Telah digelar diskusi bertema “Fundamentalisme” yang diselenggarakan oleh Kapal Perempuan di Gedung Sasana Pakarti, Aula Mawar, Jakarta Selatan. Dalam diskusi itu, Farha Ciciek, Direktur Eksternal Rahima, sebuah lembaga yang concern pada pendidikan hak-hak perempuan dan Islam mempresentasikan sudut pandang baru terhadap persoalan fundamentalisme. Ia memberi judul presentasinya, “Bersilaturahmi ke Ngruki: Potret Kebangkitan Perempuan Al Mukmin?” Farha Ciciek hendak berbicara seputar Pondok Pesantren al-Mu’min, Ngruki, Solo, Jawa Tengah yang akhir-akhir ini santer terdengar karena terbawa oleh nama Abu Bakar Ba’asyir. Sebagai pengasuh pondok pesantren, suami Aisyah Baradja ini dikaitkan pula dengan Jamaah Islamiyah, salah satu organisasi yang didakwa sebagai gembong terorisme di Asia Tenggara. Ogah masuk dalam pusaran wacana dominan yang serba bercadas, Ciciek mendekati Pondok Pesantren Al Mukmin dari sudut yang berbeda. Ia mengetengahkan pendekatan a view from within, yaitu melihat perspektif pesantren Ngruki dari diri mereka sendiri, terutama dari suara kaum perempuannya. Menurutnya, selama ini yang ditampilkan media massa adalah melulu wajah maskulin pesantren Ngruki. Berita dan berbagai analisis yang mengemuka terlampau terkonsentrasi pada sisi politis dan jagad para lelaki yang serba “sangar”. Belum tampak pemberitaan atau informasi yang secara serius berupaya mengungkapkan “kedalaman” masalah yang menyangkut “anggota lain” yang ada di dalam dan seputar pesantren tersebut. Salah satunya adalah kaum perempuannya. Mereka adalah santri-putri, para ustazah, karyawati, dan keluarga atau kerabat pengelola pesantren. Eksistensi kelompok perempuan ini sering dilewatkan begitu saja. Ini memang sebuah kelaziman di dunia yang menghamba kepada patriarki. Perempuan selalu dianggap tiada. Karena inilah Farha Ciciek terdorong untuk kembali ke pesantren Ngruki untuk menyimak dunia dan wicara perempuan. Sebenarnya komunitas ini bukan sesuatu yang baru bagi perempuan yang pernah belajar filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga ini. Pada tahun 1994, Farha Ciciek telah membuat penelitian untuk tesis S2-nya di sana. “Waktu itu pesantren Ngruki sudah dinilai mengerikan,” katanya. Farha Ciciek kemudian bercerita bahwa pengalamannya di pesantren ini mengajarkannya untuk lebih memahami akan “yang lain”. “Saya menempati rumah yang sangat sederhana di lingkungan pesantren. Mengamati kehidupan warganya dari dekat dan berbicara heart to heart dengan mereka.” Di rumah itulah banyak pengalaman yang Ciciek dapatkan dan pemahaman tentang berbagai sisi komunitas ini, terutama kehidupan santri putrinya. Mereka memiliki pendapat sendiri tentang isu terorisme, jihad, Inul, valentine’s day, Keluarga Berencana, kepemimpinan sampai masa depan macam apa yang didambakan. Dari pesantren yang dinilai masyarakat berhaluan radikal tersebut, pertanyaan besar yang menggelayut di kepala dosen ISIP Universitas Nasional ini mulai menemukantitikterang. Pertanyaanyangsebenarnyamulai klasik, “Mengapabegitu banyak perempuan tertarik dan kerasan di dunia fundamentalis, padahal mereka diposisikan sebagai subordinat lelaki?” Fatima Mernissi benar ketika memberi nasihat kepada aktivis perempuan untuk banyak belajar dari fundamentalisme jika ingin memperluas pengaruhnya ke tengah masa rakyat. “Fundamentalisme itu sangat populis, sedang banyak kelompok feminis yang cenderung elitis,” tambahnya. Babak baru Pesantren Al Mukmin Ngruki datang bersama muncul dan merebaknya upaya formalisasi syariat Islam. Jika bagi sementara perempuan, upaya ini merupakan ancaman terhadap kehidupan mereka, perempuan di Ngruki memaknainya secara berbeda. Ambil contoh, santri-putri yang selama ini hampir seluruh kehidupannya berada di dalam tembok pesantren. Mereka kini bisa lebih banyak keluar karena didorong oleh berbagai event sosialisasi syariat yang mereka ikuti. “Enak, lho, Mbak. Kita bisa mejeng, ikut pawai, lihat dan ketemu selebriti, dan bisa cuci mata alias ngelirik cowok-cowok,” kata mereka dengan gaya umumnya anak remaja. Demikianlah Farha Ciciek menceritakan beberapa potong pengalaman silaturahminya ke Ngruki. Ia memiliki jawaban yang berbeda dengan aktivis Islam lainnya ketika ditanya tentang isu perempuan dan fundamentalisme. Ciciek tidak melihat dari sudut pandang “perempuan sebagai korban” fundamentalisme, tetapi perempuan yang dalam kondisi seburuk apa pun, dapat bertahan dengan strateginya masing-masing. “Saya terinspirasi dari pengalaman seorang antropolog bernama Laila Abu Lughot. Ia membalik sebuah pernyataan yang tadinya berbunyi, ‘Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan’ menjadi ‘Di mana ada perlawanan, sebenarnya di situ ada kekuatan’. Dengan cara seperti ini, Laila mencoba mengungkap kekuatan kelompok-kelompok yang dipinggirkan, mengurai relasi kuasa dalam cara pandang yang berbeda. Cara pandang yang memberi kans bagi pemberdayaan kelompok yang dimarginalkan. Satu di antaranya kaum perempuan, di mana pun mereka berada.” Untuk lebih lengkapnya, berikut petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Mariana Amiruddin, dengan Farha Ciciek, Direktur Eksternal Rahima, Pusat Pendidikan Hak-Hak Perempuan dan Islam[1]. Jurnal Perempuan (JP): Ada apa dengan isu fundamentalisme? Farkha Ciciek (FC): Kita semua maThum bahwa saat ini fundamentalisme telah menjadi isu global. Fundamentalisme hampir selalu dikaitkan dengan banyak petaka di dunia ini, terutama tragedi WTC. Uniknya, meskipun banyak jenis fundamentalisme, baik agama maupun sekuler, dunia saat ini tengah memberi perhatian ekstra terhadap fundamentalisme Islam. JP: Lalu mengapa fokus isunya adalah fundamentalisme agama, terutama Islam? FC: Menurut hemat saya, salah satu alasannya karena banyak kalangan yang terperangah melihat muncul dan menguatnya kekuatan-kekuatan agama. Padahal, sebelumnya ada kepercayaan bahwa sekularisme akan menghapus agama-agama. Memang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, seiring dengan muncul dan berkembangnya berbagai jenis krisis, revivalisme (kebangkitan) agama-agama telah merebak di berbagai belahan dunia sebagai respons terhadap serangkaian krisis tersebut. Hampir semua agama besar, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, maupun Islam telah memperlihatkan dinamika revivalitas di kalangan penganutnya. Seperti halnya Islam, beberapa pengamat berpendapat bahwa gejala revivalisme ini memang jauh lebih kuat muncul di dalamnya dibandingkan penganut agama lainnya. Gejala revivalisme Islam ini muncul dalam bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Ada kalanya revivalisme hanya mengambil bentuk intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented) dan karena itu lebih sering bersifat individual (psikologis). Namun, di lain sisi (pada kasus-kasus radikalisme Islam, misalnya), intensifikasi itu juga diarahkan ke luar (outward oriented) sehingga lebih bersifat sosial, bahkan politis. JP: Lalu, apa sebenarnya fundamentalisme itu sendiri? FC: Saya membaca fundamentalisme sebagai sebuah respons terhadap adanya berbagai krisis yang dialami oleh berbagai komunitas, termasuk kaum Muslim. Hal ini sangat terkait dengan goyahnya tradisi kehidupan sosial mereka sehari-hari, baik pada level ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Dan, tidak diragukan lagi, semua ini berhubungan dengan konteks pencarian posisi dalam pergumulannya dengan dominasi kebudayaan modern. Dalam banyak segi, fundamentalisme masih dalam perdebatan, termasuk definisinya. Dalam konteks Islam, ada pihak-pihak yang menolak menggunakan istilah tersebut karena dianggap tidak tepat jika ditilik dari konteks historis maupun politisnya. JP: Wacana fundamentalisme pada perkembangannya sering berbicara antara teks dan konteks. Fundamentalis kemudian identik dengan penafsiran yang literal, sedangkan pandangan kontekstual mungkin dianggap lebih moderat. Apakah memang demikian? FC: Dalam sejarah, teks sering dipakai sebagai alat politik. Siapa pun bisa menggunakan teks untuk merealisasikan tujuan-tujuan politiknya. Dalam pentas politik, semua ragam penafsiran, baik yang literal maupun kontekstual, digunakan. Meskipun demikian, memang ada yang berpendapat bahwa ragam penafsiranyangtekstual lebih merugikan kelompok-kelompok yang dilemahkan di dalam masyarakat, seperti perempuan, orang miskin, dan minoritas. Dalam hal ini, penting untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Aminah Wadud Muhsin, seorang teolog feminis Islam. Ia mengatakan bahwa sebenarnya yang menjadi masalah penafsiran bukan pada teksnya, melainkan pada pra-teks sebagai kerangka yang mendasari dan memberi arah pada teks. Pra-teks dapat berupa ideologi, asumsi, maupun perspektif. Itulah sebabnya mengapa satu ayat dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kalangan. JP: Apa dampak fundamentalisme yang terlanjur menjadi stigma tersebut terhadap perempuan? FC: Pandangan yang sudah tersebar di seluruh dunia adalah bahwa fundamentalisme membuat perempuan takluk dan tak berdaya. Tetapi, pada umumnya ini pandangan dari luar. Perempuan-perempuan fundamentalis secara relatif merasakan hal yang lain. Mereka merasa fundamentalisme menguntungkan hingga tetap bertahan di sana. Keuntungan itu bisa bersifat ekonomis, sosial, atau politik. Ambil contoh, beberapa alumni pondok Ngruki. Mereka merasa bekal dari pondok sangat bermanfaat. Karena dibekali dengan skill sebagai mubaligah, mereka kini “berstatus” dan dihormati masyarakat. Mereka juga terhindar dari petaka kemiskinan dan kerja kasar seperti yang mereka lihat terjadi di sekeliling mereka. Beberapa tetangga sekampung bahkan terkena musibah disiksa dan ada yang diperkosa ketika mereka mengadu nasib sebagai TKW atau PRT. Mereka bersyukur tidak bernasib seperti itu. Inilah salah satu pesona fundamentalisme ala Ngruki. Bagi perempuan di dalamnya (kebanyakan perempuan kelas bawah), fundamentalisme tidak saja memberikan uang, tetapi juga martabat, kehormatan, rasa aman, dan kepastian status eskatologis di dalam dunia yang insecure saat ini. Dalam hal ini, saya mengafirmasi pendapat Dr. Farish Noor dari Malaysia bahwa fundamentalisme mempunyai doktrin tentang salvation (keselamatan) yang mantap. Inilah yang mempesona banyak orang. Hal ini belum sepenuhnya dimiliki oleh kelompok Islam “pluralis”, misalnya. JP: Pandangan bahwa di mana pun dan apa pun bentuknya, perempuan bisa melakukan resistansi sekalipun dalam sistem yang mengekang dia. Bisa diceritakan sedikit pengalaman Anda di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah dan apa pesan yang bisa diambil? FC: Belajar dari pengalaman kesakitan dan penderitaan, perempuan Ngruki menyusun langkah strategis guna memperbaiki kondisi dan posisi mereka di dalam kelompok. Meskipun mereka telah dilemahkan oleh penafsiran yang male bias, mereka tidak menyerah begitu saja. Dengan strategi mendiamkan teks dan mengedepankan kiat-kiat yang bersifat sosiologis, mereka berupaya untuk hidup lebih baik dalam lingkungan yang tidak selalu berpihak pada kepentingan mereka. Menurut saya, ini taktik yang luar biasa mengingat kedudukan sentral teks dalam kelompok ini. Ternyata, kaumperempuannya bisa bergerak meninggalkan teks, sumber legitimasi. Hal lain yang menarik adalah penggunaan solidaritas (sisterhood) sebagai salah satu kekuatan perjuangan yang andal. JP: Soal sisterhood bisa sedikit diceritakan? FC: Kasus TPA (Tempat Penitipan Anak) di pondok merupakan contoh. Sejak lama ada tuntutan dari kaum perempuan, terutama ustazah (guru-perempuan) agar pondok mendirikan TPA guna membantu meringankan beban reproduksi mereka. Namun, tampaknyapondok tidak bisa memenuhi sepenuhnyatuntutan tersebut. Pada titik inilah, kaum perempuan bergerak. Mereka membangun TPA dengan fasilitas sederhana. Pendanaannya dihimpun dari sumbangan para ustazah, baik yang sudah maupun yang belum menikah, padahal pada umumnya hidup mereka pas-pasan, bahkan boleh dibilang kekurangan. Tapi, demi kecintaan mereka kepada para saudari (sister), mereka rela berkorban. Solidaritas ini tampaknya sangat membantu meringankan beban komunitas perempuan, terutama mereka yang sudah menikah. Hal ini mungkin dilakukan karena keleluasaan perempuan untuk menggunakan uang hasil keringat sendiri. Semua itu berangkat dari kepercayaan bahwa uang hasil kerja perempuan sepenuhnya dapat digunakan untuk apa saja sesuai kehendaknya. JP: Ada lagi lesson learn yang diambil dari kehidupan perempuan di pesantren Ngruki? FC: Umumnya perempuan fundamentalis digambarkan sebagai sosok yang pasrah, taat, takluk, powerless, bila berhadapan dengan para patriach, baik di dalam kelompok mereka sendiri maupun kelompok-kelompok yang dominan di luar. Dikesankan bahwa mereka tidak punya bargaining power dengan pihak lain. Pengalaman saya tampaknya tidak sepenuhnya sesuai dengan opini yang kini populer itu. Karena ternyata, mereka mempunyai kontribusi yang signifikan. Mereka cukup berdaya dan telah memberi perlawanan dengan mengoreksi unsur-unsur patriarki tertentu yang bersemayam di dalam tubuh fundamentalisme. (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 32, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |