Mengenal Beragam Cara Sunat Perempuan WHO (World Health Organization) tahun 2004 menyebutkan setidaknya ada enam cara sunat perempuan. Pertama, menghilangkan bagian permukaan klitoris dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris. Kedua, pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora. Ketiga, pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar diikuti dengan menjahit atau menyempitkan lubang vagina (infibulasi). Keempat, menusuk, melubangi klitoris dan labia, atau merapatkan klitoris dan labia, diikuti tindakan memelarkan dengan jalan membakar klitoris atau jaringan di sekitarnya. Kelima, merusak jaringan di sekitar lubang vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cuts). Keenam, memasukkan bahan-bahan atau tumbuhan yang merusak ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan demi menyempitkan vagina. Semua cara tersebut oleh WHO dinyatakan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan harus diakhiri. Lalu, siapa yang berhak melakukan sunat perempuan? Umumnya, sunat dikerjakan oleh para perempuan yang dituakan dalam masyarakat, dan biasanya mereka berprofesi sebagai dukun, bidan, perawat dan dokter. Umumnya, sunat perempuan selalu mengakibatkan sakit yang luar biasa, baik pada saat berlangsungnya maupun setelah sunat. Sungguh aneh karena kebanyakan sunat perempuan justru dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, dan jarang dilaksanakan oleh laki-laki. Artinya, seharusnya perempuan menjadi peka melihat perlakuan tidak manusiawi terhadap kaumnya dan segera memutuskan untuk tidak mengulangi kesalahan yang fatal tersebut. Kapan pelaksanaan sunat perempuan? Tidak ada waktu yang ditentukan, setiap masyarakat punya kebiasaan yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dalam praktiknya, ditemukan sangat bervariasi, biasanya tergantung pada adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Umumnya, sunat perempuan dilakukan pada saat anak perempuan masih dalam usia bayi, yaitu ketika berusia antara 7 sampai 10 tahun. Akan tetapi, di beberapa negara, seperti pada masyarakat Somalia sunat perempuan seringkali dilakukan pada usia 17 sampai 60 tahun. Sedangkan di Etiopia usia sunat perempuan biasanya dilakukan pada kisaran usia yang lebih tua antara 30 dan 52 tahun. Umumnya, yang paling banyak dilakukan adalah ketika anak perempuan masih balita, yakni antara 4 sampai 7 tahun. Sementara di Indonesia, umumnya sunat dilakukan saat anak perempuan masih bayi, yaitu pada hari ke-7 setelah kelahiran, dan biasanya dilakukan oleh dukun bayi dan tenaga medis, seperti bidan dan dokter. Praktik sunat perempuan dalam masyarakat pun mengambil beragam bentuk, terdapat perbedaan cara yang signifikan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dijumpai cara sunat yang membahayakan tubuh perempuan, dan bahkan dapat mengancam nyawa perempuan, seperti kebiasaan masyarakat di sebagian wilayah Afrika. Di wilayah tersebut, sunat perempuan dilakukan secara ekstrim, yakni dengan menyayat sebagian besar atau seluruh bagian klitoris. Tidak semua praktik sunat dilakukan secara sadis dan kejam. Dalam praktiknya terdapat masyarakat yang melakukan sunat dengan hanya memotong sedikit ujung klitoris. Bahkan, ada juga cara sunat yang tidak memotong klitoris sama sekali, hanya memoles klitoris dengan kunyit yang sudah dibuang kulitnya. Cara sunat yang sadis dalam bentuk excision atau clitorydectomy umumnya dilakukan dengan memotong klitoris yang sering diikuti dengan pengangkatan labia minora. Adapun sunat dengan cara infibulasi atau pharaonic circumcision dilakukan dengan memotong klitoris yang diikuti dengan pengangkatan labia mayora serta menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan secara alami jaringan yang terluka dengan menggunakan benang atau lainnya. Sunat dalam bentuk infibulasi amat membahayakan kesehatan dan merusak alat reproduksi perempuan karena menutup lubang vagina dan cuma menyisakan lubang kecil sebesar kepala korek api untuk keluarnya cairan menstruasi. Tambahan pula, praktik sunat perempuan yang ekstrim tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pemotong tradisional yang tidak steril, seperti gunting, pinset, pecahan kaca, besi tipis, jarum atau benda-benda tajam lainnya. Cara lain yang tidak kalah sadisnya adalah sunat dalam bentuk infibulasi. Secara bahasa, kata infibulasi berasal dari bahasa Romawi “fibula” yang artinya menyatukan atau menempelkan. Saat itu, masyarakat Romawi menerapkan praktik infibulasi pada para budak perempuan untuk meningkatkan daya jual mereka di pasar. Sementara masyarakat Mesir mengadopsi praktik infibulasi ini untuk tujuan membuat perempuan Mesir lebih diminati dan sekaligus untuk menjaga keperawanan mereka. Perempuan yang diinfibulasi tidak akan memiliki besar lubang vagina yang normal. Tujuan utama infibulasi adalah mempertahankan virginitas atau keperawanan perempuan yang belum menikah. Karena itu, lubang vagina sengaja diperkecil agar perempuan merasa sakit dan tidak nyaman jika melakukan hubungan seksual. Jika perempuan yang mengalami infibulasi hendak melakukan hubungan seksual, maka bekas jahitan tersebut harus dibuka kembali atau defibulasi, dan nantinya juga akan dibuka lebih lebar lagi untuk kepentingan persalinan. Sunat perempuan pada masyarakat Indonesia pun dilakukan dengan beragam cara. Diantaranya, dengan memotong sedikit atau melukai sebagian kecil alat kelamin bagian luar atau ujung klitoris. Tidak sedikit masyarakat Islam melakukannya secara simbolis, yaitu dengan menorehkan kunyit yang sudah dibuang kulitnya pada bagian klitoris bayi atau anak perempuan. Sejumlah hasil observasi terhadap sunat perempuan di Indonesia menunjukkan, telah terjadi pemotongan genitalia sekitar 75% kasus, dan dari kasus tersebut, banyak yang mengeluhkan timbulnya rasa sakit. Hal ini membuktikan, sunat perempuan yang dilakukan biasanya tanpa persetujuan, baik dari anak perempuan itu sendiri maupun dari orang tua mereka, dan yang paling penting, sunat perempuan ternyata tidak memberikan manfaat apa pun. Bahkan, sunat perempuan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama, hak anak dan hak seksualitas, serta hak dan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dijamin dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1990. Menarik dicatat, ada kecenderungan menguatnya praktik sunat perempuan setelah era reformasi seiring dengan menguatnya gerakan islamisme di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru. Di masa Orde Baru tidak terdengar gerakan sunat perempuan seperti terjadi akhir-akhir ini, bahkan di beberapa tempat muncul gerakan sunat massal bagi perempuan. Sebelumnya, sunat massal hanya dikenal bagi anak laki-laki. Pada tahun 2004 penulis mengunjungi kegiatan sunat massal bagi perempuan yang mengerikan di sejumlah wilayah, antara lain di daerah Jawa Barat dan Madura. Penulis menyaksikan secara langsung di Pesantren As-Salam, Jawa Barat kegiatan sunat massal bagi perempuan dan terkumpul sebanyak lebih 120 orang perempuan, mulai dari usia bayi sampai 60 tahun. Mereka disunat dengan menggunakan gunting dan bagian klitoris yang dipotong cukup besar sehingga menimbulkan pendarahan yang parah. Sampai sekarang penulis merasa trauma dan tidak dapat melupakan bunyi dentingan gunting para bidan yang melakukan sunat perempuan di tempat itu. Melacak Sejarah Sunat Perempuan Istilah sunat dalam bahasa Arab adalah khitan. Kata itu secara etimologis berarti memotong. Berbagai buku fikih klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah atau ujung kepala penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh berasal dari kata khafdh artinya memotong ujung klitoris pada vagina. Sejumlah studi menyimpulkan, sunat perempuan dilakukan pertama kali di kawasan Mesir sebagai bagian dari upacara adat yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Tradisi sunat perempuan di Mesir merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan orang-orang Romawi yang saat itu tinggal di Mesir. Data-data historis mengungkapkan, sunat perempuan telah diperkenalkan dalam kitab suci Taurat yang dibawa Nabi Musa as untuk diimani dan ditaati orang-orang Yahudi dari bangsa Israel. Akan tetapi, jauh sebelumnya tradisi sunat telah dilakukan Nabi Ibrahim as dan diyakini sebagai petunjuk yang datang dari Tuhan. Sunat dalam kitab Taurat dijadikan sebagai tanda yang membedakan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain. Tanda ini terkait dengan janji kedatangan Mesias (Nabi Isa as.) yang akan turun dari garis keturunan bangsa Israel, khususnya orang-orang Yahudi. Selain itu, sunat pada zaman tersebut hanya dikhususkan untuk laki-laki, sedangkan perempuan tidak diperkenankan. Sampai kini, sunat perempuan dalam realitas sosiologis masih banyak dilakukan di negara-negara Islam atau wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim. Paling tidak, tradisi ini dilakukan pada lebih dari duapuluh negara Islam, khususnya di lingkungan masyarakat Muslim bermazhab Syafii di Afrika misalnya, negara Mesir, Kamerun, Kenya, Tanzania, Ghana, Mauritania, Sierra Leone, Cad, Botswana, Mali, Sudan, Somalia, Etiopia, dan Nigeria. Sedangkan di Asia, praktik ini umumnya dilakukan di lingkungan masyarakat Muslim, seperti Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Menarik dicatat, tradisi sunat juga dilakukan umat Islam yang tinggal di Amerika Latin, seperti Brasil, Meksiko bagian Timur, dan Peru. Masyarakat Muslim yang bermukim di beberapa negara Barat, seperti Belanda, Swedia, Inggris, Prancis, Amerika, Kanada, Australia, juga masih melakukan sunat perempuan, meski undang-undang setempat telah melarangnya. Selain itu, sunat perempuan ini juga dipraktikkan di Uni Emirat Arab, Yaman Selatan, Bahrain, dan Oman. Perlu dicatat, praktik sunat perempuan bukan hanya ditemukan di kalangan Muslim, tetapi juga ditemukan di lingkungan non-Muslim, seperti penganut Kristen Koptik di Mesir, penganut Yahudi di Palestina. Akan tetapi, menarik juga diungkapkan bahwa praktik sunat perempuan justru tidak umum dilakukan di wilayah asal turunnya Islam, yaitu Arab Saudi. Demikian pula wilayah Islam lainnya, seperti Suriah, Lebanon, Iran, Irak, Yordania, Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Bahkan, di Turki yang bermazhab Hanafi, tidak mengenal praktik sunat perempuan. Begitu juga di Afghanistan dan negara-negara Islam di Afrika lainnya. Pengalaman penulis ketika berkunjung ke Suriah tahun 2000 menemukan bahwa kelompok perempuan terpelajar di sana sama sekali tidak mengetahui tentang sunat perempuan, dan beberapa perempuan yang penulis temui mengaku tidak disunat. Berbagai Alasan dan Tujuan Sunat Perempuan Secara ringkas alasan dan tujuan sunat perempuan dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, untuk menjaga kelangsungan identitas budaya. Ada anggapan di masyarakat, menjalankan ritual tradisi atau budaya merupakan tahap inisiasi yang penting bagi seorang perempuan untuk memasuki tahap kedewasaan dan menjadi bagian resmi dari sebuah kelompok masyarakat. Kedua, untuk menjaga kelanggengan relasi gender yang timpang dan tidak adil. Pengangkatan klitoris dianggap sebagai proses penghilangan organ laki-laki pada tubuh perempuan sehingga feminitas perempuan akan sempurna. Selain itu, praktik sunat ini juga dimaksudkan untuk membentuk kepatuhan dan kelemahan perempuan dengan trauma yang didapatkan sehingga perempuan mendapat pengajaran tentang perannya dalam masyarakat. Sunat menjadikan perempuan meyakini bahwa dirinya adalah inferior dan subordinat laki-laki. Dalam hal ini, alasan sosiologis lebih menguat, yakni untuk identifikasi warisan budaya, inisiasi anak perempuan memasuki tahapan kedewasaan, integrasi sosial dan pemeliharaan kohesi sosial. Ketiga, untuk menjaga dan mengontrol seksualitas serta fungsi reproduksi perempuan. Masyarakat meyakini bahwa sunat membuat gairah seksual perempuan dapat dikontrol. Perempuan dilarang memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu karena akan membahayakan masyarakat. Sebab, jika perempuan tidak bisa menahan rangsangan seksualitasnya akan terjerumus ke dalam praktik seks di luar nikah. Bahkan, lebih jauh dari itu, perempuan yang tidak disunat akan sangat diragukan kesetiaannya terhadap pasangan atau suami. Perempuan harus disunat agar kelak tidak tergoda menjadi pelacur atau penjaja seks. Perempuan tidak dimaksudkan untuk menikmati kepuasan seksual, melainkan diciptakan untuk memberi kepuasan seksual pada laki-laki. Inilah pandangan bias gender yang merebak luas di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa sunat bagi perempuan lebih kepada alasan psikoseksual. Tujuannya, mengurangi atau menghilangkan bagian yang sensitif di sekitar vagina, terutama klitoris. Dengan demikian dimaksudkan untuk mengekang keinginan seksual perempuan, menjaga dan memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah; dan menjaga kesetiaan perempuan dalam pernikahan; sebaliknya menambah kenikmatan seksual laki-laki. Sunat juga diyakini sebagai upaya meningkatkan kesuburan perempuan dan menjamin lancarnya persalinan. Keempat, untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan keindahan tubuh perempuan. Sunat perempuan yang dilakukan masyarakat biasanya dikaitkan dengan tindakan penyucian diri bagi perempuan. Selain itu, dengan alasan ini masyarakat percaya perempuan akan menjadi lebih subur dan mudah melahirkan. Jadi, sunat dilakukan lebih untuk kepentingan laki-laki yang akan menjadi pasangan perempuan. Alasan kebersihan dan keindahan menjadi jelas karena anggapan masyarakat bahwa bagian tubuh perempuan, terutama bagian klitoris yang menonjol keluar dianggap kotor dan tidak enak dipandang sehingga harus dibuang untuk kebersihan dan agar tampak lebih menarik. Kelima, untuk alasan keagamaan. Umumnya umat Islam yang melakukan sunat perempuan menyebut alasan keagamaan. Mereka meyakini sunat sebagai kewajiban dalam Islam, walau secara historis sunat bukan diperkenalkan oleh Islam karena sudah dipraktikkan jauh sebelum datangnya Islam. Masyarakat menganggap sunat bagi laki-laki atau perempuan adalah simbol keislaman. Melakukan sunat dianggap sebagai proses mengislamkan. Jika tidak disunat tidak diperkenankan membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu. Menurut penulis, pemahaman tersebut sungguh keliru karena keislaman dan keimanan seseorang tidak dapat dilihat dari apakah seseorang itu disunat atau tidak disunat. Bahkan, sunat tidak termasuk dalam pembicaraan tentang rukun Islam dan rukun iman. Seluruh umat Islam sepakat bahwa rukun Islam ada lima, yakni syahadat, salat lima waktu, puasa, zakat dan haji bagi mereka yang mampu. Seluruh umat Islam juga hampir sepakat bahwa rukun iman ada 6 yaitu iman kepada Allah swt, para Rasul, Kitab-kitab Allah, Para malaikat, hari akhirat dan takdir. Memahami Bahaya Sunat Perempuan Sepintas terlihat bahwa isu sunat perempuan adalah urusan agama, tetapi jika disimak lebih saksama akan terkuak sejumlah kepentingan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Memang betul sejumlah penelitian mengungkapkan ada alasan bersifat teologis mengapa para orang tua melakukan sunat terhadap anak perempuan atau mengapa para perempuan yang sudah berumur tetap memaksakan diri untuk disunat. Umumnya mereka menjelaskan, sunat adalah kewajiban seorang Muslim dan Muslimah karena menjadi simbol keislaman. Mereka meyakini, kalau seseorang belum disunat berarti belum sempurna keislamannya. Namun, persoalan sunat perempuan dalam masyarakat hendaknya dipahami bukan sekadar urusan agama atau adat-tradisi, melainkan ada unsur motivasi yang lebih kuat, yakni upaya melanggengkan nilai-nilai patriarkal dan bias gender demi kepentingan dan kesenangan kaum laki-laki. Fatalnya, semua ini dilakukan dengan justifikasi teks-teks suci Alquran dan hadis Nabi. Alasan lain yang mengemuka dalam praktik sunat perempuan adalah untuk tujuan membangun “eksistensi perempuan” agar lebih islami. Banyak keluarga muda yang orang tuanya sendiri tidak mempraktikkan sunat perempuan, tapi mereka justru mempratikkan sunat pada anak perempuannya dengan alasan memenuhi anjuran agama agar menjadi lebih islami. Selain itu, praktik sunat perempuan dalam masyarakat Indonesia lebih karena alasan tradisi budaya dan motif ekonomi. Seringkali profesi sebagai bidan atau dukun yang melakukan sunat perempuan merupakan pekerjaan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari seorang ibu kepada anaknya, dan itu seringkali menghasilkan pendapatan yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Akibatnya, kalau praktik sunat perempuan dihilangkan, otomatis pendapatan keluarga juga akan hilang. Sementara itu, di kalangan tenaga medis sunat perempuan juga tak kalah memberikan masukan ekonomi untuk mereka. Para bidan atau tenaga medis lainnya, baik di rumah sakit atau klinik pribadi tak jarang menjadikan sunat perempuan sebagai layanan satu paket dengan tindik telinga dan melahirkan. Institusi tersebut biasanya sudah mematok tarif satu paket dan tidak mau menghilangkan item tambahan biaya untuk tindik dan sunat tersebut. Tidak heran sering muncul keluhan orang tua yang keberatan anaknya ditindik dan disunat karena dilakukan tanpa seizin dan sepengetahuannya. Dilihat dari fungsi dan manfaatnya, sunat bagi perempuan sangat berbeda dengan sunat bagi laki-laki. Sunat bagi laki-laki terbukti membawa kebaikan dan manfaat terkait kesehatan dan kebersihan tubuhnya. Hal itu karena kulit yang terletak pada ujung penis yang biasa jadi sarang penyakit dibuang atau dipotong. Dengan demikian, tujuan sunat bagi laki-laki adalah menjadikan penis atau organ seksualnya lebih sehat dan bersih, bahkan menjadi suci dari segala najis yang melekat. Selain itu, menjadikan laki-laki dapat lebih menikmati hubungan seksual ketika menikah nanti. Akan tetapi, sangat berbeda dengan laki-laki, sunat pada perempuan justru dapat menimbulkan masalah kesehatan pada perempuan. Sebab, segala jenis operasi pada organ genital perempuan akan menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan juga gangguan psikis yang serius pada perempuan. Gangguan fisik dan psikis ini bisa terjadi dalam waktu jangka pendek, atau dapat juga muncul dalam jangka panjang. Ini tergantung pada tingkat ketahanan diri perempuan, keadaan lingkungan psikososial, dan faktor-faktor lainnya. Secara psikologis, sunat perempuan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, untuk mengurangi gairah seks perempuan. Tapi, justru inilah yang kemudian berdampak buruk bagi perempuan. Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual, sunat perempuan ini dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna. Secara fisik, dampak langsung sunat pada perempuan juga akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, shock, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar vagina. Pendarahan dan infeksi ini pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula, bahkan membawa risiko berupa kematian. Sementara dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual adalah timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, serta kesulitan saat melahirkan. Sunat Perempuan dalam Perspektif Islam Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai kesetaraan semua manusia dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu, Islam mengajarkan bahwa kenikmatan seksual merupakan hak bagi perempuan dan laki-laki, hak kedua belah pihak, istri dan suami. Secara tegas Alquran mengilustrasikan istri dan suami seperti pakaian satu sama lain, keduanya harus saling melengkapi dan saling mengisi. Bagi keduanya Allah swt telah menjadikan cinta dan kasih sayang yang tak bertepi.[1] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tradisi sunat telah dilakukan sejak masa nabi Ibrahim as, jauh sebelum Islam. Di semenanjung Arab, tradisi sunat perempuan telah dipraktikkan pada zaman Jahiliyah sebelum kehadiran Nabi Muhammad saw. Alquran sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam Islam sama sekali tidak mencantumkan perintah sunat, baik bagi laki-laki apalagi untuk perempuan. Alquran hanya menyebut sebuah ayat yang memerintahkan manusia mengikuti ajaran (millah) Nabi Ibrahim as.[2] Ayat itulah kemudian ditafsirkan sebagai perintah mengikuti tradisi Ibrahim, termasuk tradisi sunat bagi laki-laki. Tradisi sunat perempuan yang berkembang di berbagai lapisan masyarakat Muslim di Indonesia, terutama sejak era reformasi ini, muncul karena kekeliruan dalam menafsirkan ajaran Islam. Akibat keliru menafsirkan, sebagian umat Islam menganggap praktik sunat bagi laki dan perempuan adalah keharusan dan bahkan dianggap sebagai syarat bagi keislaman seseorang. Hal paling penting dicatat, tidak ada perintah yang tegas dalam Alquran untuk melakukan sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian pula, tidak ada perintah agama agar organ vital perempuan, khususnya klitoris dipotong, dilukai atau dihilangkan. Hadis-hadis yang menguatkan tradisi sunat bagi laki-laki hanya menyebutkan bahwa sunat itu merupakan salah satu dari fitrah manusia yang lima, yakni: khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. Artinya, sunat bagi laki-laki hanyalah merupakan salah satu bentuk fitrah manusia. Seperti dijelaskan dalam dua hadis riwayat Muslim dan Nasa’i berikut: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ. رواه مسلم. أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ بِشْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَنَتْفُ الضَّبْعِ وَتَقْلِيمُ الظُّفْرِ وَتَقْصِيرُ الشَّارِبِ وَقَفَهُ مَالِكٌ. رواه النسائي. Lalu, mengapa muncul pandangan bahwa Islam menganjurkan sunat perempuan? Adapun argumen teologis yang sering digunakan oleh kelompok pro-sunat perempuan bukan berasal dari Alquran, melainkan hanya diambil dari kitab fikih, dan itu pun hanya didasarkan pada sejumlah hadis lemah (dhaif), antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal: حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ يَعْنِي ابْنَ الْعَوَّامِ عَنِ الْحَجَّاجِ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ. رواه أحمد. Artinya: Khitan (sunat) itu dianjurkan untuk laki-laki (sunnah), dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi perempuan. Jelas bahwa hukum sunat bagi laki-laki bukan wajib sebagaimana diyakini banyak orang Islam, melainkan hanyalah anjuran atau dalam istilah hukumnya disebut sunah. Sunah artinya suatu perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Selanjutnya, dalam hadis tersebut dikatakan, sunat perempuan bukanlah anjuran seperti halnya sunat laki-laki, melainkan sekadar kebolehan, tidak ada konsekuensi hukum sama sekali. Walaupun disebutkan dalam hadis tersebut sebagai suatu kebolehan, tetapi dalam banyak hadis lain ditegaskan, kalau pun seseorang mau melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina. Misalnya, Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit saja pada kulit atas perpuce atau kulit yang meliputi klitoris, dan jangan potong terlalu dalam (jangan memotong klitoris), agar wajah perempuan lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya.” Bahkan, Ahmad ibn Hanbal menyampaikan hadis lain yang mengatakan, praktik sunat tidak diperintahkan pada masa Rasul saw. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْحَرَّانِيُّ عَن ابْنِ إِسْحَاقَ يَعْنِي مُحَمَّدًا عَنْ عُبَيِدِ اللَّهِ أَوْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ كَرِيزٍ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ إِنَّا كُنَّا لَا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نُدْعَى لَهُ. رواه أحمد. Sejumlah kajian hadis menyimpulkan, hadis-hadis tentang sunat perempuan jika dilihat dari perspektif sanadnya, maka tidak ada yang mencapai derajat hasan atau sahih. Hadis-hadis yang ada justru hanya membolehkan pemotongan sedikit sekali pada bagian prepuce perempuan. Bahkan, ada nada ancaman agar pelaksanaan sunat perempuan tidak sampai membahayakan perempuan. Artinya, kalaupun Islam membolehkan praktik sunat perempuan, maka itu semata-mata demi menghormati tradisi nenek-moyang sebelum Islam, yakni tradisi Nabi Ibrahim as. Akan tetapi, pelaksanaannya harus dipastikan tidak menimbulkan kemudaratan (dharar) bagi perempuan. Tambahan lagi, seluruh kitab hadis utama atau sering disebut Kitab Enam (al-kutub al-sittah) tidak memuat hadis-hadis tentang sunat perempuan, kecuali kitab Sunan Abu Dawud. Meski begitu, Abu Dawud sendiri mengakui bahwa teks hadis terkait sunat perempuan dalam kitabnya itu berstatus lemah (dhaif) dan hadis yang dimaksudkan itu adalah teks hadis dari Ummu Athiyah.[3] Masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk juga masyarakat Islam, telah berupaya menghapuskan berbagai praktik sunat perempuan karena amat membahayakan kesehatan tubuh dan juga jiwa perempuan. Bahkan, dalam banyak kasus ditemukan sunat perempuan adalah suatu bentuk upaya menindas dan menghancurkan kemanusiaan perempuan. Sebagai contoh, di negeri Mesir telah ditetapkan undang-undang yang melarang keras pelaksanaan sunat perempuan. Undang-undang tersebut merujuk pada Fatwa Ulama Mesir Tahun 2007 yang melarang pelaksanaan sunat perempuan. Demikian pula di tingkat internasional, PBB melalui Pasal 12 CEDAW (Konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan) secara tegas melarang praktik sunat perempuan dan menganggapnya sebagai bentuk nyata kekerasan terhadap perempuan. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa sunat perempuan harus dihentikan pelaksanaannya. Disamping karena tidak memberikan manfaat medis sedikit pun bagi perempuan, malah yang terjadi adalah perusakan tubuh perempuan dengan cara memotong, melukai atau menghilangkan bagian dari alat vital perempuan yang penting terkait fungsi yang paling utama dalam kehidupan manusia, yakni fungsi reproduksi. Praktik sunat perempuan dalam fakta di lapangan lebih banyak menimbulkan kemudaratan karena dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam secara tegas mengatakan, kalau suatu perbuatan lebih banyak mendatangkan mudarat (keburukan, bahaya dan bencana) dari pada kemaslahatan (kebaikan, faedah dan manfaat), maka perbuatan itu dinilai makruh dan harus ditinggalkan. Landasan hukumnya sangat jelas, yakni kaidah hukum Islam berbunyi: la dharara wa la dhirar. Maksudnya, segala bentuk tindakan yang mengakibatkan kemudaratan dan kerusakan bagi tubuh manusia harus dihapuskan. Namun, alasan yang sangat pokok adalah karena tidak ada satu pun ayat Alquran—sebagai sumber paling mendasar dalam hukum Islam—yang memerintahkan pelaksanaan sunat perempuan. Yang pasti, sunat hanyalah sebuah tradisi yang telah dilestarikan selama berabad-abad jauh sebelum Islam turun sehingga masyarakat, terutama umat Islam, sulit meninggalkannya dan bahkan memandangnya sebagai bagian dari ajaran agama. Keislaman dan keimanan seorang Muslim dan Muslimah tidaklah ditentukan oleh sunat, melainkan seberapa jauh dia beriman kepada Allah swt dan melakukan amal-amal saleh yang memberi manfaat kepada sesama manusia dan juga kepada makhluk lain. Agama Islam diturunkan untuk membawa kemaslahatan bagi semua manusia: perempuan dan laki-laki, bukan kemudaratan dan kerusakan. Bahkan, Islam datang membawa rahmat bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Wallahu a’lam bi ash-shawab. Catatan Belakang [1] Lihat Alquran surah al-Baqarah, 2:187 dan ar-Ruum, 30:21. [2] Alquran, surah al-Nahl, 16:123. [3] Ibn al-Atsir, Jami’al-Ushul, juz V h. 348, No. hadis 2936.
ini tidak ada sumber referensinya?
1/7/2016 09:28:48 am
ini tidak ada sumber referensinya? Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|