Pada tanggal 2 Agustus 2019, dari Jurnal Perempuan memberikan Pekerjaan Rumah (PR) kepadaku untuk mendeskripsikan perasaan saat pertama kali masuk lapas. Jujur aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya karena perasaannya campur aduk. Masih ingat sekali dalam memoriku yang tidak akan pernah aku lupakan. Pada tanggal 18 Oktober 2016, aku dari Bareskrim Mabes Polri Cawang dipindahkan ke lapas di Jakarta. Sekitar jam 5 sore aku sampai di sini. Kira-kira jam 7 malam aku dimasukkan ke dalam karantina. Saat masuk itu sudah dalam keadaan malam. Ketika sampai, aku langsung bertanya dalam hati, tempat ini sebenarnya penjara atau terminal sih? Waktu aku mau melangkah, ada got kecil seperti tempat penyeberangan seperti saat hendak naik kereta saja. Setelah diantar ke karantina, jujur, aku kaget banget karena ukuran kamarnya sama dengan ukuran kamar aku sendiri. Di rumah, biasanya hanya diisi dua orang sedangkan di sini, kamar itu diisi dengan 23 orang. Dalam hati berpikir bagaimana aku tidurnya? Malamnya aku benar-benar tidak bisa tidur. Kalau mau tidur pun aku harus gantian dengan yang lain. Misalnya, malam ini aku begadang, paginya baru tidur. Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa menangis dan meratapi nasibku. Mau mandi pun aku harus antre dulu. Tidak seperti di rumah, kapanpun mau mandi bisa saja, tidak perlu antre dulu. Dan, malu banget karena kamar mandinya tidak ada pintu. Mau tidak mau aku harus coba untuk adaptasi dengan keadaan. Malam berganti pagi. Pukul 7.30 pagi, saatnya pintu kamar dibuka. Orang-orang semuanya keluar beraktivitas. Ada yang jualan makanan, menawarkan es, jual mute, makanan, dan ambil air panas. Sedangkan, yang di dalam karantina tidak bisa kemana-mana. Jadi, orang-orang akan datang ke karantina. Ada yang mengajak kenalan, tanya-tanya kasus. Ada juga yang cari teman karena memang kebanyakan sudah kenal dari luar. Kami yang di karantina dikasih penyuluhan LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Satu minggu telah berlalu, tiba waktunya aku pindah dari karantina ke kamar tetapku. Awalnya aku berpikir kamarnya akan lebih bagus, ternyata sama saja. Bedanya kali ini isinya cuma 20 orang saja. Oh my God! Hanya tiga kata itu yang keluar dari mulutku. Lihat kamarnya saja sudah buat aku tidak betah. Jadinya, aku sering membandingkan lapas dan rumah tahanan. Kalau di rumah tahanan kamarnya luas, tahanan perempuannya juga sedikit. Bahkan pernah kamarnya dihuni oleh aku seorang diri saja. Di rumah tahanan, makanan yang dikasih enak-enak. Aku juga bebas karena aku bantu-bantu di kantin dan kunjungan juga. Paling enaknya: aku mau masuk kamar atau tidak, itu tidak jadi masalah. Sedangkan di sini, tidur saja sempit-sempitan. Makan kalau mau enak harus order. Mahal lagi harganya. Keadaan yang seperti ini buat aku jadi emosi, menyesal, sekaligus dendam. Sulit buat aku terima keadaan. Apalagi setelah menjalani persidangan. Aku divonis 6 tahun 3 bulan. Bertambah lagi rasa penyesalan dan kekecewaanku. Cuma ada satu hal yang aku ingat sampai sekarang. Setelah aku divonis, hakim berkata: “Tini, jangan pernah kamu untuk naik banding lagi. Terima saja vonisnya karena itu sudah hukuman paling ringan buat kamu”. Rasa kesal itu pasti ada tetapi berjalannya waktu membuat aku berpikir lagi. Mau aku berontak atau apapun itu, tidak akan mengubah kenyataan. Lagipula kalau sudah terbiasa, ini juga bukan tempat yang terlalu buruk. Di sini aku mengenal Tuhan, belajar berdoa, baca Alkitab, dan banyak hal-hal baru yang bisa aku pelajari di tempat ini. Sekarang aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Biar Tuhan saja yang mengatur semuanya karena aku percaya Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Dan, setelah aku memanggil Tuhan, satu hal yang aku pegang dan yang selalu memberikan aku kekuatan dan pengharapan baru adalah rencana Tuhan tidak akan ada yang pernah gagal. Semuanya akan indah pada waktunya. Aku hanya tinggal bersabar menjalani hukuman ku dengan penuh ucapan syukur sampai waktu yang ditentukan Tuhan itu tiba: bebas dari tempat ini. Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.
Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |