Oleh: Atnike Nova Sigiro Rubrik: Profil pada JP 109 Kekerasan Seksual dan Ketimpangan Gender Diah Pitaloka, perempuan anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan daerah pemilihan Jabar 3, Kabupaten Cianjur – Kota Bogor. Diah Pitaloka saat ini mengetuai Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia periode 2020 – 2024. Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia merupakan forum anggota parlemen perempuan lintas partai yang memperjuangkan isu-isu perempuan dan kelompok marginal lainnya di DPR RI. Kepengurusan Keanggotaan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia juga melibatkan para perempuan anggota Dewan Perwakilan Daerah RI. Menurut Diah, persoalan perempuan merupakan persoalan bersama, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan itu sendiri. Menjabat pertama kali pada tahun 2014, saat ini merupakan periode kedua Diah Pitaloka sebagai anggota DPR RI. Di periode DPR RI 2014-2019, pada mulanya Diah Pitaloka ditempatkan di Komisi II yang membidangi urusan pemerintahan, birokrasi, Pemilu, dan pertanahan. Tahun 2016, di periode yang sama Diah dirotasi ke Komisi VIII DPR RI, yang membidangi urusan agama, sosial, kebencanaan, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Di periode kedua ini Diah masih bertugas di Komisi VIII dan diberi amanah sebagai wakil ketua komisi.
Lahir di Kota Cilacap, Diah menghabiskan masa tumbuh kembang di kota Cilacap dan kota Bogor. Mendengarkan musik, travelling dan otomotif khususnya mobil adalah hal-hal yang disukainya di luar politik. Di ranah politik sendiri, Diah secara khusus meminati isu kepemimpinan perempuan, dan kesetaraan dalam pembangunan yang adil dan demokratis. Diah Pitaloka mengabiskan masa Sekolah Menengah Umum di Kota Bogor, kemudian melanjutkan studi jurusan jurnalistik di Universitas Padjadjaran di kota Bandung, ia pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjajaran, juga tergabung di Senat Mahasiwa. Sejak masa bersekolah Diah aktif beroganisasi, sebagai pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), sebagai pengurus Badan Perwakilan Mahasiswa. Di internal partai, Diah juga pernah memimpin Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM) Provinsi Jawa Barat, sebuah organisasi sayap yang berisikan anak muda di PDI Perjuangan. Semasa menjadi mahasiswa, Diah Pitaloka tidak hanya terlibat dalam aktivisme ketika gelombang gerakan dan aksi-aksi mahasiswa membesar di tahun 90-an, tetapi juga aktif di organisasi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Kabupaten Subang – Jawa Barat sebagai fasilitator lapangan. Dari Subang, masih dengan organisasi yang sama, Diah dipindah tugaskan ke wilayah Maluku Utara sebagai manajer lapangan. Dari sini Diah mengasah kemampuannya dalam kerja politik dan advokasi rakyat, khususnya bagi kaum perempuan. Modalitas ini kemudian mengantarkan Diah dipercaya untuk mengemban jabatan sebagai ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia, juga sebagai wakil ketua Komisi VIII. Menurut Diah, dalam kehidupan sehari-hari perempuan harus berhadapan langsung dengan berbagai masalah seperti masalah kesehatan, keluarga, ekonomi, dan masalah sosial lainnya. Untuk itu diperlukan kesadaran atas pentingnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai level, karena perempuan dapat memberikan perspektif yang berbeda dan berguna dalam pengambilan keputusan di dalam masyarakat. Sementara di sisi lain, kemampuan perempuan dalam membuat keputusan cenderung masih dipandang sebelah mata. Diah melihat kebijakan yang ada di Indonesia saat ini telah mulai memasukkan pengarusutamaan gender dalam kerangka normatif, namun belum memiliki kerangka politis yang kuat. Hal ini dapat dilihat contohnya dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang fungsinya lebih pada fungsi koordinatif, namun tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi kebijakan di kementerian lain. Bagi Diah, Kementerian PPPA harus dipandang sebagai kementerian yang strategis bagi perencanaan pembangunan nasional dan melakukan program nyata bagi masyarakat. Menyoal Kekerasan Seksual Diah Pitaloka menjelaskan bahwa literasi mengenai ancaman kekerasan seksual di Indonesia belum memadai, termasuk di dalam dunia pendidikan. Hal ini menyebabkan berbagai asumsi negatif terhadap RUU PKS muncul dan berkembang di kalangan masyarakat. Jika digambarkan bahwa persoalan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia merupakan persoalan kuasa, maka dapat dilihat bahwa kaum perempuan berada dalam posisi kuasa yang cenderung lebih lemah. Korban kekerasan seksual masih banyak dilihat sebagai aib bagi keluarga. Di sisi lain, perempuan korban kekerasan menghadapi persoalan kesulitan untuk mengakses keadilan, baik dari segi layanan aparatur hukum yang tersedia maupun konstruksi yang terbangun di masyarakat atau melalui media. Dalam banyak kasus, menurut Diah, korban kekerasan seksual cenderung menutupi kekerasan seksual yang dialaminya, atau diselesaikan melalui cara-cara ‘kekeluargaan’. Praktik yang justru semakin merugikan korban. Hal ini kemudian yang menguatkan persoalan kekerasan seksual di dalam masyarakat cenderung tersembunyi atau disembunyikan. Untuk itu diperlukan kebijakan, satu konstruksi peraturan perundang-undangan yang memahami latar belakang sosio-kultural masyarakat Indonesia. Satu kebijakan yang nantinya akan menghadirkan proses hukum, mulai pendampingan korban, rehabilitasi, pendidikan, dan literasi mengenai persoalan kekerasan seksual, sehingga lahir kepedulian bahwa kekerasan seksual merupakan persoalan kita bersama sebagai sebuah bangsa. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual Diah Pitaloka pertama kali menerima draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Komnas Perempuan saat menjabat sebagai anggota DPR periode 2014-2019. Ketika itu ia baru saja dirotasi dari Komisi II ke Komisi VIII. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual baginya merupakan hal yang penting, mengingat banyaknya persoalan kekerasan seksual yang terjadi di dalam masyarakat dan penanganan perlindungan korban yang belum maksimal. RUU ini sendiri masih menuai pro dan kontra, sejak awal digulirkan hingga saat ini. Di periode 2014 – 2019, RUU PKS mulai dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg), dan kemudian mulai dibahas oleh Komisi VIII di DPR. Pembahasan RUU ini mengalami maju – mundur hingga pembahasan berlanjut di periode 2019 – 2024. Hingga saat ini, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum selesai. Meski mendapat banyak dukungan dari publik, pembahasan RUU PKS juga menghadapi banyak prasangka dan narasi negatif yang mengikutinya. Diah menyadari betul tantangan dari semangat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, di mana ide patriarki masih mendominasi sosio-kultural masyarakat. Kekerasan seksual merupakan persoalan nyata yang terjadi di tengah masyarakat, dan bukan hanya perempuan saja yang menjadi korbannya. Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk kepada anak dan penyandang disabilitas. Bagi Diah, RUU PKS perlu dilihat dengan cara pandang yang berbeda dengan narasi yang saat ini berkembang ke manamana, ia perlu didudukkan sebagai payung hukum yang memberikan perlindungan kepada setiap warga negara, berbicara mengenai kewajiban perlindungan negara. Yang menjadi persoalan hari ini adalah bagaimana menerjemahkan dan menjawab apriori terhadap RUU ini. Diah membayangkan, bahwa di masa depan masyarakat tidak lagi menjadi permisif terhadap persoalan kekerasan seksual. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk melakukan perubahan sosio-kultural di Indonesia serta kebijakan politik agar upaya hukum yang ada menjadi komprehensif. Diah menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak menginginkan kekerasan seksual menjadi praktik yang terus terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Diah emansipasi dan prinsip non-diskriminasi sesungguhnya merupakan isu yang melekat dengan demokrasi. Demokrasi, bukan sematamata distribusi kesejahteraan dan politik, tetapi juga distribusi kesetaraan. Sehingga isu kekerasan terhadap perempuan – termasuk persoalan kekerasan seksual, merupakan hal substantif yang perlu diperjuangkan dalam demokrasi Indonesia. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |