Dosen Fakultas Hukum, University of Wollongong, Rais Syuriah PCI NU ANZ
(nhosen@gmail.com)

Khawlah pun mendatangi Nabi dan meminta keadilan. Khawlah kecewa karena Sang Nabi mengindikasikan bahwa adat setempat masih berlaku sampai Allah menganulirnya. Dan Muhammad, sang manusia agung itu belum berani mengambil keputusan selama Allah belum menurunkan wahyu. Khawlah terus memohon keadilan pada Allah dan menunggu di dekat sang Nabi, seraya berharap ada wahyu yang turun merespons jeritan nurani Khawlah.
Allah pun berkenan merespon Khawlah: “Allah benar-benar telah mendengar wanita yang mendebatmu (wahai Nabi) tentang hal ihwal suaminya yang menjatuhkan sumpah zhihar kepadanya dan mengeluhkannya kepada Allah. Allah mendengar perkataan yang kalian berdua perdebatkan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu.… Sesungguhnya mereka mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS 58:1-2)
Berkat kegigihan Khawlah memperjuangkan keadilan, sebuah surat dalam Alquran dinamai al-mujadilah (perempuan yang menggugat). Lewat jeritan keadilan Khawlah, Allah menurunkan ketentuan baru mengenai praktik zhihar dalam adat masyarakat Arab. Siti Aisyah, yang kelak juga mengadu pada Allah meminta keadilan saat dituduh berbuat zina dan kemudian dibela Allah dalam Alquran, memuji Khawlah dan juga Allah SWT atas peristiwa “al-mujadilah” ini.
Begitulah, Profesor Ingrid Mattson menekankan bagaimana pesan keadilan yang disuarakan perempuan biasa-biasa saja seperti Khawlah, bisa langsung direspons oleh Allah. Keadilan tidak mengenal jenis kelamin. “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil” (QS 5: 8). Wa Allahu a’lam.