Berdoa untuk korban Oleh: Gadis Arivia She was pure. She was innocent. She hurt no-one. She loved all. She cared for all. She was life and the source of life. Like all women of the world she was precious and a joy to behold but she had one sin. She was born a woman, and so she paid for that “sin” with her life. Rest in peace, precious one… Untaian kata-kata tersebut mengalir dari salah seorang pembaca Huffingtonpost yang berduka karena seorang perempuan yang diperkosa di India baru saja meninggal dunia di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada tanggal 29 Desember 2012. Tim dokter spesialis transplantasi multi-organ yang terdiri dari delapan orang tak kuasa menyelamatkan hidupnya. Mahasiswi fisioterapi yang berusia 23 tahun itu, memang sudah dalam keadaan kritis, ketika sampai di Singapura setelah 10 hari di India keadaannya tak membaik. Dr. Kevin Loh mengatakan bahwa sang korban sudah berjuang untuk hidupnya semaksimal mungkin, namun, tubuhnya mengalami kegagalan organ, luka-luka serius dan trauma hebat yang tak mungkin bisa ditolong. Secara khusus, ia mengalami kerusakan otak, serangan jantung dan infeksi tenggorokan dan abdomen. Ususnya telah dikeluarkan akibat luka parah yang diakibatkan oleh besi panjang yang dipakai pelaku untuk memerkosanya. Tak dapat dibayangkan kengerian dan kesadisan tindakan perkosaan ini. Tak dapat dibayangkan penderitaan yang ditanggung oleh perempuan muda ini. Apakah salah perempuan ini sehingga menerima perlakuan yang tak manusiawi? Pada malam naas itu, tanggal 16 Desember 2012, ia, seperti perempuan muda lainnya, pulang menonton film bersama seorang teman laki-laki dan mereka menumpang sebuah bis umum. Enam laki-laki menyergap mereka dan memerkosa perempuan muda tersebut selama diperjalanan sementara temannya dihajar hingga babak belur. Setelah selesai dengan perbuatan terkutuk itu, keduanya dilempar ke tepi jalan. Tak ada yang tahu mengapa hal ini terjadi, dan masyarakat India terus bertanya mengapa? Mengapa? Mengapa? Sehari setelah kejadian perkosaan yang keji itu, masyarakat India, tua dan muda, laki-laki dan perempuan berdemonstrasi besar-besaran hingga berakhir dengan kekerasan. Kota Delhi pun lumpuh. Perempuan telah muak dan meminta penjelasan mengapa? Mengapa perempuan diperkosa? Mengapa? Perkosaan bukan soal seks kendati banyak majalah dan koran gemar mengumbar berita perkosaan dengan muatan seksual. Perkosaan adalah soal dominasi dan kekuasaan. Laki-laki yang memerkosa perempuan bukan menikmati seks tapi menikmati kontrol untuk menjadikan perempuan sebagai obyek. Dominasi terhadap perempuan dianggap bagian dari “kelaki-lakian” dan didukung oleh masyarakat patriarkis. Dominasi dan kontrol dianggap membuktikan kejantanan, identitas laki-laki sejati. Ada rasa puas pada laki-laki untuk menyiksa perempuan baik secara verbal maupun fisik bahkan berusaha menjustifikasi penyiksaan mereka terhadap perempuan. Sebab bagi mereka perempuan bukan subyek melainkan obyek, oleh sebab itu, juga bukan manusia melainkan binatang. Dominasi sebuah obyek atau binatang memberikan sebuah kepuasan. “Anjing”, “babi”,“sapi”, “kambing”, “monyet”…sama dengan perempuan. Bukankah bupati Garut, Aceng Fikri, juga menggambarkan mantan istri mudanya sebagai obyek, “baju”? Karena ia tidak melihat perempuan yang dinikahinya sebagai manusia melainkan “baju”, maka, tentu dengan mudah ia melepaskannya. Sebab menurutnya, “baju yang robek” memang tidak pantas dipakai. Pandangan laki-laki yang melecehkan perempuan seperti Aceng Fikri di Indonesia tidak sedikit. Sedihnya, pandangan-pandangan menyakitkan itu tidak jarang datang dari pejabat publik. Masih ingatkah anda kontroversi pernyataan Mendikbud soal korban perkosaan pada bulan November lalu? Mungkin perlu saya ingatkan lagi. Sang Menteri memberikan komentar tentang korban perkosaan yang masih berusia sangat muda bahwa perkosaan itu bisa saja terjadi “karena sama-sama senang, mengaku diperkosa”. Pernyataan yang menurut saya sangat tidak pantas muncrat dari mulut seorang Menteri Pendidikan. Ia tidak pernah belajar. Padahal tiga bulan sebelumnya telah terjadi perkosaan yang mengenaskan. Pak Menteri lupa dengan kasus Livia Pavita Soelistio yang dibunuh oleh supir angkot M24 pada tanggal 16 Agustus 2012 setelah diperkosa bergiliran. Tubuhnya dibuang di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten. Tahun 2012 adalah tahun yang menyedihkan untuk perempuan bukan saja di Indonesia tapi di dunia. Malala Yousafzai ditembak tepat di kepalanya oleh kelompok Taliban hanya karena ia giat menganjurkan anak-anak perempuan untuk sekolah. Gilakah Taliban? Gilakah laki-laki? Beberapa peneliti telah lama melakukan studi “kegilaan” laki-laki. Mereka rupanya sudah gila sejak lama. Seorang dokter Yunani, Aetius (502-575), dikabarkan adalah laki-laki yang gemar memotong klitoris perempuan. Ia berpendapat bahwa klitoris perempuan sebaiknya “dipotong sebelum menjadi panjang”. Para dokter Yunani ketika itu percaya bahwa klitoris dapat menjadi panjang seperti penis dan ini akan membahayakan laki-laki. Bahkan di abad ke-19, seorang dokter bernama Dr. Isaac Baker Brown beranggapan perempuan harus disunat agar tidak bermasturbasi. Dokter ini memandang bahaya bila perempuan bermasturbasi karena lagi-lagi membahayakan laki-laki. Sikap paranoid laki-laki terhadap perempuan sering ditemukan di dalam sejarah. Bila awalnya klitoris menjadi sesuatu yang dapat membahayakan laki-laki, pada perkembangannya bukan saja klitoris tapi payudara, paha, leher hingga rambut dianggap berbahaya sehingga harus ditutup rapat. Kajian feminis menganggap bahwa sikap paranoid yang berlebihan kepada perempuan menimbulkan sikap misoginis, yakni, kebencian terhadap perempuan. Benarkah laki-laki membenci perempuan? Marilyn French penulis buku “The War Against Women” (1992), sangat menyakini bahwa ada usaha memerangi perempuan. Perempuan diserang dari segala penjuru. Ia mengatakan bahwa perang terhadap perempuan dilakukan secara sistematis. Perempuan menurutnya diserang oleh agama agar perempuan menjadi penurut, oleh Negara agar kebijakan-kebijakan publik terhadap perempuan dapat dikontrol, oleh ekonomi, politik dan bahkan pendidikan. Perempuan dikepung dibuat tak berdaya dan dibatasi. Bahkan perempuan sebagai “personhood”pun tidak diakui. Bukankah nama perempuan pun sering hilang dan digantikan dengan nama akhir ayahnya atau suaminya? Namanya sendiri tidak pernah eksis. Kebencian laki-laki terhadap perempuan sudah mendarah daging dan di luar imajinasi siapapun. Kebencian merupakan kata di luar batas penjelasan. Kebencian terhadap perempuan memang selalu tidak ada penjelasan. Bagaimana menjelaskan perkosaan di India yang sangat keji itu? Bagaimana menjelaskan perlunya memerkosa dengan menggunakan besi panjang yang menghancurkan organ-organ vital anak perempuan itu? Kebencian menciptakan iklim kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan menciptakan perempuan menjadi manusia penakut. Ia takut berjalan di jalanan umum, siang maupun malam hari. Ia takut bersuara di muka publik. Ia takut memperlihatkan tubuh dan rambutnya. Ia takut bersekolah tinggi-tinggi. Ia takut dimarahi suami, pemuka agama bahkan bupati dan menteri. Manusia penakut adalah perempuan. Tentu saya tidak ingin mengakhiri tulisan ini dengan pernyataan bahwa perempuan telah menjadi manusia penakut. Sebab seharusnya rasa takut hanya dialami generasi terdahulu, generasi tak tercerahkan. Generasi sekarang yang telah diperjuangkan oleh Kartini dan seabreg aktifis perempuan seharusnya tidak menjadi manusia penakut lagi. Bila generasi sekarang masih saja takut bagaimana generasi mendatang? Akankah kita mengajarkan anak-anak perempuan kita untuk takut terus menerus? Ketika anak perempuan India yang malang itu meninggal dunia di hari Sabtu, Pemerintah India berjaga-jaga sebab demonstrasi besar-besaran perempuan India pernah melumpuhkan ibu kota berhari-hari saat perempuan muda itu baru saja diperkosa. Kini perempuan itu telah mati. Pemerintah memang sedang takut. Selamat menyambut 2013.
Jane Ardaneshwari
4/1/2013 10:22:25 am
Saya iri terhadap India. Saya bukannya iri terhadap kuantitas tindak kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan di negara itu. Saya juga tidak iri terhadap budaya mas kawin, kasta dan kemiskinan yang membelenggu sesama kaum saya tersebut di sana. Saya tidak iri terhadap semua itu karena masalah-masalah yang serupa tapi tak sama pun terjadi di negara saya. Sejarah kekerasan terhadap perempuan di negara saya membentang panjang dari kisah tragis Pembayun, putri Panembahan Senopati yang dijadikan umpan untuk Ki Ageng Mangir oleh ayahandanya sendiri demi kelanggengan kekuasaannya hingga para perempuan di berbagai daerah konflik yang dijadikan "tumbal" ekpresi dominasi kekuasaan. Pemerkosaan dan pelecehan yang tak kalah keji juga dialami para perempuan keturunan Cina dalam skenario kerusuhan Mei 1998. Perempuan di negeri saya pun hingga kini belum sepenuhnya dan belum semuanya memahami makna, apalagi menikmati, rasa aman dan penghargaan yang layak dari lingkungan bahkan dari lingkaran terdekatnya. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|