Beberapa waktu silam seorang sahabat sekaligus kakak mengirimkan surel (surat elektronik) tentang hasil riset lembaga survei ternama, Pew Research Center, yang melaporkan temuan mereka atas pandangan umat Katolik Amerika Serikat terhadap Paus Francis yang dilihat sebagai perubahan yang lebih baik[1]. Survei yang dilakukan setelah satu tahun kepemimpinan Paus Francis tersebut mengungkapkan posisi Paus yang sangat populer diantara orang Katolik AS dan secara luas dipandang sebagai kekuatan bagi perubahan positif di dalam Gereja Katolik Roma. Temuan tersebut mengabarkan bahwa 8 dari 10 orang Katolik Amerika Serikat mengatakan mereka memiliki pandangan positif terhadap Paus. Selain itu, 7 dari 10 orang Katolik AS juga mengungkapkan bahwa Paus Francis mewakili perubahan besar atas arah gereja, sedang dari kalangan nonKatolik sebesar 56 persen. Dan hampir semua yang mengatakan Paus Francis mewakili perubahan besar, melihatnya sebagai sebuah perubahan yang lebih baik. Pandangan positif terhadap Paus ini berasal dari orang Katolik Amerika Serikat dengan latar belakang yang sangat beragam, baik laki-laki maupun perempuan dari semua kategori umur dewasa (18 hingga 60 tahun ke atas), baik yang rutin mengikuti misa setiap minggu maupun yang jarang ke gereja. Temuan lain yang menarik dari survei tersebut menurut saya adalah terkait harapan untuk perubahan di dalam gereja. Survei yang dilakukan dengan mengambil sampel secara nasional dari 1.821 orang dewasa (termasuk 351 orang Katolik) yang tinggal di 50 negara bagian Amerika dan distrik Colombia pada 14-23 Februari 2014 tersebut mengabarkan adanya peningkatan jumlah orang yang berharap bahwa dalam waktu dekat Gereja Katolik akan mengizinkan pastur untuk menikah, sebanyak 51 persen beranggapan gereja akan melakukan perubahan ini pada tahun 2050, angka ini meningkat 12 persen dibandingkan hasil survei yang sama yang dilakukan tak lama setelah terpilihnya Paus pada Maret 2013. Survei yang dilakukan melalui sarana telepon kabel dan telepon seluler ini juga mewartakan hanya terjadi sedikit perubahan atas harapan orang Katolik Amerika Serikat terkait ajaran gereja lainnya. Sekitar empat dari sepuluh orang Katolik AS berpendapat bahwa dalam beberapa dekade ke depan gereja pasti/mungkin akan memperbolehkan perempuan menjadi imam, jumlah ini tidak berbeda jauh dari hasil survei yang dilakukan tahun sebelumnya. Dan 56 persen orang Katolik Amerika Serikat berpandangan bahwa geraja akan segera mengizinkan umat Katolik mengatur kelahiran atau menggunakan alat kontrasepsi, angka ini hampir sama dengan hasil survei tahun sebelumnya, sebesar 53 persen. Akan tetapi, dukungan terhadap perubahan atas sejumlah ajaran gereja tersebut tetaplah tinggi diantara umat Katolik Amerika Serikat. Dari pertanyaan menurut anda Gereja Katolik seharusnya atau tidak seharusnya (a) memperbolehkan umat Katolik menggunakan alat kontrasepsi? (b) memperbolehkan imam untuk menikah? (c) memperbolehkan perempuan untuk menjadi imam? (d) mengakui pernikahan pasangan gay dan lesbian? Diperoleh jawaban sebanyak 77 persen atau hampir delapan dari sepuluh orang Katolik Amerika Serikat berpendapat gereja seharusnya memperbolehkan umat Katolik menggunakan alat kontrasepsi, 72 persen dan 68 persen atau (hampir) 7 dari 10 umat Katolik Amerika Serikat mengatakan gereja seharusnya mengizinkan imam untuk menikah dan mentahbiskan perempuan menjadi imam, 50 persen atau separuh orang Katolik Amerika Serikat mendukung pengakuan perkawinan pasangan gay dan lesbian oleh gereja. Dan dukungan terhadap perubahan atas sejumlah ajaran gereja tersebut jauh lebih kuat diantara orang Katolik yang mengikuti misa kurang dari sekali dalam seminggu dibandingkan mereka yang ke gereja setiap minggu. Menarik sekali membaca beberapa hasil survei tersebut, kita dapat melihat bagaimana penilaian umat Katolik Amerika Serikat terhadap Paus Francis dan perubahan-perubahan yang mereka harapkan atas ajaran-ajaran gereja. Ada sebuah harapan besar terhadap sosok Paus bernama Jorge Mario Bergoglio yang terpilih setelah Paus terdahulu Benedictus XVI mengundurkan diri setelah delapan tahun menjabat. Harapan atas sosok yang dapat membawa pembaruan bagi gereja ini sangat beralasan mengingat beberapa waktu terakhir Gereja dan Kuria Roma[2] dibayangi sejumlah isu, mulai dari skandal seks dan paedofilia para imam hingga isu korupsi di Vatikan. Boleh dibilang harapan ini bukan semata-mata hanya milik umat Katolik Amerika Serikat saja, namun juga menjadi harapan umat Katolik pada umumnya. Untuk konteks Indonesia sendiri, sependek yang saya tahu belum pernah ada survei sejenis. Tetapi dari pengamatan sepintas, rasanya penerimaan positif terhadap Paus Francis dan harapan terhadap sosoknya sebagai seorang reformis juga menjadi gambaran dari sebagian orang Katolik Indonesia. Pengamatan saya tentu saja sangat terbatas, terutama hanya pada mereka yang ada di perkotaan, memiliki akses terhadap informasi dan akrab dengan media sosial. Ini dapat saya lihat salah satunya dari respons atau komentar teman-teman saya atas pemberitaan seputar Paus atau postingan terkait dengan Paus. Sejak terpilih, Paus pertama dari Amerika Selatan sekaligus Jesuit pertama yang terpilih sebagai kepala Gereja Katolik Roma ini telah melakukan sejumlah tindakan yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai sebuah langkah reformasi gereja. Pada misa Kamis Putih[3] tak lama setelah terpilih melalui Konklaf[4], Paus Francis mencuci dan mencium kaki dua perempuan muda di sebuah penjara remaja di Roma, sebuah prosesi yang biasanya dibatasi hanya untuk laki-laki. Langkah ini cukup mengejutkan dan dipandang mendobrak tradisi. Paus Francis juga disebut lebih memilih hidup dalam kesederhanaan dengan tinggal di wisma kepausan dan menolak tinggal di istana Apostolik Vatikan. Ia juga dikatakan merevitalisasi kantor Vatikan Almoner yang didedikasikan untuk membantu orang miskin dengan menunjuk kepala baru dan menginstruksikan kepadanya untuk keluar mencari orang miskin yang membutuhkan bantuan dan bukan menunggu mereka datang. Paus ke-266 ini bahkan memecat uskup yang dinilai bergaya hidup terlalu mewah dan memecat empat kardinal komisaris Bank Vatikan—yang secara resmi dikenal dengan nama Institute for the Works of Religion (IOR). Baru-baru ini Ia juga diberitakan mengkritik birokrasi Vatikan dalam pidato pranatal yang disampaikan di hadapan para kardinal dan menyoroti apa yang disebutnya sebagai ”alzheimer spiritual”, ”skizofrenia eksistensial”, ”eksibisionisme sosial” dan belasan ”penyakit” spiritual lain yang menjangkiti Kuria. Banyak kalangan melihat langkah yang dilakukan Paus Francis tersebut juga sejumlah pernyataan dan tindakan lainnya sebagai wujud pembaruan, sebuah langkah reformasi. Tetapi sungguhkah reformasi atau bahkan revolusi tengah bergulir dalam tubuh Gereja Katolik Roma? Bagaimana dan sejauhmana apa yang disebut sebagai reformasi gereja tersebut menempatkan dan melibatkan perempuan? Kritik terhadap Kapitalisme Tak Terkendali dan Absennya Dimensi Gender Pada November 2013, delapan bulan setelah terpilih menjadi pemimpin bagi 1,2 miliar umat katolik di dunia, Paus Francis mengeluarkan Anjuran Apostolik[5] Evangelii Gaudium[6], atau The Joy of The Gospel dalam bahasa Inggris dan Kegembiraan (Sukacita) Injil dalam bahasa Indonesia, sebuah seruan atau nasihat apostolik yang mengangkat tema tentang pewartaan Injil dalam dunia kontemporer. Boleh dibilang Evangelii Gaudium (EG) merupakan salah satu dokumen kepausan yang penting. Meskipun dokumen ini lebih bersifat pastoral daripada doktrinal dan posisinya berada di bawah ensiklik atau konstitusi apostolik, akan tetapi sebagaimana halnya segala sesuatu yang secara resmi ditulis oleh Paus, dokumen ini dipandang penting dan serius. Evangelii Gaudium adalah sebuah peta dan panduan bagi misi pastoral gereja ke depan yang digagas Paus Francis. Dapat dikatakan dokumen ini merupakan penegasan secara resmi atas pikiran, pandangan dan gagasan yang dikemukakan Paus Francis dalam misa dan kesempatan lain sejak ia menjadi Paus pada Maret 2013. Dokumen ini sekaligus merupakan karya pertama yang ditulisnya sendiri sebagai paus, karenanya Evangelii Gaudium dapat disebut sebagai ”dokumen Francis”. Salah satu catatan penting dari dokumen yang terdiri dari 5 bab tersebut adalah kritik Paus atas sistem ekonomi dunia yang menimbulkan penyingkiran dan ketimpangan, atas kapitalisme tak terkendali yang menyebabkan ketidakadilan. Kritik ini diletakkan dalam konteks mencermati realitas kekinian dengan sejumlah tantangan yang dihadapi dunia saat ini. Francis mengacu pada salah satu perintah dalam 10 Perintah Allah yakni ”jangan membunuh”—yang memberikan batas yang jelas untuk menjaga nilai kehidupan manusia—sebagai rujukan agar kita juga mengatakan tidak pada sistem ekonomi yang menimbulkan penyingkiran dan ketidaksetaraan (economy of exclusion and inequality) karena ekonomi semacam itu membunuh. Ia menyoroti situasi dimana manusia dianggap sebagai barang konsumsi untuk digunakan dan kemudian dibuang. Francis juga mengkritik sebagian orang yang tetap mempertahankan teori trickle-down—yang didasarkan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar bebas akan berhasil menciptakan keadilan dan inklusivitas di dunia, meskipun tidak pernah terkonfirmasi dengan fakta—yang menurutnya memperlihatkan kepercayaan naif atas kebaikan dari mereka yang mengendalikan kekuatan ekonomi dan atas kesakralan dari sistem ekonomi yang sedang berjalan (EG, 53-54). Paus Francis juga mengecam pemberhalaan atau pengidolaan uang yang disebutnya sebagai bentuk baru dari penyembahan lembu emas kuno (lih. Kel 32:1-35) serta mengecam kediktatoran ekonomi impersonal yang kehilangan tujuan kemanusiaannya (EG, 55). Francis berpendapat bahwa kebutuhan untuk mengatasi penyebab struktural dari kemiskinan tidak dapat ditunda, bukan semata-mata untuk alasan pragmatis karena urgensinya bagi ketertiban masyarakat, tetapi karena masyarakat perlu disembuhkan dari penyakit yang melemahkan dan membuat frustasi serta hanya menciptakan krisis baru. Selama persoalan kemiskinan tidak diatasi secara radikal dengan menolak otonomi mutlak dari pasar dan spekulasi keuangan, dan dengan memerangi penyebab struktural dari ketidaksetaraan, tidak ada solusi yang dapat ditemukan bagi persoalan dunia. Menurutnya ketimpangan adalah akar dari persoalan sosial. Francis juga menyatakan bahwa kita tidak bisa lagi percaya pada kekuatan yang tak tampak dan tangan yang tak terlihat dari pasar. Ia berharap para politisi dapat memerangi penyebab struktural dari kemiskinan. Francis juga mendesak para pemimpin pemerintahan dan pemimpin keuangan untuk terus mengupayakan dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki pekerjaan yang layak, mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan (EG, 202, 204-205). Tentu saja Francis menuai pujian luas atas kritiknya tersebut. Banyak pihak memberikan apresiasi positif. Untuk menyebut sebagian, teolog Itali Massimo Faggioli menyebut dokumen tersebut sebagai ”manifesto Francis”, sementara analis veteran Vatikan John Thavis menyebutnya sebagai ”Magna Carta untuk reformasi gereja”. Akan tetapi kritik Paus tersebut juga mengundang kecaman terutama dari kalangan konservatif Amerika. Terlepas dari itu semua, ada perihal mendasar dan penting yang (sengaja) diabaikan Paus. Kritik terhadap kapitalisme saja tidaklah cukup tanpa diikuti kritik terhadap patriarki dan misoginisme (kebencian terhadap perempuan) karena tidak akan dapat menciptakan keadilan bagi kita semua. Berbicara tentang kemiskinan, fakta menunjukkan bahwa kemiskinan begitu lekat dengan kehidupan perempuan. Ada pembagian kerja seksual—yang menempatkan perempuan di wilayah domestik yang diidentikkan dengan kegiatan konsumsi dan tidak memiliki nilai ekonomi—yang berimplikasi pada besaran upah yang rendah ketika perempuan bekerja di wilayah publik dan jenis pekerjaan yang tersedia cenderung mengacu pada peran gender perempuan yang tradisional serta beban ganda yang harus ditanggung perempuan. Ada peran dan hierarki gender dalam masyarakat—yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan marginal—yang membuat perempuan jauh lebih rentan dan menjadi korban paling parah dari sistem ekonomi yang ada. Ada praktik kekerasan terhadap perempuan—yang tidak terbatas pada budaya, daerah atau negara tertentu, atau kelompok perempuan tertentu dalam masyarakat—yang akarnya terletak pada diskriminasi terhadap perempuan dan memiskinkan bukan hanya perempuan, tetapi juga keluarga mereka, masyarakat dan negara. Data yang dikeluarkan PBB[7] (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memperlihatkan di beberapa bagian dunia, perempuan dan anak perempuan sering lebih terbebani oleh kemiskinan rumah tangga dan lingkungan mereka daripada laki-laki dan anak laki-laki. Pada tingkat rumah tangga, data menunjukkan bahwa jenis tertentu dari rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala keluarga cenderung lebih miskin dibandingkan rumah tangga dengan laki-laki sebagai kepala keluarga dari jenis yang sama. Di Amerika Latin dan Karibia dan di kawasan yang lebih maju, rumah tangga dari ibu tunggal dengan anak-anak memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga dari ayah tunggal dengan anak-anak. Di wilayah yang sama, tingkat kemiskinan jauh lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki ketika hidup dalam rumah tangga satu-orang. Pada tingkat individu, kurangnya akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya membatasi otonomi ekonomi mereka dan meningkatkan kerentanan mereka terhadap guncangan ekonomi atau lingkungan. Berbicara tentang ketidakadilan, kehidupan perempuan adalah litani ketidakadilan. Situasi ini semakin buruk pada perempuan yang hidup dalam kemiskinan. Mulai dari dalam kandungan, saat bayi, ketika anak-anak, saat usia remaja, pada usia subur, ketika dewasa, pada usia kerja, hingga ketika beranjak tua, perempuan menghadapi berbagai ancaman kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Kultur dan nilai dalam masyarakat yang mengagungkan anak laki-laki lebih dari anak perempuan, menempatkan bayi perempuan dalam ancaman praktik infanticide (pembunuhan bayi perempuan). Ketika dalam masa pertumbuhan, pemberian nutrisi dan makanan bergizi bagi anak perempuan cenderung diabaikan dibandingkan anak laki-laki. Anak perempuan juga menghadapi ancaman sunat perempuan atau mutilasi genital yang dapat menyebabkan rasa sakit seumur hidup, infeksi, trauma juga kematian. Diperkirakan antara 130-140 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia telah mengalami mutilasi genital, terutama di Afrika dan beberapa negara di Timur Tengah. Dan 3 juta anak perempuan setiap tahun diperkirakan berisiko mengalami mutilasi genital.[8] Pada usia sekolah, anak perempuan terancam tidak bersekolah karena membantu orang tua bekerja atau melakukan pekerjaan domestik, dipaksa menikah atau prioritas pendidikan diberikan pada anak laki-laki. Pada 2007 tercatat sebanyak 72 juta anak usia pendidikan dasar di seluruh dunia tidak bersekolah dan 54 persennya (39 juta) adalah anak perempuan.[9] Anak atau remaja perempuan juga menghadapi ancaman pernikahan dini dan menjalani kehamilan muda yang menempatkannya pada risiko kematian. Pada usia subur, perempuan bisa mati karena pendarahan saat melahirkan—salah satu penyebab paling umum kematian ibu bagi ibu hamil yang menderita anemia dan kurang gizi. Pada usia kerja, perempuan tidak memiliki kesempatan kerja yang sama seperti laki-laki dan menerima gaji yang lebih rendah untuk jenis pekerjaan yang sama. Sektor informal memang memberikan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan laki-laki, akan tetapi, dengan upah yang rendah dan perlindungan yang minim membuat perempuan rentan dan mudah dieksploitasi. Sepanjang hidupnya perempuan menghadapi ancaman kekerasan. Walaupun jumlah perempuan yang terpapar kekerasan beragam dari satu wilayah ke wilayah lain, namun statistik mengindikasikan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena universal dan perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan—fisik, seksual, psikologis dan ekonomi—baik di dalam maupun di luar rumah. Diperkirakan di seluruh dunia satu dari lima perempuan akan menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan dalam hidupnya. Dan diperkirakan sebanyak 2,5 juta orang diperdagangkan setiap tahun untuk tujuan prostitusi, kerja paksa dan perbudakan, dimana sekitar 80 persen dari korban yang terdeteksi adalah perempuan dan anak perempuan[10]. Realitas ini begitu nyata, namun Paus tetap jauh dari realitas ini. Perempuan tetap tak dianggap meskipun tampak di depan mata. Fakta di atas juga memperlihatkan bahwa tidak mungkin mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan tanpa berurusan dengan persoalan pembagian kerja secara seksual, peran gender yang timpang dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Seperti dikemukakan Hartmann (1976) bahwa status perempuan di pasar tenaga kerja saat ini dan pengaturan terkini dari pemisahan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan hasil dari proses interaksi yang panjang antara patriarki dan kapitalisme.
Bentuk baru dari patriarki kapitalis telah ”memaksa” perempuan-perempuan dari dunia ketiga meninggalkan negara asalnya dan melakukan pekerjaan ”perawatan” di negara-negara asing sebagai buruh migran. Mereka melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak bagi keluarga-keluarga kaya, sementara keluarga mereka sendiri menderita. Bentuk agresif dari patriarki kapitalis ini telah menggeser setengah dari buruh migran ke perempuan. Jenis pekerjaan ini melahirkan lapisan baru kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan. Para pekerja rumah tangga migran perempuan ini bekerja dengan perlindungan yang minim dan membuat mereka lebih rentan terhadap pelecehan seksual. Kemiskinan yang mendorong perempuan menjadi PRT migran menempatkan mereka dalam situasi berbahaya dengan sedikit pilihan. Filipina adalah satu dari tiga negara—selain Indonesia dan Sri Lanka—di kawasan Asia dimana perempuan banyak menjadi pekerja migran. Dimulai pada tahun 70-an dengan jumlah yang kecil, dan meningkat pada tahun 80-an, hingga pada tahun 90-an perempuan menjadi mayoritas—terhitung sebanyak 60 persen—dari pekerja baru yang diberangkatkan setiap tahun dari Filipina. Seperti Indonesia dan Sri Lanka, kebanyakan pekerja migran perempuan dari Filipina terkonsentrasi pada jenis pekerjaan reproduktif, seperti pekerjaan perawatan dan pengasuhan yang dipandang sebagai tugas perempuan. Human Rights Watch (HRW) melaporkan setidaknya ada 146.000 pekerja rumah tangga migran perempuan—mungkin lebih—dari Filipina, Indonesia, India, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Ethiopia, bekerja di Uni Emirat Arab (UEA) yang mengalami berbagai kekerasan dan eksploitasi dari majikan dan agen perekrutnya[12]. Data ini belum termasuk negara-negara lain yang juga menjadi negara tujuan bagi PRT migran. Filipina adalah juga negara dengan mayoritas masyarakatnya adalah penganut Katolik dan pada pertengahan Januari kemarin menjadi salah satu negara di Asia yang menjadi tujuan lawatan Paus. Akan tetapi, dalam kunjungan tersebut Francis tidak menyinggung atau membahas isu ini dalam pernyataan atau pidatonya. Paus Francis mengatakan bahwa penyebab struktural dari kemiskinan harus dihapuskan, namun kapitalisme dipandang sebagai struktur tunggal. Sementara paparan di atas memperlihatkan bahwa kemiskinan memiliki dimensi atau matra gender, sekaligus dimensi ras/etnis dan kelas. Benar bahwa Francis mendorong kepedulian pada yang rentan—para tuna wisma, para pecandu, para pengungsi, masyarakat adat, para lansia juga para imigran—sekaligus mendorong kita untuk mendekat pada bentuk-bentuk baru dari kemiskinan dan kerentanan (EG, 210). Ia juga menyatakan merasa menderita karena banyaknya korban perdagangan manusia (EG, 211) serta mengidentifikasi perempuan sebagai kelompok yang mengalami kemiskinan ganda (EG, 212). Akan tetapi, Francis sama sekali tidak mengarahkan kritik pada struktur sosial yang melanggengkan relasi gender yang timpang, pembakuan pembagian kerja secara seksual dan pemberian privilese pada salah satu jenis kelamin, yakni laki-laki. Sikap Ini menunjukkan bahwa bagi Francis, gender juga ras/etnis tidak menjadi dimensi penting dalam upaya mengatasi, membongkar dan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan. Sementara kita tahu sesungguhnya dunia yang penuh dengan kekerasan, ketimpangan dan ketidakadilan ini adalah dunia yang patriarkal juga rasial sekaligus kapitalis. Keengganan Paus untuk memasukkan dimensi gender termanifestasi pada diabaikannya keterkaitan antara isu ekonomi dengan kehidupan perempuan bahkan tubuh perempuan, juga pada sikap Paus yang mengukuhkan (kembali) pandangan gereja atas pentahbisan perempuan dan otonomi tubuh perempuan. Paus menyatakan bahwa gereja juga dirinya mengakui kontribusi dan peran perempuan dalam gereja serta memberikan peluang yang lebih luas bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi tidak untuk pentahbisan. Ia menegaskan posisi imam bagi laki-laki yang merujuk pada Kristus, bukanlah pertanyaan terbuka untuk didiskusikan. Konseptualisasi tentang peran perempuan dalam gereja itu sendiri secara implisit mengindikasikan peran dan ruang yang terbatas dari perempuan. Pokok persoalannya adalah pada keadilan dan kesetaraan. Demikian juga dengan isu aborsi, Paus mengutarakan kembali posisi gereja yang memandang janin sebagai makhluk hidup yang paling tak berdaya dan tak berdosa dan memiliki hak untuk dilindungi, tanpa ada upaya sedikitpun untuk mereposisi hak ibu atau mempertimbangkan suara perempuan. Ia bahkan menegaskan bahwa gereja tidak bisa diharapkan untuk mengubah posisinya terkait perihal ini. Paus tidak menunjukkan memiliki keingintahuan atau perhatian terhadap kehidupan perempuan dan situasi kemiskinan yang mereka hadapi hari-hari ini. Reformasi Gereja Tanpa Perempuan adalah Kemustahilan Ketidakadilan bagi Francis adalah semata persoalan penderitaan ekonomi. Tetapi sesungguhnya kita—laki-laki dan perempuan, kelompok homoseksual, transgender, juga gender ketiga dari semua ras dan etnisitas—menderita atau mengalami ketidakadilan akibat persinggungan antara identitas struktural kita yang lain dengan persoalan ekonomi. Penderitaan itu bukan hanya mencakup aspek ekonomi dan jelas akan tetap menimbulkan ketidakadilan sejauh ditangani dengan cara yang parsial. Terdapat dimensi gender, ras/etnis dan kelas ketika kita berbicara tentang keadilan. Sehingga otonomi atas tubuh perempuan—baik mencakup kebebasan untuk memilih apa yang ia butuhkan: alat kontrasepsi, melakukan aborsi atau menjalani kehamilan maupun bebas dari pelecehan seksual dan eksploitasi ekonomi—menjadi penting jika kita sungguh-sungguh bicara tentang keadilan. Kebutuhan atas hak seksual bagi perempuan—atas tubuh mereka—harus dibicarakan. Pada dasarnya kontrol atas kehidupan reproduksi seseorang adalah juga bentuk pengendalian atas kehidupan produktif ekonomi seseorang. Begitu juga pengakuan penuh atas kelompok gender ketiga dan kebebasan terkait orientasi/pilihan seksual juga diperlukan bila keadilan hendak diwujudkan. Dan pengungkapan secara terbuka atas kejahatan seksual—paedofilia dan perkosaan—harus dilakukan sebagai bagian dari upaya memberikan hak keadilan dan hak pemulihan bagi korban, sehingga keadilan benar-benar memiliki makna. Keadilan sosial merupakan isu yang menjadi perhatian Paus Francis. Dalam survei yang digelar Pew Research Center diperoleh temuan bahwa Francis mendapat penilaian kerja yang baik atas penanganannya terhadap kebutuhan dan perhatian atas orang miskin (76% baik). Namun Francis mendapat penilaian yang terendah untuk penanganannya atas krisis pelecehan seksual yang dilakukan klerus (54% baik). Sementara setahun sebelumnya pada Maret 2013—tak lama setelah terpilihnya Paus—dalam survei yang sama yang dilakukan Pew Research Center diperoleh hasil sebanyak 70% orang Katolik Amerika Serikat menyatakan bahwa penanganan atas kejahatan pelecehan seksual harus menjadi prioritas utama bagi paus yang baru. Selain itu, isu tentang penyertaan dan pelibatan orang miskin dalam masyarakat ini juga menjadi pembahasan penting dalam anjuran apostolik yang ditulis Paus. Namun di sisi lain Paus melanggengkan gagasan bahwa ekonomi politik tidaklah seksual, bahwa kehidupan pribadi tidaklah terkait dengan kepentingan ”pasar”. Singkatnya Paus masih mengukuhkan pandangan gereja yang heteroseksis, misoginis dan berpusat pada laki-laki. Sementara keadilan sosial akan sulit terwujud tanpa keadilan seksual. Karenanya saya tidak (mungkin belum) melihat ada reformasi dalam tubuh gereja Katolik Roma. Daftar Pustaka Pew Research Center, U.S. Catholics View Pope Francis as a Change for the Better, March 2014 Apostolic Exhortation Evangelii Gaudium, Vatikan, November 2013. United Nations Statistic Division, The World’s Women 2010: Trends and Statistics, United Nations Publication ST/ESA/STAT/SER.K/19, New York, 2010, hal. xi. UN Department of Public Information, Violence Against Women: The Situation (Factsheet), DPI/2546A, November 2011. Hartmann, Heidi, ”Capitalism, Patriarchy, and Jobs Segregation by Sex” dalam Signs, Vol. 1 No. 3 Women and The Workplace: The Implication of Occupatonal Segregation, The University of Chicago Press, Spring, 1976, Hal. 139. Human Rights Watch, Kau sudah Kubeli, Kekerasan dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga di Uni Emirat Arab, Human Rights Watch, Amerika Serikat, Oktober, 2014. Catatan Belakang [1] Pew Research Center, U.S. Catholics View Pope Francis as a Change for the Better, March 2014 [2] Badan administrasi Gereja Katolik Roma [3] Kamis Putih adalah hari kamis sebelum Paskah dimana pada hari ini umat Katolik mengadakan perayaan Ekaristi atau misa memperingati perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus bersama murid-muridnya sebelum Ia ditangkap dan disalib. Pada misa Kamis Putih terdapat upacara pembasuhan kaki dimana Pastur mencuci kaki umat sebagai peringatan Yesus yang mencuci kaki para rasul pada perjamuan terakhir. Sebuah teladan bahwasanya seorang pemimpin hendaknya melayani. [4] Konklaf adalah pertemuan para Kardinal guna memilih Paus baru. Sidang konklaf diikuti oleh para Kardinal di seluruh dunia yang berumur di bawah 80 tahun. Sedang Kardinal adalah pejabat senior gereja Katolik yang kedudukannya berada di bawah Paus dan dipilih oleh Paus. [5] Anjuran Apostolik adalah dokumen kepausaan yang sebagaimana namanya menganjurkan umat untuk menerapkan aspek tertentu dari ajaran gereja. Anjuran ini bukan dimaksudkan untuk mengajarkan doktrin baru, tetapi untuk memberikan nasihat atau petunjuk bagaimana ajaran dan praktik Gereja dapat diterapkan pada situasi kekinian. [6] Apostolic Exhortation Evangelii Gaudium, dapat diakses di: https://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa-francesco_esortazione-ap_20131124_evangelii-gaudium.html [7] United Nations Statistic Division, The World’s Women 2010: Trends and Statistics, United Nations Publication ST/ESA/STAT/SER.K/19, New York, 2010, hal. xi. [8] UN Department of Public Information, Violence Against Women: The Situation (Factsheet), DPI/2546A, November 2011. [9] United Nations Statistic Division, Op.cit., hal 54. [10] UN Department of Public Information, Op.cit. [11] Hartmann, Heidi. ”Capitalism, Patriarchy, and Jobs Segregation by Sex” dalam Signs, Vol. 1 No. 3 Women and The Workplace: The Implication of Occupatonal Segregation. The University of Chicago Press, Spring, 1976. Hal. 139. [12] Human Rights Watch. Kau sudah Kubeli, Kekerasan dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga di Uni Emirat Arab. Human Rights Watch, Amerika Serikat. Oktober, 2014.
Phiner
20/4/2015 03:24:36 pm
ada tentang perempuan di nomor 103-104... pertanyaanmu terjawab disitu Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|