989 hingga 1998. Warga yang dibawa ke Rumoh Geudong diinterogasi dan dipaksa mengakui keberadaan GAM di Aceh dengan berbagai cara tidak manusiawi hingga meninggalkan trauma yang mendalam. Berbagai metode yang jauh dari perilaku manusia digunakan oleh tentara di Rumoh Geudong; kuku yang dicabut, kemaluan korban disetrum, para tawanan perempuan diperkosa oleh para komandan hingga lilin panas yang dituang ke tubuh korban untuk menyiksa mereka. Salah satu penyintas yang didampingi oleh Farida berinisial H bercerita bahwa selama delapan bulan ia diperkosa di Rumoh Geudong. Selama delapan bulan H diperkosa siang dan malam. Ketika H mengalami menstruasi, para pemerkosa hanya berhenti ketika putaran menstruasi H sedang deras saja. Jika sudah sedikit darah yang keluar, para pemerkosa kembali melakukan tindakan bejat mereka. Bersama Farida, H akhirnya berani menceritakan kisahnya. H menjadi salah satu penyintas konflik dan pelanggaran HAM yang terdengar kisahnya hingga ke Jakarta. Sebelumnya, kerja pemberdayaan di Bukit Jandalah yang membawa Farida sampai ke Ibu Kota. Dia kemudian mengemban tugas untuk membawa dua orang perempuan dari Bukit Janda ke Ibu Kota. Sejak itu, jalannya untuk memperjuangkan kemanusiaan di Aceh semakin terbuka luas. Akan tetapi, perjuangan Farida tidak semulus yang diharapkan. Perjuangannya dalam menuntut penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh sering kali tidak mendapatkan respons positif dan penyesalan dari negara. Hal inilah yang menyebabkan Farida kembali berupaya memanusiakan para penyintas konflik dan pelanggaran HAM secara mandiri. Bersama PASKA, Monumen Memorisasi Rumoh Geudong didirikannya pada tahun 2017. Pembangunan monumen tersebut mendapat respons yang baik dari para penyintas dan keluarga mereka. Berdirinya Monumen Memorisasi Rumoh Geudong sebagai inisiatif dari masyarakat sipil merepresentasikan pengakuan bahwa telah terjadi tindak kekerasan oleh negara di Aceh. Monumen tersebut menjadi penting sebab membangun memori kolektif tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi di sana. Selain itu, monumen tersebut sangat dihargai oleh keluarga korban yang bahkan tidak dapat mengubur orang-orang yang mereka cintai. Kuburan korban tidak pernah ada karena banyak dari mereka hilang begitu saja setelah ditangkap dan disiksa. Monumen Memorisasi Rumoh Geudong telah menjadi pelipur lara bagi keluarga korban pelanggaran HAM. Semangat kemanusiaan Farida tidak hanya diarahkan pada advokasi hak korban pelanggaran HAM berat di Aceh. Dia juga memperjuangkan hak-hak para penyandang disabilitas. Bersama PASKA, Farida turut memberdayakan penyandang disabilitas agar tidak selalu bergantung kepada orang lain. Tidak hanya dapat berbaur dengan anggota masyarakat lainnya, setelah mendapatkan pendampingan dari PASKA, bakat dan kemampuan para penyandang disabilitas semakin terasah dan dibutuhkan oleh banyak orang. Kemampuan membuat masker kain selama pandemi, misalnya, menjadi salah satu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar mereka. Salah satu penyandang disabilitas yang berhasil diberdayakan oleh Farida bersama PASKA adalah Fitriani. Perempuan tuli berusia 24 tahun ini belajar menjahit seprai di bawah bimbingan PASKA. Selain didampingi, dia juga diberi bantuan alat bantu dengar untuk mendukung komunikasinya dengan orang lain. Fitriani yang awalnya rendah diri dan pemalu kini menjadi lebih percaya diri dan mandiri. Selain itu, dari kemampuannya menjahit seprai dia mampu menghasilkan uang dan meningkatkan kondisi perekonomiannya sendiri. Farida memiliki kepedulian terhadap individu dan/atau komunitas yang terpinggirkan. Dalam kerja advokasi yang dia lakukan, baik penyintas konflik dan pelanggaran HAM maupun penyandang disabilitas, keduanya sama-sama diangkat derajatnya dan dibimbing agar lebih berdaya. Akan tetapi, proses tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus. Berbagai tantangan dan ancaman menjadi hambatan yang dialami Farida selama memperjuangkan keadilan dan HAM. Ancaman dan Kondisi Keuangan menjadi Hambatan Perjuangan Dalam wawancara dengan Jurnal Perempuan, Farida menyatakan bahwa selama berkarier sebagai aktivis HAM, ia tidak pernah mengalami diskriminasi karena jenis kelamin—gendernya. Sebagai pejuang HAM, Farida dan aktivis lainnya memang mendapatkan diskriminasi akibat perjuangan mereka di dalam mengungkapkan kebenaran. Akan tetapi, sebagai perempuan, perjuangan yang dilakukan Farida dan aktivis perempuan lainnya dalam membela HAM tidak pernah dianggap remeh hanya karena jenis kelamin–gender mereka. Farida menuturkan, berdasarkan pengalamannya, dalam konteks Aceh, mayoritas pelanggaran HAM ditujukan aparat keamanan negara kepada warga laki-laki di Aceh. Keberanian Farida dan pejuang HAM perempuan lainnya justru memberikan harapan bagi para korban dan keluarga mereka. Sehingga Farida dan aktivis perempuan di Aceh lainnya tidak pernah mengalami perlakuan diskriminasi yang seksis. Keberanian Farida sebagai seorang perempuan sempat membuat keluarganya khawatir. Kecemasan ini berakar dari fakta bahwa telah terjadinya sejumlah hubungan paksa dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara kepada perempuan-perempuan Aceh. Sehingga perempuan yang berani mendekat ke kantor perwakilan aparat keamanan negara sering kali dicurigai sebagai korban para tentara. Keberanian Farida dalam kerjanya, menunjukkan agensinya sebagai individu. Dia tidak takut untuk berhadapan dengan aparat negara. Dia bahkan secara berani dan aktif menyatakan gagasan, pandangan, dan tuntutannya pada pihak yang dianggap dalam posisi yang dominan di masyarakat—aparat negara. Komitmen Farida adalah manifestasi kepeduliannya terhadap masyarakat marginal. Ia mewakili komunitasnya menuntut hak dan keadilan. Maka keberanian Farida dalam mengonfrontasi tentara mematahkan stigma yang ada dan justru memberikan harapan bagi para penyintas konflik dan pelanggaran HAM. Jika dalam banyak narasi konflik perempuan sekadar digambarkan sebagai korban yang bersifat pasif, Farida mematahkan mitos tersebut. Perempuan memiliki daya untuk mendorong transformasi sosial. Tidak adanya tantangan diskriminasi gender bukan berarti perjuangan Farida tanpa hambatan. Ancaman dan kondisi keuangan menjadi dua hal yang sering kali mengganggu pergerakannya. Dalam pembangunan Monumen Memorisasi Rumoh Geudong, misalnya, Farida dan timnya di PASKA mengalami intimidasi dari aparat keamanan. Intimidasi yang dilakukan mereka didasari oleh kekhawatiran akan kondisi keamanan dan potensi membangkitkan memori yang buruk antara tentara dan warga Aceh. Intimidasi berupa ancaman hukuman mati juga pernah diterimanya saat itu jika tidak berhasil membuktikan adanya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Untungnya Farida berhasil mendampingi DPR RI dan Komnas HAM dalam menyusuri lokasi penyiksaan dan mengumpulkan para penyintas untuk memberikan kesaksian. Sehingga predikat pengkhianat negara dan ancaman hukuman mati pun berhasil ditepisnya. Selain itu, Farida juga mendapatkan ancaman pada masa peralihan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid, ke Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri. Setelah dihentikan selama masa pemerintahan presiden keempat, operasi militer di Aceh diterapkan kembali pada masa presiden kelima. Penerapan tersebut membuat Aceh kembali siaga dan berbahaya terutama bagi para aktivis pejuang HAM. Para pejuang HAM banyak keluar dari Aceh untuk menghindari penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan oleh tentara. Saat itu, Farida tidak cemas untuk lari dari kampung halamannya. Hingga suatu saat perjalanannya dengan seorang penyintas konflik dan pelanggaran HAM di Rumoh Geudong, H, ke Medan berubah menjadi perpindahannya dari Aceh ke Jakarta. Awalnya, Farida pergi ke Medan untuk mengevakuasi H yang namanya muncul akibat peristiwa Rumoh Geudong. Ia dibawa Farida keluar Aceh agar tidak menjadi sasaran konflik yang sedang terjadi. Akan tetapi, dalam perjalanannya tersebut, Farida mendapatkan kabar dari koran Waspada bahwa justru dirinya yang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Aceh. Setelah kabar tersebut beredar, Farida mendapatkan telepon dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk mengungsi ke Jakarta. H langsung ditempatkan Farida di rumah kakaknya di Medan. Sedangkan Farida sendiri pindah ke Jakarta dan tinggal di Depok selama dua tahun. Kepindahan tersebut sempat membuat Farida berkorban jutaan rupiah demi untuk mengurus kebutuhan biaya selama perpindahannya Jakarta. Kepindahan tersebut diperlukan untuk melindungi Farida. Dia merasa bahwa ancaman tersebut adalah intimidasi terparah yang pernah diterimanya. Bahkan sesama pejuang HAM lainnya, almarhum Munir Said Thalib, pada saat itu menegaskan bahwa Farida merupakan sasaran utama aparat keamanan di Aceh. Sehingga yang harus keluar dari wilayah konflik di Aceh adalah Farida. Sementara para aktivis yang lebih banyak mengungsi adalah mereka yang mendapatkan ancaman tidak separah Farida. Selama mengalami ancaman, tidak hanya Farida yang tertekan tetapi juga orang tuanya yang didatangi oleh aparat keamanan negara di tempat tinggal mereka. Sehingga keluarganya harus diungsikan ke Medan. Farida sendiri sering kali mengganti penampilannya ketika konflik terjadi. Jilbab yang menjadi busana kesehariannya tidak selalu dikenakan agar dia tidak dikenali oleh banyak orang. Tantangan lain yang dialami oleh Farida adalah kondisi keuangan yang tidak selalu aman. Hal tersebut dialami karena sulitnya mendapatkan bantuan materi dalam mengelola PASKA sebagai organisasi kemanusiaan bersifat non-profit. PASKA didirikan karena jatuhnya kondisi ekonomi para penyintas akibat hilangnya mata pencaharian mereka saat konflik. Selain itu, tempat usaha serta penggilingan padi milik para penyintas dibakar oleh tentara. Sehingga tidak hanya kehilangan mata pencaharian, mereka harus mengungsi untuk melindungi diri hingga tiga tahun lamanya. Kepergian mereka kemudian menyebabkan sawah, ladang, dan ternak yang rusak serta hancur akibat tidak dirawat selama mereka mengungsi. Hingga saat ini, tujuan Farida bersama PASKA tidak selalu mendapatkan dukungan yang layak dari pemerintah. Bulan April tahun 2020 yang lalu, misalnya, PASKA mendapatkan bantuan dari Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur dan Tim Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Pidie. Tujuan dari sumbangan tersebut adalah untuk menyejahterakan para penyandang disabilitas dan masyarakat kurang mampu yang berada di bawah naungan PASKA selama pandemi COVID-19. Akan tetapi, bantuan tersebut hanya bisa diberikan kepada 10 dari sekitar 500 orang yang membutuhkan. Mereka hanya meminta data jumlah orang yang membutuhkan namun bantuan berupa sembako sudah dipaketkan sebanyak 10 buah paket saja. Acara penyerahan bantuan kepada 10 orang tersebut bahkan tidak dihadiri oleh PASKA karena tidak mendapatkan undangan. Bantuan simbolis tersebut tidak membantu secara signifikan. Farida juga sering kali iba kepada para penyintas yang sering diundang untuk berbagi keluhan mereka di depan instansi negara. Biasanya para penyintas harus melakukan perjalanan panjang sebelum bisa tiba di lokasi acara. Sayangnya, undangan tersebut jarang diganti dengan biaya yang setimpal dari energi, waktu, dan biaya yang mereka keluarkan akibat mendatangi acara tersebut. Berkali-kali keluhan dia sampaikan ke perwakilan pemerintah mengenai ini namun tidak diindahkan. Sebagai contoh, keluhan sempat disampaikan ke pemerintah pusat yang tidak hanya meminta kesaksian para penyintas secara mendadak tetapi juga tidak mengapresiasi mereka dengan biaya perjalanan dan konsumsi yang setimpal. Seolah-olah para penyintas dapat dipanggil kapan saja secara cuma-cuma. Maka tidak hanya pembiayaan sehari-hari saja yang kurang, namun Farida dan timnya masih harus memikirkan sikap perwakilan pemerintah yang tidak adil dalam melakukan pendekatan kepada para penyintas konflik dan pelanggaran HAM. Pengakuan, Empati, dan Dukungan Finansial dari Negara sebagai Harapan Walaupun mengalami ancaman dan intimidasi, Farida tidak pernah berhenti menyuarakan keadilan bagi para penyintas konflik dan pelanggaran HAM di Aceh. Di usianya yang ke-56, Farida merasa perjuangannya harus diteruskan. Hal ini disebabkan lamanya respons dan tindakan yang adil dari pemerintah untuk para penyintas. Salah satu hal yang sangat dibutuhkan adalah pengakuan dari negara akan adanya pelanggaran HAM. Hasil tiga penyelidikan di Rumoh Geudong, Jambo Keupok, dan Simpang KKA yang dilakukan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung, misalnya, tidak diteruskan sejak tahun 2015 hingga saat ini. Kondisi ini membuat warga Aceh dan keluarga korban kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah pusat. Ketika penemuan mayat korban pelanggaran HAM, misalnya, muncul isu yang disebar bahwa kerangka tersebut adalah milik anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu tersebut seolah-olah menunjukkan sikap pemerintah pusat yang tidak mau mengakui pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan negara, tentara, terhadap rakyat yang tidak bersalah di Aceh. Sehingga, banyak yang geram dengan sikap pemerintah pusat. Menurut Farida, apabila pemerintah tidak menggubris masalah pelanggaran HAM di Aceh secara tuntas, maka konflik yang serupa dapat berulang kembali. Farida masih mengharapkan adanya empati dari pemerintah pusat. Kondisi mental ribuan penyintas konflik dan pelanggaran HAM yang terguncang seolah dianggap remeh oleh perwakilan dari pemerintah pusat. Farida pernah dihadapkan dengan sistem pemulihan yang tidak memperhatikan kebutuhan korban. Mereka menganggap para penyintas dapat dengan mudah keluar dari trauma penyiksaan dan ketidakadilan yang mereka alami. Hal ini disebabkan konsep pemulihan yang ada mengacu pada penanganan di sekitar pemerintah pusat saja tanpa mempertimbangkan kekhasan tiap wilayah yang berbeda dan kompleks. Dalam menangani para penyintas, Farida juga berharap adanya empati dari pemerintah pusat dalam melihat para aktivis dan pekerja kemanusiaan. Para pekerja kemanusiaan ini berhak mendapatkan perlindungan sebagai salah satu wujud kehadiran negara di Aceh. Selain itu, sikap empati para pejabat pemerintah seharusnya turut diterapkan dengan menghargai para saksi korban yang menjadi bukti adanya kekerasan yang dilakukan oleh negara. Harapan Farida akan dukungan untuk perjuangannya menegakkan keadilan dan HAM yang berikutnya tentu saja bantuan finansial yang kuat dari pemerintah. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan dukungan finansial pada kelompok korban dan organisasi pendamping yang telah berusaha mendorong adanya pengungkapan kebenaran, merawat ingatan, mengorganisir korban untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi demi merawat perdamaian, dan mencegah keberulangan. Di masa yang akan datang, ketiga hal ini lah yang diharapkan Farida dari pemerintah. Harapannya, konflik dan pelanggaran HAM yang serupa tidak terulang di Aceh maupun di tempat lain di Indonesia, pengakuan adanya pelanggaran HAM oleh negara, kepedulian juga empati dari pemerintah terhadap para penyintas, dan dukungan finansial yang membantu perjuangan Farida dalam memberdayakan para penyintas konflik dan pelanggaran HAM di Aceh. Terutama para perempuan penyintas pulih dari trauma tetapi juga mampu bertahan hidup secara sosial dan ekonomi. Sehingga, sesuai dengan harapan Farida, ketidakadilan yang serupa tidak terulang lagi di Aceh dan di seluruh Indonesia. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |