ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Surat Dari Dinda: Mereka Tidak Memukul, Hanya Menggunting Celana Saya

22/10/2019

 
Picture
Mungkin orang berpikir penjara itu sadis. Penjara itu tempat orang-orang yang jahat. Begitupun pemikiran saya ketika Polisi Reserse Polda Metro Jaya menangkap saya karena kepemilikan narkotika jenis sabu dan melemparkan saya ke rumah tahanan di Polda Metro Jaya. Kejadian itu terjadi pada 18 Juli 2016.

Ketika pertama kali kaki ini melangkah, satu pernyataan yang terlontar ke ibu polisi di sana, “Bu, nanti di dalam saya akan mendapat pukulan?”. Lalu, ibu itu ketawa seolah-olah itu hal yang tidak mungkin terjadi di penjara. Dan ternyata kita di penjara tidak mungkin pukul-pukulan. Dua orang tahanan cantik menyambut kedatangan saya. Mereka adalah asisten para polisi jaga di sana, biasa disebut korpe. Salah satu dari mereka memakai bandana dan membawa gunting menghampiri saya. “Wah, saya mau diapain nih?” dalam hati berbicara sendiri. Dia, sebut saja namanya Puspa, semakin mendekati saya. Dia menanyakan “Namanya siapa?”. Saat saya menjawab nama saya, Puspa berjongkok di depan saya dan menyentuh celana panjang merah yang saya kenakan, lalu berkata, “Di sini gak boleh pakai celana panjang. Jadi, celana kamu harus digunting jadi pendek”. Mulut saya langsung membentuk huruf O. Jadi, itu fungsi guntingnya. 

Setelah celana saya menjadi pendek, asisten polisi lainnya, sebut saja namanya Eza, berparas cantik dengan muka oval, sipit, dengan tinggi 172 cm dan rambut lurus sebahu, tiba-tiba menarik saya. Ia menyuruh saya untuk duduk di sebelahnya. Dia berkata, “Kamu jangan takut. Di sini gak ada yang galak kok. Semuanya baik. Dulu waktu pertama aku sampai sini juga mikir seperti itu. Tapi ternyata enggak, kok.” Dalam hati saya bicara sendiri lagi, “Baik kok ada di penjara, sih?” Tapi ternyata memang rata-rata yang saya temukan baik. Hanya saja mereka melakukan kesalahan yang melanggar hukum Indonesia. Sama seperti saya yang sekarang ada di sini karena melanggar hukum di Indonesia. Jadi, orang yang ada di sini belum tentu semuanya jahat. Kami hanya melakukan kesalahan yang akan kami perbaiki di sini.

Pernah berada di gedung yang bentuk gedungnya U? Yang setiap lantainya terdapat 16 kamar: 6 kamar di sisi kanan, 6 kamar di sisi kiri, dan 4 kamar di tengah menghadap sisi kanan dan kiri. Pintu masuk terdapat di sebelah kanan lalu dilanjut dengan kamar pertama yang mana adalah kamar para korpe. Kamar dimana celana saya digunting menjadi pendek oleh Puspa. Berlanjut kamar dan kamar lagi dimana para tahanan menghabiskan waktunya. Satu kamar biasa berisi 3 sampai 5 orang. Saya diantarkan Puspa ke kamar saya. Di sana saya berkenalan dengan dua orang lainnya. Karena masih di bawah pengaruh putus zat, biasa disebut basian, saya pun langsung terlelap tanpa berkenalan dengan yang lainnya lagi. Ketika terbangun ternyata saya sudah tidur hampir 12 jam. 

Saat itu sudah pukul 8 pagi keesokan harinya. Dengan jiwa yang masih terkejut saya terbangun dengan perasaan sedih yang mendalam. Masih kesal sama polisi dan penyidik yang menangkap saya. Kenapa sih muka dan gayanya itu kaya penjambret? Gak ada yang gantengan apa ya? Cara mereka menangkap saya juga kaya mau jambret handphone. Eh, ternyata memang si penyidik lah yang menjambret seluruh kebebasan saya. Sumpah! Masih kesal bercampur menyesal dan sedih. Kalau saja saya tidak mau ketemu sama orang itu (si temen yang nunjuk saya biar tenggelam). Dia minta tolong kepada saya dan menitipkan sebuah amplop, yang ternyata berisi sabu. Dia menyuruh saya menunggu untuk ‘pakai’ sabu bareng. Setelah ditungguin, dia malah gak tahu kemana. Yang datang justru polisi. Asu! Bener-bener Asu banget! Kesel sih. Sebel banget. 

Sempat dendam kesumat. Tapi saya sudah gak dendam seiring berjalannya waktu tiga tahun ini. Semua perasaan tertekan, frustasi, kesal, sebal, sampai sedih banget sudah hilang sedikit-sedikit digantikan dengan perasaan yang mau menerima keadaan. Saya memilih mendekatkan diri pada Tuhan. Walaupun dalam keadaan susah, sekarang saya sudah bisa menjalaninya tanpa resah dan mengeluh. Untuk saya, penjara adalah salah satu tempat pembelajaran kehidupan yang pelajarannya gak ada di sekolah umum.

Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

Surat Dari Tini Chen: Sepenggal Perasaan Ketika Aku Masuk Ke Lapas

22/10/2019

 
Picture
Pada tanggal 2 Agustus 2019, dari Jurnal Perempuan memberikan Pekerjaan Rumah (PR) kepadaku untuk mendeskripsikan perasaan saat pertama kali masuk lapas. Jujur aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya karena perasaannya campur aduk. Masih ingat sekali dalam memoriku yang tidak akan pernah aku lupakan. Pada tanggal 18 Oktober 2016, aku dari Bareskrim Mabes Polri Cawang dipindahkan ke lapas di Jakarta. Sekitar jam 5 sore aku sampai di sini. Kira-kira jam 7 malam aku dimasukkan ke dalam karantina. Saat masuk itu sudah dalam keadaan malam. Ketika sampai, aku langsung bertanya dalam hati, tempat ini sebenarnya penjara atau terminal sih? Waktu aku mau melangkah, ada got kecil seperti tempat penyeberangan seperti saat hendak naik kereta saja.

Setelah diantar ke karantina, jujur, aku kaget banget karena ukuran kamarnya sama dengan ukuran kamar aku sendiri. Di rumah, biasanya hanya diisi dua orang sedangkan di sini, kamar itu diisi dengan 23 orang. Dalam hati berpikir bagaimana aku tidurnya? Malamnya aku benar-benar tidak bisa tidur. Kalau mau tidur pun aku harus gantian dengan yang lain. Misalnya, malam ini aku begadang, paginya baru tidur. Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa menangis dan meratapi nasibku. Mau mandi pun aku harus antre dulu. Tidak seperti di rumah, kapanpun mau mandi bisa saja, tidak perlu antre dulu. Dan, malu banget karena kamar mandinya tidak ada pintu. Mau tidak mau aku harus coba untuk adaptasi dengan keadaan.

Malam berganti pagi. Pukul 7.30 pagi, saatnya pintu kamar dibuka. Orang-orang semuanya keluar beraktivitas. Ada yang jualan makanan, menawarkan es, jual mute, makanan, dan ambil air panas. Sedangkan, yang di dalam karantina tidak bisa kemana-mana. Jadi, orang-orang akan datang ke karantina. Ada yang mengajak kenalan, tanya-tanya kasus. Ada juga yang cari teman karena memang kebanyakan sudah kenal dari luar. Kami yang di karantina dikasih penyuluhan LBH (Lembaga Bantuan Hukum).

Satu minggu telah berlalu, tiba waktunya aku pindah dari karantina ke kamar tetapku. Awalnya aku berpikir kamarnya akan lebih bagus, ternyata sama saja. Bedanya kali ini isinya cuma 20 orang saja. Oh my God! Hanya tiga kata itu yang keluar dari mulutku. Lihat kamarnya saja sudah buat aku tidak betah. Jadinya, aku sering membandingkan lapas dan rumah tahanan. Kalau di rumah tahanan kamarnya luas, tahanan perempuannya juga sedikit. Bahkan pernah kamarnya dihuni oleh aku seorang diri saja. Di rumah tahanan, makanan yang dikasih enak-enak. Aku juga bebas karena aku bantu-bantu di kantin dan kunjungan juga. Paling enaknya: aku mau masuk kamar atau tidak, itu tidak jadi masalah. Sedangkan di sini, tidur saja sempit-sempitan. Makan kalau mau enak harus order. Mahal lagi harganya. Keadaan yang seperti ini buat aku jadi emosi, menyesal, sekaligus dendam. Sulit buat aku terima keadaan.

Apalagi setelah menjalani persidangan. Aku divonis 6 tahun 3 bulan. Bertambah lagi rasa penyesalan dan kekecewaanku. Cuma ada satu hal yang aku ingat sampai sekarang. Setelah aku divonis, hakim berkata: “Tini, jangan pernah kamu untuk naik banding lagi. Terima saja vonisnya karena itu sudah hukuman paling ringan buat kamu”. Rasa kesal itu pasti ada tetapi berjalannya waktu membuat aku berpikir lagi. Mau aku berontak atau apapun itu, tidak akan mengubah kenyataan. Lagipula kalau sudah terbiasa, ini juga bukan tempat yang terlalu buruk. Di sini aku mengenal Tuhan, belajar berdoa, baca Alkitab, dan banyak hal-hal baru yang bisa aku pelajari di tempat ini.

Sekarang aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Biar Tuhan saja yang mengatur semuanya karena aku percaya Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Dan, setelah aku memanggil Tuhan, satu hal yang aku pegang dan yang selalu memberikan aku kekuatan dan pengharapan baru adalah rencana Tuhan tidak akan ada yang pernah gagal. Semuanya akan indah pada waktunya. Aku hanya tinggal bersabar menjalani hukuman ku dengan penuh ucapan syukur sampai waktu yang ditentukan Tuhan itu tiba: bebas dari tempat ini.


Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

Surat Dari Dinda: Cara Tidur

10/10/2019

 
Picture
Dari kecil setiap orang pasti diajarkan untuk tidur sendiri di kamarnya. Yang berarti dari kecil kita sudah punya kamar sendiri. Saya dari kecil diajarkan untuk tidur berdua adik saya. Bagaimana dengan kalian? Pasti mayoritas mempunyai kamar sendiri dan tidur sendiri bukan?

Seberapa banyak sih orang yang tidur dalam satu kamar? Maksimal mungkin tiga orang dalam kamar berukuran 3x4 meter. Sekarang bayangkan, dalam satu kamar berukuran 5x6 meter, saya tidur bersama 22 orang lainnya. Kamar ini terbagi menjadi tiga lapak: dua lapak besar yang masing-masing ukurannya 2.5x1.5 meter, dan satu lapak kecil berukuran 1x1 meter. Setiap lapak besar diisi oleh sembilan orang dan lapak kecil diisi oleh lima orang. Sudah bisa kebayang bagaimana sempitnya ruangan tempat kami tidur? Ya, begitu, sesak napas. Tapi saya tidak dapat memilih untuk tidur seperti orang lain pada umumnya. Karena ya, saya di sini untuk menebus semua kesalahan yang pernah saya perbuat. Terima nasib.

Bukan, ini bukan tentang bagaimana bisa lapak yang begitu sempitnya cukup untuk tidur orang banyak. Ini tentang pengamatan saya. Pernah gak ngebayangin bagaimana anehnya orang-orang itu tidur? Itu konyol banget. Nih, ya. Ada temen tidur sebelah kiri saya, dia kalau ngigo kencang banget. Dia bilang, “Itu yaa ditaruh situ aja…”. Saya pikir dia ngomong sama saya, tahunya dia mengigau aja dong. Ada juga temen sebelah kanan saya, kalau tidur kadang-kadang suka mengeluarkan gerakan-gerakan tari. Secara di Lapas ini dese penari ya, kan? Jadi, sampai tidur saja mimpinya nari. Kenapa saya bisa tahu? Saya ini termasuk orang yang kalau tidur harus baca buku dulu agar ngantuk. Nah, kalau sudah baca bukunya yang seru banget jadi keterusan sampai jam satu pagi. Dijam-jam itulah orang-orang kalau tidur pada kocak banget. 

Ada juga waktu itu yang horor sekali. Waktu itu hanya saya yang masih terbangun, tiba-tiba ada suara “kretek-kretek.. kretek-kretek.. kretek-kretek..” Saya memutuskan untuk mencari asal suaranya, tahunya temen saya tidur dengan menggretekan gigi. Ada juga yang tidur sambil mengunyah seperti sedang makan. Padahal, tidak ada yang dikunyah selain salivanya sendiri. Yang lebih lucu lagi kalau ada temen saya di seberang lapak tidurnya pada jabrah atau asal-asalan itu kakinya. Kaki dia bisa nyangsang di paha temen sebelahnya. Atau ada yang kaosnya bisa naik-naik sampai perut dese keliatan. Ada-ada saja kan tidurnya. Yang begini ini yang tidak pernah saya temukan pas tidur di rumah. Tapi bukan berarti kalau mau lihat yang begitu kalian harus tidur di Lapas dulu. Cukup baca cerita ini saya yang udah saya tuliskan untuk kalian.


Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

Surat dari Tini Chen: Mengurus Kebebasan

10/10/2019

 
Picture
Kalimat pertama yang ingin aku tulis adalah kebebasan, yang kata dasarnya ‘bebas’. Kata ini bisa diartikan dengan bebas untuk kemana saja, berbuat apa saja, dan banyak pengertian lain lagi.

Dalam kehidupan pribadi setiap orang pastinya mau merasakan kebebasan. Tidak mau dikekang atau diatur oleh siapapun dan apapun, apalagi menyangkut dengan hal yang disukai. Tetapi berbeda dengan kehidupan di dalam penjara. Pasti kebanyakan orang berpikir bahwa penjara itu tempat berkumpulnya para penjahat yang melanggar hukum dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Tetapi kali ini aku ingin mengatakan -bukan bermaksud untuk membela- bahwa pemikiran seperti itu salah. Kebanyakan orang-orang yang masuk ke penjara tidak sepenuhnya karena kesalahan diri sendiri, ada yang dijebak, ditipu, dicelakai. Kebanyakan juga melakukan tindakan melanggar hukum karena desakan ekonomi. Tapi, masih banyak hal lain yang belum orang-orang ketahui. Misalnya, bahwa setiap orang yang berbeda di dalam penjara juga hidup dengan begitu banyak penyesalan. Setiap hari mereka menghitung menit, jam, hari, menanti kebebasannya.

Penjara adalah tempat yang penuh dengan peraturan dan tata tertib yang mau tidak mau harus ditaati dan dilakukan. Untuk mencapai kata ‘bebas’ ini, setiap orang yang ada di penjara berupaya untuk melakukan pengurusan administrasi agar segera “bebas”, seperti PB (Pembebasan Berysarat), CB (Cuti Bersyarat), CMB (Cuti Menjelang Bebas), dan dengan banyak cara lainnya. Di luar sana mungkin kata ‘bebas’ itu adalah suatu hal yang biasa. Tetapi di dalam penjara kata ‘bebas’ itu teramat sangat berharga.


Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.

    Author

    Kumpulan Cerpen 

    Archives

    November 2019
    October 2019
    September 2018
    June 2017
    February 2017
    October 2016
    August 2016
    June 2016
    April 2016
    February 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com