Oleh: Ayom Mratita Purbandani Rubrik: Profil JP 114 Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi & Keadilan Gender Perbincangan mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) pada kalangan kaum muda selalu menunjukkan kondisi ambivalen. Di satu sisi, kaum muda selalu didorong dan dituntut untuk mengeksplorasi diri dan ekosistem secara lebih jauh untuk menavigasikan keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Di sisi lain, pengenalan diri melalui pemahaman kesehatan seksual dan reproduksi masih sarat dicap tabu, bahkan sekadar untuk diperbincangkan di ruang privat. Nahasnya, keingintahuan kaum muda mengenai HKSR sering kali ditekan dengan tabu moralitas sebagai tedeng aling-aling-nya. Karena itu, pemenuhan HKSR menjadi jalan sunyi tanpa penerangan yang ditempuh oleh kaum muda. Atas permasalahan tersebut, muncul sebuah rumusan: siapa yang lebih baik dalam mengadvokasi HKSR untuk kaum muda selain kaum muda itu sendiri? Adalah Anggi Tessalonika Lena, seorang perempuan muda kelahiran 7 Januari 1997 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang memecah kesunyian ini dengan aktif menyuarakan dan mengadvokasi pemenuhan HKSR bagi kaum muda secara terbuka, khususnya untuk kaum muda di wilayah timur Indonesia. Perempuan yang lebih akrab disapa Anggi tersebut saat ini tengah memasuki tahun kedua dalam menjabat sebagai Koordinator Youth Focal Point dari Aliansi Satu Visi—sebuah komunitas payung untuk 20 komunitas atau organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan bergerak pada fokus yang sama: menjamin pemenuhan HKSR untuk kaum muda dan hak asasi perempuan. Melalui Aliansi Satu Visi inilah, Anggi secara aktif melakukan kerja-kerja advokasi, penyuluhan, peningkatan kapasitas, dan penyediaan informasi yang kredibel mengenai HKSR untuk kaum muda.
Sebagai bagian dari kaum muda, Anggi merasa bahwa dorongan untuk menyuarakan tuntutan terhadap pemenuhan HKSR juga dipengaruhi oleh situasinya. Sempat mengalami ketidakadilan karena tidak terpenuhinya HKSR, ia merefleksikan kondisi remaja Nusa Tenggara Timur. Di sana ketiadaan informasi mengenai HKSR sangat memengaruhi beragam lini kehidupan, mulai dari pendidikan hingga tatanan sosial. Kondisi yang diperkuat oleh ketidaktersediaan informasi menempatkan banyak kaum muda pada posisi rentan: pelecehan seksual dan perkosaan, keterpaparan kaum muda pada aktivitas seksual tanpa proteksi, penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan dan direncanakan, serta permasalahan mental akibat paparan seksual. Persoalan tersebut yang menurut Anggi, merupakan akibat dari sulitnya akses terhadap HKSR. Pemenuhan HKSR masih menjadi barang mewah sebab tidak semua kaum muda bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, Anggi ingin menjadi bagian dari perubahan. Baginya, perubahan harus senantiasa ada, agar generasi ke depannya tidak lagi mengalami kesulitan akses terhadap HKSR. HKSR dan Tubuh Perempuan Berbicara mengenai HKSR, besar singgungan dengan pembahasan mengenai otonomi tubuh. Hal ini turut memperdebatkan bagaimana kodrat ‘tubuh perempuan’ merupakan konsep penting yang menjadi arena pertarungan dalam wacana gender. Anggi mengisahkan mengenai kontribusinya dalam pembahasan seiras pada projek foto buku yang digagas oleh Aliansi Satu Visi dengan tajuk “What We Don't Talk About When We Talk About Sexuality”. Dengan mengambil metode fotografi terapeutik, Aliansi Satu Visi mendorong para kontributor yang merupakan kaum muda untuk bercerita mengenai pengalaman mereka tentang HKSR melalui berbagai media. Menurut Anggi, wujud foto akan lebih memudahkan kaum muda untuk menavigasikan apa yang dirasakannya terkait pengalaman HKSR, termasuk untuk mengungkapkan apa yang membuatnya nyaman dan tidak nyaman. Anggi memilih judul “Ketika Seorang Perempuan Lahir” untuk kontribusinya dalam bagian proyek foto buku. Judul yang dipilih Anggi dilandasi oleh fakta bahwa perempuan tidak pernah memiliki kekuasaan atas tubuhnya semenjak ia lahir. Ia menggarisbawahi kondisi ini dengan berbagai label yang disematkan pada tubuh seorang perempuan, seperti ‘bekas’ dan ‘baru’ dalam menggarisbatasi keperawanan perempuan. Anggi menggambarkan keresahan tersebut melalui potret rumah singgah. Ia mencoba mengartikulasi tubuh perempuan yang diperlakukan sebagai rumah singgah, artinya orang bisa datang dan pergi. Dalam foto lain, Anggi memotret dua tangan yang mengadah. Melalui foto ini, ia ingin menyampaikan mengenai kesulitan perempuan untuk mengeksplorasi dan bicara tentang tubuhnya sendiri. Melalui kontribusinya ini, Anggi mencoba mendorong keterbukaan terhadap perbincangan atas tubuh dan seksualitas menghadirkan ruang agar perempuan dapat lebih mengenal tubuh mereka. Tabu atas tubuh berkontribusi pada ketidakadilan, pelecehan, dan kekerasan seksual. Kesadaran dan penghargaan atas otonomi tubuh perempuan merupakan hal yang penting. Menurut Anggi, apabila perempuan memiliki akses yang memadai ke layanan dan informasi kesehatan seksual dan reproduksi, mereka dapat membuat keputusan tentang tubuh mereka dengan lebih bebas dan tanpa tekanan dari pihak mana pun. Dalam masyarakat yang patriarki, banyak perempuan yang dibuat tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menolak sesuatu. Misalnya ketika perempuan ditekan atau dipaksa untuk menjalani prosedur medis atau tindakan yang bertentangan dengan keinginan mereka, atau dalam situasi ketika perempuan tidak memiliki akses informasi dan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Anggi membagikan cerita mengenai seorang teman perempuannya yang mengalami praktik sunat perempuan. Bagi masyarakat NTT, praktik budaya ini dianggap wajar sekalipun sunat perempuan membahayakan kesehatan perempuan dan telah ditentang oleh kesepakatan-kesepakatan internasional. Dalam konteks sunat perempuan di NTT, Perempuan tidak memiliki akses informasi mengenai perlukaan dan pemotongan genital perempuan. Mereka hanya diberi pengertian bahwa hal tersebut dilakukan untuk mengurangi birahi perempuan yang dinilai sebagai sesuatu yang berbahaya. Namun, informasi mengenai dampak-dampak yang membahayakan tidak diberikan. Bagi Anggi, praktik ini terjadi karena terdapat penentangan terhadap otonomi tubuh perempuan. Ia menyebut, “masyarakat merasa memiliki tubuh mereka [perempuan].” HKSR sebagai Langkah Keluar dari Gelembung Patriarki Lulus dari Fakultas Psikologi, Universitas Nusa Cendana, Anggi kemudian banyak terlibat dengan jejaring komunitas yang memiliki fokus pada peningkatan kapasitas kaum muda, hingga akhirnya berfokus pada isu HKSR. Pengalaman sebagai koordinator bagi Teman Belajar Remaja Kupang membantu Anggi untuk dapat memetakan ragam isu yang menjadi tantangan bagi kaum muda pada rentang usianya. Sepanjang kehidupannya, Anggi juga aktif dalam berbagai aktivitas gereja hingga menjadi pengajar Sekolah Minggu. Ia mengisahkan bahwa sebelum akhirnya benar-benar mengenal apa itu HKSR, ia sendiri telah tertarik untuk belajar mengenai kesehatan reproduksi. Ia mensosialisasikan pengenalan organ reproduksi laki-laki dan perempuan bagi anak-anak di gereja. Baru di kemudian hari, ia menyadari bahwa pembahasan dari sisi kesehatan atau biologi saja tidaklah cukup, baginya penting untuk bicara tubuh dari pijakan HKSR. Advokasi HKSR untuk kaum muda dimulai oleh Anggi sejak tahun 2019. Pada tahun tersebut, Anggi mulai mendalami HKSR melalui program pengorganisasian remaja yang diselenggarakan oleh Instituta Hak Asasi Perempuan (IHAP). IHAP menyelenggarakan kegiatan kolaboratif dengan berbagai gereja Protestan di Kupang dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur melalui penyusunan modul HKSR dan penyediaan ruang belajar bagi kaum muda. Kegiatan-kegiatan ruang belajar tersebut diselenggarakan secara rutin pada tahun-tahun berikutnya dengan menamai program-program tersebut sebagai Youth’s Get Up. Sebelum mengikuti Youth’s Get Up, Anggi mengaku bahwa ia sendiri kerap merasa malu dan waspada ketika membicarakan mengenai HKSR. Namun, pengetahuan yang didapatnya melalui program belajar tersebut perlahan mengubah caranya berpikir. Satu momen berharga yang Anggi bagikan dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan adalah pembahasan mengenai aborsi. Kala itu, ia merasa cukup gagap ketika dihadapkan dengan materi mengenai legalisasi aborsi, ia merasa pembahasan tersebut teramat tabu dan tidak patut diperbincangkan. Namun, ketika mengetahui konteks lengkap dari kondisi-kondisi kehamilan tidak direncanakan dengan lebih jauh, seperti bagaimana kehamilan yang terjadi pada korban pemerkosaan, kehamilan yang tidak dikehendaki oleh remaja akibat seks pranikah, hingga kehamilan yang berisiko bagi ibu yang mengandung dan berbagai kondisi lainnya membuat ia berempati dan berpihak. Selepas program tersebut, Anggi menyaksikan bagaimana rangkaian program belajar bertahap mengenai HKSR dari IHAP itu menjadi momen reka ulang imajinasi para partisipan mengenai keadilan reproduksi. Partisipan yang merupakan kaum muda Kupang tersebut mulai mengkritisi narasi patriarki yang selama ini mapan di masyarakat. Stigma ketidaksetaraan gender yang diterima begitu saja, seperti anggapan bahwa laki-laki secara derajat lebih tinggi ataupun bagaimana tubuh perempuan dilihat sebagai objek mulai dipertanyakan. Pembelajaran mengenai HKSR memberikan Anggi pemahaman untuk mengenal otoritas tubuhnya. Anggi menceritakan bahwa ia baru mengenal genilati perempuan dan istilah ‘vagina’ ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Ia merasa bahwa pembicaraan mengenai tubuh perempuan di NTT sulit sekali, sampai-sampai penyebutan bagian tubuh perempuan juga dinilai tabu. Baginya, pembatasan mengenai pengenalan tubuh perempuan, justru berpotensi membuat perempuan rentan terhadap kekerasan seksual. Informasi yang cukup mengenai kesehatan reproduksi dan seksual membantu Anggi dalam mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan dan tidak diinginkan oleh tubuhnya, apa yang aman dan tidak bagi tubuhnya. Pendidikan HKSR membantu kaum muda untuk memahami risiko dari segala tindakan seksual dan mengidentifikasi kekerasan dan pelecehan seksual serta kekerasan berbasis gender lainnya yang berkaitan dengan hilangnya otonomi tubuh. Tanpa pengetahuan HKSR, kaum muda sering tidak memahami ketika mereka sedang dimanipulasi, dilecehkan, dan/atau dipaksa melakukan aktivitas seksual yang belum tentu mereka hendaki. Kebebasan atas tubuh, termasuk pengambilan keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi tanpa adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan dari pihak eksternal, merupakan aspek penting dalam pemenuhan HKSR. Anggi menyebutkan bahwa pemenuhan HKSR berperan sebagai basis kesadaran kaum muda untuk menghindar dari segala tindakan yang bermuatan kekerasan dan ketidakadilan, serta pemenuhan akses universal terhadap layanan kesehatan dan reproduksi, dan pendidikan seksual komprehensif. Pemenuhan tersebut akan menjadi katalis yang mendorong kehidupan perempuan menjadi lebih sehat, produktif, sejahtera, dan berdaya. Oleh karena itu, akses atas pemenuhan HKSR penting dalam mendorong kesetaraan gender serta memastikan bahwa keselarasan antara hak-hak politik dan sipil saling bertaut. Lebih lanjut, Anggi menyampaikan bahwa tumbuh besar di lingkungan gereja, perbincangan mengenai HKSR masih sarat akan stigma, bias gender, dan terlalu tabu untuk diakses oleh masyarakat. Pembahasan mengenai aborsi dan seks pranikah dianggap menyalahi aturan agama. Bahkan, Anggi menuturkan materi pencegahan kekerasan seksual yang pernah dibawakannya menuai kecaman karena dianggap sebagai isu yang sensitif. Berbekal pengetahuan yang diperolehnya dari IHAP, Anggi kemudian memberanikan diri untuk membagikan materi HKSR yang berperspektif gender kepada anak-anak perempuan dan kaum muda perempuan. Ia berharap pembelajaran HKSR dapat mengikis nilai dan praktik yang patriarkis. Dibantu oleh IHAP berjejaring dengan berbagai gereja, Anggi merasa memiliki komunitas dan tidak lagi sendiri. Bersama dengan Teman Belajar Remaja Kupang, dia melihat bahwa ruang aman di gereja mungkin dimunculkan. Setelah sejumlah kegiatan dan banyak dialog, Anggi merasa bahwa gereja-gereja telah lebih terbuka untuk isu HKSR. Ia dan Teman Belajar Remaja Kupang sudah menjangkau lebih banyak gereja untuk memberikan pendidikan seksual dan reproduksi. Pemahaman HKSR menyediakan keluasan bagi gereja untuk menjadi ruang aman, tempat yang dapat mengakomodir wawasan akan ketubuhan para jemaat. Sebagaimana yang Anggi bagikan pada Sekolah Minggu, ketika ia menyinggung otonomi tubuh dan seksualitas, para muridnya dengan nyaman berbagi dan mendapatkan pemahaman mengenai perilaku seksual berisiko. Umpan balik yang baik juga diberikan oleh para orang tua yang mulai memahami pentingnya eksplorasi ketubuhan bagi anak-anak dan remaja. Pemenuhan HKSR sebagai Wujud Memanusiakan Manusia Dalam advokasi HKSR, Anggi kerap bersentuhan dengan kisah-kisah getir mengenai ketidakadilan. Suatu waktu ia mengajar di Sekolah Minggu lalu mendapat laporan dari salah satu muridnya yang mengalami kekerasan seksual di lingkungan rumahnya. Patah hatinya memuncak ketika kasus seorang vikaris atau calon pendeta yang melakukan kekerasan seksual kepada 14 anak perempuan pada tahun 2022 lalu mencuat. Anggi sulit menerima hal tersebut. Bagaimana ruang yang katanya sakral justru menjadi tempat kejahatan terjadi. Perjalanan pelaporan terhadap kasus tersebut pun sangat terjal karena sulit bagi para jemaat untuk mengakui terjadinya kekerasan di ruang yang seharusnya aman dan sakral. Mengakui kejahatan seksual di gereja seperti melucuti ideal rumah Tuhan. Mendengar dan bersentuhan dengan kisah-kisah getir ketidakadilan tersebut, Anggi meneguhkan bahwa pengetahuan komprehensif tentang HKSR merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan bagi siapapun. Pendidikan HKSR tidak hanya harus ada di ruang pendidikan formal, tetapi juga di ruang pendidikan informal seperti di Sekolah Minggu, komunitas pemuda, ibu, dan bapak di gereja, dan di mana saja. Pengetahuan HKSR memberdayakan semua orang. Pendidikan HKSR bukan tentang seks bebas atau mendorong aborsi sebagaimana yang dituduhkan banyak orang, tetapi tentang pemahaman atas tubuh secara utuh, tentang memahami hak diri sendiri dan orang lain untuk nyaman dan bebas kekerasan. Ia menyampaikan bahwa advokasi pemenuhan atas HKSR yang dilakukannya tidak lain adalah untuk menciptakan perubahan. Dalam memperjuangkan hal tersebut, ia terlebih dahulu mengakui bahwa sebagian besar kaum muda tidak mendapat akses untuk belajar mengenai HKSR dan akhirnya menjadi rentan. Secara khusus, pengetahuan mengenai otonomi tubuh yang membantu pembentukan kesadaran bagi kaum muda untuk terhindar dari berbagai tindakan ketidakadilan. Bagi Anggi advokasi HKSR adalah upaya dari memanusiakan manusia, sebab pemenuhan HKSR untuk kaum muda dapat membantu mereka memiliki kesempatan dan kebebasan yang sama untuk menentukan dirinya dan masa depannya, terlepas dari situasi dan tantangan struktural yang berbeda-beda. Menghambat akses kaum muda terhadap pendidikan dan layanan HKSR yang komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan memberdayakan mereka dalam mengambil keputusan merupakan ketidakadilan. Minimnya pengetahuan seputar seksual dan reproduksi membuat kaum muda rentan terkena penyakit menular seksual (PMS), seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV), rentan mengalami kekerasan seksual, serta kehamilan remaja yang tidak dikehendaki yang berujung pada aborsi yang tidak aman. Menurut data Kementerian Kesehatan dari tahun 2012, bahwa 33,3% anak perempuan dan 34,5% anak laki-laki di bawah usia 15 tahun sudah mulai berpacaran. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa pada usia yang sama, 2,5% anak perempuan dan 19,1% anak laki-laki sudah aktif secara seksual. Hal ini menunjukkan bahwa seks pranikah bukan sesuatu yang dapat kita anulir begitu saja dari kehidupan kaum muda. Penolakan fakta bahwa kaum muda merupakan makhluk seksual sebagaimana orang dewasa merupakan langkah naif. Menurut Anggi, justru disinilah peran pendidikan HKSR, yaitu pemberian pemahaman yang rasional dari risiko seks pranikah, permasalahan kesehatan reproduksi, hingga paparan mengenai konsekuensi seks pranikah. Pendidikan HKSR juga punya peran untuk mencegah dan meminimalisir penyakit menular seksual dan kehamilan tidak dikehendaki. Kerentanan kaum muda terhadap risiko seks pranikah, kehamilan yang tidak dikehendaki yang berujung pada aborsi yang tidak aman, hingga perkawinan anak menunjukkan minimnya informasi pendidikan HKSR yang tersedia sekarang ini. Menurut Anggi, kunci dari pemenuhan HKSR kaum muda salah satunya adalah melalui pendidikan komprehensif yang berbasis hak dan transformasi nilai dan praktik masyarakat ke arah adil gender. Pendidikan komprehensif HKSR tidak hanya merujuk pada seperangkat pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, tetapi juga mencari, menerima, dan mengomunikasikan informasi terkait seksualitas serta pengetahuan gender. Hal ini bertujuan untuk membekali kaum muda dengan panduan bersikap asertif hingga kemampuan untuk mengambil keputusan terkait kehidupan seksual dan sosial, serta menghindari berbagai risiko. Pendidikan memainkan peran penting dalam membantu kaum muda untuk menilai secara kritis mengenai pesan-pesan kompleks yang datang dari berbagai sumber. Menurut Anggi, penilaian ini berfungsi untuk memastikan kaum muda sudah memiliki informasi yang cukup sehingga dapat menavigasikan pilihannya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Anggi patut berbangga, karena advokasi mengenai HKSR yang ia lakukan dapat pula disuarakan olehnya di tingkat internasional. Ia pernah terpilih menjadi Youth Focal Point pada Family Planning 2030 yang diselenggarakan oleh United Nations Population Fund (UNFPA). Pada forum tersebut, ia menyampaikan gagasannya dalam mengadvokasi pemenuhan HKSR di depan berbagai stakeholder dan para pemangku kebijakan. Anggi diminta untuk memberikan saran untuk program-program yang akan digagas pemerintah ke depannya. Sebagai bagian dari kaum muda, Anggi diharapkan menjadi penjembatan dalam pemenuhan komitmen keenam dari Family Planning 2030, yakni untuk mengarusutamakan kaum muda dalam HKSR. Aliansi Satu Visi sebagai Ruang Berbagi Kaum Muda Ketiadaan akses HKSR sering kali bersumber dari keengganan dan ketidakmampuan masyarakat, institusi, dan negara dalam menerjemahkan persoalan gender dan seksualitas pada kaum muda. Atas kekosongan peran ini, Aliansi Satu Visi hadir untuk merespons kebutuhan pendidikan dan pendampingan mengenai HKSR untuk kaum muda. Berdiri sejak 2010, Aliansi Satu Visi menaungi kaum muda yang berasal 20 organisasi dan komunitas yang bergerak dalam menjamin pemenuhan HKSR dan hak perempuan. Terdapat program “Get Up and Speak Out for Youth Rights!” (GUSO) yang menjawab kebutuhan kaum muda untuk mendapatkan informasi HKSR yang akurat agar mereka dapat memenuhi potensi mereka di masa dewasa. Sebagai Koordinator Youth Focal Point, Anggi mengemban tanggung jawab untuk menjembatani dan mengakomodir kebutuhan dari para kaum muda di setiap organisasi yang dinaungi Aliansi Satu Visi. Hal ini dilakukannya melalui forum diskusi dengan para perwakilan dari tiap-tiap organisasi yang telah mencatat serta merekam kebutuhan kaum muda dalam internal organisasi. Atas laporan tersebut, Anggi meneruskan catatan mengenai kebutuhan remaja kepada pengurus di Aliansi Satu Visi. Ia kemudian bekerja sama dengan tim Youth Focal Point untuk merancang program peningkatan kapasitas yang sesuai untuk kaum muda. Kerja-kerja yang dilakukan oleh Aliansi Satu Visi sendiri setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, Comprehensive Sexuality Education (Pendidikan Seksualitas Komprehensif), yakni peningkatan penyediaan informasi serta edukasi kesehatan reproduksi dan seksual. Sebagai komunitas payung, Aliansi Satu Visi mengambil peran untuk menjadi ruang dialog terkait isu HKSR dan menguatkan mitra dalam proses pemberian pendidikan mengenai isu tersebut. Mereka memproduksi modul-modul HKSR untuk kelompok tertentu, seperti modul untuk kaum muda di luar pendidikan formal, modul untuk orang tua atau caregiver, hingga modul pembelajaran online. Kedua, Comprehensive Sexuality Services (Layanan Seksualitas yang Komprehensif), yakni pemberian layanan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif. Kerja sama terbaru yang dilakukan Aliansi Satu Visi adalah dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dalam pengembangan modul yang berfokus pada kebutuhan perempuan. Modul ini akan digunakan sebagai panduan bagi bidan-bidan di daerah untuk memberikan layanan yang ramah perempuan dan berperspektif gender. Ketiga, Comprehensive Sexuality Protection (Perlindungan Seksualitas yang Komprehensif), yakni pemenuhan HKSR bagi kelompok-kelompok minoritas dan termarginalkan, terutama pemberian perlindungan komprehensif bagi isu kekerasan berbasis gender dan seksual. Selain itu, Aliansi Satu Visi menjadi bagian dari Save All Women and Girls (SAWG) yang merupakan kelompok jaringan nasional untuk isu HKSR. Bergerak bersama kelompok jaringan SAWG, Aliansi Satu Visi turut terlibat dalam advokasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Advokasi ini termasuk dalam menjamin layanan kesehatan reproduksi esensial, seperti aborsi aman. Dalam tahapan RUU TPKS, aborsi sempat diusulkan masuk dalam kategori kekerasan seksual. Berkat advokasi Aliansi Satu Visi bersama seluruh jejaring aktivisme HKSR, UU TPKS disahkan dengan mengeluarkan aborsi dari daftar jenis kekerasan seksual. Jalan Panjang Perjuangan HKSR Sepanjang melakukan advokasi untuk pemenuhan HKSR bagi kaum muda, Anggi mengaku bahwa perjalanan ini penuh tantangan dan amat tidak mudah. Selain tabu moralitas yang digunakan untuk membungkam dan kemapanan budaya patriarki di tatanan masyarakat Kupang, Nusa Tenggara Timur, Anggi juga kerap kali dicap sebagai orang yang melawan agama. Buntut dari mengajarkan HKSR di gereja adalah cacian dari beberapa orang bahkan orang tua sekalipun yang menolak pembicaraan topik serupa kepada kaum muda di lingkungan sekitarnya. Bagaimanapun, Anggi tetap percaya bahwa tantangan tersebut dapat diatasi. Menurutnya, pengajaran mengenai HKSR memerlukan penciptaan ekosistem ruang yang aman dan nyaman. Ruang inilah yang berusaha ia bangun untuk kaum muda gereja dengan memberikan peningkatan kapasitas untuk cara-cara melapor dengan aman, berkomunikasi dengan orang tua, dan seterusnya. Ruang ini benar-benar berfungsi untuk menggali aspirasi mereka, mengakomodasi yang mereka butuhkan, dan membantu menyuarakan apa yang mereka perjuangkan. Menuju akhir dari sesi wawancara dengan Jurnal Perempuan, Anggi mengingatkan satu hal penting; mengategorikan kesehatan reproduksi dan seksual semata sebagai urusan privat tidak lain merupakan tone policing, taktik membungkam kelompok yang rentan seperti kaum muda. Sejatinya, HKSR merupakan persoalan publik. Kendati demikian, sebagai target sekaligus subjek yang paling terdampak dari berbagai kebijakan HKSR yang dibuat oleh negara, kaum muda tidak dinilai cukup matang dan pantas untuk mendiskusikan isu tersebut sehingga pelibatannya pun menjadi amat minim dan tidak representatif. Hal ini hanyalah upaya mengaburkan fakta bahwa kaum muda, meskipun dengan rentang usia yang sama, memiliki tantangan struktural dan situasi yang berbeda-beda. Dengan demikian, berbagai kebijakan terkait HKSR belum sensitif terhadap perbedaan jenjang pendidikan dan ekonomi, hingga kelompok kaum muda dengan disabilitas. Kerja-kerja yang dilakukan Anggi bersama Aliansi Satu Visi dan Teman Belajar Remaja Kupang merupakan upaya pelibatan kaum muda sebagai kelompok rentan dalam isu HKSR. Melalui pelibatan tersebut, Anggi berupaya mengakomodir sebuah ruang aman yang inklusif untuk kaum muda dapat mengungkapkan keresahan, hambatan, dan tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan HKSR. Hal ini dilakukan dengan memperkenalkan pemahaman interseksional sehingga kita dapat menangkap lebih utuh tentang kerentanan berlapis yang dialami kaum muda. Apa yang dilakukannya merupakan perjuangan untuk keadilan reproduktif bagi kaum muda, utamanya bagi otonomi tubuh pribadi kaum muda di wilayah timur Indonesia. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |